Wednesday, October 27, 2010

Negeriku Negeri SUMPAH. . .


Pernah ada…..SUMPAH Palapa,
Yang paling membanggakan…..SUMPAH Pemuda,
Yang paling serem….. SUMPAH Pocong,
Yang sering dilanggar….. SUMPAH Jabatan,
Yang paling sering terdengar….. SUMPAH Serapah !
SUMPAH pun akhirnya merajalela…
SUMPAH….. Aku hanya makan gaji,
SUMPAH….. Kami tidak korupsi,
SUMPAH….. Kami tak mengadakan kolusi,
SUMPAH….. itu bukan korupsi,
SUMPAH…

Monday, October 25, 2010

82 Tahun Sumpah Pemuda… kok masih begitu saja…


Kalau saja hari ini nggak sengaja lihat kalender, mungkin bakalan lupa kalau sebentar lagi kita akan memperingati salah satu hari bersejarah bagi bangsa kita. Ya tanggal 28 Oktober nanti, kita akan sama-sama memperingari Hari Sumpah Pemuda.
Pikiran kita dibuat melayang kembali ke masa kecil saat SD dulu, setiap memperingati hari Sumpah Pemuda atau hari

Tuesday, October 12, 2010

Mie Instan



Bicara soal mie instan, hampir semua umur menikmati makanan praktis tersebut. Selain cara menyajikannya yang sangat mudah, mie instan mempunyai sesuatu yang khas dan bisa 'membius' para penikmatnya walaupun hanya mencium aromanya. Banyak dari kita terutama anak kecil suka mie instan. Ini karena rasa mie instan yang gurih sekali karena memakai berbagai bumbu yang tak jarang berbahaya bagi

Friday, October 8, 2010

Pusara

CERPEN

Seorang perempuan cacat berjalan sendirian. Langkahnya timpang, melawan angin pegunungan yang dingin. Tertatih dia melangkah melalui jalan yang berbatu, setapak itu, menuju sebuah pusara.
Kakinya yang tidak normal, karena salah satunya telah diamputasi, membuat langkahnya bergoyang tak beraturan. Sejak dia keluar rumah, tidak ada satupun orang yang menyapanya. Langit bungkam dan pepohonan berdiam bisu. Tetapi Maryam tetap melangkah.
Batu-batu kali yang di tata di sepanjang jalan itu mempersulit langkahnya saja. Tanah merah yang basah, membuat kaki kayunya lengket dan membentuk gedibal besar di ujungnya. Kemudian langkahnya terhenti di sebuah pusara yang masih baru. Gundukan tanah merah dengan bunga-bunga diatasnya yang mulai mengering.
Maryam berhenti, dengan berpegangan tongkat kruknya, dia berusaha untuk bersimpuh di atas tanah basah itu. Peluhnya berjatuhan di sekujur tubuhnya yang kurus.
Dia memandangi gundukan tanah itu. Bunga mawar merah dan putih menjadi kecoklatan, karena sudah dua hari yang lalu mengantar kepergian Daliman, kekasih jiwanya. Kepergian itu membuatnya terpukul, namun ia tak mampu berbuat apa-apa.
Ketika tanah warisan keluarganya diklaim menjadi tanah bengkok desa, maka seluruh hartanya habis. Daliman yang merupakan kerabat terdekat keluarganya berusaha mati-matian membela Maryam pewaris tunggal kekayaan keluarga itu.
“Dasar kepala desa keparat, mereka telah merampas hakmu, Maryam,” kata Daliman suatu hari.
Kata-kata itu, adalah kata-kata terindah yang pernah dia dengarkan selama ini. Kecacatan telah menjadikannya sebagai orang yang hina dina dan selalu menjadi bahan ejekan di desanya.
”Maryam si pincang, Maryam si kaki buntung…” begitu anak-anak desa selalu meneriakinya bila dia berjalan di jalanan desa.
“Maafkan Maryam, Kang, baru sekarang bisa datang ke kuburanmu, ” begitu bisiknya pada gundukan tanah itu.
Gundukan itu hanya membisu, Maryam menangis sesengukan, menyesali nasibnya. Setelah kepergian Daliman, tentu saja dia semakin tidak berharga di desa itu, perempuan pincang tanpa masa depan, tanpa harta benda, dan tanpa orang yang dia kasihi dengan sepenuh hatinya.
Bahkan ketika Daliman meninggal pun, Maryam tak berani keluar rumah dan melayat di rumahnya. Tidak mengikuti iring-iringan warga desa menuju pekuburan dan melihat mayat itu masuk ke liang lahat.
Sunyi di pekuburan itu membuat hatinya semakin teriris. Hembusan angin menerpa dedaunan kamboja, menebarkan aroma bunga-bunganya yang wangi semerbak, namun wangi itu tak menghibur hatinya. Rerumputan ilalang bergesekan membisikkan suara gemeringsing, yang indah, namun berisik di telinganya.
Daliman laki-laki kurus dengan wajah persegi itu, satu-satunya yang dia miliki di dalam hatinya. Bukan hanya karena dia membelanya ketika tanahnya di ambil pihak desa, tetapi karena Daliman juga memahami keadaannya. Setidaknya tidak pernah mengolok-olok kakinya yang cacat.
“Mengapa begitu cepat kau tinggalkan aku kang Daliman. Sekarang, siapa lagi yang akan membelaku kalau ada yang menyakitiku,” bisik Maryam pada pusara yang teronggok bisu itu.
Hatinya benar-benar hancur. Luluh lantak tak tersisa lagi. Kematian yang begitu mendadak itu. Penyakit yang menggerogoti Daliman itu, adalah racun mematikan yang membuatnya terpekur bisu.
Yang paling menyedihkan hatinya, Daliman pergi, saat hubungan mereka dalam kondisi kurang baik. Itu juga karena orang-orang desa selalu mengolok-oloknya sebagai kekasih Daliman.
“Si pincang pacarnya Daliman,” Si pincang pacarnya Daliman,” begitu orang-orang desa menyebutnya.
Ejekan itu rupanya berpengaruh terhadap Daliman. Daliman jadi enggan menemuinya lagi, meskipun dia sudah menyiapkan makanan istimewa di rumahnya. Daliman marah dan mengira Maryam sudah menyebarkan berita bahwa dirinya adalah kekasih Daliman.
“Tidak Kang, aku tidak pernah lakukan hal itu, percayalah,” kata Maryam suatu hari.
“Aku hanya berusaha menolongmu, tetapi lihat apa yang kamu lakukan padaku,” kata laki-laki itu.
Maryam diam saja. Hanya berkata dalam hati, bahwa dia mengagumi Daliman, karena keteguhannya membela semua masalah yang menyandung dirinya. Tidak ada perasaan yang mengatakan itu cinta.
Mungkin Daliman telah salah persepsi terhadap semua perhatiannya selama ini. Hidupnya terlalu berharga, ketika bersama Daliman. Laki-laki itu sudah menjadi malaikat tempatnya bersandar. Menjadi semangat ketika hatinya telah hancur. Maryam menyayangi Daliman dengan semua kekuarangan dan kelebihannya.
Ia terkenang indahnya saat-saat menikmati singkong rebus di beranda, sambil membicarakan kepala desa yang jahat, yang telah merebut tanahnya. Atau saat-saat berdua di dapur sambil membicarakan para kiai di kampong yang sudah melacurkan ayat-ayat kitab sucinya. Dan kadang mereka berdua sekedar membicarakan kehidupan seputar desa yang mulai membangun pasar dan kios-kios dengan sesuka hati sambil mengambil alih tanah dari warga yang lemah seperti dirinya.
Mencintainya ? Mencintai laki-laki yang begitu sempurna di matanya itu? Maryam pernah mempertanyakan hal itu pada dirinya. Daliman pasti mengira dia telah terjerembab dalam lubang bernama cinta itu. Tetapi apakah pantas seorang perempuan pincang mencintai laki-laki yang sempurna seperti dia. Apa kata orang-orang desa. Bahkan dekat dengan Daliman saja membuat mereka berburuk sangka.
"Orang cacat, tidak punya malu, ngaca dulu, sebelum mendekati seorang laki-laki," begitu orang desa berbisi-bisik soal hubungannya dengan Daliman.
Sejak awal dekat dengan Daliman. Maryam sudah tahu bahwa dirinya tidak pantas untuk laki-laki itu. Banyak perempuan sempurna di desanya yang lebih pantas dengan Daliman. Baginya berteman dan menjadi sahabat dekat Daliman sudah lebih dari cukup. Membuat hatinya bahagia dan membangkitkan semangat juangnya untuk tetap bertahan dengan aniaya yang bertubi-tubi menimpanya.
Tetapi Maryam belum pernah menjelaskan itu pada Daliman. Belum pernah mengatakan perasaan yang sesungguhnya bahwa, meskipun dia menyayangi laki-laki itu, tetapi dia tak pernah berharap akan bisa menikah dengannya. Alam semesta pasti akan menertawainya, ketika berharap bisa menikah dengan laki-laki itu. Sesuatu yang sangat tidak mungkin. Salah paham itu yang masih mengganjalnya, sampai akhirnya Daliman pergi meninggalkan dunia untuk selamanya.
Tangan kanan Maryam mengusap pusara itu dengan gemetar. Bunga-bunga kering itu disingkirkannya dari puncak gundukan itu. Air matanya bercucuran.
“Kang Daliman, Kang Daliman…” tangisnya.
Gundukan itu hanya diam membisu.
“Sungguh sulit membedakan arti cinta dan kasih sayang. Dan kita tak pernah mampu memahaminya hingga kau meninggalkan dunia ini,” kata Maryam.
“Apakah akal sehat akang, sudah hilang, dan berubah menjadi emosi yang membuat akang begitu marah kepadaku.”
“Coba akang pikirkan baik-baik dan rasakan dengan hati yang jernih, apakah pantas orang yang cacat semacam aku ini mencintai akang. Memang aku menyayangi akang, aku memperhatikan akang, tetapi itu semua sebagai rasa terima kasihku kepada akang yang selalu membelaku menempuh kelunya perjalanan hidupku.”
“Aku sadar sepenuhnya bahwa persahabatan kita tidak akan berlanjut pada tahapan itu. Tidak akang, aku tak sanggup memikirkan sejauh itu. Masih banyak perempuan baik, yang tidak cacat seperti ku di desa yang lebih pantas untukmu. Menjadi temanmu saja sudah cukup bagiku, kang,” keluhnya.
Tetapi tiba-tiba dari belakangnya muncul seseorang yang dengan kasar membentak Maryam. Perempuan itu tergagap dan meraih tongkatnya. Tergopoh dia berdiri. Kaki buntungnya diangkat dengan perlahan untuk berdiri.
“He, pincang, apa yang kamu lakukan di sini?” bentak laki-laki itu.
“Oh, diam-diam menemui kekasihmu ya, dia itu sudah modar, perempuan jalang,” kata laki-laki itu lagi.
Maryam membalikkan tubuhnya. Sekilas dipandanginya pusara itu. Air matanya bercucuran, membasahi pipinya. Dengan susah payah dia berjalan meninggalkan pekuburan itu, dengan kesedihan yang mendalam, melengkapi semua penderitaan hidupnya.

Jakarta, 9 Oktober 2010

Monday, October 4, 2010

Dahlia Jadi Buruh

CERPEN

Menyusuri jalan sepanjang kawasan industri di Pulo Gadung sungguh melelahkan. Jalan-jalan serasa panjang, berdebu dan panas. Aspal hitam membujur kelam ada genangan air di atasnya, fatamorgana. Seperti menjanjikan air untuk rasa haus yang mulai menyerangku.

Aku adalah seorang peneliti dan bekerja di sebuah lembaga penelitian asing. Biarpun sudah memiliki jabatan lumayan, tetapi aku sering melakukan penelitian lapangan. Yah, sekadar untuk selingan atau membunuh kejenuhan. Siang itu aku sedang meneliti tingkat polusi di kawasan industri itu. Aku sendirian. Karena memang sedang ingin sendirian.

Setelah lama berjalan, hati terasa plong ketika melihat sebuah warung. Warung itu penuh dengan orang-orang berseragam. Ternyata mereka itu para buruh pabrik yang sedang menikmati makan siangnya.

Tanpa ragu, aku masuk ke warung itu. Di kepalaku sudah terbayang es teh yang manis. atau sebotol coca cola, untuk membasuh haus ini. Menyibakkan orang-orang yang berdiri mengobrol, aku berjalan ke sudut ruangan. Ada sebuah bangku kosong. Seorang perempuan sedang menikmati makan siangnya disana. Aku dekati dan minta ijin duduk semeja dengannya.

“Silakan, Bu…” kata perempuan berseragam biru muda dan bercelana jins itu, mengangkat wajahnya.

“Astaga…. Dahlia….” kataku.

Perempuan itu setengah kaget. Tetapi kemudian dia berdiri, dan mertangkulku.

“Sita….sudah lama sekali…” katanya. Kami berangkulan makin erat lagi, hampir sepuluh tahun tidak bertemu.

Dahlia dan aku adalah teman sebangku sejak SD, SMP maupun SMA. Kami bukan tetangga, tetapi diakrabkan ketika kami bersekolah dulu. Aku mengawasi wajah itu, kusam dengan beberapa temblong noda hitam di pipinya. Pasti dia tak pernah merawat wajah itu. Tubuhnya tinggi besar dan sekarang menjadi gemuk. Rambutnya dipotong pendek, kemerahan melambai.

Aku masih belum mepercayai penglihatanku. Seragam itu. Benarkah dia menjadi buruh pabrik. Padahal kami di kelas selalu bersaing mendapatkan rangking satu, kami adalah selalu terbaik di kelas kami. Kami juga pelari yang handal, meskipun dia selalu memaksaku puas sebagai juara dua, kami tahu bahwa persaingan itu menguatkan persahabatan kami.

Bahkan kami memperebutkan hati Susilo, ketua OSIS ketika kami SMA. Untuk yang satu itu, akulah pemenangnya. Bukan karena aku lebih cantik, kami berdua cantik, tetapi Susilo memilihku karena aku lebih periang dang bukan tukang mengeluh seperti Dahlia.

“Tentu saja Susilo milih kamu, kamu kan anak orang kaya, sedangkan aku anak orang miskin,” kata Dahlia waktu itu.

“Jangan begitu, “ ujarku tak suka dengan kata-katanya.

Sampai akhirnya kami lulus SMA, Dahlia dan aku sama-sama mendapatkan PMDK namun waktu itu, Dahlia tak bisa mengambilnya karena tidak ada biaya. Lalu aku tak menemukannya lagi, setelah keluarganya berkata bahwa Dahlia ke Jakarta dan bekerja di sana.

Dahlia bahkan mengantarkan aku daftar ulang ke kampus. Kami naik bis, dan aku mendegarkan saja semua keluhannya karena tak bisa menebus biaya masuk perguruan tinggi. “Selalu saja hidup ini tak adil buatku, dan selalu berpihak padamu, Sita,” katanya waktu itu. Aku tak mau menjawab. Aku tak suka kata-kata itu. Tetapi aku tak mau menyakitinya, aku tahu dia sangat inginkan bangku perguruan tinggi itu.

Seorang pelayan mengantarkan segelas es teh dan semangkuk mie ayam padaku. Dahlia kulihat masih menikmati makanannya. Aku ingin membuka pembicaraan, tetapi sedikit ragu, ada sikap acuh disana.

“Bumi ini sempit ya..” kataku memulai.

“Ya, kata orang begitu,” jawabnya pendek.

“Dahlia, ada apa denganmu, apakah kamu tak suka bertemu denganku?” tanyaku.

“Kau bekerja dimana?” tanyanya kemudian tanpa melihat wajahku.

“Aku melakukan penelitian-penelitian,” kataku.

“Kau memang lebih hebat dariku, karena kau memang selalu beruntung, sedangkan aku, orang miskin, selalu saja tidak beruntung,” katanya.

Dia sama sekali tidak berubah. Sinis dengan situasi hidupnya sendiri. Aku sejak dulu tak suka dengan kata-kata semacam itu. Bagiku kemiskinan bukan penghalang untuk meraih prestasi tertentu.

“Ah, yang penting aku menyukai pekerjaanku,” jawabku berusaha netral.

“Dan sekarang, setelah ini, silakan kamu menghinaku, aku hanya buruh pabrik, hinalah aku sepuasmu, aku kalah, bukan hanya dalam cinta, aku kalah dalam semua kehidupan ini denganmu,” katanya lagi.

“Dahlia, lihatlah aku…” tanganku mengangkat wajahnya yang menunduk.

“Apa aku sedang menghinamu ?” ujarku lagi.

Dia menepiskan wajahnya dariku.

“Sudahlah, sekarang kau sudah tahu nasib burukku, bernyanyilah untuk kemenanganmu..”

“Teganya kau bilang begitu padaku, Lia. Apakah aku pernah menghinamu..”

“Tidak, tetapi dalam hati siapa yang tahu,” ujarnya menambah kekesalanku.

“Tidak Lia, aku tak pernah menghinamu, kamulah yang menghina dirimu sendiri. Kau tahu mengapa Susilo memilihku, dan sekarang menjadi suamiku? Tahukah kamu bahwa sebenarnya dia lebih menyukaimu ? Tahukah kamu kenapa ? Karena kamu selalu saja menyalahkan keadaan, menyalahkan kemiskinanmu, kau mengingkari kepandaianmu sebagai anugerah…”

Dahlia mendongakkan wajahnya padaku. Seperti menantang.

“Kau bilang begitu karena aku hanya seorang buruh…” ujarnya.

“Kau menjadi buruh, karena kau selalu beranggapan bahwa nasib akan membawamu menjadi buruh…Sebetulnya kau bisa lebih. Kau selalu saja menangisi keadaan, seakan keadaanmu, kemiskinanmu, sedang berkuasa padamu dan akan menghakimimu, menyeret takdirmu…”

Mata itu berkaca-kaca.

“Aku tak lebih pandai darimu, tetapi aku selalu optimis. Mengejar dan berjuang untuk cita-citaku, sampai akhirnya aku bisa mengalahkan kekuranganku. Tapi kau, selalu saja menyalahkan nasibmu, aku sudah muak dengan semua itu Dahlia, bertahun lalu aku berusaha menyemangatimu, tetapi tetap saja kau bangun tembok bahwa kau tak bisa keluar dari lingkaran nasibmu.”

Suara bel terdengar nyaring. Dahlia menyeruput es teh di depannya. Lalu berdiri, memandangiku dengan mata berkaca-kaca. Aku tak tahu apa yg dirasakannya, mungkin dia marah dengan kata-kataku, dan kemudian membenciku. Dia meraih tanganku. Melepasnya dan menghambur bersama teman-temannya menuju gerbang pabrik.


Pondok Kacang 27 September 2010





Saturday, October 2, 2010

Festival Topeng Nusantara 2010


Festival Topeng Nusantara diselenggarakan agar Seni Budaya Topeng Nusantara mendapatkan apresiasi secara Nasional maupun dalam skala Internasional, sebagai langkah nyata memperjuangkan pengakuan Seni Topeng Nusantara sebagai "Warisan Budaya Dunia" (World Heritage) oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).
Sebagai