CERPEN
Menyusuri jalan sepanjang kawasan industri di Pulo Gadung sungguh melelahkan. Jalan-jalan serasa panjang, berdebu dan panas. Aspal hitam membujur kelam ada genangan air di atasnya, fatamorgana. Seperti menjanjikan air untuk rasa haus yang mulai menyerangku.
Aku adalah seorang peneliti dan bekerja di sebuah lembaga penelitian asing. Biarpun sudah memiliki jabatan lumayan, tetapi aku sering melakukan penelitian lapangan. Yah, sekadar untuk selingan atau membunuh kejenuhan. Siang itu aku sedang meneliti tingkat polusi di kawasan industri itu. Aku sendirian. Karena memang sedang ingin sendirian.
Setelah lama berjalan, hati terasa plong ketika melihat sebuah warung. Warung itu penuh dengan orang-orang berseragam. Ternyata mereka itu para buruh pabrik yang sedang menikmati makan siangnya.
Tanpa ragu, aku masuk ke warung itu. Di kepalaku sudah terbayang es teh yang manis. atau sebotol coca cola, untuk membasuh haus ini. Menyibakkan orang-orang yang berdiri mengobrol, aku berjalan ke sudut ruangan. Ada sebuah bangku kosong. Seorang perempuan sedang menikmati makan siangnya disana. Aku dekati dan minta ijin duduk semeja dengannya.
“Silakan, Bu…” kata perempuan berseragam biru muda dan bercelana jins itu, mengangkat wajahnya.
“Astaga…. Dahlia….” kataku.
Perempuan itu setengah kaget. Tetapi kemudian dia berdiri, dan mertangkulku.
“Sita….sudah lama sekali…” katanya. Kami berangkulan makin erat lagi, hampir sepuluh tahun tidak bertemu.
Dahlia dan aku adalah teman sebangku sejak SD, SMP maupun SMA. Kami bukan tetangga, tetapi diakrabkan ketika kami bersekolah dulu. Aku mengawasi wajah itu, kusam dengan beberapa temblong noda hitam di pipinya. Pasti dia tak pernah merawat wajah itu. Tubuhnya tinggi besar dan sekarang menjadi gemuk. Rambutnya dipotong pendek, kemerahan melambai.
Aku masih belum mepercayai penglihatanku. Seragam itu. Benarkah dia menjadi buruh pabrik. Padahal kami di kelas selalu bersaing mendapatkan rangking satu, kami adalah selalu terbaik di kelas kami. Kami juga pelari yang handal, meskipun dia selalu memaksaku puas sebagai juara dua, kami tahu bahwa persaingan itu menguatkan persahabatan kami.
Bahkan kami memperebutkan hati Susilo, ketua OSIS ketika kami SMA. Untuk yang satu itu, akulah pemenangnya. Bukan karena aku lebih cantik, kami berdua cantik, tetapi Susilo memilihku karena aku lebih periang dang bukan tukang mengeluh seperti Dahlia.
“Tentu saja Susilo milih kamu, kamu kan anak orang kaya, sedangkan aku anak orang miskin,” kata Dahlia waktu itu.
“Jangan begitu, “ ujarku tak suka dengan kata-katanya.
Sampai akhirnya kami lulus SMA, Dahlia dan aku sama-sama mendapatkan PMDK namun waktu itu, Dahlia tak bisa mengambilnya karena tidak ada biaya. Lalu aku tak menemukannya lagi, setelah keluarganya berkata bahwa Dahlia ke Jakarta dan bekerja di sana.
Dahlia bahkan mengantarkan aku daftar ulang ke kampus. Kami naik bis, dan aku mendegarkan saja semua keluhannya karena tak bisa menebus biaya masuk perguruan tinggi. “Selalu saja hidup ini tak adil buatku, dan selalu berpihak padamu, Sita,” katanya waktu itu. Aku tak mau menjawab. Aku tak suka kata-kata itu. Tetapi aku tak mau menyakitinya, aku tahu dia sangat inginkan bangku perguruan tinggi itu.
Seorang pelayan mengantarkan segelas es teh dan semangkuk mie ayam padaku. Dahlia kulihat masih menikmati makanannya. Aku ingin membuka pembicaraan, tetapi sedikit ragu, ada sikap acuh disana.
“Bumi ini sempit ya..” kataku memulai.
“Ya, kata orang begitu,” jawabnya pendek.
“Dahlia, ada apa denganmu, apakah kamu tak suka bertemu denganku?” tanyaku.
“Kau bekerja dimana?” tanyanya kemudian tanpa melihat wajahku.
“Aku melakukan penelitian-penelitian,” kataku.
“Kau memang lebih hebat dariku, karena kau memang selalu beruntung, sedangkan aku, orang miskin, selalu saja tidak beruntung,” katanya.
Dia sama sekali tidak berubah. Sinis dengan situasi hidupnya sendiri. Aku sejak dulu tak suka dengan kata-kata semacam itu. Bagiku kemiskinan bukan penghalang untuk meraih prestasi tertentu.
“Ah, yang penting aku menyukai pekerjaanku,” jawabku berusaha netral.
“Dan sekarang, setelah ini, silakan kamu menghinaku, aku hanya buruh pabrik, hinalah aku sepuasmu, aku kalah, bukan hanya dalam cinta, aku kalah dalam semua kehidupan ini denganmu,” katanya lagi.
“Dahlia, lihatlah aku…” tanganku mengangkat wajahnya yang menunduk.
“Apa aku sedang menghinamu ?” ujarku lagi.
Dia menepiskan wajahnya dariku.
“Sudahlah, sekarang kau sudah tahu nasib burukku, bernyanyilah untuk kemenanganmu..”
“Teganya kau bilang begitu padaku, Lia. Apakah aku pernah menghinamu..”
“Tidak, tetapi dalam hati siapa yang tahu,” ujarnya menambah kekesalanku.
“Tidak Lia, aku tak pernah menghinamu, kamulah yang menghina dirimu sendiri. Kau tahu mengapa Susilo memilihku, dan sekarang menjadi suamiku? Tahukah kamu bahwa sebenarnya dia lebih menyukaimu ? Tahukah kamu kenapa ? Karena kamu selalu saja menyalahkan keadaan, menyalahkan kemiskinanmu, kau mengingkari kepandaianmu sebagai anugerah…”
Dahlia mendongakkan wajahnya padaku. Seperti menantang.
“Kau bilang begitu karena aku hanya seorang buruh…” ujarnya.
“Kau menjadi buruh, karena kau selalu beranggapan bahwa nasib akan membawamu menjadi buruh…Sebetulnya kau bisa lebih. Kau selalu saja menangisi keadaan, seakan keadaanmu, kemiskinanmu, sedang berkuasa padamu dan akan menghakimimu, menyeret takdirmu…”
Mata itu berkaca-kaca.
“Aku tak lebih pandai darimu, tetapi aku selalu optimis. Mengejar dan berjuang untuk cita-citaku, sampai akhirnya aku bisa mengalahkan kekuranganku. Tapi kau, selalu saja menyalahkan nasibmu, aku sudah muak dengan semua itu Dahlia, bertahun lalu aku berusaha menyemangatimu, tetapi tetap saja kau bangun tembok bahwa kau tak bisa keluar dari lingkaran nasibmu.”
Suara bel terdengar nyaring. Dahlia menyeruput es teh di depannya. Lalu berdiri, memandangiku dengan mata berkaca-kaca. Aku tak tahu apa yg dirasakannya, mungkin dia marah dengan kata-kataku, dan kemudian membenciku. Dia meraih tanganku. Melepasnya dan menghambur bersama teman-temannya menuju gerbang pabrik.
Pondok Kacang 27 September 2010
No comments:
Post a Comment