PUISI MerinduMu
Resah hati menunggu pagi
jejak kehidupan buram tersapu kabut sepi
mentari masih enggan berdiri
dan dunia diam kelam terpekur sendiri
Ku bersujud dalam diam
menungguMu di ujung waktuku yang sunyi
memekik jiwa alunkan lagu biru
Tuhanku...
Tuhanku...
ulurkan tanganMu untuk hati nan rapuh ini
genggam aku dalam taliMu
rengkuh aku dalam pelukMu
Karena jiwa telah lelah berlari sepanjang lorong waktu
dan raga lumpuh menantang luka teriris sembilu
Tuhanku...
Tuhanku...
ijinkanlah daku baringkan rasa ini di bahuMu
peluklah daku agar lumat rinduku
biarkan aku rebahkan penatku
biarkan aku tertidur dalam pelukmu
Kemudian aku menemukan cahyamu yang suci
membasuh lukaku kemarin, hari ini dan esok hari....
Tuhanku...
aku merinduMu dalam setiap nafasku....
Pondok Kacang, 30 Agustus 2010
Sunday, August 29, 2010
Monday, August 16, 2010
Penjual Bendera
CERPEN
Masih ada sisa rasa kering tempe nikmat, di dalam mulutnya. Hari ini Rahmat hanya sahur nasi hangat dan kering tempe yang dicampur ikan asin teri. Makan pada jam-jam segitu memang harus sedikit memaksa diri, karena nafsu makan belum normal seperti jam-jam sarapan pagi pada umumnya. Apalagi kalau lauknya apa adanya. Namun, kalau tidak sahur, tentulah dia akan lemas, karena harus bekerja, menjadi penjual bendera keliling.
Rahmat menghitung bendera-bendera yang masih utuh di dalam kantong plastic. Dimasukkan ke dalam tas dan digantung di stang sepeda. Beberapa bambu bercat putih merah, yang disandarkan di balik pintu, diangkatnya dan diikat kuat di sepeda dari stang sampai boncengan belakang..
Sekilas, dia melihat anak kembarnya Yanti dan Yanto yang berumur empat tahun masih meringkuk nikmat di kasur busa yang terbentang di lantai kontrakan rumah petak itu. Tak tega rasanya melihat mereka, lalu dipalingkan wajahnya dari buah hatinya.
Tahun ini jualan bendera begitu sepi. Istrinya sewaktu sahur tadi mulai bercerita naiknya harga-harga bahan pangan. Rahmat tahu, istrinya tak bermaksud mengeluh, tetapi kenyataan pahit itu memang sedang terjadi pada saat ini.
“Hanya tempe dan tahu yang tidak naik, Mas,” katanya saat sahur tadi sambil menyendok kering tempe ke piringnya.
“Beras ?” tanya Rahmat.
“Naik sekitar seribu perkilogram, aku tadi beli yang paling murah, 5500 perkilo,” tukas istrinya.
Keluhan semacam itu, kadang hanya membuatnya merasa getir. Bulan Agustus, adalah salah satu harapannya, untuk meraup keuntungan yang agak lumayan. Tahun kemarin, dia mendapatkan pesanan lima ratus bendera dari salah satu pengurus lomba kelurahan. Dan keuntungan dari itu, dibelikan sebuah sepeda motor lawas yang mesinnya masih bagus. Juga disisihkan untuk modal.
Ketika bulan Agustus tahun ini datang, harapan itu juga muncul. Tetapi ternyata dia salah, bulan agustus bertepatan dengan bulan puasa, sehingga kegiatan agustusan kurang begitu ramai seperti tahun-tahun sebelumnya. Bahkan sampai 15 hari berjualan bendera baru laku dua tiang dan enam bendera.
Selain bulan Agustus, Rahmat, biasanya berjualan daster dan baju-baju anak-anak keliling kampong. Bodohnya, semua modal yang dia miliki sudah dibelikan bendera dan tiangnya, hingga hanya pada benda-benda tersebutlah harapannya.
Hari ini, adalah hari ke enam belas bulan agustus, ini adalah hari terakhir berjualan bendera. Meski dengan berat, dia mengayuh sepedanya perlahan, berkeliling dari kampong ke kampong. Suasana sepi, umbul-umbul dan bendera tidak seramai tahun-tahun sebelumnya. Dia berharap ada keramaian lomba-lomba, tetapi tak ada satu tempatpun yang mengadakan lomba-lomba.
Sudah jam dua siang, belum ada satu bendera pun yang laku. Akhirnya Rahmat memutuskan untuk pulang ke rumah. Dengan tangan hampa. Sesampai di rumah dia melihat istrinya sedang berlutut mencuci sepeda motor buntutnya. Lalu berdiri menemuinya dan matanya nanar berharap suaminya akan memberinya uang untuk belanja.
“Laku berapa ?” Tanya istrinya sambil membantu mengangkut tiang bendera ditu masuk rumah kontrakannya.
“Sepi, tak ada yang beli satupun,” kata Rahmat.
Istrinya diam. Tetapi Rahmat melihat mata itu berkaca-kaca. Itu artinya tak ada yang bisa dimasak untuk berbuka. Kemudian Rahmat memanggil istrinya, lalu membisikkan sesuatu sambil memandangi dua anaknya yang sedang bermain di ruang tamu. Istrinya mengangguk dan membawa dua bocah kembar itu ke kamar mandi.
Tak beberapa lama mereka sudah meluncur dengan sepeda motor tua itu. Angin sore lembut mendesir diantara riuhnya suasana Ramadhan. Di perempatan jalan, ibu-ibu menenteng tas-tas belanjaan yang sarat dengan bahan-bahan pangan. Anak-anak ikut dan membawa balon atau mainan diantara riuh rendahnya pasar tiban itu.
Tetapi Rahmat tidak berhenti di situ, meskipun dua anaknya menunjuk-nunjuk balon-balon aneka warna itu minta dibelikan.
“Pak beli balon,” kata Yanti.
“Aku juga,” kata Yanto.
“Tidak nak, Bapak tak punya uang,” kata Rahmat.
“Nanti kalau punya uang dibeliin deh,” kata istrinya.
“Kita mau kemana Pak ?” tanya salah satu bocah itu.
“Diamlah, sebentar lagi sampai,” kata Rahmat.
Lima menit kemudian, motor tua itu masuk gerbang sebuah masjid besar nan indah. Rahmat memarkir sepeda motor itu dan menggandeng dua anaknya menuju masjid. Masjid sungguh ramai. Anak-anak kecil berlarian di beranda dan halaman masjid. Para orang tua duduk tafakur di antaranya. Ada yang merebahkan diri sambil merasakan semilir angin, dari kipas angin besar yang dipasang di langit-langit. Rahmat dan istrinya duduk saja di lantai keramik, sambil mengawasi Yanti dan Yanto berlarian senang.
Tak beberapa lama, dua laki-laki membawa 2 kardus besar mendekati mereka berdua, ternyata mereka petugas masjid yang membagikan takjil.
“Berapa orang, tanya laki-laki muda berpeci itu ?”
“Empat,” kata Rahmat pasti.
Laki-laki muda itu mengeluarkan empat gelas plastic berisi es buah yang warna-warni memikat. Lalu mengeluarkan empat kotak nasi dari kardus yang lain. Setelah itu mereka berpindah pada orang-orang yang lain di beranda masjid itu.
Sebentar lagi Adzan Maghrib, es buah milik Yanti dan Yanto sudah habis tanpa sisa, dan mulai meminta jatah milik ibunya. Tetapi Rahmat melarang, “makan nasinya, jangan es buah saja.”
Anak-anak itu menurut. Mereka memakan dengan lahap. Rahmat memandanginya dengan hati yang teriris. Adzan bergema. Rahmat memandangi istrinya. Matanya nanar menahan kegetiran dalam dada.
“Ayo berbuka, istriku,” katanya.
Istrinya mengangguk, lalu dengan lahap mereka menikmati buka puasa hari itu. Selepas sholat maghrib, mereka kembali pulang. Perlahan Rahmat melarikan sepeda motor itu, untuk hari ini, sudah cukuplah bisa berbuka dengan nikmat. Tidak tahu, apa yang akan terjadi esok hari. Besok adalah tanggal 17 Agustus, tidak mungkin jual bendera lagi, karena sudah tak ada yang membutuhkan bendera. Rahmat pasrah, dia yakin, pasti akan menemukan jalannya.
Pondok Kacang 17 Agustus 2010
Masih ada sisa rasa kering tempe nikmat, di dalam mulutnya. Hari ini Rahmat hanya sahur nasi hangat dan kering tempe yang dicampur ikan asin teri. Makan pada jam-jam segitu memang harus sedikit memaksa diri, karena nafsu makan belum normal seperti jam-jam sarapan pagi pada umumnya. Apalagi kalau lauknya apa adanya. Namun, kalau tidak sahur, tentulah dia akan lemas, karena harus bekerja, menjadi penjual bendera keliling.
Rahmat menghitung bendera-bendera yang masih utuh di dalam kantong plastic. Dimasukkan ke dalam tas dan digantung di stang sepeda. Beberapa bambu bercat putih merah, yang disandarkan di balik pintu, diangkatnya dan diikat kuat di sepeda dari stang sampai boncengan belakang..
Sekilas, dia melihat anak kembarnya Yanti dan Yanto yang berumur empat tahun masih meringkuk nikmat di kasur busa yang terbentang di lantai kontrakan rumah petak itu. Tak tega rasanya melihat mereka, lalu dipalingkan wajahnya dari buah hatinya.
Tahun ini jualan bendera begitu sepi. Istrinya sewaktu sahur tadi mulai bercerita naiknya harga-harga bahan pangan. Rahmat tahu, istrinya tak bermaksud mengeluh, tetapi kenyataan pahit itu memang sedang terjadi pada saat ini.
“Hanya tempe dan tahu yang tidak naik, Mas,” katanya saat sahur tadi sambil menyendok kering tempe ke piringnya.
“Beras ?” tanya Rahmat.
“Naik sekitar seribu perkilogram, aku tadi beli yang paling murah, 5500 perkilo,” tukas istrinya.
Keluhan semacam itu, kadang hanya membuatnya merasa getir. Bulan Agustus, adalah salah satu harapannya, untuk meraup keuntungan yang agak lumayan. Tahun kemarin, dia mendapatkan pesanan lima ratus bendera dari salah satu pengurus lomba kelurahan. Dan keuntungan dari itu, dibelikan sebuah sepeda motor lawas yang mesinnya masih bagus. Juga disisihkan untuk modal.
Ketika bulan Agustus tahun ini datang, harapan itu juga muncul. Tetapi ternyata dia salah, bulan agustus bertepatan dengan bulan puasa, sehingga kegiatan agustusan kurang begitu ramai seperti tahun-tahun sebelumnya. Bahkan sampai 15 hari berjualan bendera baru laku dua tiang dan enam bendera.
Selain bulan Agustus, Rahmat, biasanya berjualan daster dan baju-baju anak-anak keliling kampong. Bodohnya, semua modal yang dia miliki sudah dibelikan bendera dan tiangnya, hingga hanya pada benda-benda tersebutlah harapannya.
Hari ini, adalah hari ke enam belas bulan agustus, ini adalah hari terakhir berjualan bendera. Meski dengan berat, dia mengayuh sepedanya perlahan, berkeliling dari kampong ke kampong. Suasana sepi, umbul-umbul dan bendera tidak seramai tahun-tahun sebelumnya. Dia berharap ada keramaian lomba-lomba, tetapi tak ada satu tempatpun yang mengadakan lomba-lomba.
Sudah jam dua siang, belum ada satu bendera pun yang laku. Akhirnya Rahmat memutuskan untuk pulang ke rumah. Dengan tangan hampa. Sesampai di rumah dia melihat istrinya sedang berlutut mencuci sepeda motor buntutnya. Lalu berdiri menemuinya dan matanya nanar berharap suaminya akan memberinya uang untuk belanja.
“Laku berapa ?” Tanya istrinya sambil membantu mengangkut tiang bendera ditu masuk rumah kontrakannya.
“Sepi, tak ada yang beli satupun,” kata Rahmat.
Istrinya diam. Tetapi Rahmat melihat mata itu berkaca-kaca. Itu artinya tak ada yang bisa dimasak untuk berbuka. Kemudian Rahmat memanggil istrinya, lalu membisikkan sesuatu sambil memandangi dua anaknya yang sedang bermain di ruang tamu. Istrinya mengangguk dan membawa dua bocah kembar itu ke kamar mandi.
Tak beberapa lama mereka sudah meluncur dengan sepeda motor tua itu. Angin sore lembut mendesir diantara riuhnya suasana Ramadhan. Di perempatan jalan, ibu-ibu menenteng tas-tas belanjaan yang sarat dengan bahan-bahan pangan. Anak-anak ikut dan membawa balon atau mainan diantara riuh rendahnya pasar tiban itu.
Tetapi Rahmat tidak berhenti di situ, meskipun dua anaknya menunjuk-nunjuk balon-balon aneka warna itu minta dibelikan.
“Pak beli balon,” kata Yanti.
“Aku juga,” kata Yanto.
“Tidak nak, Bapak tak punya uang,” kata Rahmat.
“Nanti kalau punya uang dibeliin deh,” kata istrinya.
“Kita mau kemana Pak ?” tanya salah satu bocah itu.
“Diamlah, sebentar lagi sampai,” kata Rahmat.
Lima menit kemudian, motor tua itu masuk gerbang sebuah masjid besar nan indah. Rahmat memarkir sepeda motor itu dan menggandeng dua anaknya menuju masjid. Masjid sungguh ramai. Anak-anak kecil berlarian di beranda dan halaman masjid. Para orang tua duduk tafakur di antaranya. Ada yang merebahkan diri sambil merasakan semilir angin, dari kipas angin besar yang dipasang di langit-langit. Rahmat dan istrinya duduk saja di lantai keramik, sambil mengawasi Yanti dan Yanto berlarian senang.
Tak beberapa lama, dua laki-laki membawa 2 kardus besar mendekati mereka berdua, ternyata mereka petugas masjid yang membagikan takjil.
“Berapa orang, tanya laki-laki muda berpeci itu ?”
“Empat,” kata Rahmat pasti.
Laki-laki muda itu mengeluarkan empat gelas plastic berisi es buah yang warna-warni memikat. Lalu mengeluarkan empat kotak nasi dari kardus yang lain. Setelah itu mereka berpindah pada orang-orang yang lain di beranda masjid itu.
Sebentar lagi Adzan Maghrib, es buah milik Yanti dan Yanto sudah habis tanpa sisa, dan mulai meminta jatah milik ibunya. Tetapi Rahmat melarang, “makan nasinya, jangan es buah saja.”
Anak-anak itu menurut. Mereka memakan dengan lahap. Rahmat memandanginya dengan hati yang teriris. Adzan bergema. Rahmat memandangi istrinya. Matanya nanar menahan kegetiran dalam dada.
“Ayo berbuka, istriku,” katanya.
Istrinya mengangguk, lalu dengan lahap mereka menikmati buka puasa hari itu. Selepas sholat maghrib, mereka kembali pulang. Perlahan Rahmat melarikan sepeda motor itu, untuk hari ini, sudah cukuplah bisa berbuka dengan nikmat. Tidak tahu, apa yang akan terjadi esok hari. Besok adalah tanggal 17 Agustus, tidak mungkin jual bendera lagi, karena sudah tak ada yang membutuhkan bendera. Rahmat pasrah, dia yakin, pasti akan menemukan jalannya.
Pondok Kacang 17 Agustus 2010
Saturday, August 7, 2010
Sekolah Convent vs Sekolah Agama
Ok...saya dulu bersekolah di sekolah Kebangsaan jenis biasa,cuma masa form 4 dengan 5 tue saya masuk sekolah elit sains Tulen,hanya yang dapat cemerlang PMR je dapat enter sekolah tue...alhamdulillah diberi rezeki...dan sekolah tue mmg best la..Smk Bandar Putra,Kulai,Johor..Topik nak bincang kat sini bukanlah tentang sekolah saya ni...tetapi nak bincangkan sekolah jenis Convent atau Saint dengan
Sikapku yang suka menentang dan degil...
Ingin saya berkongsi sikap saya yang suka menentang dan degil....sewaktu zaman persekolah di Kuala Lumpur di smk Wangsa Melawati saya adalah student yang nakal...suka cari pasal...mana tak nya...waktu belajar saya ke kantin makan,memang suka melanggar peraturan...Ingat lagi sewaktu ada kelas tambahan,saya tak nak pakai tudung ke sekolah,saya kata saya tak suka jangan paksa...saya percaya semua
Kisah pencariaanku(2)
Eem...sambungannya...ok..bila di Matrik...ni yang best nie...di sana,kawan-kawan semuanya baik-baik...boleh dikatakan kawan-kawan yang saya rapat semuanya pelajar dari sekolah agama(Smka)...saya suka kawan dengan mereka sebab pelik...dulu saya sekolah biasa je,sekolah sains tulen,jadi kawan dengan budak-budak dari sekolah agama ni best...sebab mereka rajin..kawan saya wani,lina,fiza,mimi...fuh...