CERPEN
Turun dari bus antar kota, aku membopong Evily, puteriku, menuju kampus yang berjarak seratus meter dari jalan raya. Bangunan megah itu telah membuatku begitu asing. Dimanakah warung-warung soto yang dulu berjajar di sepanjang pagar itu. Dimanakah toko-toko foto kopi dengan dinding papan yang berjajar liar di tanah kosong depan kampus.
Pemandangan kumuh itu sudah disulap menjadi toko-toko bagus dengan papan-papan nama menarik. Aku menghela nafas dengan segala perubahan itu. Beberapa tukang beca menawarkan jasa, aku menggeleng, tersenyum, agar mereka mengerti aku benar-benar tak membutuhkan jasa mereka.
Aku memasuki gerbang, berbasa-basi dengan para satpam, lalu menyusuri jalanan kampus yang rindang oleh pepohonan. Daun-daun berserakan dimana-mana. Dan bunga-bunga yang di tanam di pot-pot tampak tak terawat. Aku terus melangkah sambil menahan berat Evily, puteriku yang berumur empat tahun dengan berat badan hampir 18 kilo. Selalu merajuk dan manja, bila berada di lingkungan baru yang asing.
Aku memasuki kantin. Terus memesan teh hangat buat Evily dan secangkir kopi hitam untuk diriku. Lalu aku mengeluarkan telepon genggamku. Kuhidupkan, memang sengaja aku matikan sejak aku naik bus. Bukan karena takut di copet, bukan karena terganggu, tetapi aku hanya ingin menikmati perjalanan dua jam dengan bus itu dengan tenang.
"Aku sudah di kantin," aku melemparkan pesan ke mobile phone Safira.
"Oke, setengah jam lagi aku meluncur, masih menunggui ujian," jawab Safira.
"Siip..." balasku.
Seorang perempuan berjalan dengan anggun menuju kantin. Mahasiwa yang berjajar di bangku depan kantin menyapanya dengan ramah. Perempuan itu tersenyum. Wajah itu tak berubah. Wajah serius yang dingin. Keras dengan pendirian, berbalikan dengan penampilannya yang anggun dan lembut menawan.
***
Melambungkan angkanku beberapa tahun silam ketika masih terus berhubungan dengan intens dengannya. Di kantin ini dulu aku dan Safira selalu bersama. Kantin ini belum sebagus sekarang. Penjaganya pun sudah ganti semua. Muda-muda dan trendi.
"Mahasiswa tetap saja tidak berubah, begini-begini saja," katanya.
"Maksudmu ?" tanyaku.
"Mahasiwa dipisahkan dengan politik, mahasiwa tak boleh membahas politik, itu adalah penghianatan terhadap kaum muda," katamu.
"Orde Baru ya begini ini," kataku.
"Apa jadinya kalau mahasiswa hanya menjadi anak manis yang kuliah hanya untuk memperoleh pekerjaan yang layak, siapa yang akan mengurus kebobrokan negara ini ?" katamu.
"Oh, itu..." jawabku pendek, sambil menghisap rokokku.
"Kapan kamu akan berhenti merokok, Tih," katanya.
"Nanti kalau hamil," kataku ringan.
"Nggak kapok-kapok, kamu kan ditinggalkan Firman karena barang sialan itu," ujarnya geram.
"Sudahlah, pikirkan dirimu sendiri, ini urusanku," kataku.
"Baik, sorry," katamu lagi.
"Ok, kita tak usah bahas masalah rokok, kita akan sama-sama gila nanti," putusku.
Suasana kantin yang ramai, makanan murah yang menjadi kegemaran kami, semua menemani kenangan itu. Semangkuk bakso tanpa saos dan kecap adalah kesukaanmu. Sedangkan aku, selalu saja memesan mie ayam, dengan potongan-potongan ayam kecil-kecil.
"Makanan tidak bergizi," katamu.
Aku diam, dan terus makan, saking laparnya.
"Banyak msg supaya enak, padahal msg itu berbahaya," tambahmu.
"Nggak ada bedanya dengan makanan di depanmu," kataku.
"Hahahah..." kami pun tertawa.
"Kau ini membuatku jengkel, tetapi ilmiah," kataku.
Selalu saja penuh kegelisahan dengan situasi sekitar. Itulah kamu, Safira. Selalu saja tertekan dengan kemunafikan di sekitarmu. Memberontak pada keadaan. Itulah dirimu. Aku mengerti, semua kegelisahan itu yang membuatmu selalu istimewa di depanku. Semua kegelisahan itu membuat kau selalu berbeda dengan perempuan lain.
***
Ketukan irama sepatumu di lantai kantin mulai mendekat. Aku masih diam dengan majalahku. Tetapi batinku berdebar, karena aku tahu kamu datang.
"Ratiiiiihh..." katamu gegap gempita.
Aku berdiri. Berjalan ke arahmu. Perempuan tinggi, langsing dengan lipstik merah muda. Anggun dengan jilbab warna merah tua dengan pinggiran manik-manik keemasan. Aku membuka tanganku untuk memeluknya.
"Safiraaa... I miss you..." kataku memeluknya. Erat.... Sangat erat.
Anakku Evily ikutan berdiri bergelayut di kakiku.
"Oh, siapa princess kecil ini ?" katamu melepaskan pelukan dan memegang tangan Evily yang bersembunyi di belakangku.
"Aku Evily," jawab anakku.
Safira berusaha memeluknya, tetapi Evily berusaha menghindar.
"Dia butuh penyesuaian kalau bertemu orang baru," kataku.
"Oh, baiklah... senang bertemu denganmu, Evily," katanya kemudian sambil melambaikan tangan.
Aku mengangkat tubuh Evily dan mendudukkan di kursinya kembali. Aku buka laptopku dan ku taruh di meja depan Evily. Puteri kecilku pun mencari game kesukaannya. Ah, begitulah caraku agar Evily tidak rewel. Dan siap-siap mendapatkan kritik dari perempuan cantik di depanku ini.
Tetapi kritikan itu tak muncul. Seorang penjaga kantin membawakan kopi untuk Safira. Aku sedikit kaget. Dia melirik kopiku yang tinggal setengah. Setelah penjaga kantin meletakkan kopinya, dia meniupnya dan menghirupnya perlahan. Nggak mungkin. Nggak mungkin Safira memesan kopi. Kopi adalah makhluk yang tidak ideal bagi hidupnya.
"Kenapa Tih ?" tanyanya mengagetkanku. Betul, dia bisa membaca pikiranku.
"Oh, nggak, kupikir kau benci kopi," kataku jujur dan tergagap.
"Delapan tahun belakangan membuatku mencintai kopi," katanya.
"Baik."
Kami kemudian tenggelan di pikiran masing-masing untuk sesaat. Ada hal-hal asing yang menyelinap di dalam sanubariku. Perempuan di depanku ini, sahabat semasa kuliah dulu, seseorang yang selalu berada di garis lurus, sehingga harus menghadapi pemberontakan-pemberontakan terhadap hidup.
"Gimana pekerjaanmu ?" tanyaku.
"Baik, mengajar, penelitian, menulis laporan, dan berdiskusi dengan para mahasiswa yang selalu ingin tahu," katanya.
"Hidup yang indah," kataku.
"Kamu ?" tanyanya.
"Oh, sesuatu yang berbeda, cita-citaku adalah menaklukkan dunia ini, mengalahkan setiap laki-laki, tetapi sekarang berubah, setelah ada anak-anak, aku memilih untuk menjaga mereka, aku menjadi ibu rumah tangga," kataku.
"Memberontak dari dirimu sendiri ?" katanya.
"Tidak sama sekali, memberontak agar ibu rumah tangga tidak terpinggirkan sebagai manusia kelas kedua," kataku.
"Great.." ujarnya.
"Apa kabar kampus ?" tanyaku.
"Menyebalkan, lebih konsevatif, daripada semasa dulu, ada kelopok-kelompok politis yang tidak mau kalah, merasa benar sendiri, dan membodohi kami semua," katanya.
"Ooh..."
"Sungguh memuakkan, tetapi apa harus dikata, itulah keadaan kampus saat ini, setiap ada yang memaksakan kehendak, maka akan menyakiti pihak yang lainnya," ujar Safira geram.
"Siapa mereka ?" tanyaku.
"Mereka sudah menguasai masjid," katanya.
"Oh, aku tahu, aku tahu siapa mereka yang kamu maksudkan," ujarku.
"Seakan kalaumengikuti mereka, ada jaminan masuk surga," katanya lagi.
"Oh, mereka memang begitu, biar saja, kalau tak ada tempat di surga buat kita, kan masih ada neraka," jawabku. Kami pun tertawa.
Angin memburai lembut. Evily masih sibuk dengan lap topku. Dan aku sudah menghabiskan kopi keduaku. Tetapi aku melihat ada kegetiran di wajah itu. Wajah yang selalu mendebarkanku, karena kerasnya mensikapi hidup.
"Berapa anakmu, Tih ? " tanyanya.
"Dua, satu laki-laki satu perempuan, Evily adalah anak keduaku," kataku.
"Kamu ?" tanyaku.
"Satu, tetapi Ilham butuh penanganan khusus," katanya.
"Oh, kenapa ?" tanyaku.
"Dia autis," jawabnya.
"Oh, sayang.... seseorang yang istimewa bukan ?" kataku dengan nada berat.
"Dia delapan tahun, " katanya.
"Seusia anak sulungku," ujarku.
Aku mengerti, itulah mengapa dia minum kopi delapan tahun terakhir ini. Aku melihat matanya berkaca-kaca. Aku melihat pemberontakan itu. Tetapi kemudian aku raih tangannya.
"Tahu nggak, kamu itu sangat spesial buat aku, dan hidupmu selalu spesial," kataku.
Dia tersenyum getir. Aku memandanginya lekat-lekat agar dia memahami bahwa aku mengaguminya sebagai seorang perempuan yang kuat. Perempuan dengan ujian sepanjang hidupnya. Aku iri, karena aku tahu Tuhan selalu disisimu untuk mencintaimu, mengelusmu dengan cambukan-cambukan kecilNya. Kamulah yang terpilih, Safira. Angin menerobos jendela kantin, membuat jantungku makin berdebaran...
Ambarawa, 1 Juli 2011
No comments:
Post a Comment