CERPEN
Aku memarkir sepeda motor maticku di ujung pelataran parkir. Memilih tempat yang teduh, agar motor kesayanganku itu tidak kepanasan. Seorang tukang parkir mendekatiku, tersenyum, dan aku membalasnya denga ramah.
"Selamat pagi, Pak," kataku pada lelaki tua beruban di atas kedua telinganya itu.
"Pagi Bunda," katanya.
Aku melangkah memasuki gerbang salon, yang di kanan kirinya dipajang patung penari Bali perempuan ukuran sedang. Seorang perempuan berseragam necis menghampiriku. Lalu mengeluarkan buku daftar hadir.
"Lulur dan facial ya Mbak," kataku.
"Bu Jessy, urutan kedua," jawabnya.
"Oh, baik, yang pertama siapa ?" tanyaku.
Resepsionis itu melirik perempuan setengah baya yang sedang berbicara di telepon. Perempuan itu, mengenakan stelan muslim yang mewah. Sepatu hak tinggi dengan manik-manik indah menghiasi depannya. Kerudungnya ditata dengan --menurutku sih-- aneh. Ribet. Make up-nya tebal, malah memberi kesan nggak pede.
Aku memperhatikan wajah perempuan itu, rasanya tak begitu asing. Dia mengenakan gelang-gelang emas yang gemerincing di kedua tangannya. Lehernya tergantung sebuah kalung emas dengan rantai tebal dan bandul besar.
Oh ya, aku mulai teringat. Kalung itulah yang membuatku ingat. Foto dia terpampang di mana-mana. Namanya Siti Widarti. Ya, nggak salah lagi, dialah perempuan di gambar-gambar di pinggiran jalan. Menempel di spanduk-spanduk yang membentang di setiap perempatan jalan. Perempuan itu calon walikota.
"Oohh..." gumanku.
Lalu resepsionis memanggil Murni. Perempuan yang biasa merawatku. Perempuan ini sudah hafal kebiasaanku, aku senang bersama Murni. Perempuan itu kalau bekerja hanya diam. Tidak banyak bicara. Itu yang membuatku suka padanya.
Aku berjalan menyusuri koridor samping rumah besar yang sudah disulap menjadi salon dan spa itu. Gemericik air dari pancuran buatan menambah suasana sejuk menawan. Kolam ikan memanjang, di tepian koridor, seperti sungai kecil,berisi puluhan ikan koi dengan warna warna terang.
Perempuan berseragam batik itu kemudian memasuki ruangan lulur. aku mengikutinya dari belakang. Ruangan itu lebar sekitar lima kali tiga meter, dan telah di sulap menjadi kamar-kamar dengan sekat-sekat kayu ukiran. Setiap kamar memiliki pintu dan di tutup dengan gorden batik berwarna hijau tua yang ranum.
Aku mengenakan kemben, dan berbaring tenang di kasur. Marni mulai mengoleskan minyak zaitun yang harum di kakiku. Dia mengurutnya perlahan.
"Jangan terlalu kuat," kataku.
"Baik, Bunda," jawabnya.
Musik mengalun lembut. Aku memejamkan mata untuk menikmati pijatan dan alunan musik itu. Seseorang tampak berjalan di lantai. Pasti dia memakai sepatu berhak tinggi dengan bahan kayu.
Suara itu, terhenti di kamar sebelah. Ada sedikit keributan yang terdengar. sesuatu terjatuh di lantai.
"Dasar bodoh, lihat pecahan kaca itu, untung tak melukai kakiku," suara seorang perempuan marah-marah.
"Maaf, Bu," seseorang menjawab.
Suasana tenang kembali. Aku masih menikmati alunan musik dan merasakan pijatan tangan Murni melonggarkan ototku. Namun ketenangan itu terusik oleh suara orang menelpon. Lagi-lagi dari perempuan di kamar sebelah.
"Usahakan agar dana itu keluar, gunakan segala cara untuk membujuk laki-laki itu. Kamu tahu, semua kesuksesan kampanyeku tergantung pada dana itu. Ingat, aku tak mau menggunakan dana pribadi untuk kampanye ini!"
Aku nyaris ingin menutup kedua telingaku. Calon walikota, bisa nggak sih bersikap tenang di tempat umum seperti ini. Namun dia tiada berhenti menelpon. Marah-marah dan memaki-maki.
"Kamu ini punya otak enggak sih, bayar semua wartawan, beri mereka beberapa dolar, ajak mereka makan di kafe, kalau perlu bawa mereka karaokean, ke diskotik ataupun tempat-tempat mesum," katanya.
"Saya ingin, seminggu menjelang pemilihan, di semua kepala orang sudah tertanam namaku. Beli mereka semua, jangan sampai ini gagal, kita sudah setengah perjalanan," ujarnya.
"Baik, saya dikte ya, kira-kira begini releasenya : Tekhnologi telah menganugerahi masyarakat dengan berbagai fasilitas kehidupan. Dari situlah muncul masyarakat baru dengan kapasitas intelektual yang semakin maju. Namun, teknologi kadang membawa masyarakat pada semua keburukan, seperti merebaknya pornografi, di internet, di HP-HP canggih dan lain-lain. Oleh karena itu, masyarakat harus membentengi semua itu dengan keimanan, selalu mawas diri dan mendekatkan diri kepada Alloh. Saya berharap akan bisa membangun masyarakat modern, terdidik, namun tetap bertaqwa kepada Alloh yang Maha Pemurah, sekian, terima kasih..."
"Intinya katakan kepada publik kalau aku ini tidak menolak teknologi, tetapi juga akan menciptakan masyarakat yang beragama," katanya.
Aku masih diam. Jujur saja, suara calon walikota itu, mengganggu konsentrasiku menikmati lagu-lagu indah itu. Terdengar suara lagi.
"Heee mbak, ini lulur apaan ?" seorang perempuan membentak.
"Aroma apel," kata perempuan dengan suara merendah.
"Anda ini bodoh ya, pernah sekolah enggak sih ?" perempuan penelpon itu berteriak.
"Oh, maaf, saya kira ibu meminta aroma apel," kata perempuan lain dengan suara rendah.
"Salon murahan, tidak profesional," umpatnya.
"Sekali lagi maaf, Bu, saya akan menggantinya dengan aroma......" perempuan itu tak meneruskan kalimatnya.
"Saya mau lulur tradisional," katanya dengan nada tinggi.
Murni, kulihat ikut gugup. Sejenak pijatannya berhenti. Namun kemudian dia meneruskan lagi dan hanya menunduk.
"Calon walikota, kok seperti itu ya," kataku berbisik.
"Dia mah biasa, sukanya marah-marah dan maki-maki, saya pernah sekali kena marah, hanya karena lupa menaruh handuk di kamar mandi," kata Marni.
"Payah..." gumanku.
***
Dua jam berlalu. Selesai sudah sesi lulur sekalian facial. Setelah mandi, aku membenahi bedakku, memberikan tip buat Murni, lalu keluar kamar dan berjalan menuju resepsionis. Aku menyusuri koridor dengan sungai kecil buatan di sepanjang tepinya. Dari arah belakang, ada langkah perempuan bersepatu hak tinggi dengan sedikit tergesa. Perempuam itu sibuk dengan barang-barang di tangannya. Tampaknya dia sedang memencet-mencet telepon genggamnya.
Aku menunggu perempuan itu berjalan mendahuluiku. Saat dia berada di sebelahku, aku berlagak terjatuh dan mendorong badan gemuknya ke samping. Karena tak seimbang, perempuan itu oleng dan terjatuh di sungai buatan penuh ikan koi yang berbau amis itu.
Dia terjengkang. Kaget dengan peristiwa yang tak pernah diperkirakannya. Lalu tubuhnya terguling pelan dan masuk ke air.
Aku segera berdiri, kupandangi wajahnya, basah oleh air. Tubuhnya juga, baju mewahnya penuh dengan lumut hijau kehitaman.
"Kurang ajar kau," katanya padaku.
"Itulah upah yang pantas untuk perempuan busuk macam kamu," kataku.
"Sialan kau, siapa kau," teriaknya.
"Ha ha ha....." aku tertawa dan bergegas meninggalkannya. Dua orang petugas salon mendatanginya dan mencoba menariknya dari kolam buatan itu.
Setelah membayar ongkos lulur di kasir, aku melarikan sepeda motor maticku perlahan. Pepohonan berayun-ayun lembut menyambut panasnya siang. Dan spanduk-spanduk bergambar perempuan dengan senyum palsunya melambai di mana-mana. Aku masih membayangkan tubuh perempuan itu basah kuyup, alangkah sialnya hari ini...
Jakarta, 30 September 2011
No comments:
Post a Comment