Biasanya dia disebut: Mu'allim & Ustadz Tahukah Anda, apakah Ustadz itu?
Pakaiannya, biasanya lusuh, tapi bersih! Tidak robek, walaupun ada yang bertambal tapi hampir tak kelihatan. Air mukanya jernih, walaupun agak pucat. Setiap hari dia pergi ke madrasahnya. Berjalan kaki beberapa kilometer, paling banter bersepeda melalui jalan kampung yang penuh lubang berbatu-batu.¾ hari dia berdiri di hadapan kelas atau bermain dengan "anak-anak" nya.
Sekali-kali ia turut melompat berlari-lari. Anak-anaknya memanggilnya: "Bapak".
Di ikutinya pertumbuhan muridnya, meningkat dari kelas ke kelas. Sampai mereka tamat belajar, masuk masyarakat. Diiringinya dengan do'a supaya mereka "Menjadi orang yang bertaqwa kepada Tuhan, berguna bagi masyarakat & Negara", dan supaya "Mereka akan menjadi lebih pintar dari gurunya sendiri". Dia tetap tinggal, menunggu "Pos-nya" : MENERUSKAN PENDIDIKAN MEREKA YANG BELUM SELESAI DAN MENGGANTIKAN YANG TELAH PERGI.
Malam jum'at (Petang Kamis) ia bertabligh, menghadapi orang dewasa & ½ tua.
Fasih lidahnya membawakan ayat & hadits. Terkadang terdengar peringatan & kabar ancaman dari mulutnya. Kemudian, dibuainya hadirin dengan berita gembira & harapan baik.
Selama ia di muka kelas, ia gembira dan memancarkan kegembiraan kepada kehidupan di sekelilingnya. Selama ia di atas mimbar tangis & gelak umat ada di tangannya. Di ayunkannya silih berganti, menurut saat & waktu yang dipilihnya sendiri.
Tetapi setiap dzhuhur, setelah murid yang penghabisan meninggalkan kelas, kecut hatinya menuju pulang. Setiap kali ia turun mimbar, ngilu kakinya menginjak tanah. Ingat akan dapur yang tak berasap. Sebentar ia menggigit bibir menelan ingatan yang datang melintas.
Dan besok ia kembali ke hadapan kelas, tempat ia melipur hati, menenggelamkan diri dalam kewajiban. Ia kembali menaiki mimbar mencari kekuatan baru dari kata anjuran & pesanannya sendiri, yang dibawanya untuk orang lain.
Ada satu hal yang sukar terlihat di air mukanya : Kesusahan dirinya sendiri. Ada sesuatu yang pantang terdengar dari bibirnya : Keluh-kesah. Orang pun tak begitu pula memperhatikan soal-soal yang demikian itu.
Orang menganggap satu & lainnya adalah sudah semestinya begitu. Bukankah dia bekerja "Lillahi Ta'ala", mengharapkan "keridhoan Ilahi".
Masyarakat menggaji mereka dengan ucapan : "Karena Allah". Bilamana ia meminta perhatian masyarakat bagi usaha menyuburkan madrasahnya, seringkali ia mendapat advis yang banyak, perkataan yang baik-baik.
Saudaraku,
Kenapa masyarakat begitu kejam, untuk pahlawan yang tak dikenal semacam ini yang masih puluhan ribu bertebaran di tengah-tengah umat kita. Padahal mereka tempat orang bertanya, tempat memulangkan berbagai soal. Soal agama & soal Dunia dan tempat si kecil menumpahkan kepercayaan?
Saudaraku,
Saudara berdosa membiarkan para pahlawan ini hanyut dalam perjuangan hidup !!
Pakaiannya, biasanya lusuh, tapi bersih! Tidak robek, walaupun ada yang bertambal tapi hampir tak kelihatan. Air mukanya jernih, walaupun agak pucat. Setiap hari dia pergi ke madrasahnya. Berjalan kaki beberapa kilometer, paling banter bersepeda melalui jalan kampung yang penuh lubang berbatu-batu.¾ hari dia berdiri di hadapan kelas atau bermain dengan "anak-anak" nya.
Sekali-kali ia turut melompat berlari-lari. Anak-anaknya memanggilnya: "Bapak".
Di ikutinya pertumbuhan muridnya, meningkat dari kelas ke kelas. Sampai mereka tamat belajar, masuk masyarakat. Diiringinya dengan do'a supaya mereka "Menjadi orang yang bertaqwa kepada Tuhan, berguna bagi masyarakat & Negara", dan supaya "Mereka akan menjadi lebih pintar dari gurunya sendiri". Dia tetap tinggal, menunggu "Pos-nya" : MENERUSKAN PENDIDIKAN MEREKA YANG BELUM SELESAI DAN MENGGANTIKAN YANG TELAH PERGI.
Malam jum'at (Petang Kamis) ia bertabligh, menghadapi orang dewasa & ½ tua.
Fasih lidahnya membawakan ayat & hadits. Terkadang terdengar peringatan & kabar ancaman dari mulutnya. Kemudian, dibuainya hadirin dengan berita gembira & harapan baik.
Selama ia di muka kelas, ia gembira dan memancarkan kegembiraan kepada kehidupan di sekelilingnya. Selama ia di atas mimbar tangis & gelak umat ada di tangannya. Di ayunkannya silih berganti, menurut saat & waktu yang dipilihnya sendiri.
Tetapi setiap dzhuhur, setelah murid yang penghabisan meninggalkan kelas, kecut hatinya menuju pulang. Setiap kali ia turun mimbar, ngilu kakinya menginjak tanah. Ingat akan dapur yang tak berasap. Sebentar ia menggigit bibir menelan ingatan yang datang melintas.
Dan besok ia kembali ke hadapan kelas, tempat ia melipur hati, menenggelamkan diri dalam kewajiban. Ia kembali menaiki mimbar mencari kekuatan baru dari kata anjuran & pesanannya sendiri, yang dibawanya untuk orang lain.
Ada satu hal yang sukar terlihat di air mukanya : Kesusahan dirinya sendiri. Ada sesuatu yang pantang terdengar dari bibirnya : Keluh-kesah. Orang pun tak begitu pula memperhatikan soal-soal yang demikian itu.
Orang menganggap satu & lainnya adalah sudah semestinya begitu. Bukankah dia bekerja "Lillahi Ta'ala", mengharapkan "keridhoan Ilahi".
Masyarakat menggaji mereka dengan ucapan : "Karena Allah". Bilamana ia meminta perhatian masyarakat bagi usaha menyuburkan madrasahnya, seringkali ia mendapat advis yang banyak, perkataan yang baik-baik.
Saudaraku,
Kenapa masyarakat begitu kejam, untuk pahlawan yang tak dikenal semacam ini yang masih puluhan ribu bertebaran di tengah-tengah umat kita. Padahal mereka tempat orang bertanya, tempat memulangkan berbagai soal. Soal agama & soal Dunia dan tempat si kecil menumpahkan kepercayaan?
Saudaraku,
Saudara berdosa membiarkan para pahlawan ini hanyut dalam perjuangan hidup !!
No comments:
Post a Comment