Aku masuk. Anak itu sedang rebahan di kasur sambil menonton film Naruto. Mengenakan celana pendek dan kaos abu-abu kesayangannya. Ketika kami bertatapan, aku melihat mata ketakutan. Aku ingin menanyakan suatu hal tentang penglihatanku tadi siang, tetapi aku takut dia marah. Lalu aku urungkan niat itu, sampai waktunya benar-benar tepat. Aku berharap penglihatanku yang salah. Entahlah. “Desta, sudah kamu kerjakan PR-mu?” tanyaku merapikan meja belajarnya. “Sudah,” jawabnya pendek. Aku duduk di pinggir tempat tidur, lalu aku pegang wajahnya. Anak ini sudah besar. “Mama jangan begitu,” ujarnya menepiskan tanganku. “Maaf, Mama hanya rindu,” kataku terus terang. “Aku bukan anak kecil lagi,” katanya lagi. “Ya aku tahu,” ujarku. “Sudah ya Ma, aku mau tidur,” katanya. Aku kaget, ketika tanpa sengaja, melihat ada tindikan di telinganya. Namun aku mencoba menyembunyikan kekagetan itu. Dia mematikan televisi. Lalu menyusup masuk ke dalam selimut. Aku merapikannya. Ketika aku akan mencium keningnya, tangan kurus itu menahan wajahku. Dia menolak ciumanku. Perlahan aku menuruni tangga. Ada rasa takut menyelimuti seluruh pikiranku. Aku duduk di meja makan, kuminta pembantuku membuatkan aku secangkir kopi. “Kental.” ujarku. Tak beberapa lama, kopi kental sudah tersaji. Rasanya baru kemarin, anak itu berlarian diantara kursi-kursi makan ini. Lalu dengan sepeda roda tiganya berputar kencang dan menabrak lemari makan. Dia jatuh berguling sambil tertawa-tawa. Sementara aku berlari dari kamar ingin menolongnya. Kuangkat tubuhnya, kuciumi mulutnya yang harum. “Hati-hati nak, jangan kencang-kencang,” kataku. “Nabrak, Ma, Eta nabrak..” katanya tertawa. Lalu kembali dia berlari ke arah sepedanya, menaikinya lagi, berputar lagi dan dengan sengaja menabrak lagi. Sampai akhirnya aku putuskan untuk menyembunyikan sepeda itu. Desta selalu duduk di ujung kursi itu. Memakan sop kesukaannya dengan tergesa. Dia selalu makan sendiri, biarpun belepotan kesana kemari. Semangkuk sop di meja makan selalu saja dihabiskannya. Desta sangat menyukai telur dadar, apalagi yang ditaburi irisan daun bawang. Hampir setiap hari aku membuat telur dadar. Setiap kali makan, dia menyisakan sepotong besar telur dadar untuk dimakan terakhir. “Jangan dimasukkan semua ke mulut, potong dulu,” kataku. Namun dia tetap memaksa potongan besar itu ke mulutnya. Hingga kedua pipinya menjadi gembul. Mulut kecil itu terus bergerak mengatur makanan di mulutnya yang terlalu besar. “Tuh, susahkan ngunyahnya, terlalu besar sih,” kataku. “Hmmm…uenak..” katanya sambil mengangkat jempol. Tetapi tindikan itu. Tindikan di telinga kanannya itu, merubah segalanya. Benarkah apa yang aku lihat siang tadi itu? Benarkah bayiku yang mungil itu sudah menjadi seorang punk? Benarkah mataku, atau hanya kesalahan. Berbohongkah dia padaku, bahwa dia pergi les gitar, tetapi ternyata berkumpul dengan teman-temannya dan menjadi menjadi seorang punk. Tak terasa air mataku meleleh perlahan. Dia anak laki-laki kami satu-satunya, dan aku dan suamiku sangat menyayanginya karena ketampanan dan kecerdasannya. Esoknya ketika suamiku sudah berangkat kerja, dan Desta juga sudah berangkat ke sekolah, aku masuk ke kamar Desta di lantai dua. Aku membuka lemari pakaiannya, dan tidak menemukan tanda-tanda disimpannya kostum punk di dalam situ. Lalu aku buka laci di meja belajarnya, tidak kutemukan apa-apa kecuali sekotak VCD game dan juga koleksi hot-wheelnya. Mataku tiba-tiba tertuju pada sebuah kursi berbetuk bola di ujung ruangan. Aku bolak-balik bola besar itu. Nah. Ada lubang sepanjang limabelas sentimeter. Aku memasukkan tanganku ke bola itu, benar ada sesuatu di sana. Sebuah ikat kepala bergambar tengkorak, sebuah kaos hitam bergambar tulang dan sebuah tas hitam kumal. Aku memasukkan kembali barang-barang itu dan merapikan lagi bola ke tempatnya. Sedangkan sepatu itu, aku pernah melihatnya, tetapi dimana? Kapan ? Aku terus berfikir, di sebuah kotak kardus tua. Ah bodohnya aku, kotak itu kotak peralatan mobil di garasi, aku melihat sepatu boot, sewaktu aku mencari sesuatu di sana. Berjingkat aku menuruni tangga dan masuk ke garasi. Aku cari-cari kotak itu, ternyata ada di sudut di bawah rak. Penuh debu dan noda oli. Aku seret. Berat. Aku buka, dan memang sepatu itu ada di sana, juga sebuah gitar kecil dengan berbagai stiker. Aku memasukkan kembali barang-barang itu. Siang itu sepulang sekolah, Desta berpamitan untuk les gitar. Dia menenteng gitar di punggungnya, dan sebuah tas besar di pundaknya. “Duduk,” kataku. “Kenapa, Ma, aku buru-buru, ntar telat kan malu,” ujarnya. “Mama bilang duduk, ada yang mama ingin bicarakan,” ujarku agak tegas. Dia yang sejak tadi berdiri lalu duduk di kursi makan yang sudah aku seret kebelakang. “Apa isi tasmu itu?” tanyaku. “Gitar, dan buku-buku lagu,” ujarnya. “Buka,” perintahku. “Tidak.” “Buka, Desta, jangan bohongi Mama lagi,” kataku sambil mengambil tas itu dari pundaknya. Perlahan dia membuka tas itu. Dengan wajah marah dan kesal. Tampak kostum punk mencuat dari dalam tas. “Jadi selama ini kau kemana?” tanyaku. “Mama tak harus tahu semuanya, ini hakku, aku sudah besar,” katanya marah. Ditutupnya lagi tas itu. Lalu ditaruh di pundaknya. Setelah itu dia setengah berlari menuju pintu depan. Aku mengejarnya. “Desta tunggu,” kataku. Dia menoleh: “Jangan ikut campur urusanku lagi, Ma, aku bukan anak-anak lagi.” Ketika dia membuka pintu pagar dan menghambur pergi, aku hanya bisa menitikkan air mata. Bayi kecil itu sekarang sudah bertumbuh. Secepat itu, dan dia telah berubah. Mengapa dia harus tercebur dalam pergaulan seperti itu. Rasanya hati ini tak rela, dia begitu cerdas dan tampan. Tuhan lindungilah dia dari keburukan. Selama beberapa hari, Desta hanya sekedar menyapaku bila kami bertemu. Aku juga tidak melihatnya pergi les beberapa hari ini. Sepulang sekolah dia mengurung diri di kamar sambil memainkan tuts computer. Mungkin main game, aku tak pernah menanyakan. Kami juga tidak pernah membahas masalah punk itu lagi. Sampai suatu sore dia datang padaku yang tengah membaca majalah di ruang tamu. “Mama,” sapanya. “Ya sayang,” kataku sambil menutup dan meletakkan majalah itu. “Maafkan Desta berlaku kurang baik, selama ini,” katanya. “Tak apa, mungkin Mama yang salah, sini nak,” kataku. Dia duduk di sampingku. Lalu dia menyodorkan sebuah majalah remaja kepadaku. Aku menerimanya, sambil memandangi wajahnya yang tampan. “Buka halaman 5, Ma,” katanya. Aku menurut. Kubuka majalah remaja ternama itu. Sebuah judul besar “Remaja, Punk dan Fenomena, Oleh Desta Karunia” Aku menoleh kepadanya dengan wajah tidak percaya. “Aku berhasil Ma,” ujarnya. “Desta, kau hebat,” kataku. Lalu aku peluk buah hatiku. Bahagianya hatiku tiada terkira. Selama ini ternyata Desta les gitar, menjadi punk hanya untuk tulisan itu. Tuhan terima kasih. Sejak awal kata hatiku memang mengatakan bahwa itu tak mungkin terjadi pada anakku. Dan ini merupakan kejutan terbaik untukku, Tuhan. Pondok Kacang, 3 Maret 2010
Saturday, May 19, 2012
Anak Punk
CERPEN Tidak salah lagi, aku melihatnya. Dialah anakku. Dia berbaju hitam legam. Rambutnya yang dicukur cepak itu diikat dengan ikat kepala bermotif tengkorak. Celana jins hitam pas di kakinya yang kurus. Menggendong tas bermotif tengkorak di punggungnya. Dan sepatu boot hitam itu, rasanya aku pernah melihatnya. Dia juga menenteng gitar Yamaha kecil yang penuh dengan stiker. Anak itu duduk diantara anak-anak ABG yang lain, dengan penampilan yang sama. Serba hitam, serba kumal. Aku menyuruh sopir taksi untuk minggir. Sekedar untuk memastikan siapa anak itu. Namun kemacetan jalan membuat taksi sulit mencari kesempatan untuk minggir. Aku ingin menemui langsung anak itu, ketika taksi berhasil parker disisi kiri jalan, gerombolan anak abg itu sudah tidak ada. Mereka terlanjur naik ke atas truk kecil, yang kebetulan lewat di jalan itu. Anak yang kukira Desta anakku itu, sempat bertatapan mata denganku. Aku melihat sesorot mata yang kaget, dan berusaha mengalihkan pandangan. Lalu truk itu semakin menjauh dari tempat aku berdiri. Memang ini sebuah kebetulan. Bagaimana dia bisa sampai di tempat itu, sementara dia harus les gitar. Mengapa bisa sampai di Blok M ini, sementara dia harus les gitar di Bintaro. Setelah urusan bisnisku selesai, aku kembali meluncur ke rumah dengan taksi. Wajah Desta, tak jua hilang dalam ingatanku. Ketika aku masuk rumah, aku sudah melihat sandal kesayangannya di depan pintu. Pembantu membukakan pintu dan membawakan barang-barang yang ada di tanganku. “Desta sudah pulang?” tanyaku. “Sudah, Bu, ada di kamar,” kata pembantuku. “Pilih belanjaannya, masukkan ke lemari es,” kataku. “Ya, Bu,” Aku menaiki tangga. Perlahan, langkah kakiku terasa berat, mungkin karena kecewa yang menumpuk di kepalaku. Kubuang jauh-jauh perasaan itu. Aku tak boleh memarahinya. Aku tidak mau lagi semuanya menjadi lebih berantakan. Aku mengetuk pintu kamar perlahan. “Desta..” panggilku. “Ya Ma,” jawab anak itu pelan. “Boleh Mama masuk?” tanyaku. “Tapi aku capek,” jawabnya. “Hanya sebentar,” ujarku. “Baiklah..”
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment