CERPEN
Jam dinding menunjukkan pukul 10 pagi, Satri sudah selesai mandi. Lalu dia duduk di pinggir tempat tidur kayu untuk berdandan. Ibunya berbaring di sisinya, dua hari ini, seluruh tubuhnya lunglai dan sakit bila digerakkan. Mungkin karena faktor usia. Dua dari tiga anaknya bersekolah, dan mereka sudah dilatih untuk mandiri. Untung saja sekolahnya tidak jauh, jadi Wendi dan Yogi pulang pergi sekolah jalan kaki.
"Makanan untuk anak-anak di lemari, Mak, biar mereka mengambil sendiri. Mak, tiduran saja biar cepat baikan, nanti aku tebus obat yang separonya ya," kata Satri pada emaknya.
"Aku ini mikir Juned, suamimu itu, di manakah dia sekarang," kata emaknya.
"Sudahlah Mak, biarkan saja dia, tak usah dipikir, nanti penyakit Emak tambah parah," ujar Satri sambil berdiri.
Dia mengambil tas, memasukkan kotak ransum, dan mencangklongkannya di pundaknya, Bayangan Juned suaminya muncul. Satri mengibaskan kepalanya untuk menepiskan bayangan itu.
Sudah hampir 10 tahun, Juned meninggalkan rumah. Dia pergi begitu saja ketika Yogi, anak bungsunya berusia 2 tahun. Tiga tahun kemudian, seorang perempuan hamil datang ke rumahnya minta ongkos melahirkan. Perempuan itu datang dari Kerawang, mengaku hamil anaknya Juned.
"Dia cuma memberi ini," perempuan itu menunjukkan sebuah kartu nama. "Lalu dimana laki-laki itu?" tanya Satri, sambil membaca kartu nama bertuliskan alamat rumahnya.
"Dia pergi sejak sebulan lalu, dan hanya meninggalkan alamat ini, katanya alamat ibunya, dan saya dimintanya meminta ongkos melahirkan kepada ibunya," jawabnya.
"Ini rumah istrinya, saya istrinya, dan itu ibuku, mertuanya, ibunya tidak di sini tetapi di Klender," jawab Satri.
Itu adalah kejadian paling traumatis yang pertama kali dihadapinya. Benar-benar gila, seorang perempuan mengaku dihamili suaminya. Dengan menahan amarah di dada, Satri memberikan sedikit uang untuk perempuan itu, dan menyuruhnya pergi.
Udara Jakarta panas, ini sudah musim kemarau. Satri berdiri di halte menunggu bus kota yang akan membawanya ke pasar. Dia bekerja di sebuah toko kelontong. Beberapa perempuan berbaju modis juga berdiri di halte itu. Mereka tentu kerja kantoran. Tidak seperti dirinya yang hanya bekerja di toko kelontong. Ah, yang penting bisa menghidupi keluarga.
Apalagi dua anaknya Wendi dan Yogi sudah mulai banyak kebutuhan sekolahnya, mulai dari buku pelajaran, les di sekolah serta kebutuhan yang lain. Sedangkan anak sulungnya, Hasan, dirawat dan di sekolahkan mertuanya sejak suaminya kabur. Toh, tetap saja dia memberi jatah untuk setiap bulannya.
Sebuah bus kopaja menepi. Satri dengan tubuh suburnya, bergerak cepat naik ke angkutan umum itu. Lalu duduk di bangku belakang yang masih kosong, dan menyiapkan ongkos 2000 rupiah.
"Sebaiknya kamu minta cerai, kamu masih muda, dan cantik," kata Emak suatu hari.
"Kalau orangnya di sini, aku bisa minta itu, Mak, masalahnya keberadaan Juned tidak ada yang tahu, bahkan keluarga mertua juga tidak tahu," jawab Satri.
Ketiga anaknya, Hasan, Wendi, dan Yogi, juga sudah mulai memahami apa yang terjadi di rumah itu. Ayahnya kabur entah kemana, tidak ketahuan juntrungnya.
"Kalau Ayah di sini, aku akan memukulinya sampai bonyok," kata Hasan.
"Betul, Bang, aku juga ikut," tambah Wendi.
"Aku akan tendang dia," sambung Yogi.
"Kalian ini bicara apa, nggak boleh begitu, biar bagaimana pun dia adalah Ayahmu, biarkan saja dia, tak usah dipikirin, kalian sekolah saja yang rajin," kata Satri pada anak-anaknya.
Bus terus melaju menembus kesibukan kota Jakarta, yang mulai hangat oleh mentari. Sepasang laki-laki perempuan yang duduk di depannya terus mengobrol dengan mesra. Pemandangan itu memunculkan wajah suaminya. Juned adalah mantan seorang polisi, karena sering berbuat kasar, akhirnya desersi.
Pada awalnya perkawinan mereka sangat harmonis. Setelah suaminya desersi, hari-hari indah itu berlalu. Dan sekarang semuanya rasanya hanya seperti sekejab.
Setelah perempuan pertama itu, perempuan kedua juga muncul ke rumahnya. Kali ini dengan membawa seorang balita. Perempuan itu mengaku kumpul kebo dengan Juned dan dikaruniai seorang anak. Tetapi Juned kemudian meninggalkan dia dan anaknya dan memberinya kartu nama bertulis alamat itu lagi. Untuk yang kedua kali Satri terpukul.
"Sudah berapa lama menghilang?" tanya Satri.
"Sebulan, tidak pulang lagi," kata perempuan itu.
Kemudian Satri memberinya ongkos untuk pulang ke rumah orang tua perempuan itu di Banten. Tadinya perempuan itu ingin menitipkan anaknya di rumah Satri, karena itu adalah anak Juned. Tetapi Satri menolak dengan alasan hidupnya pun pas-pasan dan itu pun harus membesarkan tiga orang anak. Perempuan teman kumpul kebo suaminya itu kemudian marah-marah dan meninggalkan rumah Satri dengan kesal.
"Kok dia yang sewot, harusnya kan aku yang sewot," ujar Satri pada Emaknya.
Dan itu bukanlah perempuan terakhir yang mengaku dihamili Juned. Ada lima perempuan yang meminta pertanggungjawaban, dan tak ada seorangpun tahu keberadaan laki-laki itu.
Suatu hari, Darlan, seorang pedagang pasar, tergopoh-gopoh menghampirinya. Laki-laki itu dengan buru-buru menghampiri Satri yang sedang melayani pembeli di pasar.
"Juned ada di terminal, cepat kita kejar dia," katanya.
"Iya..." jawab Satri bersemangat, lalu dia menitipkan toko pada pedagang di sebelahnya.
Satri dan Darlan berboncengan menuju terminal yang jaraknya sekitar 500 meter dari pasar. Sesampai di terminal Darlan mengisyaratkan para preman, teman-temanya untuk membekuk Juned. Tetapi Juned tidak berhasil ditemukan. Laki-laki itu berhasil kabur atau sembunyi di suatu tempat di terminal itu. Dan untuk pertama kalinya Satri nggak bisa membendung air matanya.
"Kami mengobok-obok terminal, tetapi tidak ketemu," kata Satri pada mertua perempuannya.
"Sabar ya, Nak, Ibu juga ikut prihatin atas semua kejadian ini, kami tidak bisa menolongmu, karena kami tak tahu dimana Juned berada," mertuanya tersedu sedih.
Bus berhenti di depan pasar. Satri turun dan berjalan menuju kiosnya. Bu Jumini sudah bersiap pulang. Kalau Satri sip siang, Bu Jumini sip pagi. Satri menyapanya denga ramah. Lalu dia mulai menata beberapa barang yang berantakan. Bismillah, dia mulai melayani pembeli. Sesekali wajah suaminya muncul di pikirannya, ditepiskannya. Untuk urusan itu, rasanya dia tak sanggup menyelesaikan sendiri, dia sudah serahkan kepada Yang Maha Pencipta.
***
Beberapa tahun kemudian.
Satri sudah memiliki toko sendiri di pasar. Rumah mereka sudah direnovasi dan terlihat lebih bagus. Ibunya lebih terlihat sehat dan terawat. Hasan sudah menjadi kepala polisi seperti cita-citanya yang ingin seperti ayahnya. Wendi sudah menjadi ahli IT dengan gaji dollar. Sedangkan Yogi masih harus menyelesaikan kuliahnya di sebuah perguruan tinggi negeri favorit di Jakarta.
Malam itu, seluruh keluarga besar berkumpul. Hasan sudah menikah dan memiliki seorang putera. Wendi, datang bersama kekasihnya yang cantik dan Yogi adalah rajanya, karena pesta malam itu adalah pesta ulang tahunnya.
Semua orang duduk di ruang tengah dengan memakai baju bagus. Makanan dan kue ulang tahun bergeletakan di meja. Mereka mengobrol dan tertawa-tawa riang. Apalagi ada Tian, anaknya Hasan yang berusia tiga tahun dan tingkahnya menggemaskan.
Pintu diketuk. Ada sebuah mobil ambulan berhenti di depan rumah. Dua orang berseragam hijau mendorong sebuah tempat tidur beroda. Seorang laki-laki berwajah lelah berdiri di depan pintu ketika Hasan membuka gerendelnya.
"Saya mau menemui tuan rumah di sini," kata orang itu.
"Ada apa ya, Pak?" tanya Hasan.
Lalu laki-laki itu merogoh sesuatu dari kantongnya. Sebuah kartu nama yang sangat kumal di sodorkan. Hasan memanggil ibunya. Dan perempuan bertubuh subur itu tergopoh menghampiri mereka. Hasan menyodorkan kartu nama itu pada ibunya.
Dua orang yang mendorong bed beroda itu memarkir bed itu di belakang laki-laki pengetuk pintu. Hasan berpandangan dengan ibunya.
"Kami dari dinas sosial, kami menemukannya sudah mati di bawah jembatan, dan di saku bajunya kami menemukan kartu nama itu," laki-laki itu. Hasan dan Satri mendekati bed beroda itu. Lalu membuka selimut garis-garis yang menutupinya.
"Ayah..." guman Hasan,
Wajahnya biru. Tubuhnya sangat kurus. Kulitnya kasar dan kehitaman. Rambutnya seleher sangat kotor. Sisa-sisa ketampanan sudah menghilang dari wajah itu. Satri menahan nafas. Air mata bergulir di pipinya. Sudah sekian tahun, baru kali ini dia melihat lagi wajah suaminya.
"Astagfirlloh..." bisiknya. Seluruh keluarga keluar untuk melihat mayat laki-laki itu. Tangan kiri Satri gemetar memegangi kartu nama kusam itu. "Astagfirlloh..." gumannya lagi.
Lalu dia mengucapkan terima kasih kepada pengantar jenasah itu. Mereka kemudian berlalu dengan mobil ambulan itu. Satri meminta Hasan menghubungi pak RT. Dan memerintahkan Wendi dan Yogi mengeluarkan meja makan untuk memandikan ayah mereka.
"Anak-anak, kita rawat baik-baik mayat ayah kalian ini, kita hormati dia, betapapun telah menyakiti kita, Ibu yakin beberapa tahun belakangan ini, pasti hidupnya sangat menderita di luar sana..."
Rumah itu lalu benderang dengan doa-doa.(Kisah ini terinsiprasi dari kisah nyata)
Jakarta 22 Agustus 2012
No comments:
Post a Comment