Wednesday, October 9, 2013
Turun Ranjang
CINTA YANG NAIF Saat usia pernikahan yang ke 15, penyakit kanker merengut nyawa istriku. Padahal usianya masih muda, waktu itu usia Dian, nama istriku-- masih 40 tahun. Istriku, sudah tak sanggup bertahan. Hampir dua tahun dia melawan penyakit ganas yang menyerang paru-parunya itu. Aku memiliki tiga orang putera puteri, yang pertama berusia 13 tahun, yang kedua berusia 10 tahun dan yang bungsu berusia 6 tahun. Mereka kehilangan ibunya saat usia masih muda. Rasa sedih itu terus menyelimuti diriku, sementara aku sendiri tak mungkin mengurus mereka, karena harus bekerja. Sekarang, aku benar-benar merasakan kehilangan. Aku tahu, anak-anak juga sangat kehilangan ibunya. Untuk sementara nenek dan bibi mereka (adik mendiang istriku) yang mengurusi mereka bertiga. Aku sedikit merasa lebih tenang. Sebetulnya, kesuksesanku akan mempermudah untuk mendapatkan istri yang baru. Liz, Metty dan Silvia, mereka gadis-gadis cantik yang bekerja di kantorku. Kalau aku mau, pasti aku bisa memilih salah satu dari mereka untuk aku nikahi. Tetapi keinginan itu selalu terhambat saat mengingat tiga anakku yang mulai tumbuh remaja. Ketakutan tentang kejahatan ibu tiri kadang menyelimutiku. Mendiang istriku memeliki 5 saudara. Dan adik bungsunya Lita, masih belum menikah meskipun usianya sudah 30 tahunan. Bila dibandingkan dengan istriku, Lita tak lebih cantik. Tubuhnya terlalu kurus, dan sifatnya pendiam seperti batu. Namun begitu, sejak kelahiran anakku yang pertama, Lita sering main ke rumah dan suka sekali menggendong Rendra puteraku. Bukan hanya dengan Rendra dengan dua puteriku Reny dan Risa, dia juga sangat akrab dan sayang. Sepertinya Lita memang menyukai dunia anak-anak. Kelebihan Lita ini, yang kemudian menarik perhatianku untuk meminangnya menjadi istriku. Aku berusaha mengabaikan gadis-gadis cantik yang lain, demi anak-anakku. Kalau aku menikahi Lita, anak-anakku tak akan kesulitan beradaptasi dengan ibu tiri baru, karena mereka sudah akrab dengan Lita sejak kecil. Niat itu makin menguat, demi anak-anak aku pun melamar Lita kepada ibunya, karena ayah Lita sudah tiada. Ibunya menyambut lamaran itu dan merestui. Sebenarnya antara aku dan Lita sendiri tak terlalu akrab, karena dia selalu menjaga jarak dengan aku iparnya. Selama ini aku tak pernah berbicara atau pun mengobrol, biar pun dia sering datang ke rumah. "Aku akan menikahimu, demi anak-anak," kataku. Dia tersenyum, tak menjawab lamaranku. Harap-harap cemas, aku menunggu jawabannya. Beberapa hari kemudian, kepada ibunya dia bilang mau menikah denganku. Hatiku pun merasa lega. Aku memberitahu anak-anak tentang rencana pernikahan itu. Puteraku yang paling besar dan adiknya yang nomor dua setuju. Sementara yang terkecil belum mengerti dengan semua itu. Orang bilang turun ranjang. Kami menikah sederhana di antara keluarga besarku dan keluarga besar Lita. Setahun kemudian, Lita dan aku mendapatkan seorang anak perempuan yang lucu. Jakarta, 10 Oktober 2013
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment