Thursday, November 21, 2013
Endapan Cinta
FLASH FICTION Ketika pesawat mendarat di bandara A. Yani Semarang, hari masih pagi. Lala menyeret kopor birunya dengan perasaan senang. Suaminya berjalan santai di belakangnya, menyusuri koridor pesawat. Seorang pramugari berkulit hitam manis berdiri di dekat pintu keluar sambil mengucapkan selamat jalan. Kabut tipis membelai sayap-sayap pesawat Boeing yang kokoh itu. Lala memandangi sekitar. udara pantai yang dingin tapi kering. Matahari masih belum kelihatan, dan di ufuk cakrawala ada coretan kemerahan. Begitu indahnya. Mereka berjalan berduaan melintasi aspal hitam yang basah oleh embun. Lala melihat wajah Haris suaminya begitu sumringah. Tiba-tiba mobil bagasi melintasi mereka. Haris terkaget-kaget dan marah. "Hei, hati-hati, nggak liat orang jalan ya?" serunya kesal. Lala yang juga kaget, spontan memegangi lengan suaminya. "Septi sangat benci suara mengaggetkan," kata Haris. Lala melepas pegangan tangannya. Nama itu lagi. Septi adalah mantan kekasih Haris yang bertahun pacaran. Sayang, hubungan mereka tak disetujui keluarga Septi dan mereka pun putus. Sudah setahun ini Haris dan Lala menikah, kata Haris luka hatinya telah sembuh setelah bertemu Lala. Lalu mereka duduk di ruang tunggu sambil menunggu sopir ayah Haris datang. Di sekitar itu banyak kafe-kafe yang menyediakan kopi. Haris menggandeng tangan Lala menuju sebuah kafe. Mereka disambut ramah oleh seorang pelayan. "Itu bangku favorit Septi, tapi aku tak suka karena terlalu dekat dengan pintu," kata Haris sambil menunjuk sebuah bangku di dekat pintu balkon. Lala menahan nafas. Mereka duduk di bangku pilihan Haris, dan mulailah mereka membuka-buka menu makanan. Lala memilih kopi hitam dan croisant isi daging panggang. Haris memilih teh tarik dengan sedikit gula. "Septi juga pecinta kopi hitam, aku selalu melarangnya terlalu banyak minum kopi," ujar Haris. Lala mendidih. Namun dia bertahan diam. Pak Darso, si supir datang, dan pasangan muda itu segera meluncur bersama Kijang Inova Mewah itu menuju kawasan Semarang atas. Kota Semarang mulai menggeliat. Jalanan mulai ramai dan udara mulai menghangat. "Lihat gang itu, itu jalan menuju kosan Septi," kata Haris. "Oh, seperti apakah Septi itu, sampai kau tergila-gila seperti ini," ucap Lala dingin. "Tergila-gila? Dia hanya masa laluku sayang." Impian Lala untuk menikmati cuti di Semarang bersama suami tercinta sudah hancur berkeping-keping. Pagi siang, malam, yang dibicarakan Haris hanya kenangan-kenangan mengenai Septi. Lala mencoba bersabar, apalagi dia hanya tamu. Perempuan bermata indah itu juga ingin menjaga perasaan mertuanya yang begitu baik. Tetapi setelah tiga hari di rumah itu, Lala sudah tak sanggup lagi. Pagi itu Haris menemukan istrinya sudah siap dengan tas besarnya. "Ada apa ini, kita kan masih punya waktu tiga hari di sini sayang," kata Haris. "Aku akan balik ke Jakarta dengan penerbangan pertama," kata Lala. "Kenapa? Ada apa, bukankah kau begitu antusias untuk menikmati Semarang?" "Tidak, di sini aku lelah, karena orang yang kucintai malah menghabiskan waktunya mengenang kekasihnya," ujar Lala. "Maksudmu?" "Septi. Setiap kalimatmu selalu menyebutkan nama itu, lama-lama aku muak." "Itu kan hanya cerita." "Apa tak ada cerita yang lain? Kenapa hanya Septi yang ada di kepalamu?" "Oh, sayang, kau salah sangka, aku hanya tak ingin menutup-nutupi soal Septi, tetapi dia hanya masa lalu, aku hanya mencintaimu." "Aku sudah memutuskan." "Maksudmu apa sayang?" "Sampai bertemu di Jakarta, kita urus perceraian di sana." "Oh, apa yang terjadi, apa salahku?" "Kau masih mencintainya, namanya sudah mengendap di jiwamu, mengalir bersama aliran darahmu, aku mengalah..." "Kau ini kenapa sayang?" "Aku hanya ingin cerai, selama setahun ini, tak berhenti-brentinya kau menyebut nama itu, menceritakan segala tetek bengek tentang dia, mulai caranya berpakaian, caranya berjalan, caranya makan, caranya mencintai dan memperhatikanmu. Setahun ini aku sudah menahan diri, tetapi hari ini puncaknya, aku tak sanggup hidup bersama masa lalumu." "Plis Lalaku, itu hanya cerita." Suara klakson terdengar nyaring. Menyusup di antara dengungan adzan subuh. "Oh taksiku sudah datang." Lala menarik tas besar itu dengan tangan kanannya, dan berjalan ke luar. "Bagaimana dengan Ayah dan Ibu?" "Katakan aku ada tugas mendadak, selamat menikmati kenangan indahmu, aku tak mau campur tangan lagi." "Lalaaaa tungguuu..." Perempuan itu tak peduli teriakan suaminya, terus melangkah dan berlalu ditelan kabut. Air matanya berlinangan, entah apa yang harus dilakukan setelah ini, yang jelas dia harus segera meninggalkan kota tua ini. Masa lalu suaminya terlalu mencabik-cabik hatinya. Harga dirinya sebagai istrinya hancur. "Aku benar-benar merasa tak berharga," desisnya pedih. Jakarta, 221113
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment