Wednesday, November 13, 2013
Tamu Pagi
FLASH FICTION Pagi nan cemerlang. Pepohonan ranum bermandikan cahaya matahari. Alam terbuka indah dalam pelukan cakrawala. Burung-burung bercengkerama dalam nyanyian lagu paginya. Embun pun tak mau kalah, menari, berdansa di antara perdu, melagu-lagu. Perempuan yang cantik menawan itu masih mengaduk-aduk tanah. Kemudian tanah yang gembur itu dimasukkan ke dalam pot keramik yang sudah berisi pupuk di dalamnya. Sesekali air mata menetes di tanah itu. Lalu diusapnya pelan dengan punggung tangannya. "Pohon apa lagi yang kau tanam?" Perempuan itu kaget. Sebuah suara berat yang tak asing baginya menyapa. Dia menyibakkan rambutnya yang panjang. Mengangkat wajahnya dan menoleh ke arah suara itu berasal, rupanya di balik pagar. Seorang laki-laki tampan berdiri di sana. Diusapnya sisa air mata. "Kau menangis?" Perempuan itu tak menjawab. Lalu berdiri, dan berjalan ke arah laki-laki itu. "Untuk apa kau kemari?" "Aku merindukanmu?" "Hahaha... merindukanku? Enggak deh, sebaiknya kau pergi..." "Tidak, aku tak akan pergi, bolehkah aku masuk?" "Kurasa tidak, lupakan aku selamanya?" "Justru karena itu, aku kemari, aku tak bisa melupakanmu, walau dalam satu tarikan nafasku..." "Kurasa semuanya tak semudah itu, setelah semua yang kau lakukan, seenaknya saja kau bilang rindu," ketus perempuan itu. "Dia tak seperti yang aku kira, bukan dia cintaku yang sesungguhnya," laki-laki itu masih ngotot. "Kau pikir bisa permainkan perasaanku? Kau datang dan pergi sesuka hatimu?" "Tetapi kali ini tidak, aku bisa merasakan begitu kuat cintaku padamu, menjeratku, aku tak bisa mencintai orang lain, Maria." "Kata-katamu manis, maafkan aku, aku tidak bisa menerimamu, aku terluka, itu semua juga karena ulahmu sendiri..." "Dengarkan aku sayang, ampuni aku..." "Hahaha... berapa perempuan yang kau rayu?" "Terimalah aku kembali..." "Enyahlah selamanya dari hidupku..." Perempuan itu berbalik. Manaiki tangga teras rumah, bergegas masuk dan menutup pintu. Dari balik kaca jendela, dia masih melihat laki-laki itu di tempat yang sama. Begitu tampan di kilauan cahaya pagi. Hatinya ingin menjerit. Dipukul-pukulnya pintu kayu jati itu. Rindu, kesal, marah, cemburu dan cinta berbaur menjadi satu. Jakarta, 14 November 2013
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment