CERPEN
Seharian ini tak mandi, belum ganti baju juga. Tak ada air yang cukup untuk mandi. Kebijakannnya air hanya untuk kebersihan buang air besar atau air kecil saja. Kantor kecamatan itu sudah penuh, tetapi pengungsi terus mengalir. Ada yang menangis meraung-raung, ada yang mengoceh terus dengan tanpa kesadaran, dan ada juga yang diam membatu seperti sudah tanpa jiwa.
Anak perempuan umur tiga tahun itu masih memegangi rok bawahku. Mengikutiku kemanapun aku pergi. Kalau aku sedang merawat luka, dia berdiri di sampingku dengan membeku. Memegang gantungan kunci Zakumiku yang telah kuhadiahkan kepadanya beberapa hari yang lalu..
Tubuhnya kurus kering. Kulitnya hitam, rambutnya lurus sebahu, dan matanya kecoklatan. Tiap kali terdengar dentuman dari Merapi, anak itu langsung memeluk kakiku, seperti seekor koala yang bergelayut di batang pohon, dia berteriak…
“Maaaaakk…”
Aku meraihnya dari kakiku dan memeluknya erat-erat. Aku pejamkan mataku, suara dentuman dan gemuruh itu begitu menakutkan. Semua orang diam, para sukarelawan saling berpandangan dengan wajah cemas.
“Tenang ya semuanya, berdoa dalam hati,” kata Abdullah sukarelawan setengah baya itu menenangkan pengungsi.
Sebelum suara dentuman itu berhenti, si Nok belum melepaskan pelukannya padaku. Aku memeluk tubuh kurus kering itu. Beberapa teman ikut mengelus rambutnya yang kemerahan dan tipis itu.
Lima hari yang lalu aku menemukan Nok meringkuk di bawah truk yang akan mengangkut penduduk yang sedang dievakuasi. Evakuasi desa dilakukan dengan cepat. Beberapa truk dan sepeda motor berseliweran. Para sukarelawan menggotong penduduk tua yang sudah sulit berjalan.
Aku memandangi sebuah truk dan melihat ada seseorang yang meringkuk di bawahnya. Anak itu menggigil ketakutan. Suasana riuh rendah. Suara gemuruh Merapi seperti suara monster raksasa yang menakutkan, tanah inipun serasa bergoyang.
“Rene Nduk..” kataku pada anak itu, menyuruhnya keluar dengan bahasa Jawa.
Dia menggoyangkan badannya tanda tak mau. Masih saja menangis tersedu dan ketakutan, tangannya menutup matanya dan kulihat mukanya hitam karena debu bercampur air mata. Truk sudah hampir jalan, karena sudah penuh, tetapi anak perempuan itu tak juga mau keluar dari truk itu.
Akhirnya aku keluarkan kunci dari bajuku. Ada gantungan boneka Zakumi sebesar genggaman tangan dan aku ulurkan padanya. Dia melihat Zakumi itu, lalu memandangku. Gantungan itu pemberian pacarku saat meliput Piala Dunia di Afrika Selatan, sesuatu yang cukup berharga bagitu, tetapi saat darurat seperti ini, tak ada apapun yang berharga selain nyawa.
Saat dia mencoba meraih Zakumi itu dengan tangan kurusnya yang kotor, aku tarik Zakumi itu, lalu dia terus mengejarnya, dan aku menjauhkan Zakumi itu dari jangkauan tangannya. Sampai dia keluar dari kolong truk dan kuraih serta aku dekap erat di dadaku. Kupisahkan kunci-kunciku dan kuberikan boneka Zakumi kecil itu padanya.
Dia tersenyum, memamerkan gigi-giginya yang geriwing. Aku memeluknya dan langsung naik di boncengan Yudi yang sudah menungguku dengan sepeda motornya. Lalu kami melaju menuruni jalan yang berliku. Kupegangi anak kecil itu di tengah. Beberapa kendaraan dan sepeda motor melaju dengan kecepatan tinggi. Dan suara dentuman itu, masih juga belum berhenti. Selalu saja membuat kepanikan warga. Jeritan, teriakan dan tangis bercampur baur.
Sesampai di lokasi pengungsi, aku umumkan Nok kepada semua pengungsi. Mungkin ada ibu, bapaknya atau saudaranya yang ada di situ. Tetapi tidak ada seorangpun yang tahu, dan mengakui. Lalu dimana ibu dan bapaknya ?
“Mungkin belum ikut di evakuasi,” kata Desi, sukarelawan dari PMI.
“Bagaimana dia bisa berkeliaran di bawah truk ?” kataku.
Desi menggeleng.
“Sopo jenengmu ?” aku bertanya nama anak perempuan itu dengan bahasa Jawa.
Dia diam saja tak menjawab. Asyik dengan boneka Zakumi itu. Aku ulang pertanyaan itu sambil mendudukkannya di pangkuanku.
“Sopo jenengmu ?”
Dia belum menjawab. Suara menggelegar terdengar lagi. Spontan anak perempuan itu memelukku dengan kuat. Pengungsi kaget, sebagian berteriak Allahu Akbar..Allahu Akbar….
“Maaaakkk…Nok-e wedi….” anak perempuan itu menangis ketakutan.
Dia memanggil dirinya Nok-e. Aku mengelus punggungnya, tak henti aku mengucapkan sholawat dan doa. Berharap suara gemuruh itu segera berlalu. Sejak itu aku memanggilnya si Nok.
Hari ke lima, pengungsi di kantor kecamatan itu diungsikan ke Jogjakarta. Karena masuk wilayah bahaya. Aku belum juga menemukan orang tua si Nok. Sesampai di Jogja pun dia terus menggelendot di tubuhku dan memanggilku Mak.
Aku mengambil beberapa baju bekas dan celana kecil sumbangan masyarakat dan ku masukkan di tas rangselku, tentu saja untuk keperluan si Nok. Kalau dulu, kemana-mana aku menggendong rangsel, sekarang di dadaku ada bocah kurus yatim piatu yang menggelayut.
“Kapan hamilnya?” tanya beberapa relawan bercanda di tengah keramaian pengungsi.
Aku tertawa sambil memeluknya lebih erat. Sampai hari ini aku belum juga menemukan ibunya atau keluarganya. Dan aku juga menemukan kepastian kapan semuanya berhenti. Biarpun capek, ada Nok yang selalu menemaniku, kalau pada akhirnya tak menemukan orang tuanya, maka aku akan benar-benar menjadi emaknya.
Jakarta, 10 November 2010
No comments:
Post a Comment