“Pa, nanti kalo aku sdh disini terus, aku temenin Papa terus yaaa?” kataku. Papa hanya menggeleng matanya menyiratkan penyesalan. Melihat itu, membuat aku semakin lemah secara psikis. Pada hari itu juga, Papa mengalami pendarahan. Semua orang panik. Bau anyir darah, memenuhi seluruh ruangan kamar. Para perawat bergantian membersihkan dan mengobservasi Papa. Beberapa hari bersama Papa membuat rasa ragu menyerang, rasanya tak ingin kembali bekerja. Tetapi hati kecilku menganjakku untuk kembali pada telah pekerjaanku. Aku diskusi dengan Mama dan para sesepuh. Mereka mengijinkanku kembali kerja. Aku putusakan untuk resign, tetapi aku harus mengurus itu di kantor lebih dahulu. Dan setelah urusan administrasi selesai, aku bisa kembali menemui Papa. Esok harinya tanggal 6 Desember 2011, kondisi Papa masih belum stabil, belum ada kepastian. Aku putuskan untuk kembali ke kota tempat aku bekerja. Saat aku berpamitan, aku kecup kening Papa, dan kukatakan akan mengurus resign. Papa mengangguk, ada secercah senyum di bibir dan sudut matanya bercahaya. “Ya Allah, apa artinya tatapan mata itu?” Dengan hati penuh keraguan, aku pun berangkat. Dan aku percaya, bila memang Allah tidak mengijinkan aku berangkat, pasti ada sesuatu yang terjadi yang akan menghalangiku untuk berangkat. Kenyataannya semua berjalan lancar, mulai membeli tiket, menunggu pesawat dan penerbangan menuju kota transit Jakarta semua lancar. Namun di tengah perjalanan, ketika masih berada dalam pesawat, tiba-tiba aku merasa ada yang aneh. Perutku mual, tercium bau yang kurang enak. Aku berfikir mungkin ada yang sedang muntah. Tetapi bau itu semakin kuat, aku terhenyak, itu bau anyir darah. Aku merasa pasti ada hubungannya dengan Papa. Aku cek dengan HP, tetapi di pesawat tidak diperkenankan mengaktifkan HP. Akhirnya aku hanya bisa pasrah. Begitu sampai di Jakarta, ketika aku mengaktifkan HP, ada SMS dari adikku yang masuk di HP-ku. “Mbak, cepet pulang lagi, Papa kritis!” Aku tidak sanggup berpikir, langsung saja aku telepon adikku dan telepon diberikan kepada Papa yang saat itu berada di ruang ICU. ”Papa, maafin aku yaaa, sebut nama Allah ya Pa, bertahan ya Pa, semoga Allah memberikan yang terbaik... “ Aku bisa mendengar gumaman dari Papa. Aku tidak bisa lama-lama dalam keadaan begini, terpuruk, aku pun bertekad untuk mencari tiket untuk kembali. Tiket tak mudah diperoleh. Terpaksa harus terus menunggu. Setiap kali telepon berdering, aku harus selalu siap dengan apapun yang terjadi. Dan Papa masih bertahan di ICU. Saat itu pula, aku gunakan waktuku untuk merenung. Aku ikhlas, ya Allah, kalau memang waktunya sudah tiba. Karena Allah yang mengatur segalanya. Sebelum boarding, ada SMS yang isinya memberitahu bahwa nanti di Bandara Juanda, aku akan dijemput oleh tante. Perjalanan kembali ke Surabaya dipenuhi dengan perasaan yang tidak menentu. Begitu sampai di Bandara J, aku sudah dijemput oleh Tanteku. Di mobil aku lebih banyak diam. Aku memang sengaja begitu karena tidak ingin mendengar terlalu banyak cerita tentang kondisi Papa. Ketika mobil berada di tol, tante berkata: “Lolla, seandainya pesawatmu lebih cepat, kamu pasti masih bisa nemuin Papamu loh...” “Apaaa?” Mendengar kata-kata Tante, rasanya ada yang menohok dadaku. Dada ini sesak sekali. Aku tahu bahwa Papa sudah tiada, aku sudah tidak sanggup untuk berteriak, dan aku hanya diam, menahan rasa agar air mata ini tidak tumpah. Aku diam tetapi hatiku banyak berbicara. Hatiku menangis, menjerit penuh amarah, dan sibuk menyiapkan mental untuk menghadapi situasi nanti di rumah. Tanteku berusaha mengajakku bicara, tetapi hanya aku tanggapi dengan anggukan atau gelengan saja, akhirnya tante pun diam. Mbak Anggie, aku ingat sikap dudukku di mobil itu, kaku dengan tangan bersedekap di dada. Tanganku dengan kuat menahan supaya aku tidak lepas kendali. Begitu mobil memasuki perumahan, aku mulai ingin lari dari kenyataan. Semoga ini hanya mimpi buruk, semoga aku cepet bangun, semoga dan semoga yang lainnya. Tetapi begitu mobil berbelok menuju rumah, dan aku melihat bendera merah di depan gang, aku harus terima kenyataan bahwa ini nyata. Papa sudah tidak ada. Di belokan terakhir menuju rumah terpampang papan dengan tulisan besar: ‘innalillahi wa inna ilaihi roji’un’. Pandangan mataku sudah kabur. Wajah penuh dengan air mata. Inilah kenyataannya, aku sudah berada di sini, harus siap menghadapi semuanya. Aku turun dari mobil disambut dengan tangis dari semua yang ada di situ. Banyak komentar menyambutku, rasa iba, rasa simpati, tapi aku tidak mau mendengar semua itu, dan aku terus saja berjalan. Aku menolak siapa pu yang ingin memelukku, aku hanya ingin berteriak, aku tidak butuh pelukan, begitu jeritku dalam hati. Aku menemui Mama, dan Mama berkata: ”Ikhlas ya, Papa pergi dengan sangat tenang kok...” Kemudian Mama mengajakku untuk berdoa di dekat jenazah Papa. Penutup mata Papa dibuka. Dan aku mencium keningnya untuk terakhir kalinya. Kutatap wajahnya, diam dan diam dan beku, tidak ada yang terbaca dari situ, semuanya sudah berakhir. Orang-orang berkata bahwa, Papa pergi dengan tenang, lihatlah wajahnya begitu tenang. Tetapi aku tak peduli. Bagiku, wajah Papa tidak menyiratkan apapun, hanya diam dan beku. Seperti itulah adanya, dan seperti itulah yang aku rasakan. Dengan diam dan beku juga aku menghadapi hari hari dukacita, di pemakaman, dalam tahlilan, saat menerima ucapan dukacita dari teman, semua kuhadapi dengan diam. Beberapa kali aku terbangun dari tidur karena begitu banyak mimpi yang aku alami. Fase ini, adalah fase yang terakhir dengan Papa. Aku belajar untuk menghargai kehidupan. Menghargai yang hidup, sebab bila sudah tiada, semuanya sia-sia. Dan apapun yang pernah aku alami dengan Papa, baik itu, kebahagiaan, kepedihan, penolakan atapun kemarahan, semua terselesaikan dengan berjalannya waktu. Waktu yang telah menyelesaikan semuanya. “Only time will tells.” Papa, itulah yang aku rasakan Papa. Papa sudah tiada, dan dari ketiga kenangan yang aku punya, semua mempunyai hikmah yang besar bagi hidupku. Yang menjadikan aku seperti sekarang. Karena masa lalu itu, bagiku adalah seperti catatan penting tentang bagaimana kita menghadapi ujian kehidupan. Dikisahkan oleh LOLLA. Blue Palace, 28 Oktober 2012
Tuesday, October 30, 2012
Papa Hanya Memberi Materi (Dua)
AKU DAN AYAH KENANGAN KETIGA Papa sakit, Fase Pemaafan. Fase ini menggambarkan bahwa aku sudah mulai berdamai dengan hatiku. Aku memaafkan semuanya, dan aku memutuskan untuk keluar dari ikatan kekeluargaan semu ini dengan mencari pekerjaan yang jauh dari kota tempat tinggalku. Alhamdulillah aku berhasil. Pekerjaanku berkembang dengan baik. Aku banyak belajar dari kehidupan teman-teman di tempat aku bekerja dan aku sering menjadi tempat curhat bagi yang lain. Aku selalu berusaha maksimal dalam membantu teman, Dan aku memang menempatkan teman pada tempat yang istimewa. Awalnya semua itu hanya karena pelarian setelah aku merasa tidak diterima oleh keluarga. Ketika aku sudah bekerja selama 2 tahun, Papa terkena serangan stroke yang parah. Kakak iparku menelponku dan meberi kabar keadaan Papa. Dia juga menyarankan agar aku mengambil cuti dan pulang. Waktu itu aku pun langsung mengurus cuti, membeli tiket dan pulang dengan pesawat terbang. Sesampainya di rumah sakit, aku sedih, kondisi Papa sudah parah. Komplikasi antara stroke dan beberapa penyakit yang lainnya. Papa sudah tidak bisa lagi bicara. Komunikasi hanya dengan tatapan mata, anggukan, gelengan ataupun deheman. Rasanya tak tega, aku genggam tangannya, aku tepuk dadanya, aku pijit kakinya, hanya itu komunikasi antara kami berdua. Setelah sekitar 8 hari di rumah sakit, sebetulnya cuti sudah habis dua hari sebelumnya, kondisi Papa belum membaik. Papa masih belum stabil. Tanggal 5 desember 2001, secara psikis, aku sudah tidak mampu lagi berkomunikasi lagi dengan Papa. Tatapan matanya, menyiratkan satu hal yang berbeda. Suatu hal yang berbicara tentang kepedihan dan perpisahan. Aku semakin down, terpuruk.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment