FLASH FICTION
"Kenapa kau murung?" tanyamu.
"Nggak apa-apa kok..."
"Jangan membodohiku," katamu lagi.
"Sudah selesaikah pekerjaanmu, Mas?"
"Sudah..."
"Syukurlah..."
"Kenapa murung?" kamu mengulangi pertanyaan yang tadi.
"Nggak apa-apa..."
"Kau memikirkan keburukan-keburukanku kan? Kamu menyesal hidup bersamaku?"
"Jangan berprasangka," sergahku, "semua itu sama sekali salah."
"Ow, mulai membantahku ya?"
Aku membetulkan dudukku. Dan kamu yang terus menghujaniku dengan pertanyaan, seakan tiada peduli dengan kegundahanku, kegalauanku. Kuhimpun kekuatan. Mungkin inilah saatnya semua keinginan itu aku ungkapkan.
"Apakah Mas tahu bahwa kadang-kadang aku ingin diperhatikan"
"Maksudmu?"
"Kurasa Mas selama ini hanya memikirkan diri sendiri, marah-marah tanpa alasan, cemburu buta, menghardikku, menyalahkanku, aku ini jadi serba salah..."
Kamu diam. Matamu berkaca-kaca.
"Aku ingin sekali saja Mas peduli padaku, memperhatikanku, menyayangiku," tambahku.
Kali ini kamu terlihat menahan emosi. Tak marah dan tak menyalahkanku. Atau mungkin belum. Pikiranmu sedang mencerna kata-kataku.
Lalu tiba-tiba kamu menangis. Berdiri dan berjalan keluar. Sudah kuduga, pasti kamu akan tersinggung dengan kejujuranku.
Aku benamkan wajahku di meja makan. Aku menangis sejadi-jadinya. Kutumpahkan segalanya. Lenganku basah oleh air mata.
Dalam lagu air mata itu, dalam keputusaanku, ada sentuhan di pundakku. Kuusap sisa air mata. Lalu aku menoleh ke belakang. Aku melihatmu berdiri di belakang kursiku. Rasa takutku kembali menyerang.
Aku berdiri menghadapanmu. Bersiap menghadapi apapun amarahmu. Kadang-kadang berkata jujur padamu adalah bukan pilihan yang tepat.
"Sayang," panggilmu.
Nadanya tidak marah. Tenang. Aku angkat wajahku, menatap lekat wajahmu.
"Iyaa," jawabku.
"Memang aku yang salah, aku memang tak pernah peduli padamu," katamu.
"Maafkan kata-kataku, Mas..."
"Aku memang brengsek, tetapi jangan pernah ragukan cintaku..."
"Cinta itu yang selalu menuntunku padamu..." ujarku.
"Ya, berilah aku kesempatan," katamu.
"Tak perlu Mas meminta itu," jawabku.
"Terima kasih, cintaku..."
"Segalanya akan baik-baik saja," jawabku.
Aku melihat sepasang mata berbinaran. Indah, seperti mentari pagi, yang berdansa dengan cakrawala kemerahan. Menyemarakkan dua hati yang tengah kasmaran.
Jakarta, 21 Oktober 2012
No comments:
Post a Comment