Tuesday, November 6, 2012
Aku Punya Dua Bapak (Dua)
AKU DAN AYAH Nggie, Malapetaka dalam keluargaku, kebangkrutan dan hutang justru memberi hikmah yang positif bagiku saat ini. Karena kemudian aku menjadi dekat dengan Pa’e. Namun pada waktu itu, sebagai remaja yang baru lulus SMA, semua malapetaka ini membuatku frustrasi. Aku sangat ingin meneruskan kuliah di Akademi Perawat, tetapi impian itu hanyalah tinggal impian semata. Rasa frustrasi, sedih, merana, membuatku sering pergi dari rumah. Suasana rumah yang tegang, kakak-kakak tiri yang tak peduli membuatku lebih tenang berada di rumah mantan pembantu yang membesarkan aku dulu, sebut saja Mak Ti. Mak Ti tinggal di Wonogiri, sebuah kota ke arah selatan dari kota Solo. Maka aku jadi wira-wiri (bolak-balik) Bringin Wonogiri. Sampai akhirnya sebuah perusahaan farmasi nasional melakukan rekrutmen keryawan. Aku yang waktu itu mengambil jurusan Biologi di SMA segera saja mendaftar. Biarpun saingannya ribuan, akhirnya aku di terima. Yang diterima Jawa Tengah Cuma dua orang, aku dan seorang lagi dari Semarang. Aku pun berangkat ke Bandung untuk melakukan training. Tahun 90-an, komputer belum seperti sekarang, masih barang langka yang tidak semua orang bisa mengoperasikan. Salah satu persyaratan dari perusahaan itu, semua harus menguasai kompuiter. Syarat inilah yang kemudian membuatku mundur. Sementara itu siatuasi ekonomi rumah semakin tak karuan. Pa’e penghasilannya menurun, karena makin banyak angkutan kota baru yang lebih bagus. Penghasilannya tidak lagi seperti dulu. Karena itulah salah satu kakak tiriku yang sudah bekerja di Tangerang mengajaknya bekerja sebagai sopir bus karyawan. Pa’e dan Ibu pun akhirnya pindah ke Tangerang dan tinggal di rumah kakak. Karena mundur dari penerimaan di perusahaan farmasi itu, aku pun akhirnya di tarik kakakku ke Tangerang. Aku melamar kerja di PT Trafindo Prima perkasa, dan diterima di situ. Kami berempat, aku, kakak, Ibu dan Pa’e hidup sederhana dan tinggal berempat di rumah petak. Seiap hario Pa’e bekerja sebagai sopir. Di depan rumah Ibu berjualan nasi untuk menambah penghasilan. Pada tahun-tahun inilah aku mulai dekat dengan Pa’e.Tahun 1992 aku menikah. Dan kemudian mengontrak rumah yang lebih bagus. Pa’e dan Ibu ikut dengan aku dan suamiku di kontrakan yang baru. Sampai suatu hari pemilik rumah akan menjual rumah itu kalau tidak salah dijual kira-kira 15 juta. Pa’e ingin sekali aku segera memiliki rumah, karena itu Pa’e ingin aku membeli rumah itu. Padahal aku hanya memiliki uang 5,5 juta. “Beli rumah harus nekad, kalau tidak nekad nggak akan punya-punya...” katanya waktu itu. Pa’e tidak hanya menyuruh saja, kemudian dia pulang ke Bringin, dan ketika balik lagi ke Tangerang, dia membawa uang 5 juta. Pa’e meminta kakak tiriku meminjami aku uang 3,5 juta dan sisanya 1,5 juta yang lain hasil dari menjual perhiasan emas yang dipinjam dari rentenir sekitar 70 gram. Akhirnya rumah itu kebeli. Pa’e meminta aku mencicil uang yang dipinjami kakak tiriku, sementara emas yang dipinjam dari rentenir dia yang akan membayar, secara dicicil. Awalnya semua berjalan mulus. Rasanya sudah tenang karena memiliki rumah sendiri. Namun Tuhan memiliki rencana yang lain. Pa’e sakit. Beberapa minggu di rawat di Tangerang, Awalnya di rawat di Tengerang. Tetapi kemudian minta pulang dan di rawat di rumah sakit Dekate Salatiga. Saat itu terjadi salah diagnosa. Kata dokter sakit typhus, ternyata Pa’e terinveksi Demam Berdarah Pada tanggal 11 Mei 1998, Pa’e meninggal di Salatiga. Semua sudah terlambat. Karena salah diagnosa tadi, jadi trombosit Pa’e sudah benar-benar minim. Setelah itu, bersamaan dengan krismon yang melanda Indonesia, aku terpaksa membayar hutang dobel. Aku merasa harus membayar hutang Pa’e, karena uang itu untuk kepentinganku. Inilah hari-hari yang berat karena memang situasi ekonomi lagi sulit. Di perusahaan juga terjadi PHK karyawan, untung saja aku tetap bisa bekerja di sana sampai hari ini, selama hampir 21 tahun. Yang membuatku bangga dan mengurangi rasa bersalahku pada Pa’e aku sudah bisa mewujudkan keinginannya untuk membeli rumah. Dan membangunnya hingga memiliki 4 kamar. Dulu Pa’e pernah berpesan agar menambah kamar lagi, karena kamarnya waktu itu hanya dua saja. Seperti diceritakan Ani Dewantari Jakarta, 5 November 2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment