Monday, November 5, 2012

Aku Punya Dua Bapak (Satu)

AKU DAN AYAH
Nggie,
Apakah aku ini tergolong anak yang durhaka ya. Terutama kepada Bapak. Ceritaku tentang Pa’e –begitu aku memanggilnya sehari-hari-- sangat panjang, dan seringkali membuat aku dihantui rasa bersalah yang terus mendera. Biar pun pada akhirnya aku menjadi begitu dekat dengan beliau.
Aku Ani Dewantari, lahir di kota kecil bernama Bringin, di belah timur Kodya Salatiga. Di kota itu, kami sekeluarga adalah keluarga yang mapan. Rumahku di sebuah desa yang subur dan aku sekeluarga memiliki sawah dan kebun yang luas. Bahkan pada waktu kecil, hanya keluargaku yang memiliki televisi. Televisi adalah benda yang sangat mewah dan bergengsi pada waktu itu.
Aku memiliki 7 bersudara. Dan aku memiliki dua Bapak. Bapak administratif dan Bapak biologis. Ibu menikah dua kali. Pada pernikahan yang pertama sebut saja Bapak Karsan, ibu dikaruniai 5 orang anak. Tetapi kemudian Bapak Karsan meninggal, beliau adalah seorang tentara.
Lalu ibu menikah lagi dengan Sunarno, dan lahirlah dua orang anak, seorang anak laki-laki (kakak kandungku) dan aku si bungsu. Aku tidak pernah mengenal Bapak administratifku, tetapi di semua catatan sipil dialah Bapakku. Bahkan sampai hari ini.
Untuk tetap mempertahankan pensiun sebagai tentara, Ibu melakukan manipulasi. Biarpun aku anak dari suami kedua, akta kelahiran, tetap disebut bahwa aku dan kakak kandungku anak dari Karsan. Itu dilakukan agar uang pensiun tetap jatuh ke tangan Ibu. Sebab kalau ibu ketahuan menikah, uang pensiun akan lenyap.
Hati nuraniku sebetulnya tidak rela dengan itu. Aku merasa bersalah saat ini. Seringkali aku membayangkan bagaimana perasaan Bapak biologisku dengan kenyataan seperti itu. Pasti sangat menyakitkan, anaknya sendiri dicatat sebagai anak orang lain, hanya untuk mempertahankan uang pensiun.
Jujur saja aku tidak pernah merasa dekat dengan Bapak kandungku. Pa’e adalah seorang laki-laki yang temperamental. Prilakunya seringkali hanya membuat takut. Memang sih belum pernah bersikap kasar kepadaku, dan dikemudian hari, aku sadar alangkah cintanya Pa’e kepadaku.
Pa’e bekerja sebagai sopir colt. Colt adalah angkutan umum antara Salatiga dan Bringin. Waktu kecil pekerjaan ini terlihat gagah dan membuatku bangga. Setiap hari Pa’e hilir mudik antara Salatiga dan Bringin untuk mengangkut penumpang. Waktu itu angkutan umum tidak seperti sekarang, sangat langka dan masih merupakan barang mewah.
Pa’e seorang pekerja keras. Pagi buta sudah bekerja mengangkut penumpang. Kalau pulang sudah malam. Namun begitu, dia seorang laki-laki yang mudah marah. Apapun yang tidak sesuai dengan keinginannya akan menjadi sasaran kemarahan. Misalnya bila masakah Ibu tidak sesuai dengan keinginannya, Pa’e akan mengobrak-abrik meja makan. Juga hal yang lainnya.
Sikap dan perilakunya emosional ini, membuatku kurang suka. Atau lebih tepat takut. Setiap ada Pa’e di rumah aku menyingkir. Selain karena takut dimarahi, juga karena malas melihat wajahnya yang suram dan tidak ramah. Di rumah semua takut kepadanya.
Saudara-saudara tiriku juga tidak suka pada Pa’e. Mereka bahkan terkesan meremehkan Pa’e yang hobinya marah-marah itu. Mereka seakan tidak menghargainya sebagai Bapak, meskipun hanya bapak tiri. Itulah sebabnya mereka memanggil Pa’e dengan panggilan Kang. Ini sangat tidak aku suka.
Biar pun tidak dekat denganPa’e, hati kecilku selalu mengatakan bahwa Pa’e sangat menyayangiku. Rasa sayang itu ditunjukkan ketika aku masih SMP. Suatu hari aku dituduh mencuri uang di kelas. Jelas aku tak pernah melakukannya, dan Pa’e langsung datang ke sekolahan untuk menemui guru dan membelaku. Pa’e mengatakan bahwa aku tidak mencuri.
Satu hal tak pernah kulupakan ketika aku diterima sebagai murid di SMA 1 Salatiga. Pa’e bangga bukan kepalang. Dia ungkapkan perasaannya itu kepada siapa pun yang ditemuinya.Oh ya, SMA 1 Salatiga adalah sekolah favorit yang bergengsi. Tidak semua anak SMP bisa diterima di situ. NEM (Nilai Ebtanas Murni) nya harus tinggi. Kalau tidak salah minimal 44,75.
Namun semuanya kebahagiaan keluarga berlalu ketika aku lulus SMA. Waktu itu Ibu sakit dan harus operasi beberapa kali yang memerlukan banyak uang. Sawah dan kebun dijual semua. Hanya tinggal rumah saja yang tersisa. Apalagi waktu itu keluargaku terlibat utang dengan bank, dan aku yang sedang lulus SMA, frustrasi karena tidak bisa melanjutkan sekolah.
(Bersambung)
Seperti diceritakan Ani Dewantari
Jakarta, 6 November 2012

No comments:

Post a Comment