Pesan Kemanusiaan dalam Tradisi Maulid Nabi Saw
Salah satu fenomena yang begitu marak dalam kehidupan kontemporer adalah tentang memudarnya spirit kemanusiaan dalam kehidupan sosial. Cita-cita sosial masyarakat dalam mewujudkan tatanan kehidupan yang terbangun atas pundi-pundi kebebasan, kedamaian, dan keadilan seakan jauh dari terwujudkan. Betapa tidak, sejumlah problem kemanusiaan seperti kemiskinan, korupsi, ekploitasi, tirani, kekerasan, dan sejumlah konflik sosial lain terus datang silih berganti tanpa henti.
Padahal, Islam hadir di muka bumi adalah justru untuk membebaskan umat manusia dari kondisi-kondisi sosial yang timpang dan menindas seperti demikian. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya ayat al-Qur’an yang menyeru manusia untuk menentang segala bentuk penindasan dan segala bentuk perilaku nir-kemanusiaan. Salah satu ayat itu di antaranya, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah [5]: 2.
Senada dengan firman di atas, al-Ghazali dalam bukunya Bidayah al-Hidayah mengatakan, “al-Naf al-Muta’addi a’zham min al-Naf al-Qashir” (Ibadah kemanusiaan lebih agung ketimbang ibadah invidualistik). Dengan demikian, momen maulid Nabi ini tidaklah lain adalah ikhtiar untuk melahirkan kembali spirit dan nilai kemanusiaan yang hampir dan kerap kali mati dalam kehidupan sosial; berbangsa dan beragama.
Maulid Nabi Saw dan Spirit Kemanusiaan
Lebih dari 14 abad yang lampau, hari Senin, 12 Rabiul Awal tahun Gajah telah lahir ke dunia sesosok manusia agung; Nabi Muhammad Saw. Sosok manusia yang kehadirannya begitu dinanti terutama oleh masyarakat bangsa Arab pada saat itu. Kondisi bangsa Arab yang penuh dengan tradisi Jahiliyah; perbudakan, pembunuhan, penjarahan, dan pelbagai eksploitasi kemanusiaan lainnya. Dan pada tahun 2013 ini momen perayaan maulid Nabi jatuh pada hari Kamis tanggal 24 Januari. Melihat urgen dan sakralnya kedudukan maulid Nabi di mata umat Muslim, ia pun dijadikan hari libur nasional oleh pemerintah.
Kalau terus kita tilik dalam kebudayaan Indonesia, terutama seperti telah diilhami oleh masyarakat Pesantren, maka kita akan menemukan salah satu tradisi dalam merayakan maulid Nabi adalah dengan membaca kitab al-Barzanji, satu kitab karangan Syaikh al-Barzanji seorang ulama ternama bermazhab Maliki. Ia adalah kitab yang memuat puisi-puisi atau syair-syair indah mempesona yang didedikasikan untuk menyambut kelahiran Nabi Muhammad Saw.
Berikut saya petikkan beberapa bait puisi indah itu: Aduhai Nabi, damailah engkau/ aduhai Rasul, damailah engkau/ aduhai kekasih damailah engkau/ sejahteralah engkau. Telah terbit purnama di tengah kita/ maka tenggelam semua purnama/ seperti cantikmu tak pernah kupandang/ aduhai wajah ceria.
Betapa aura kesalehan dan kedamaian dalam diri Nabi begitu terasa. Oleh karena itu sebagai upaya memaknai maulid Nabi Saw, sekurangnya ada dua pesan yang ingin saya sampaikan berkenaan dengan misi yang diembannya.
Pertama, adalah membumikan misi relasi ketuhanan (hablumminallah) yakni tauhid. Ya, lahirnya Nabi Saw semata-mata adalah untuk menegakkan kalimat tauhid, yakni meng-esa-kan Allah dan melawan praktik kemusyrikan. Beliau menyaratkan agar manusia bersaksi atas nama Allah Swt dan Rasul-Nya, persaksian itulah yang mafhum kita kenal dengan ikrar dua kalimat syahadat; Asyhadu anla ilaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammad rasulullah (Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan sesungguhnya Muhammad utusan-Nya). Dari bunyi teks kalimat syahadat ini menunjukkan, sebuah larangan menyekutukan Allah di atas kepentingan apapun dan dari segala bentuk pemujaan apapun; benda-benda, perilaku, pandangan, dan lain-lain. Dan secara implisit bahwa menegakkan kalimat tauhid berarti menegakkan persatuan dan kesatuan, sehingga terhindarkan dari tercerai berai. Kontekstualisasi ini didapat dari makna autentik tauhid itu sendiri, yakni “satu”.
Kedua, adalah membumikan relasi kemanusiaan (habl minannas) yakni akhlakul karimah. Selain sebagai penyampai misi relasi ketuhanan, Nabi Saw bertugas menyampaikan misi relasi kemanusiaan, dan akhlakul karimah (moralitas) adalah pangkal dari setiap ajaran tentang manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Dalam sebuah sabda dinyatakan; Innama buitstu liutammima makarim al-Akhlaq (Tidaklah aku (Muhammad) diutus kecuali hanya untuk menegakkan moralitas yang luhur). Jadi, apapun identitas—suku, ras, budaya, bahasa, warna kulit, hingga agama sekalipun—yang melekat pada diri manusia, yakinlah bahwa keberagaman dan perbedaan itu akan menyatu saat moralitas dalam bingkai kemanusiaan dapat ditegakkan.
Konsisten Terhadap Kemanusiaan
Setelah kita berikhtiar memaknai momen maulid Nabi, tugas kita selanjutnya adalah konsisten terhadap nilai-nilai kemanusiaan itu. Adalah dengan istiqamah teguh berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan dalam kerja memanusiakan manusia, sebagai manusia yang memiliki hak dan kewajiban secara bebas dan setara dalam kehidupan berbangsa dan beragama.
Untuk mewujudkan kosistensi dalam menegakkan prinsip kemanusiaan itu—meminjam konsepsi Al-Ghazali (w. 505 H/1111 M)—maka sekurangnya kita harus berpegang pada lima prinsip kemanusiaan universal berikut ini.
Pertama, melindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan (hifzh al-Din). Prinsip ini jika kita terapkan dalam konteks Indonesia, maka pemerintah dan seluruh warga Negara wajib melindungi keberadaan setiap agama dan keyakinan yang ada. Tidak boleh ada diskriminasi, pemaksaan, penindasan, apalagi kekerasan.
Kedua, melindungi jiwa (hifzh al-Nafs). Semua manusia dengan identitas apapun yang melekat padanya, wajib saling melindungi satu sama lain. Sehingga, tidak diperkenankan antara satu orang terhadap orang lain saling mencaci, memaki, apalagi membunuh.
Ketiga, melindungi akal pikiran (hifzh al-‘Aql). Kita mesti punya prinsip untuk saling menghargai pendapat dan kreativitas orang lain yang berbeda. Dengan kata lain, kita tidak berhak untuk menganggap orang lain yang berbeda itu; sesat, musyrik, kafir, dan labelisasi lainnya yang dapat menimbulkan disintegrasi sosial.
Keempat, melindungi keturunan (hifzh al-Nasl). Semua manusia harus berpegang teguh pada prinsip kehormatan dan keturunan manusia. Tidak boleh ada penjarahan, pemerkosaan, pelecehan, dan segala bentuk eksploitasi seksual lainnya terhadap siapapun, terutama terhadap perempuan.
Kelima, melindungi hak milik (hifzh al-Mal). Melalui prinsip ini, semua manusia dikecam untuk berbuat eksploitatif seperti merampas hak milik, korupsi, penggusuran, perusakan lingkungan, dan lain-lain.
Saya ingin mengakhiri tulisan sederhana ini dengan ayat dalam QS. Al-Anbiya [21]: 107, yang selaras dengan pesan kemanusiaan dalam tradisi maulid Nabi Saw, “Dan Aku tidak mengutus kamu Muhammad kecuali untuk semesta alam”. Demikian. Wallahu’alam bi al-Shawab
wedhakencana.blogspot.com Sumber: http://sejarah.kompasiana.com/2013/01/23/pesan-kemanusiaan-dalam-tradisi-maulid-nabi-saw-527869.html. Oleh Mamang M. Haerudin*) [Dimuat di Harian Umum Radar Cirebon, edisi pagi ini Rabu 23 Januari 2013]
No comments:
Post a Comment