SAINS DALAM PERSPEKTIF ISLAM[1]
oleh: Ahmad Muzaqqi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sains merupakan kebutuhan pokok bagi setiap individu untuk menghadapi zaman yang sarat dengan persaingan ini, tak terkecuali kaum muslimin. Karena dengan sains, seseorang bisa dihormati dan diakui keberadaannya oleh masyarakat. Selain itu, sains juga menjadi salah satu indikator kemajuan suatu bangsa, karena pada dasarnya semua bidang kehidupan memerlukan sains.
Dari sinilah, untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, kita kaum muslimin harus berusaha mempelajari dan menguasai sains. Tapi, disisi lain, kita juga tidak diperbolehkan untuk melanggar ajaran Islam yang telah disempurnakan oleh Allah SWT. Karena pada hakikatnya, semua yang ada di alam semesta ini akan kembali kepadaNya, bahkan sebenarnya sains dan berbagai ilmu lainnya telah terkandung di dalam kalamNya, al-Qur’an.
Hal-hal itu kita lakukan dengan tujuan agar Islam bisa menjaga persaingan dengan negara-negara Barat, yang notabennya adalah penguasa sains masa kini. Disamping itu, dengan mentaati ajaran Allah, maka kita akan selalu mendapatkan perlindungan dan ridhaNya.
B. Rumusan Masalah
Untuk memperjelas apa yang ingin dibahas oleh penulis, maka penulis merumuskan beberapa permasalahan, yaitu sebagai berikut.
1. Apa yang dimaksud dengan sains?
2. Bagaimana pendidikan sains yang relevan dengan ajaran Islam?
3. Bagaimana al-Qur’an (sumber hukum Islam) sebagai sumber ilmu sains?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sains
Istilah sains diambil dari bahasa Latin scio, scire, scientia, yang bermakna ”aku tahu, mengetahui, pengetahuan” tentang apapun oleh siapapun dengan cara apapun.[2]
Sains berarti ilmu, sains juga dapat diartikan sebagai pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu dan bersifat koheren, empiris, sistematis, dapat diukur dan dibuktikan.[3]
Berdasarkan “Webster New Collegiate Dictionary”, definisi dari sains adalah pengetahuan yang diperoleh melalui pembelajaran dan pembuktian atau pengetahuan yang melingkupi suatu kebenaran umum dari hukum-hukum alam yang terjadi misalnya didapatkan dan dibuktikan melalui metode ilmiah. Sains dalam hal ini merujuk kepada sebuah sistem untuk mendapatkan pengetahuan yang dengan menggunakan pengamatan dan eksperimen untuk menggambarkan dan menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi di alam.[4]
Sedangkan menurut pendapat beberapa ahli, pengertian sains adalah sebagai berikut.
1. Sund dan Trowbribge merumuskan bahwa sains merupakan kumpulan pengetahuan dan proses.
2. Kuslan Stone menyebutkan bahwa sains adalah kumpulan pengetahuan dan cara-cara untuk mendapatkan dan mempergunakan pengetahuan itu. Sains merupakan produk dan proses yang tidak dapat dipisahkan.
3. Sardar berpendapat bahwa sains adalah sarana yang pada akhirnya mencetak suatu peradaban, dia merupakan ungkapan fisik dari pandangan dunianya.[5]
Sedangkan ilmu sains yang tergolong dalam kumpulan ilmu sains terapan (telah mengalami penyesuaian, antara makna dengan kenyataan) adalah dikaitkan dengan teori dan dasar untuk menciptakan sesuatu hasil yang dapat memberi manfaat kepada manusia. Sehingga sains mengkaji tentang fenomena fisik.[6]
Dari beberapa pengertian diatas, maka secara ringkas sains merupakan ilmu/pengetahuan yang dapat menjelaskan sebuah gejala/fenomena alam, sehingga berguna bagi kehidupan manusia.
B. Pendidikan Sains yang Relevan dengan Ajaran Islam
Sains memang merupakan hal yang sangat penting, apalagi di zaman modern ini, yang sangat menjunjung tinggi nilai rasionalitas (terutama negara Barat), sehingga segala sesuatu harus disesuaikan dengan logika. Tapi, kita sebagai kaum Muslimin harus selalu menjunjung tinggi nilai-nilai agama Islam, meskipun pada kenyataannya kita juga harus menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Sebenarnya, bila kita amati, antara ajaran Islam dengan pendidikan sains tidak ada pertentangan, bahkan Islam mewajibkan umatnya untuk mencari ilmu. Salah satu dasar (dalil) yang populer adalah hadits Rasulullah SAW.
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ الله تــَعَالَى عَلَيــْهِ وَسَلـَّمَ: طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيــْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُســـلِمٍ وَ مُسْـــلِمَةٍ
Artinya : Rasulullah SAW. bersabda : “Mencari ilmu itu hukumnya wajib bagi setiap orang Islam laki-laki dan perempuan.”[7]
Dalam hadits tersebut memang jelas disebutkan bahwa hukum mencari ilmu adalah fardhu ain (harus dilakukan per individu). Tapi, banyak pendapat yang muncul dalam menentukan ilmu mana yang dimaksud dalam hadits tersebut. Para ahli ilmu kalam memandang bahwa belajar teologi merupakan sebuah kewajiban, sementara para fuqaha’ berpikir bahwa ilmu fiqih dicantumkan dalam al-Qur’an. Sedangkan menurut Imam Ghazali, ilmu yang wajib dicari menurut agama adalah terbatas pada pelaksanaan kewajiban syari’at Islam yang harus diketahui dengan pasti. Misalnya, seseorang yang bekerja sebagai peternak binatang, haruslah mengetahui hukum-hukum tentag zakat.[8]
Sedangkan dalam sumber lain, penulis menemukan pendapat Shadr al-Din Syirazi. Menurutnya ada beberapa poin yang dapat diambil dari hadits tersebut:
1. Kata “ilm” (pengetahuan atau sains), memiliki beberapa makna yang bervariasi. Kata “ilm” dalam hadits ini bermaksud untuk menetapkan bahwa pada tingkat ilmu apapun seseorang harus berjuang untuk mengembangkan lebih jauh. Nabi bermaksud bahwa mencari ilmu itu wajib bagi setiap Muslim, baik itu para ilmuwan maupun orang-orang yang bodoh, para pemula mupun para sarjana terdidik. Apapun tingkat ilmu yang dapat dicapainya, ia seperti anak kecil yang beranjak dewasa, sehingga ia harus mempelajari hal-hal yang sebelumnya tak wajib baginya.
2. Hadits ini menyiratkan arti bahwa seorang Muslim tidak akan pernah keluar dari tanggung jawabnya untuk mencari ilmu.
3. Tidak ada lapangan pengetahuan atau sains yang tercela atau jelek dirinya sendiri, karena ilmu laksana cahaya, dengan demikian selalu dibutuhkan. Alasan mengapa beberapa ilmu dianggap tercela adalah karena akibat-akibat tercela yang dihasilkannya.[9]
Dari pendapat-pendapat diatas, dapat kita lihat bahwa ajaran Islam juga mencakup tentang pendidikan sains yang notabennya adalah ilmu yang berguna bagi kehidupan (dunia) manusia.
Tapi, disini, ilmu (sains) yang dipelajari haruslah bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, menyejahterakan umat, mensyiarkan ajaran-ajaran agama Islam. Tidak dibenarkan, apabila ada orang Islam yang menuntut ilmu pengetahuan hanya untuk mengejar pangkat, mencari gelar, dan keuntungan pribadi. Selain itu, ilmu yang telah didapat harus disebarkan (diajarkan kepada orang lain) dan diamalkan (tingkah lakunya sesuai dengan ilmunya).[10]
Bila seseorang dapat melakukan ketiga hal tersebut, maka derajat orang tersebut diangkat oleh Allah dan disamakan dengan orang-orang yang berjuang di medan perang (berjihad di jalan Allah). Tentu kita sebagai hambaNya menginginkan hal tersebut.
Memang benar peribahasa “........... bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian”, untuk menggapai sesuatu yang diinginkan dan diimpi-impikan tentu tidak mudah, sehingga untuk mendapatkan ilmu pengetahuan (sains) yang dapat mensejahterakan kehidupan dunia sekaligus mendapatkan derajat yang tinggi di Mata Allah, seseorang harus berperang dengan hawa nafsunya yang selalu mementingkan kehidupan duniawi. Kebanyakan ilmuwan, bahkan ilmuwan Muslin lupa akan tujuan ukhrowinya, mereka lebih senang menganggap bahwa sains merupakan sarana mencari penghidupan, bukan sarana mendekatkan diri kepada Sang Maha Kuasa. Konsep sains seperti itu lebih mirip dengan konsep sains Barat, yang tentunya salah.
Sehingga sebagai umat Muslim, kita membutuhkan sains yang disusun dari kandungan Islam yang memiliki proses dan metodologi yang mempu bekerjasama dengan semangat nilai-nilai Islami dan yang dilaksanakan semata-mata untuk mendapatkan keridhaan dari Allah. Sains semacam ini akan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat Muslim dan bekerjasama dalam konteks etika Islam. Sifat dasar dan jenis sains ini harus jauh berbeda dari sains Barat.[11]
Tapi, untuk mendapatkan bentuk sains yang seperti ini, hampir tidak mungkin, bila dilihat dari kesadaran dan pemahaman kaum Muslimin sekarang. Bila dilihat, mereka lebih banyak meniru dan menganut pendapat-pendapat ilmuwan Barat, yang sudah jelas-jelas salah. Ini sangat ironis, karena Islam yang dulu pernah menguasai ilmu pengetahuan dunia, kini malah meniru dan berkiblat kepada sains Barat, tanpa berusaha mencari kebenaran sains yang hakiki.
Dalam memecahkan masalah ini, penulis perlu memaparkan bahwa Islam adalah sebuah sistem agama, kebudayaan, dan peradaban secara menyeluruh. Ia merupakan sistem holistik dan nilai-nilainya menyerap setiap aktivitas manusia, yang tentunya sains termasuk di dalamnya. Dan bila diulas kembali makna sains sebagai metode yang rasional dan empiris untuk mempelajari fenomena alam, maka menggali ilmu sains dalam Islam adalah satu-satunya cara untuk mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentang Sang Pencipta, dan menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat Islam. Ia sendiri tidak akan berakhir. Oleh karena itu, sains tidak dipelajari untuk sains itu sendiri, akan tetapi untuk mendapatkan Ridha Allah SWT. dengan mencoba memahami ayat-ayatNya.[12]
Dalam dunia sains, konsep sains seperti ini sering disebut sebagai konsep sains Islam, yang notabennya adalah ilmu sains yang dalam mempelajarinya tidak akan pernah bertentangan dengan hukum dan ajaran Islam. Karena sains itu sendiri dijadikan sarana untuk beribadah kepadaNya, Sang Maha Pemilik Ilmu.
Penerapan sains Islam akan menciptakan suasana yang menggugah ingatan kita kepada Allah, mendorong perilaku yang sesuai dengan ketentuan syariat, dan mengingatkan nilai-nilai konseptual yang ada dalam al-Qur’an.[13]
Dalam bidang pendidikan (khususnya Pendidikan Agama Islam), bentuk sains seperti ini sangat diperlukan untuk mewujudkan kaum pelajar yang benar-benar memahami konsep sains Islam, sehingga mereka tidak memiliki keraguan dan ketakutan dalam mempelajari sains. Selain itu, untuk menghindarkan mereka dari perbuatan yang dilarang oleh agama, yang biasanya disebabkan oleh minimnya pemahaman mereka. Jadi, secara jelas konsep sains Islam akan menghasilkan kesempurnaan pemahaman sains, dan mendatangkan kenikmatan kehidupan duniawi dan ukhrowi, yang tentunya diidam-idamkan oleh semua orang yang beriman. Selain itu, buah manis dari konsep sains Islam adalah akan melahirkan ilmuwan-ilmuwan Islam, yang nantinya akan membangkitkan semangat kaum Muslimin dalam bidang ilmu pengetahuan. Hal inilah akan menjadi jawaban dari pertanyaan, “Mengapa orang Islam makin banyak, tapi kualitas mereka jauh menurun dibanding dengan orang-orang Islam dahulu?”.
C. Al-Qur’an Sebagai Sumber Ilmu Sains
Di zaman sekarang, bila kita amati banyak orang yang mencoba menafsirkan beberapa ayat al-Qur’an dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan modern. Tujuan utamanya adalah untuk menunjukkan mukjizat al-Qur’an sebagai sumber segala ilmu, dan untuk menumbuhkan rasa bangga kaum muslimin karena telah memiliki kitab yang sempurna ini.
Tetapi, pandangan yang menganggap bahwa al-Qur’an sebagai sebuah sumber seluruh ilmu pengetahuan ini bukanlah sesuatu yang baru, sebab kita mendapati banyak ulamak besar kaum muslim terdahulu pun berpandangan demikian. Diantaranya adalah Imam al-Ghazali. Dalam bukunya Ihya ‘Ulum al-Din, beliau mengutip kata-kata Ibnu Mas’ud: “Jika seseorang ingin memiliki pengetahuan masa lampau dan pengetahuan modern, selayaknya dia merenungkan al-Qur’an”. Selanjutnya beliau menambahkan: “Ringkasnya, seluruh ilmu tercakup di dalam karya-karya dan sifat-sifat Allah, dan al-Qur’an adalah penjelasan esensi, sifat-sifat, dan perbuatan-Nya. Tidak ada batasan terhadap ilmu-ilmu ini, dan di dalam al-Qur’an terdapat indikasi pertemuannya (al-Qur’an dan ilmu-ilmu)”.[14]
Bahkan pada sebuah sumber yang dikutip oleh penulis, dijelaskan bahwa mukjizat Islam yang paling utama ialah hubungannya dengan ilmu pengetahuan. Surah pertama (al-Alaq, ayat 1-5) yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW ialah nilai tauhid, keutamaan pendidikan, dan cara untuk mendapatkan ilmu pengetahuan diberikan penekanan yang mendalam.[15]
Firman Allah SWT (Al-alaq 1-5) :
Artinya : “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”[16]
Kata “bacalah” dalam ayat tersebut mengandung arti tentang perintah menuntut ilmu, apalagi pada saat itu (awal kenabian), bangsa Arab sedang berada pada zaman jahiliyah (kebodohan).
Jika sains dikaitkan dengan fenomena alam, maka dalam al-Qur’an lebih dari 750 ayat menjelaskan tentang fenomena alam. Salah satunya adalah pada Surah Luqman, ayat 10.
Artinya: “Dia menciptakan langit tanpa tiang yang kamu melihatnya dan dia meletakkan gunung-gunung (di permukaan) bumi supaya bumi itu tidak menggoyangkan kamu; dan memperkembang biakkan padanya segala macam jenis binatang. dan kami turunkan air hujan dari langit, lalu kami tumbuhkan padanya segala macam tumbuh-tumbuhan yang baik.”[17]
Dalam ayat tersebut, menjelaskan tentang betapa besarnya kekuasaan Allah SWT. dalam menciptakan mahluk-mahlukNya. Tidak berhenti sampai disitu, kita juga diperintahkan untuk mempelajarinya (mahluk). Hal ini telah banyak dilakukan oleh orang (ilmuwan) Barat, dan malah kebanyakan dari kita hanya mengikuti apa yang mereka katakan. Padahal, kita sebagai hambaNya seharusnya memiliki keharusan yang lebih besar dari pada mereka. Karena bila diamati, tidak sedikit dari pandangan mereka melenceng dari ajaran agama Islam. Bila kita hanya mengikuti mereka, dikhawatirkan kita akan terjerumus kedalam jalan kesesatan bersama mereka. Seperti contoh, pandangan Darwin tentang teori evolusi yang menyebutkan bahwa manusia zaman dahulu memiliki bentuk fisik menyerupai kera, itu merupakan pendapat yang tidak sesuai dengan al-Qur’an. Karena secara jelas, manusia pertama yang diciptakan Allah adalah Nabi Adam AS.
Mempelajari ilmu, baik itu ilmu agama maupun ilmu pengetahuan (sains) merupakan hal yang sangat sulit, maka dari itu, Islam sangat memuliakan para ahli ilmu, sehingga dalam Surah al-Mujadilah ayat 11, derajat mereka diangkat oleh Allah SWT.
Artinya : "......... niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”[18]
Dalam potongan ayat tersebut, Allah menjajarkan iman dengan ilmu. Disinilah terlihat betapa pentingnya ilmu, karena orang yang beriman tanpa memiliki ilmu maka segala ibadahnya akan ditolak. Sedangkan sebaliknya, orang berilmu tanpa beriman, maka ilmunya dapat menyesatkannya menuju jalan yang dilarang dan dilaknatNya.
Disinilah, kita sebagai hambaNya yang beriman harus ekstra hati-hati dalam mempelajari suatu ilmu. Kita harus selalu mengembalikan semuanya kepadaNya, kita harus berusaha mencocokkan segala jenis ilmu dengan kalamNya (al-Qur’an) yang sempurna.
Karena sudah jelas, al-Qur’an membahas banyak Ilmu, antara lain ilmu yang berhubungan dengan kemasyarakatan yang memberi pedoman dan petunjuk berkaitan dengan perundang-undangan tentang halal dan haramnya suatu aktiviti, peradaban, muamalat antara manusia dalam bidang ekonomi, perniagaan, sosiobudaya, peperangan dan perhubungan antar bangsa. Juga terdapat maklumat ataupun isyarat (hint-suggestions) tentang perkara-perkara yang telah menjadi tumpuan kajian sains, misalnya, sidik jari sebagai tanda pengenal, penciptaan bumi dan langit, dan lain-lain.[19]
Dari sini, maka pantaslah kalau di zaman ini banyak ilmuwan (ilmuwan Barat khususnya) yang berusaha mempelajari al-Qur’an demi memahami suatu kajian sains. Tapi, kita sebagai umat Muslim jangan sampai kalah dengan mereka, sehingga peradaban Islam dapat bangkit kembali. Ketika peradaban Islam mulai bangkit, maka kemungkinan besar dunia dapat dikuasai oleh Islam, sehingga konsep Islam sebagai agama yang “Rahmatan lil-‘Alamin” (kesejahteraan bagi seluruh dunia) dapat terwujud secara nyata.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan yang telah dipaparkan, maka penulis dapat membuat beberapa kesimpulan sebagai berikut.
1. Sains merupakan ilmu/pengetahuan yang dapat menjelaskan sebuah gejala/fenomena alam, sehingga berguna bagi kehidupan manusia.
2. Sains yang relevan dengan ajaran Islam harus dapat menjadi media untuk mengingat Allah dan memajukan peradaban masyarakat Islam. Dan tidak dibenarkan bila kita mempelajari sains hanya untuk memperoleh penghidupan dan kesenangan dunia, apalagi berbuat maksiat, yang nanti pada ahirnya akan merugikan diri sendiri.
3. Banyak sekali kajian sains yang merujuk pada al-Qur’an. Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang fenomena-fenomena alam dan keutamaan ilmu pengetahuan. Oleh karena itulah, banyak ilmuwan yang dalam mempelajari sains mencari referensi dari al-Qur’an.
B. Saran
Beberapa saran yang ingin penulis berikan kepada pembaca sebagai sesama umat Muslim adalah sebagai beikut.
1. Kita harus ekstra hati-hati dalam menelaah pendapat-pendapat ilmuwan sains. Karena tidak menutup kemungkinan pendapat tersebut merupakan pendapat yang sesat (tidak sesuai dengan ajaran Islam).
2. Kita harus memperbanyak kegiatan-kegiatan belajar dan mengamati (mempelajari lingkungan sekitar), agar kita bisa selalu eksis dan krisis, tidak hanya pasif.
3. Mari kita tumbuhkan rasa cinta kepada Kitab Suci kita sendiri, al-Qur’an, karena sesungguhnya bila kita memahami isinya, tentunya dibantu oleh seorang guru, maka kita bisa menguasai sains, dan mungkin bisa mengalahkan para ilmuwan Barat, karena kita secara tidak langsung mendapaat pertolonganNya.
4. Jangan pernah lupa kepada Dzat Yang Menciptakan kita. Walaupun kita dalam keadaan sesempurna apapun (misalnya, pandai, kaya, berkuasa), karena sesungguhnya Dialah Yang Maha Sempurna.
Setelah menyelesaikan makalah yang hanya beberapa lembar ini, mungkin ada kesalahan baik dalam penulisan maupun penyusunan kalimat, penulis minta maaf, karena penulis hanya manusia biasa, sedangkan kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT. Agar penulis bisa menjadi lebih baik di masa yang akan datang, saran serta kritik yang bersifat konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Imam al-Syaikh Ibrahim bin Ismail. Tth. Ta’lim al-Muta’allim. Semarang: Pustaka al-Alawiyah.
Butt, Nasim. 2001. Sains dan Masyarakat Islam (Diterjemahkan oleh Masdar Hilmy dari Buku Science and Muslim Society). Bandung: Pustaka Hidayah.
Fauziyah, Lilis R.A. dan Andi Setyawan. 2009. Kebenaran al-Qur’an dan Hadits. Solo: Tiga Serangkai.
http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/1786489-pengertian-filsafat-sains/log
http://my.opera.com/ilmyaku/blog/2009/11/04/sains-dalam-islam
http://sains4kidz.wordpress.com/2009/07/19/definisi-sains/
http://www.junaidi.co.cc/2010/03/pengertian-sains-teknologi-dan-seni.html
Mahdi, Ghulsyani. 2001. Filsafat-Sains Menurut Al-Qur’an (Diterjemahkan oleh Agus Efendi dari Buku The Holy Quran and the Science of Nature). Bandung: Penerbit Mizan.
Noordin, Sulaiman. 2000. Sains Menurut Perspektif Islam (Diterjemahkan oleh Munfaati). Jakarta: Dwi Rama.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an. 1990. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an.
[1]Makalah ini telah dipresentaikan dalam Ujian Mata Pelajaran B.Indonesia di MA YASPIA Ngroto pad atahun 2010
[2] http://my.opera.com/ilmyaku/blog/2009/11/04/sains-dalam-islam
[3]http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/1786489-pengertian-filsafat-sains/log
[4]http://sains4kidz.wordpress.com/2009/07/19/definisi-sains/
[5] http://www.junaidi.co.cc/2010/03/pengertian-sains-teknologi-dan-seni.html
[6]Sulaiman Noordin, Sains Menurut Perspektif Islam (Diterjemahkan oleh Munfaati), Dwi Rama, Jakarta, 2000, hal.149-150.
[7] Al-Imam al-Syaikh Ibrahim bin Ismail, Ta’lim al-Muta’allim, Pustaka al-Alawiyah, Semarang, tth, hal.4.
[8] Dr. Mahdi Ghulsyani, Filsafat-Sains Menurut Al-Qur’an (Diterjemahkan oleh Agus Efendi dari Buku The Holy Quran and the Science of Nature), Penerbit Mizan, Bandung, 2001, hal.40.
[9] Ibid, hal.43.
[10] Lilis Fauziyah R.A. dan Andi Setyawan, Kebenaran al-Qur’an dan Hadits, Tiga Serangkai, Solo, 2009, hal.114.
[11] Nasim Butt, Sains dan Masyarakat Islam (Diterjemahkan oleh Masdar Hilmy dari Buku Science and Muslim Society), Pustaka Hidayah, Bandung, 2001, hal.63-64.
[12] Ibid, hal.69-70.
[13]Ibid, hal.92.
[14] Dr. Mahdi Ghulsyani, Op.Cit, hal.137.
[15] Sulaiman Noordin, Op.Cit, hal.1.
[16] Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Al Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, Jakarta, 1990, hal.1079.
[17] Ibid, hal.654.
[18] Ibid, hal. 910-911.
[19] Sulaiman Noordin, Op.Cit, hal.3.
No comments:
Post a Comment