Thursday, January 31, 2013
Kasih Tak Sampai (Satu)
FIRST LOVE Kenalkan, namaku Septian. Seorang laki-laki yang hampir gila karena cinta pertama. Bahkan aku pernah nyaris bunuh diri karena tak sanggup menghalau perasaan itu. Aku melakukan apapun demi Sinta, tetapi dia sama sekali tak mencintaiku. Kami memang berbeda derajad, itulah sebabnya. Ketika kelas empat SD ibuku meninggal. Menyusul Bapak yang sudah meninggal lebih dulu, kira-kira sepuluh tahun sebelumnya. Ibuku meninggal di hadapanku. Sudah beberapa tahun ibuku sakit. Aku sebetulnya tak ingin mengatakannya, ibuku sakit jenis penyakit yang sangat memalukan, dia terkena sipilis. Aku memiliki enam saudara, dan aku adalah anak ke tujuh. Setelah SMA, baru aku tahu kalau ibuku adalah bekas seoramg pelacur. Setelah Bapak meninggal, ibu kembali bekerja sebagai pelacur, melanjutkan profesinya sebelum dinikahi oleh bapak. Di seluruh kampungku, sudah tahu hal itu. Tetapi karena aku anak yang baik, mereka menyayangiku. Mereka sering memberiku pekerjaan apa saja. Mulai mengepel, mencuci baju, menjadi pesuruh yang bisa bekerja serabutan. Semua pekerjaan kasar pernah aku lakukan, dan aku melakukannya dengan senang hati. Mulai dari menjadi kuli di pasar, mengayuh becak cadangan, menimba air buat tetangga, ataupun kerja kotor lainnya. Aku tak bisa mengandalkan saudaraku yang lain, karena mereka hidupnya juga serba terbatas. Dengan bekerja sendiri, dan mendapatkan uang, aku bisa tetap melanjutkan sekolah. Dan aku tak pernah malu, bagiku yang penting pekerjaan itu halal. Di kampungku ada keluarga berada yang sangat baik. Mereka sering menggunakan jasa tenagaku untuk pekerjaan-pekerjaan kasar, seperti, membersihkan kebun, menimba air, membersihkan got sampai mencuci mobil. Keluarga itu memiliki tiga orang puteri, dan puteri bungsunya seusiaku. Kebetulan Sinta, puteri bungsu keluarga itu adalah teman sekolahku di SD setempat, jadi kami sudah seperti sahabat. Seperti kedua orang tuanya, Sinta tidak pernah pilih-pilih teman. Dia mau bergaul dengan siapa saja. Sinta berkulit sawo matang, rambutnya ikal terurai panjang. Namun begitu, Sinta adalah seorang gadis tomboi. Kalau aku sedang membersihkan kebun, kadang-kadang Sinta mengagetkanku dengan meloncat dari cabang pohon. Lalu tertawa-tawa senang saat aku ketakutan. Oleh Mamanya, Sinta selalu disuruh membantuku bekerja. Saat aku membersihkan kebun, Sinta bagian membakar sampahnya. Kalau aku menimba air di sumur, Sinta bagian membuka pintu kamar mandi agar aku mudah membawa ember di tanganku. Kami mengerjakan dengan ceria. Sehingga semua pekerjaan menjadi ringan. Jujur saja, melihat sifat kekanakannya setiap hari, membuat aku mulai suka, atau bisa dibilang jatuh cinta. Hidupnya begitu bebas dan menyenangkan. Termasuk di sekolah, Sinta juga seorang juara. Namun begitu dia tidak pernah bersikap sombong. Kami bertumbuh bersama, kebetulan aku juga bukan anak yang bodoh, aku dan Sinta diterima di SMP Negeri yang sama. Kami tetap bersahabat sampai kami lulus SMP. Sinta sangat suka bersepeda. Kadang kami ke sekolah bersama dengan bersepeda. Hidupku serasa begitu indah ketika bersamanya. Semua kepahitan hidup seperti hilang bila ada gadis itu di dekatku. Oh ya, berbeda dengan siswa SMP lainnya, aku juga masih bekerja serabutan. Kadang-kadang aku dibayar untuk menjadi sopir mobil sayuran pengganti, atau menjadi tukang sapu di rumah keluarga kaya. Sesekali masih disuruh kerja di rumahnya Sinta. Aku jarang bergaul dengan teman sekolah, karena perasaan minder. Selain bersekolah, aku selalu bekerja. Ketika SMP, Sinta sudah bertumbuh dengan tinggi. Kulitnya yang sawo matang, rambutnya yang di ekor kuda, membuatnya menjadi perhatian beberapa teman SMP. Aku tidak pernah satu kelas dengan Sinta, tetapi aku tahu, Sinta tertarik dan dekat dengan seorang siswa yang bernama Sakti, Sakti berwajah tampan dan pintar di sekolah, itu yang selalu membuatku gusar. Aku sebetulnya berwajah lumayan, biar pun tubuhku pendek. Tangan-tanganku besar dan berotot, karena sering bekerja kasar. Kulitku putih bersih, namun karena sering terkena matahari, menjadi hitam. Kata orang aku mirip Bapakku. Api cemburu meluap-luap, setiap kali melihat Sinta bersama Sakti, dan dia kadang mulai mengabaikanku. Hanya kalau butuh sesuatu saja Sinta minta tolong kepadaku. Dan aku tetap membantunya dengan sepenuh hatiku. Itu adalah bukti kasih sayangku kepada gadis itu. Lama-lama aku sadar, bahwa aku tak mungkin memiliki Sinta, kami beda trah. Dan itu adalah harga mati bagi hidupku. Namun begitu, kami masih bersahabat. Aku sering memandanginya di kejauhan, dan membenamkan perasaanku dalam-dalam. Sayangnya kebersamaan itu harus berakhir, sebab setelah lulus SMP, aku harus meninggalkannya, aku diminta kerja di Jakarta oleh salah satu kakakku. Demi isi perutku dan agar bisa tetap bersekolah, aku terima semua itu. Aku dengar Sinta juga melanjutkan SMA di kotaku itu, dan kami berpisah untuk beberapa tahun kemudian. Tekadku, setelah di Jakarta, aku akan menjadi orang, dan akan kujemput cintaku untuk menemani sisa hidupku. (Bersambung)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment