Pertanyaan:
Assalamu'alaikum . . . Aku mau bertanya Ustad!!!
Beberapa tahun yang lalu puasa aku sering bolong-bolong, sampai-sampai aku tidak ingat lagi sudah berapa kali puasa aku yang bolong tapi aku bolongnya bukan karena sakit melainkan karena hawa nafsu dan sedikit godaan dari lingkungan sekitar. Nah yang ingin aku tanyakan apakah aku wajib mengqodhonya dan berapa kali aku mengqodho puasa ku sedangkan aku tidak ingat lagi berapa kali aku bolong?
By: Pemuda Yang Haus Ilmu Agama
Jawaban:
Semoga Allah senantiasa memberikan kita hidayah demi hidayah. Kami sangat senang sekali jika ada di antara saudara kami yang mendapatkan hidayah, apalagi menyadari dosa yang ia lakukan dan ingin bertaubat. Sungguh pintu taubat masih terbuka lebar bagi siapa saja yang ingin meraihnya.
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az Zumar: 53).
Tugas kitalah menyesali setiap dosa yang kita lakukan. Penyesalan inilah bagian dari taubat yang tulus.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).” (QS. At Tahrim: 8)
Para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan taubat yang tulus di sini adalah apabila terpenuhi empat syarat: “ Menghindari dosa untuk saat ini. Menyesali dosa yang telah lalu. Bertekad tidak melakukannya lagi di masa akan datang. Lalu jika dosa tersebut berkaitan dengan hak sesama manusia, maka ia harus menyelesaikannya/ mengembalikannya.”[1]
Tangisilah setiap dosa tersebut dan takutlah pada Siapa yang Engkau maksiati yaitu Allah yang tidak mungkin lepas satu makhlukpun dari penglihatan-Nya. Malik bin Dinar mengatakan, “Menangisi dosa-dosa itu akan menghapuskan dosa-dosa sebagaimana angin mengeringkan daun yang basah.”[2]
Jika memang Anda adalah orang yang sudah baligh (beranjak dewasa) dengan salah satu tandanya adalah dengan mimpi basah atau tumbuh bulu kemaluan, maka tentu saja sudah dikenai kewajiban puasa. Jadi meninggalkannya pun jadi masalah besar. Betul sekali apa yang dikatakan oleh saudara bahwa kadangkala ini terjadi karena pengaruh lingkungan yang jelek. Itu memang benar sekali. Terutama ketika kita sudah baligh namun masih belum sadar untuk menunaikan kewajiban puasa dan terpengaruh dengan teman-teman yang jelek, maka ada yang tidak berpuasa dengan sengaja. Bukan karena sakit atau apa, namun memang karena malas berpuasa. Lalu masalahnya jika seseorang meninggalkan puasa dalam kondisi seperti ini puasanya harus diganti atau seperti apa?
Mayoritas ulama berpendapat bahwa siapa saja yang sengaja membatalkan puasa atau tidak berpuasa baik karena ada udzur atau pun tidak, maka wajib baginya untuk mengqodho’ puasa.[3]
Namun ada ulama yang memiliki pendapat yang berbeda. Ibnu Hazm dan ulama belakangan seperti Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahumallah berpendapat bahwa bagi orang yang tidak berpuasa dengan sengaja tanpa ada udzur, tidak wajib baginya untuk mengqodho’ puasa. Ada kaedah ushul fiqih yang mendukung pendapat ini: “Ibadah yang memiliki batasan waktu awal dan akhir, apabila seseorang meninggalkannya tanpa udzur (tanpa alasan), maka tidak disyariatkan baginya untuk mengqodho’ kecuali jika ada dalil baru yang mensyariatkannya”.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin memaparkan pula kaedah di atas: “Sesungguhnya ibadah yang memiliki batasan waktu (awal dan akhir), apabila seseorang mengerjakan ibadah tersebut di luar waktunya tanpa ada udzur (alasan), maka ibadah tadi tidaklah bermanfaat dan tidak sah.”
Syaikh rahimahullah kemudian membawakan contoh. Misalnya shalat dan puasa. Apabila seseorang sengaja meninggalkan shalat hingga keluar waktunya, lalu jika dia bertanya, “Apakah aku wajib mengqodho’ (mengganti) shalatku?” Kami katakan, “Engkau tidak wajib mengganti (mengqodho’) shalatmu. Karena hal itu sama sekali tidak bermanfaat bagimu dan amalan tersebut akan tidak diterima.
Begitu pula apabila ada seseorang yang tidak berpuasa sehari di bulan Ramadhan (dengan sengaja, tanpa udzur, -pen), lalu dia bertanya pada kami, “Apakah aku wajib untuk mengqodho’ puasa tersebut?” Kami pun akan menjawab, “Tidak wajib bagimu untuk mengqodho’ puasamu yang sengaja engkau tinggalkan hingga keluar waktu karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari kami, maka amalan tersebut tertolak.”[4]
Seseorang apabila mengakhirkan ibadah yang memiliki batasan waktu awal dan akhir dan mengerjakan di luar waktunya, maka itu berarti dia telah melakukan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan tersebut adalah amalan yang batil dan tidak ada manfaat sama sekali.”
Mungkin ada yang ingin menyanggah penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin di atas dengan mengatakan, “Lalu kenapa ada qodho’ bagi orang yang memiliki udzur seperti ketiduran atau lupa? Tentu bagi orang yang tidak memiliki udzur seharusnya lebih pantas ada qodho’, artinya lebih layak untuk mengganti shalat atau puasanya.”
Syaikh Ibnu Utsaimin –alhamdulillah- telah merespon perkataan semacam tadi. Beliau rahimahullah mengatakan, “Seseorang yang memiliki udzur, maka waktu ibadah untuknya adalah sampai udzurnya tersebut hilang. Jadi, orang seperti ini tidaklah mengakhirkan ibadah sampai keluar waktunya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bagi orang yang lupa shalat, “Shalatlah ketika dia ingat”.
Adapun orang yang sengaja meninggalkan ibadah hingga keluar waktunya lalu dia tunaikan setelah itu, maka dia berarti telah mengerjakan ibadah di luar waktunya. Oleh karena itu, untuk kasus yang kedua ini, amalannya tidak diterima.”[5]
Lalu jika seseorang yang tidak berpuasa dengan sengaja tanpa ada udzur di atas tidak perlu mengqodho’, lantas apa kewajiban dirinya? Kewajiban dirinya adalah bertaubat dengan taubat nashuha dan hendaklah dia tutup dosanya tersebut dengan melakukan amalan sholih, di antaranya dengan memperbanyak puasa sunnah.
Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan, “Amalan ketaatan seperti puasa, shalat, zakat dan selainnya yang telah lewat (ditinggalkan tanpa ada udzur), ibadah-ibadah tersebut tidak ada kewajiban qodho’, taubatlah yang nanti akan menghapuskan kesalahan-kesalahan tersebut. Jika dia bertaubat kepada Allah dengan sesungguhnya dan banyak melakukan amalan sholih, maka itu sudah cukup daripada mengulangi amalan-amalan tersebut.”[6]
Syaikh Masyhur bin Hasan Ali Salman mengatakan, “Pendapat yang kuat, wajib baginya untuk bertaubat dan memperbanyak puasa-puasa sunnah, dan dia tidak memiliki kewajiban kafaroh.”[7]
Itulah yang harus dilakukan oleh orang yang meninggalkan puasa dengan sengaja tanpa ada udzur. Yaitu dia harus bertaubat dengan ikhlash (bukan riya’), menyesali dosa yang telah dia lakukan, kembali melaksanakan puasa Ramadhan jika berjumpa kembali, bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan, dan taubat tersebut dilakukan sebelum datang kematian atau sebelum matahari terbit dari sebelah barat. Kemudian ia pun seharusnya menambah banyak kebaikan dengan menambah puasa sunnah dan kebaikan lainnya agar kejelekan tadi dapat ditutupi.
Adapun orang yang meninggalkan puasa atau sengaja membatalkan puasa karena ada udzur seperti karena sakit, hamil, menyusui, bersafar dan dalam kondisi tersebut tidak mampu berpuasa, maka ia cukup mengqodho’ puasa di hari lainnya di saat ia mampu untuk berpuasa.
Demikian jawaban yang bisa kami berikan kepada si penanya. Semoga Allah menerima taubat kita sekalian.
Hanya Allah yang beri taufik.
Diselesaikan di Panggang-GK, 15 Sya’ban 1431 H (26/07/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Sumber: www.rumaysho.com
[1] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14/61.
[2] Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 203, Darul Muayyid, cetakan pertama, 1424 H.
[3] Pendapat ini juga menjadi pendapat Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (komisi fatwa di Saudi Arabia) dalam beberapa fatwanya.
[4] HR. Muslim no. 1718
[5] Kutub wa Rosa-il lil ‘Utsaimin, 172/68.
[6] Idem
[7] Fatwa Syaikh Masyhur bin Hasan Ali Salman, soal no. 53, Asy Syamilah
No comments:
Post a Comment