Imam Ghazali berpendapat bahwa umat Islam tidak akan pernah meraih kemenangan dan kejayaan selama hawa nafsu masih bercokol dalam hati
“Nafsu ini selalu memerintahkan kepada keburukan kecuali yang Tuhan beri rahmat. Tuhanku Maha Pengampun lagi Penyayang,” demikianlah ungkap Nabi Yusuf yang Allah abadikan dalam firman-Nya dalam QS Yusuf ayat 53.
Lain cerita dengan Qabil. Jika Nabi Yusuf berhasil menundukkan hawa nafsunya dari melakukan dosa, karena keinginan yang begitu kuat Qabil tidak mampu berpikir panjang, sehingga dengan sangat ringan melakukan tindak kejahatan.
فَطَوَّعَتْ لَهُ نَفْسُهُ قَتْلَ أَخِيهِ فَقَتَلَهُ فَأَصْبَحَ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya. Maka, saudaranya itu pun dibunuh sehingga ia termasuk orang yang merugi.” (QS. Al Maidah [5]: 30).
Dua ayat di atas memberikan gambaran sekaligus peringatan penting, bahwa betapa besarnya dampak negatif yang ditimbulkan karena mengikuti hawa nafsu. Seperti kita saksikan dalam beberapa pemberitaan media belakangan ini, berita kriminal begitu mengerikan, ada gadis diperkosa kemudian di bakar, ada istri membunuh suami dan sebaliknya, dan berbagai tindak kriminal lainnya.
Semua itu terjadi tidak lain karena begitu berkuasanya hawa nafsu dalam hati seseorang. Hawa nafsu menjadikan akal sehat tidak bisa bekerja, mata hati buta, dan emosi merajalela. Hal ini tidak lain karena sifat dasar hawa nafsu adalah selalu berkhianat.
Ibn Ahaillah dalam kitabnya Taju al-Arus al-Hawi li Tahdzib al-Nufus mengatakan, “Siapa yang mengangkat wakil lalu ternyata ia berkhianat, pasti ia akan memecatnya. Begitu pula keadaan nafsumu. Ia sungguh telah berkhianat. Maka pecat dan persempitlah jalannya.
“Apabila engkau melihat istrimu berkhianat, tentu kau akan marah kepadanya. Seharussnya, seperti itu pulalah sikapmu terhadap nafsumu. Sesungguhnya ia telah berkhianat kepadamu sepanjang hidupmu.
Orang yang berakal sepakat bahwa jika istri berkhianat, ia tidak boleh dilindungi oleh sang suami. Alih-alih melindunginya, sang suami harus menceraikannya. Karena itu, ceraikanlah nafsumu!”
Artinya, persempitlah peluang hawa nafsu menguasai hati. Jika ia mengajakmu untuk merasakan nikmatnya maksiat, lawanlah dengan menetapi nikmatnya ketaatan. Apabila ia mengajakmu kepada teman yang jahat, pilihlah teman yang membangkitkan keadaanmu dan mengajakmu kepada Allah. Jika ia mengajakmu kepada ghibah, sibukkan lisanmu dengan dzikir kepada Allah dan dengan mengurangi makan sesuai dengan kemampuanmu.
Dalam tradisi Jawa ada yang namanya tombo ati (obat hati), yang harus diperhatikan seluruh umat Islam agar terhindar dari cengkeraman hawa nafsu. Yakni dengan membaca al-Qur’an yang disertai pemahaman, sholat malam, bersahabat dengan orang yang sholeh, perbanyak berpuasa dan perbanyak dzikir di tengah malam.
Obat hati itu harus senantiasa kita ‘konsumsi’ dalam kehidupan sehari-hari jika benar-benar ingin mendapat ridha Allah Subhanahu Wata’ala. Jika tidak, maka hawa nafsu akan menguasai hati dan jika itu terjadi maka seorang Muslim bisa jadi akan terperosok pada jalan kesesatan.
Seperti pesan Allah kepada Nabi Daud Alayhissalam,
Semua itu terjadi tidak lain karena begitu berkuasanya hawa nafsu dalam hati seseorang. Hawa nafsu menjadikan akal sehat tidak bisa bekerja, mata hati buta, dan emosi merajalela. Hal ini tidak lain karena sifat dasar hawa nafsu adalah selalu berkhianat.
Ibn Ahaillah dalam kitabnya Taju al-Arus al-Hawi li Tahdzib al-Nufus mengatakan, “Siapa yang mengangkat wakil lalu ternyata ia berkhianat, pasti ia akan memecatnya. Begitu pula keadaan nafsumu. Ia sungguh telah berkhianat. Maka pecat dan persempitlah jalannya.
“Apabila engkau melihat istrimu berkhianat, tentu kau akan marah kepadanya. Seharussnya, seperti itu pulalah sikapmu terhadap nafsumu. Sesungguhnya ia telah berkhianat kepadamu sepanjang hidupmu.
Orang yang berakal sepakat bahwa jika istri berkhianat, ia tidak boleh dilindungi oleh sang suami. Alih-alih melindunginya, sang suami harus menceraikannya. Karena itu, ceraikanlah nafsumu!”
Artinya, persempitlah peluang hawa nafsu menguasai hati. Jika ia mengajakmu untuk merasakan nikmatnya maksiat, lawanlah dengan menetapi nikmatnya ketaatan. Apabila ia mengajakmu kepada teman yang jahat, pilihlah teman yang membangkitkan keadaanmu dan mengajakmu kepada Allah. Jika ia mengajakmu kepada ghibah, sibukkan lisanmu dengan dzikir kepada Allah dan dengan mengurangi makan sesuai dengan kemampuanmu.
Dalam tradisi Jawa ada yang namanya tombo ati (obat hati), yang harus diperhatikan seluruh umat Islam agar terhindar dari cengkeraman hawa nafsu. Yakni dengan membaca al-Qur’an yang disertai pemahaman, sholat malam, bersahabat dengan orang yang sholeh, perbanyak berpuasa dan perbanyak dzikir di tengah malam.
Obat hati itu harus senantiasa kita ‘konsumsi’ dalam kehidupan sehari-hari jika benar-benar ingin mendapat ridha Allah Subhanahu Wata’ala. Jika tidak, maka hawa nafsu akan menguasai hati dan jika itu terjadi maka seorang Muslim bisa jadi akan terperosok pada jalan kesesatan.
Seperti pesan Allah kepada Nabi Daud Alayhissalam,
, وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ
“Jangan mengikuti nafsu, karena hal itu akan membuatmu tersesat dari jalan Allah.” (QS. Saad [38]: 26). Jadi, nafsu harus dilawan dan dikalahkan.
“Maka jauhilah hawa nafsu dari syahwatnya, karena ia sangatlah kuat dan dapat memerosokkanmu pada kahir yang buruk,” demikian pesan Umar bin Khathab yang terangkum dalam catatan-catatan kitab Mahfuzhat.
Menarik sekali ilustrasi yang diberikan oleh Ibn Athaillah terhadap besarnya kerusakan yang ditimbulkan hawa nafsu. Beliau berkata, “Jika engkau mengikuti seluruh keinginan nafsu serta terus memenuhi syahwat, maka keadaanmu seperti orang yang dirumahnya terdapat ular, tetapi justru setiap hari ia memberinya makan hingga akhirnya ular itu membunuhnya”.
Perjuangan Besar
Ketika para sahabat bersama Rasulullah kembali dari kemenangan Perang Badar tiba-tiba Nabi berkata, “Kita pulang dari jihad kecil menuju jihad besar”. Para sahabat pun kaget, “Kita menuju jihad yang lebih besar ya Rasulullah?” “Ya, jihad melawan hawa nafsu”.
Artinya, perjuangan melawan nafsu membutuhkan niat yang jujur, tekad yang kuat dan mujahadah tanpa henti untuk meraih ridha Allah Ta’ala. Jika berhasil, maka orang yang melawan hawa nafsu tidak akan dikalahkan oleh rasa lelah. Pada saat yang sama akan mengabaikan banyaknya tenaga serta pengorbanan yang telah dicurahkan alias tidak pamrih.
Oleh karena itu, Ibn Athaillah berkata, “Bukanlah lelaki sejati yang menyeru manusia di suatu majelis. Lelaki sejati adalah yang menyeru dan mengembalikan nafsunya kepada Allah”.
Atas dasar itulah kemudian Syeikh Hasan Al-Bashri berkata, “Afdholul Jihad, Jihadul Hawa,” artinya, “Jihad yang paling utama adalah jihad (melawan) hawa nafsu”.
Dengan demikian, perkara terbesar yang harus diupayakan oleh setiap Muslim adalah mengendalikan hawa nafsu. Imam Ghazali berpendapat bahwa umat Islam tidak akan pernah meraih kemenangan dan kejayaan selama hawa nafsu masih bercokol dalam hati.
Contoh sederhana, orang yang menuruti hawa nafsu akan banyak alasan untuk meninggalkan sholat, menunda berhijab bagi yang Muslimah, atau menunda menikah, sementara setiap saat selalu bersenang-senang (maksiat) dengan pacarnya.
Di sisi lain, orang yang menuruti hawa nafsu akan sulit bangun malam, enggan membaca al-Qur’an dan gemar sekali dengan segala macam bentuk makanan dan perhiasan kehidupan. Apabila, hal ini berkumpul dalam mayoritas diri umat Islam, maka umat Islam akan terseret pada kebodohan dan kekalahan.
Situasi seperti itu pernah dialami oleh Imam Ghazali dimasanya. Dan, Umat Islam selalu gagal dalam memenangkan pertarungan melawan tentara Salib. Setelah melalui penelitian panjang, akhirnya sampailah Hujjatul Islam pada satu kesimpulan bahwa, untuk menang Umat Islam harus mengendalikan hawa nafsunya.
Atas dasar itulah, kemudian Imam Ghazali mengarang kitab Ihya Ulumuddin (Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama) yang kemudian menjadi inspirator besar kemenangan Umat Islam atas pembebasan Palestina dibawah kepemimpinan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Jadi, hal utama yang harus diupayakan oleh setiap Muslim untuk memelihara kekuatan iman hanyalah dengan mengendalikan hawa nafsu. Sejauh hawa nafsu masih dominan, maka sejauh itu pula bertambahnya usia tak bermanfaat apa-apa untuk keimanan seseorang.
Untuk itu, Ibn Athaillah masih dalam kitab yang sama mengatakan, “Siapa yang berteman denganmu selama sehari atau dua hari, namun tidak mendapatkan manfaat darimu, pasti ia akan meninggalkanmu dan berteman dengan orang lain.
Nah, engkau berteman dengan nafsumu selama empat puluh tahun tanpa ada manfaat yang kau dapat. Karena itu, katakan padanya, kembalilah hai nafsu kepada ridha Tuhanmu! Sudah lama aku menurutimu dalam urusan syahwat. Gantilah masa menganggur dengan sibuk kepada Allah, ucapan dengan diam, teman-teman buruk dengan teman-teman baik dan sholeh”.
Dengan seperti itu, maka kita akan merasakan nikmatnya iman, sehingga kemudian kita akan melihat dengan iman, berpikir dengan iman, berkata dengan iman dan berperilaku dengan iman. Bukan hawa nafsu.*/Imam Nawawi
Rep:Imam Nawawi
Editor: Cholis Akbar @ http://www.hidayatullah.com
di kutip ulang oleh : Senyumku Dakwahku
“Maka jauhilah hawa nafsu dari syahwatnya, karena ia sangatlah kuat dan dapat memerosokkanmu pada kahir yang buruk,” demikian pesan Umar bin Khathab yang terangkum dalam catatan-catatan kitab Mahfuzhat.
Menarik sekali ilustrasi yang diberikan oleh Ibn Athaillah terhadap besarnya kerusakan yang ditimbulkan hawa nafsu. Beliau berkata, “Jika engkau mengikuti seluruh keinginan nafsu serta terus memenuhi syahwat, maka keadaanmu seperti orang yang dirumahnya terdapat ular, tetapi justru setiap hari ia memberinya makan hingga akhirnya ular itu membunuhnya”.
Perjuangan Besar
Ketika para sahabat bersama Rasulullah kembali dari kemenangan Perang Badar tiba-tiba Nabi berkata, “Kita pulang dari jihad kecil menuju jihad besar”. Para sahabat pun kaget, “Kita menuju jihad yang lebih besar ya Rasulullah?” “Ya, jihad melawan hawa nafsu”.
Artinya, perjuangan melawan nafsu membutuhkan niat yang jujur, tekad yang kuat dan mujahadah tanpa henti untuk meraih ridha Allah Ta’ala. Jika berhasil, maka orang yang melawan hawa nafsu tidak akan dikalahkan oleh rasa lelah. Pada saat yang sama akan mengabaikan banyaknya tenaga serta pengorbanan yang telah dicurahkan alias tidak pamrih.
Oleh karena itu, Ibn Athaillah berkata, “Bukanlah lelaki sejati yang menyeru manusia di suatu majelis. Lelaki sejati adalah yang menyeru dan mengembalikan nafsunya kepada Allah”.
Atas dasar itulah kemudian Syeikh Hasan Al-Bashri berkata, “Afdholul Jihad, Jihadul Hawa,” artinya, “Jihad yang paling utama adalah jihad (melawan) hawa nafsu”.
Dengan demikian, perkara terbesar yang harus diupayakan oleh setiap Muslim adalah mengendalikan hawa nafsu. Imam Ghazali berpendapat bahwa umat Islam tidak akan pernah meraih kemenangan dan kejayaan selama hawa nafsu masih bercokol dalam hati.
Contoh sederhana, orang yang menuruti hawa nafsu akan banyak alasan untuk meninggalkan sholat, menunda berhijab bagi yang Muslimah, atau menunda menikah, sementara setiap saat selalu bersenang-senang (maksiat) dengan pacarnya.
Di sisi lain, orang yang menuruti hawa nafsu akan sulit bangun malam, enggan membaca al-Qur’an dan gemar sekali dengan segala macam bentuk makanan dan perhiasan kehidupan. Apabila, hal ini berkumpul dalam mayoritas diri umat Islam, maka umat Islam akan terseret pada kebodohan dan kekalahan.
Situasi seperti itu pernah dialami oleh Imam Ghazali dimasanya. Dan, Umat Islam selalu gagal dalam memenangkan pertarungan melawan tentara Salib. Setelah melalui penelitian panjang, akhirnya sampailah Hujjatul Islam pada satu kesimpulan bahwa, untuk menang Umat Islam harus mengendalikan hawa nafsunya.
Atas dasar itulah, kemudian Imam Ghazali mengarang kitab Ihya Ulumuddin (Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama) yang kemudian menjadi inspirator besar kemenangan Umat Islam atas pembebasan Palestina dibawah kepemimpinan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Jadi, hal utama yang harus diupayakan oleh setiap Muslim untuk memelihara kekuatan iman hanyalah dengan mengendalikan hawa nafsu. Sejauh hawa nafsu masih dominan, maka sejauh itu pula bertambahnya usia tak bermanfaat apa-apa untuk keimanan seseorang.
Untuk itu, Ibn Athaillah masih dalam kitab yang sama mengatakan, “Siapa yang berteman denganmu selama sehari atau dua hari, namun tidak mendapatkan manfaat darimu, pasti ia akan meninggalkanmu dan berteman dengan orang lain.
Nah, engkau berteman dengan nafsumu selama empat puluh tahun tanpa ada manfaat yang kau dapat. Karena itu, katakan padanya, kembalilah hai nafsu kepada ridha Tuhanmu! Sudah lama aku menurutimu dalam urusan syahwat. Gantilah masa menganggur dengan sibuk kepada Allah, ucapan dengan diam, teman-teman buruk dengan teman-teman baik dan sholeh”.
Dengan seperti itu, maka kita akan merasakan nikmatnya iman, sehingga kemudian kita akan melihat dengan iman, berpikir dengan iman, berkata dengan iman dan berperilaku dengan iman. Bukan hawa nafsu.*/Imam Nawawi
Rep:Imam Nawawi
Editor: Cholis Akbar @ http://www.hidayatullah.com
di kutip ulang oleh : Senyumku Dakwahku
No comments:
Post a Comment