Oleh : Abdul Rauf Haris, Mahasiswa Magister Pendidikan Islam Program Kaderisasi Ulama Dan Cendekiawan Muslim
Ada sebuah pernyataan menarik dalam wacana islamisasi ilmu pengetahuan. “Modernisme membuat ilmu rusak, sementara posmodernisme membuat ilmu hancur”.
Modernisme yang hanya mengakui rasionalitas dan pengalaman inderawi sebagai prasyarat ilmiah telah merusak bangunan ilmu yang sejatinya bersumber dari Allah SWT. Modernisme menafikan wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan. Ilmu menjadi rusak karena hanya disandarkan pada sarana pencarian ilmu yang sifatnya terbatas, yakni rasio dan daya inderawi.
Rasio manusia acapkali mengalami sesat fikir (fallacy) karena faktor subjektivitas yang dipengaruhi aspek psikologis atau dorongan-dorongan manusiawi lainnya yang memungkinkan proses berfikir tidak lagi obyektif. Begitu juga dengan indera manusia. Keterbatasan indera, tidak akan sanggup mencapai pemahaman yang benar dan final tentang realitas. Sebuah teori dan temuan terus direvisi dan dibantah dengan teori lain dengan tangkapan rasio dan empirik lebih mumpuni. Begitu seterusnya.
Ilmu yang rusak melahirkan kehidupan yang rusak juga. Selain keringnya jiwa, ilmu pengetahuan modern melahirkan perilaku merusak bukan hanya terhadap alam tetapi juga terhadap manusia itu sendiri. Cara pandang antroposentris dalam memanfaatkan alam berbuah kerusakan alam. Setelah manusia mengalami dampaknya, barulah muncul paradigma ekologi yang menyaratkan terjaganya keseimbangan alam. Teori tentang ras yang berkembang awal abad ke-19 melahirkan gerakan genosida terhadap ras tertentu. Perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya meralat obyektivitas simpulan tentang keunggulan ras tertentu.
Ilmu pengetahuan modern menuai kritik. Muncul gerakan dan pemikiran yang mempersoalkan upaya generalisasi oleh ilmu modern yang kenyataannya selalu tidak sempurna menjelaskan sebuah realita. Bahkan, dibalik slogan obyektifnya, subyektivitas ilmuwan banyak mewarnai ilmu pengetahuan tersebut. Dalam kajian antropologi-sosiologi, misalnya, teori-teori perkembangan masyarakat pada awal abad ke 19 pekat diwarnai westernisme yang menempatkan Barat sebagai tolak ukur ideal masyarakat digunakan dalam menilai masyarakat lainnya.
Pemikiran kritis yang dinamakan posmodernisme ini menganggap sulit sekali, bahkan mustahil, menemukan ilmu pengetahuan yang benar, universal dan tetap. Karena bersandar pada rasio dan indera yang terbatas, kebenaran (ilmu) dinilai relatif dan hanya berfungsi lokalik di mana kebenaran itu disepakati. Jika modernisme masih mengakui adanya kemungkinan memperoleh ilmu pengetahuan yang kebenarannya universal, maka posmodernisme menolak bentuk-bentuk generalisasi ilmu dan nilai kebenaran. Kebenaran dan kebatilan sama-sama dipandang relatif. Mustahil meyakini kebenaran yang universal, ajeg dan tetap.
Konsep Islam tentang ilmu berbeda dengan ilmu yang lahir dari rahim modernisme maupun posmodernisme. Islam mengakui adanya kebenaran mutlak yang bersumber dari agama. Ibnu Taimiyyah rahimumahullaah (1263-1330), menjelaskan bahwa ilmu tidak hanya diperoleh melalui penelitian ilmiah (al bahs al muhaqqaq), tetapi juga melalui wahyu (an naql al mushaddaq). Hal penting lainnya, menurut Ibn Taimiyah, ilmu haruslah mendatangkan kebenaran yang melahirkan keyakinan, bukan keraguan. Bangunan ilmu (epistemologi) dalam Islam berbeda dengan modernisme yang tidak mengakui dalil naqli (wahyu), juga berbeda dengan posmodernisme yang tidak melahirkan keyakinan. Dengan kata lain, Islam menilai modernisme merusak ilmu sementara posmodernisme menghancurkan ilmu.
Sumber : eramuslim.com
Baca juga Artikel Dunia Islam Menarik lainnya Disini
No comments:
Post a Comment