Thursday, August 22, 2013

Karena Aku Buta

WONG CILIK
Aku dilahirkan oleh seorang ibu yang cantik, aku memiliki tiga orang saudara. Dua saudara perempuan, satu laki-laki. Dan kami semua tinggal di rumah nenek yang kecil dan pengap. Nenekku adalah seorang nenek yang baik dan ramah, dia juga cantik sama seperti ibuku dan dua kakak perempuanku.
Panggil saja aku Teratai, usiaku 25 tahun, aku tidak pernah sekolah, tidak bisa baca tulis. Kata orang aku cantik, sayang sekali aku buta. Aku tak bisa melihat alam semesta ini sejak aku lahir.
Neneklah yang merawat ketika aku masih kecil. Ibu sangat tak peduli padaku. Dia bahkan membenciku. Ketika tahu aku buta, dia berniat membuangku, kabarnya akan diberikan kepada orang lain. Tetapi nenek melarang hal itu, lalu aku pun dirawat perempuan tua itu hingga aku dewasa sekarang.
Rumah kami tidak besar, hanya memiliki 2 kamar dan berdinding kayu. Rumah itu berdempetan dengan rumah tetangga, dan rumah keluarga kami dikenal sebagai rumah bordil liar. Tak heran bila sering ada truk berhenti di depan rumah, mereka adalah pelanggan ibuku, nenekku, atau dua kakak perempuanku.
Awalnya nenekku adalah seorang pelacur kampung. Nenek berkebaya dan memakai kain untuk busana sehari-hari. Lalu lahirlah ibuku. Tidak pernah ketahuan dengan jelas siapa ayahnya. Dia adalah perempuan yang cantik, berambut hitam legam, ikal dan kulitnya sawo matang.
Ketika usia remaja Ibu mulai disukai laki-laki. Para tamu nenek, mulai melirik Ibu yang lebih muda dan cantik. Nenek pun tak melarang setiap laki-laki yang tertarik kepada ibuku dan ingin tidur dengannya. Jadilah dia pelacur di usia yang sangat muda. Dan dari profesinya itu, kemudian dia mengenal ayah kakak-kakakku. Ibuku dan ayah tiriku pun menikah dan memiliki tiga orang anak yang sehat-sehat, sebut saja Sri, Neni dan Raka.
Namun mereka bercerai saat anak-anak mereka kecil. Karena tuntutan ekonomi, Ibu pun kembali menekuni profesinya sebagai pelacur. Dia harus membesarkan tiga anak sendirian, sebab mantan suaminya yang sopir truk itu kembali kepada istri pertamanya.
Waktu terus bergulir, selesai SMA, kakakku Sri menikah dengan seorang pelaut. Demikian juga Kak Neni, dia menikah dengan seorang laki-laki kampung yang pengangguran. Mereka dikaruniai masing-masing seorang anak yang lucu. Dan sudah bisa diduga, pernikahan mereka berdua tidak langgeng. Kedua kakakku yang cantik itu kemudian menjadi janda. Padahal usia mereka belum 25 tahun.
Janda, tak memiliki apa-apa, berpendidikan rendah, dan memiliki anak membuat kebutuhan ekonomi naik. Mereka juga tak punya keahlian apa-apa, dan di rumah kami yang kecil dan mesum itu, uang dan laki-laki datang silih berganti. Kedua kakakku pun kemudian ikut menjual diri.
Lalu siapakah aku, siapakah perempuan buta ini? Berbeda dengan 3 kakakku, aku tidak punya ayah biologis yang pasti. Saat melahirkanku, status ibuku janda. Kehamilan itu menyusahkan ibuku. Lalu dia pun berusaha menggugurkanku dari rahimnya. Tidak berhasil. Kata orang, obat-obatan pengguguran kandungan yang diminum ibuku kena mataku, jadi aku pun lahir buta.
Di rumah itu, setiap ada lelaki datang, nenek, ibu dan dua kakak perempuanku ramai menyambutnya. Tamu tinggal memilih salah satu dari keempatnya. Hanya aku yang tak pernah dilirik oleh mereka, karena aku buta. Dan kakak lelakiku Raka, juga kabur dari rumah karena jijik melihat perilaku mesum para pelacur tiga generasi itu. Dan kata Kak Raka, aku harus bersyukur karena aku buta.
"Tuhan melindungimu dari para lelaki hidung belang, Dik," begitu katanya.
Jakarta, 23 Agustus 2013

No comments:

Post a Comment