Bismillahirrohmanirrohiim...
kalau beberapa waktu lalu saya pernah posting tentang keindahan hukum di zaman Umar, sekarang saya pengen sharing hukum zaman Ali yang ga kalah menarik. sengketa penguasa vs minoritas. begini kisahnya, cekidot!
baju besi milik Ali bin abi Thalib raib, hilang, lenyap saat persiapan tempur. berikutnya ia terlihat dipakai oleh seorang Yahudi. Ali sangat mengenali baju besi miliknya itu, maka disergahlah Yahudi itu dengan santun, "saudara, setelan dzir'a itu milikku!"
"jika ia melekat di tubuhku," tukas si Yahudi berkacak pinggang, "maka ia adalah milikku. anda ftak bisa mengaku sembarangan". "sebab aku sangat mengenali milikku, dan kau hanya mengaku dengan bukti melekatnya di tubuhmu, bagaimana kalau kita ber-takhim?" balas Ali
setelah berpikir sejenak, si Yahudi menjawab, "aku setuju, tapi siapa yang jadi hakim atas urusan ini?" "Syuraih" jawab Ali singkat
"apakah ia bisa berbuat adil, dimana aku seorang ahlikitab, sedang kau seorang Amirul Mukminin?" selidik si Yahudi khawatir
"demi yang mengutus Musa dengan Taurat, aku yang pertama-tama yang meluruskannya dengan pedang jika ia bengkok" ucap Ali tegas
maka pergilah mereka kepada hakim Syuraih. "selamat datang wahai Amirul Mukminin!" sambut Syuraih. dia menanyai kedua belah pihak.
"sudah 3 ketidak adilan kurasakan sejak masuk majelismu kurasakan hai syuraih!" tegur Ali. "luruskanlah atau kelayakanmu dalam mengadili batal!. pertama, kau panggil aku dengan gelar, sementara dia hanya nama. kedua, kau dudukan aku di sisimu, sementara dia dihadapan kita. ketiga, kau biarkan aku menjawab tanpa bantahan. sedang jawaban dia kau pertanyakan lagi." si Yahudi jadi heran nih liat unek-unek yang disampein Ali.
setelah beberapa hal diluruskan, Syuraih berkata "Amirul Mukminin, ini emang baju besimu yang jatuh dari kuda saat di Auraq. tap, untuk memutuskan ini memang milikmu, aku tetap membutuhkan dua orang saksi lelaki yang adil." jelas pak hakim syuraih panjang lebar
"maka ini Hasan da pelayanku Qanbur sebagai saksiku!" ujar Ali. "Qanbur bisa kuterima," jawab Syuraih, "tapi Hasan tidak. kesaksikan seorang anak untuk ayahnya tidak dapat diterima oleh pengadilan ini!" tegas Syuraih. Ali tercenung sejenak.
"tapi tidakkah kau mendengar," sanggah Ali, "Umar berkata bahwa Rasul bersabda, 'Al-Hasan dan Al-Husain itu penghulu pemuda surga?". "maaf," kata Syuraih sambil tersenyum, "aku tak menemukan dalil bahwa hal semacam itu bisa mengecualikan dalam hal persaksian."
maka Syuraih memutuskan bahwa baju besi itu jadi milik si Yahudi coz Ali gagal menghadirkan 2 orang saksi. ujung kisah ini, pasti dah pada hafal deh; karena tersentuh, si Yahudi masuk islam dan hendak mengembalikan baju besi milik Ali. tapi, Ali nolak. "tidak" kata ali, "kau skarang saudaraku, makabaju besi itu, juga kuda ini hadiah dariku agar tumbuh cinta di antara kita."
jadi ga kebayang deh, gimana ekspresi si Yahudi itu, pasti klepek-klepek, ge-er dan meras istimewa. dianggap saudara sama seorang Amirul Mukminin... dahsyat!!
baik dari kisah Umar maupun Ali, terlihat bahwa hukum sebagai sistem tetap harus tegak prosedurnya, baik bagi penguasa maupun jelata, mayoritas ataupun minoritas. meski awal-awal rasa keadilan agak terusik. sebab "rasa" terlalu mudah dimainkan oleh kepentingan. ada kaidah "nahnu nahkumu bizh zhawaahir"; kita berhukum dengan apa yang tampak". semoga hukum di negri ini bisa lebih baik, meskipun prosesnya ga mudah dan ga singkat, jalannya panjang, sedikit pejuangnya, banyak bahayanya, melelahkan jiwa pula. tetapi, insya Alloh dengan izin Alloh ga ada yang ga mungkin.
No comments:
Post a Comment