Saturday, April 17, 2010

Jadi Ibu Rumah Tangga, Why Not

IBU PROFESIONAL
Orang-orang yang pernah mengenal dari dekat siapa aku, pasti tertawa bila aku beritahu bahwa sekarang aku (hanya) seorang ibu rumah tangga. Kami empat sekawan :Aku, Yul, Elli, Dian (alm), senantiasa membincangkan itu beberapa tahun yang lalu ketika kami masih kos di jalan Adam Kebayoran Lama. Dan Yul yang paling ingin jadi ibu rumah tangga, pendapatnya itu selalu kutertawakan keras-keras''Apa jadinya didunia ini kalau dikuasai para pria itu, Yul, hancur tanpa keindahan,'' kataku.
Tetapi sebagai seorang wartawati kemudian aku mewawancarai ibu Anni Iwasaki, waktu itu aku salut, karena ditengah arus bahwa perempuan harus bekerja dan berkarir dia berjuang agar para perempuan kembali ke rumah.. Aku menulisnya di Jawa Pos dalam bentuk profil. Tapi hati kecilku masih menolak pendapatnya itu. Sampai saatnya aku menikah. Suamiku sebetulnya tidak membatasiku, cuma dia lebih suka bila aku di rumah saja. "Kalau kamu yang menjaga anak-anak di rumah, aku ini bisa bekerja lebih tenang,'' katanya suatu hari.
''Tetapi bagaimana kalau pendapatan kita jadi berkurang hampir 50%. Apa mencukupi hidup di Jakarta ini?'' kataku.
''Soal cukup atau tidak cukup, itu tergantung dari bagaimana kita mengendalikan keinginan,'' katanya, dan aku belum bisa meyakini pendapat itu.
Toh akhirnya aku menjadi ibu rumah tangga juga. Kekerasan hatiku mulai berkurang ketika lahirlah anak-anakku. Bayi-bayi mungil itu, haruskah diurus orang lain, terutama pembantu. Menjadi pembantu adalah pilihan paling terakhir bagi seseorang untuk bekerja, jadi kapasitasnya pun sebagai tenaga kerja pasti kapasitas paling akhir. Bukan merendahkan pembantu, mereka itu melakukan pekerjaan itu karena tidak ada pilihan lain.
Kalau begitu, sayang sekali kalau anak-anak calon penerus bangsa ini dibesarkan oleh manusia-manusia dengan kapasitas yang paling rendah. Dari beberapa pembantu yang kukenal karena selama ini bersama menyuapi anak di taman, rata-rata mereka mengeluh karena perlakuan majikan yang kurang baik. Mulai dari pelecehan seksual, sampai penganiayaan, tetapi mereka harus bekerja kalau ingin keluarga di desa tetap hidup. Bagaimana coba, kalau anak-anak kita diasuh dengan setengah hati seperti itu.
Aku tidak heran kalau mereka menyuapi anak-anak itu dengan kasar.Dan kata-kata umpatan selalu keluar dari mereka. Terus terang, bagiku mengasuh anak itu lebih berat dari bekerja sebagai wartawan. Nonstop. Mulai menyuapi, mencuci kotorannya, mengepel ompolnya di lantai, tengah malam minta pipis, muntah di baju yang baru ganti, yah hal-hal semacam itulah.
Itu pekerjaan yang sifatnya teknis, belum lagi ketika mereka mulai mengkritisi soal agama, teman-teman, seks, lingkungan sekitar dan lain-lain, pasti puyeng. Anakku Mikail, sejak kecil selalu minta gendong, kemana-mana minta gendong. Aku mengeluh. Kata suamiku " Jangan mengeluh, sebentar lagi juga kamu gak sanggup menggendongnya,'' katanya.
Dan itu benar, setelah tiga tahun, dia sudah tidak bisa digendong, tidak mau. Semuanya itu kalau dilakukan dengan rela, ternyata tidak berat. Justru dari anak-anakku muncul banyak inspirasi untuk menulis.
Aku bersyukur, karena akulah orang yang mengajarinya membaca, menulis dan mengaji untuk pertama kalinya. Mungkin itu tidak berarti apa-apa tetapi setidaknya kertas putih itu telah ditulis oleh ibunya sendiri. Aku bangga ketika Mikail dengan lancar bisa menyanyikan lagu Indonesia Raya. Aku ini hanya seorang ibu rumah tangga. Lihatlah Indonesiaku, hanya ini yang bisa aku berikan padamu. (Pondok Aren, 18 Desember 2009)

No comments:

Post a Comment