SKETSA Kadang orang bertanya kepada saya, kenapa sih kok kamu suka banget sama Pramoedya Ananta Toer? Saya punya satu jawaban : Karena Novelnya dahsyat. Saya mengenal Pramoedya baru saja, setelah mengenal laki-laki yang kamudian menikahi saya. Saya menikah tanpa berpacaran, kami berteman, dan dia suka mengajak saya main ke tempat kos dia. Kami mengobrol bersama, sambil berdiskusi dan tentu saja merokok. Di kamarnya yang kecil itu dipenuhi novel-novel Pram. Koleksinya nyaris lengkap, edisi lama yang berarti termasuk sebagai buku terlarang.
Sebetulnya saya suka membaca buku novel karya siapa saja. Dan saya orang yang tertib terhadap peraturan pemerintah. Sejak kecil saya hobi banget membaca buku-buku sastra, mulai angkatan 45 sampai angkatan 66. Kecuali karya Pram. Setahu saya Pramoedya adalah "orang terlarang di republik ini."
Teman saya (sekarang suami) meminjami buku-buku itu. Bukunya kumal-kumal dan lecek. Karya-karya Pram membius saya terutama "tetraloginya." Saya membayangkan bisa bertemu penulis hebat itu suatu hari. Namun karena kondisi politik yang represif, saya membuang jauh-jauh keinginan itu.
Ternyata Tuhan Maha Memahami. Sampai suatu ketika saya masih bekerja sebagai wartawan Jawa Pos Biro Jakarta dikontak teman-teman mantan aktifis waktu masih kuliah di Solo. Mereka adalah teman-teman PRD (Partai Rakyat Demokratik). Mereka mengundang saya menghadiri sebuah diskusi politik.
Untuk suasana politik yang masih belum tenang karena reformasi, mengundang Pram sebagai pembicara adalah hal yang luar biasa. Mereka (PRD) menurut saya sangat pemberani dan kontroversial.
Saya memandangi laki-laki sederhana itu dengan kagum. Rambutnya putih seperti kapas. Kulitnya keriput hitam seperti tak terawat. Dia mengenakan kaos oblong putih, celana hitam dan sandal kulit hitam. Penampilan yang terlalu sederhana untuk penulis besar seperti dia.
Namun dibalik semua kesederhanaan itu, saya melihat adanya tatapan mata yang tenang. Wajah yang bengis terhadap segala angkara murka dan keberanian menghadapi kehidupan. Ada sisa-sisa ketegaran di sana, yah, memang bertahun dia hidup dalam ketertindasan. Kesewenangan penguasa selalu memasung dirinya. Tetapi dalam ketertindasan itu, masih juga terlahir karya-karyanya.
Dia tidak berbicara banyak. Lalu ketika sesi tanya jawab, saya mengangkat tangan untuk berbicara. Moderator memberi saya kesempatan bertanya. Lalu saya bertanya, (sayangnya saya lupa apa yang saya tanyakan waktu itu..). Mata tua yang lelah itu tak berhenti menatap saya. Tajam, setajam pisau.
Dia kemudian menjawab pertanyaan saya. Mata itu tak juga berhenti menatap. Hati saya bergetar. Rasanya tidak percaya saya bisa bertemu dengan sastrawan besar yang saya kagumi. Pertemuan itu hanya sebentar, tidak spesial, tetapi sorot mata itu seperti memberi semangat. Semangat untuk terus berkarya. Dan pertemuan itu yang pertama sekaligus yang terakhir....(SELAMAT JALAN PRAM, SEMOGA KAU BAHAGIA DISISI-NYA)
No comments:
Post a Comment