CERPEN
Adakah laki-laki yang bisa menghargai perasaan seorang perempuan. Aku tak pernah percaya akan hal itu. Aku ini sebatang edelweise, kecantikanku abadi, tetapi tetaplah aku ini bunga yang kering. Menjadi pajangan untuk kebanggaan, tetapi kemudian dicampakkan dalam kegersangan.
Bagiku, kecantikan awalnya adalah anugrah, namun kemudian berubah menjadi bencana. Itu karena kecantikan itu lahir di tengah kemiskinan. Bertahun hidup dari belas kasihan orang lain, berganti-ganti baju bekas, hutang-hutang ke warung untuk menyambung hidup.
"Biarlah aku menjual kecantikanku, ibu," kataku pada ibuku yang tak mampu menjawab apapun.
Ghulam, laki-laki itu, dulu adalah laki-laki yang nakal. Meskipun istrinya begitu baik dan cukup cantik, dan anak-anaknya sehat, tetapi dia selalu berfikir untuk bersenang-senang. Kesuksesan dan uang yang melimpah itulah awal dari semua kenakalannya. Mencari perempuan-perempuan cantik, dinikahi secara siri, dan memberi sedikit uang keperluan. Lalu setelah bosan dengan kesenangan itu, dia kembali menjadi orang alim, seakan tak pernah terjadi apapun di masa lalunya.
"Aku kan menikahimu," begitu katamu waktu itu .
Dia laki-laki pertama yang mengangkatku dari kemiskinan itu menikahiku dengan sejuta janji, rumah baru di kompleks perumahan kelas middle, uang saku berjuta-juta setiap bulan dan sebuah sepeda motor keren merk terkenal. Harta benda yang begitu banyak untuk seorang gadis miskin sepertiku. Semuanya mengalahkan cinta suci murniku pada jejaka tertampan di kampungku yang masih kuliah dan muda belia.
Memang sih, bersanding dengan lelaki setengah tua bukanlah impian seorang perempuan. Tetapi kalau itu menjanjikan kesejahteraan, seorang perempuan akan mempertimbangkan lagi. Apalagi aku seorang perempuan cantik, kuanggap kecantikan itulah yang akan mengangkat derajadku ini.
Melihat kebaikan laki-laki itu, semua mimpiku akan kekayaan terpenuhi, seiring dengan semua itu, mimpi akan sebuah cinta pun kemudian mulai kurajut. Namun alpa. Pada kenyataannya, memang aku tak menemukan cinta. Aku hanyalah perempuan rahasia, laki-laki berkeluarga itu tak mampu memberikan aku cinta. Tak ada istilah cinta dalam hubungan kami. Dan semua berakhir ketika laki-laki itu menginginkan berakhir.
Laki-laki itu kembali pada istri dan anak-anaknya. Dia menikahiku dan berhubungan denganku tak lebih dari sekedar untuk bersenang-senang. Ketika bosan, dia kembali kepada keluarganya dan menganggap tak pernah terjadi apa-apa bersamaku. "Sekarang laki-laki itu menjadi seorang selebritis yang terkenal kerena kealimannya, masyarakat menyanjung-nyanjung dia sebagai seorang penceramah kesohor yang kata-katanya tanpa cela," gumanku.
Sebatang edeweise yang cantik, dengan kemurnian yang abadi hanya termanggu dengan segala kenyataan yang ada sesungguhnya. Jadi perkawinan itu, bagiku hanya semacam pekerjaan untuk mendapatkan uang. Suamiku memberikan uang dan mencukupi kebutuhanku bukan untuk menafkahiku, tetapi ibarat transaksi jual beli, dia sedang membayar pelayananku. Jadi apa artinya perkawinan kalau maknanya hanya seperti itu.
Angin mendesir perlahan di jendela rumah susun yang dibelikannya beberapa tahun yang lalu. Aku belum jua menghabiskan sebatang sampoerna mild di tanganku sambil menikmati segelas coklat hangat. Seperti biasa aku menonton acara gosip di televisi. Salah satu pria yang ditayangkan di televisi itu adalah mantan suamiku.
Memang dia sekarang sudah menjadi dai selebriti yang populer. Aku tahu kini dia menjadi pemuka agama yang terkenal. "Tetapi kenapa dia mengingkariku, seperti tidak pernah terjadi apapun antara kami."
Edelweise yang paling perkasa pun akan terisak dalam hati bila laki-laki yang pernah ada di hidupnya hanya menganggapnya sebagai kesenangan. Setelah itu dicampakkan, dan dianggap sebagai kesalahan masa lalu yang tak perlu diungkit lagi. Sungguh pahit rasanya dianggap menjadi sebuah kesalahan hidup seseorang. Yang hanya akan menjadi batu sandungnya di tengah ketenaran, kemapanan dan semua kemakmuran yang dimilikinya sekarang.
Ghulam, laki-laki itu, bertahun menikmati kecantikanku, menikahiku secara siri, dan berbuat baik kepadaku. Semua itu membuahkan cinta dihatiku, dan aku bermimpi dia akan menjadi suamiku selamanya. Membangun keluarga dan memiliki anak-anak. Ternyata aku salah, mimpi itu hanya sepihak.
Gulam masih mengejar mimpinya, dan untuk mimpi itu dia harus kembali kepada istri dan anak-anaknya. Tidak ada perempuan lain. Dia harus bersih dari kesalahan-kesalahan moral, demi popularitasnya. Aku perempuan yang pernah dinikmatinya, hanya menahan kecewa tanpa bisa berbuat apa-apa.
Sampai pada suatu hari, dalam sebuah acara perkawinan anak pejabat, aku bertemu Ghulam.
“Ghulam kau kah itu?” kataku ragu.
Laki-laki itu menoleh kepadaku dengan senyum hambar, dia terlihat lebih tua, kulitnya lebih putih dan bersih, pucat, tubuhnya terlihat lebih gemuk. Begitu melihatku, ada ekspresi kaget di wajahnya. Tetapi dia berusaha menutupinya.
“Apa kita pernah bertemu?” katanya formal.
“Ghulam kau bercanda, aku Tini, bekas istrimu, apa aku sudah begitu berubah hingga kau lupa padaku.”
“Maaf bu, anda keliru,” katanya dan buru-buru meninggalkanku.
Aku mengejarnya. Menepiskan ramai penuh sesaknya para tamu undangan yang memenuhi ruangan pesta itu.
“Ghulam, kau dulu memanggilku dengan sebutan kelinci kecil, kau ingat itu?’’
Dia memandangiku pura-pura tidak mengenaliku. Handphone Blackberrynya berdering. Lalu dia berpamitan denganku.
“Maaf ya bu, sampai ketemu lagi,” lalu ia ngacir pergi.
Esoknya pengawalnya yang perlente datang ke rumah. Dia memintaku untuk tidak mengganggu Ghulam lagi. Seorang pendakwah selebritis tentu tak mau masa lalunya terungkap. Tidak ada satu titik noda pun boleh mencoreng hidupnya. Aku langsung paham.
“Aku adalah mantan istrinya, kami pernah menikah, semudah itukah dia melupakan peristiwa itu?” ujarku.
“Saya mohon, Bu, lupakan Bapak,” katanya.
“Saya tidak minta apa-apa, saya hanya ingin dia menghormati saya sebagai bekas istrinya meskipun kami hanya nikah siri,” ujarku.
“Masa lalu itu, anggap saja tidak pernah terjadi, ” katanya.
Tidak pernah terjadi ? Aku langsung paham, biarpun hati teriris.Pengawal itu kemudian menawariku sejumlah uang. Selembar cek bernilai satu miliar kemudian sudah ditanganku.
“Ini hanya panjar,” ujarku dapat akal.
“Untuk tutup mulutnya, saya minta satu miliar lagi,” ujarku.
Dia sewot.
“Setuju, atau berita pernikahan kami akan tersebar,” kataku.
Dia menelpon, lalu menuliskan cek baru, dan diberikan kepadaku. Aku tertawa. Dulu dia menilai perkawinan kami hanya dengan lembaran uang, maka dia akan membayar endingnya dengan uang juga. Aku hanya sekuntum edelweise, tidak berarti apapun, tetapi aku mengetahui rahasia tergelap dari orang yang pernah menghisap sari maduku. Edelweise itu tetap bertahan, dan abadi dalam kemakmuran meski tanpa impian. Edelweise tua inipun kini memiliki kerajaan masa lalu. Dan kerajaan di masa depan.
Pondok Kacang, 19 Oktober 2002
No comments:
Post a Comment