Wednesday, April 21, 2010

Kebaya Buat Halida

CERPEN

Tadi pagi, sebelum berangkat kerja, aku membaca selebaran itu, di kamar puteriku Halida. Terbersit kemudian keinginan untuk membuat kejutan. Ya, sebuah kebaya cantik pantas untuk sebuah pagelaran busana daerah yang akan dilaksanakan di sekolahannya, tepat hari kartini lusa.
Siang itu jam istirahat aku meluncur ke Blok M, bersama sopir kantor. Rumah Busana Poppi Dharsono itu penuh dengan orang-orang kalangan jet set, biasa menjelang Hari Kartini. Ketika aku masuk, seorang wanita muda cantik langsung menemuiku.
“Silakan, Bu, ada yang bisa saya bantu?” tanyanya.
Aku duduk di sofa viktorian berwarna coklat bergaris-garis merah tua. Perempuan itu terus saja bersikap ramah. Duduk rapi dengan dua tangan diatas lututnya.
“Saya butuh kebaya untuk remaja, 17 tahun,” kataku.
“Baiklah, tunggu sebentar,” kata perempuan itu.
Lalu dia masuk ke ruangan lain. Beberapa saat kemudian membawa buku-buku kebaya. Aku membuka-buka kebaya-kebaya yang anggun itu. Lalu mataku tertuju pada sebuah kebaya berwarna merah jambu. Warna itu belum pernah kulihat, pink yang indah.
“Yang pink ini,Mbak,” kataku.
“Baiklah, silakan masuk ke ruangan ini,” katanya menunjuk sebuah ruangan galeri. Seorang perempuan dengan seragam yang sama, menuntunku berkeliling, sampai akhirnya menemukan kebaya itu, diantara ratusan kebaya cantik yang tergantung di rak-rak kaca yang mewah.
“Aku suka ini mbak,” kataku.
Kebaya itu modelnya sederhana. Tetapi warna pinknya sungguh indah. Kalau dipakai puteriku pasti semua mata akan memandangnya dengan takjub. Puteriku tinggi semampai, wajahnya oval dengan sepasang mata tajam, setajam elang, namun tidak terlihat galak.
Ada manik-manik bebatuan yang berkilauan, disepanjang ujung bawahnya. Kebaya itu dipadukan dengan songket yang klasik, berwarna terang. Konon, Poppy merancangnya sendiri songket tersebut. “Pasti Halida senang dengan kejutan ini,” kataku.
Bertahun yang lalu, setiap ada acara Kartinian, Mbak Nanalah yang selalu mengurus keperluan Halida. Dia adalah kakak kandungku yang sampai sekarang belum juga menikah. Bude Nana, demikian Halida memanggil, membawanya ke toko sepatu untuk membeli selop, pergi ke penjahit untuk memesan kebaya, dan mengantarnya ke salon untuk berdandan.
Aku mengeluarkan credit card untuk membayar kebaya itu , lengkap dengan songket dan sepasang selopnya hampir limabelas juta semuanya. Ada rasa puas, begitu membawa sekotak pakaian indah tersebut, membayangkan wajah cantik itu tersenyum dan memelukku dengan senang, “Bagus sekali Ma, semua orang pasti iri padaku.”
***
Rumah kosong. Suamiku sudah tiga bulan ini ke luar negeri untuk urusan bisnis. Dua orang pembatu sedang duduk di meja makan untuk menonton televise. Begitu aku datang mereka beringsut dan membereskan barang-barangku.
“Halida mana?” tanyaku.
“Tadi dijemput budenya, katanya mau ke Pasaraya,” katanya.
“Kok ga bilang aku..”
“Nggak tahu bu, pesannya, dia mau nginap di rumah Oma,” katanya lagi.
Aku memasukkan kotak busana itu ke dalam lemariku. Lalu aku menuju kamar Halida di lantai dua. Sepi. Kamar terbagus yang pernah dimiliki seorang remaja. Dengan semua serba pink, lemari baju besar penuh baju-baju bagus, home theatre, seperangkat computer, dan juga sebuah sepeda stationer. Tetapi kamar itu jarang digunakan, karena Halida lebih sering tidur di rumah omanya.
Kuakui aku memang kurang dekat dengan puteriku sendiri. Semenjak lahir dia selalu kutitipkan pada Mbak Nana yang masih tinggal serumah dengan ibuku. Mbak Nana mengasuhnya, dan aku merasa aman karena dia diasuh oleh kakakku sendiri dan omanya. Makanya aku beli rumah ini yang letaknya hanya sekitar 500 meter dari rumah Oma.
Bude Nana yang membawanya ke dokter ketika sakit. Menimbang badannya ke pos yandu setiap bulan untuk diperiksa perkembangannya. Bude Nana juga paling telaten kalau menyuapi Halida. Membawanya dengan sepeda dorong ke taman, dan juga memandikannya setiap hari.
Kadang muncul rasa iri terhadap budenya, tetapi bagaimana lagi, pekerjaan menuntutku untuk begini. Aku harus total, kalau tidak ingin kehilangan pekerjaanku. Dan aku menyukai pekerjaan ini, bertahun aku merintisnya, jauh sebelum aku menikah. Aku adalah andalan di perusahaan itu, dan dengan gajinya aku bisa memperoleh apa saya yang aku inginkan.
***
Pagi itu, aku bangun kesiangan. Ketika duduk di meja makan, tak ada siapapun kecuali para pembantu.
“Dimana Halida?” tanyaku.
“Di kamarnya, makan di kamarnya, tadi pagi jam lima diantar bude Nana ke sini,” kata pembantu itu.
Keterlaluan. Menghindariku. Selalu saja menghindariku. Aku menaiki tangga menuju lantai dua. Pintu tidak ditutup. Halida berjongkok mencari-cari sesuatu di bawah ranjangnya.
“Halida, kenapa tidak bilang kalau tidur di rumah Oma, kamu sudah besar, harus mulai belajar sopan-santun,’’ ujarku. Anak itu kaget. Lalu duduk di atas bednya.Diam tak menjawab. Tetapi dari air mukannya, aku tahu kalau dia merasa kesal.
“Aku kan sudah nitip pesan sama Mbak,” katanya datar tangan kirinya memegang setangkup roti bakar, mulutnya masih mengunyah.
“Lain kali teleponlah, paling tidak berada di rumahlah kalau mama pulang,” kataku.
Dia menunduk tak menjawab. Aku tahu dia tidak senang dengan bicaraku, dengan pembicaraan ini, dengan semua pembicaraan yang kami lakukan. Setelah dia remaja, kupikir dia akan lebih memahami kalau aku ini ibunya, bukan Mbak Nana.
“Aku hanya ingin kasih tahu, aku punya hadiah untukmu untuk kartinian besok,” ujarku.
“Bude Nana sudah siapkan kok, mama tak perlu repot-repot, urus saja pekerjaan Mama,” ujarnya. Aku berusaha menahan diri.
Lalu aku turun ke bawah. Dan membawa kotak besar berwarna pink itu. Aku sodorkan pada Halida yang sedang duduk di bed sambil mengunyah roti bakar. Dia buka kotak itu. Lalu meletakkan tutupnya begitu saja. Tidak ada ekspresi kagum, atau ekspresi senang.
“Bude sudah beli kemarin,” katanya.
“Halida, pakai ini saja, kan lebih bagus,” ujarku.
“Tidak, Ma, Bude Nana sudah bersusah payah mencarikan kebaya ke Blok M, nanti dia kecewa..”
“Halida, kau pikir ini murah, buang saja punya Bude Nana, paling juga kebaya murahan," ujarku.
Dia menatapku dengan wajah marah.
“Mama, jangan menghina Bude ya, biarpun murah tetapi aku suka. Bawa saja kotak ini turun, aku tak mau pakai,” katanya.
Hatiku teriris. Kebaya mahal itu.
“Aku membuang uang banyak untuk membelinya, please, pakailah besok, Halida,” kataku.
“Aku tahu Ma, itu mahal, semua barang-barang di kamar ini mahal. Tetapi Mama membeli atas keinginan Mama, bukan keinginanku, lihat Warna favoritku saja mama tidak tahu. Aku tidak suka warna pink, itu warna yang konyol, aku suka warna jingga. Bude Nana tahu itu, dia selalu menanyakan keinginanku setiap akan membeli sesuatu…”
“Aku ini Mamamu, ijinkan aku meminta, sekali saja,” kataku.
“Mama memang Mamaku, tetapi selama 17 tahun ini, apakah mama selalu mendampingiku. Mama selalu tak ada, kalau aku lagi butuh Mama. Setiap libur kerja, Mama tetap saja asyik dengan diri mama, ke salon seharian, ke spa dengan teman-teman Mama..” ujarnya.
Aku diam.
“Bude Nana adalah Mamaku yang sesungguhnya, selalu mengurusku, mengerti aku, sedangkan Mama, selalu sibuk dengan diri Mama sendiri,” ujarnya.
Perempuan sialan. Umpatku dalam hati.
“Aku selalu mengirimi Bude Nana uang, untuk keperluanmu, apakah itu tak berarti apa-apa untukmu Halida?” kataku mencoba membela diri.
“Kenapa Mama selalu bicara soal uang, jadi Mama sudah mengganggap diri Mama berjasa karena membayar Bude Nana?” katanya geram.
“Jangan menghina dia, Ma,” katanya lagi.
“Bukalan matamu, aku ini Mamamu, bukan Bude Nana!” ujarku sambil menahan tangis.
Dia mendengus kesal. Lalu mengambil tasnya dan keluar dari kamarnya. Langkah-langkah itu penuh dengan amarah. Puteriku sudah menyingkirkan diriku. Tuhan apa yang terjadi. Kembalikan anakku padaku. Tapi bagaimana caranya ? Apakah aku harus meninggalkan pekerjaanku ini.
Mungkin memang kesalahanku, suamiku sudah mengingatkanku sejak dulu, tetapi kutolak dengan alasan karirku sudah terlalu tinggi. Apakah mungkin aku hidup tanpa harus berkarya. Tetapi sekarang aku rasakan sendiri, aku sama sekali tak berharga bagi anakku. Tuhan andaikan waktu bisa diputar kembali….
(SELAMAT HARI KARTINI PEREMPUAN INDONESIA)

Pondok Kacang 21 April 2010

No comments:

Post a Comment