SKETSA Sore yang nyaman. Tidak hujan, hanya hembusan angin yang lembut membelai. Awan putih menggelantung di sudut langit yang biru. Indah. Saya mengeluarkan sepeda motor dan memanggil anak-anak yang sedang menonton televisi.
"Kita akan ke taman.."
Mereka berdua meloncat kegirangan. Lalu mengambil sandal dan berlari ke arah saya yang duduk di jok sepeda motor. Mereka lalu mengambil posisi masing-masing. Beby di depan, dan Mikail di belakang.
Dua mulut kecil itu penuh dengan roti dan biskuit kesukaan mereka. Saya mengendarai dengan perlahan. Sambil menikmati angin yang menampar lembut wajah ini, saya bersenandung lagu "Twinkle-twingkle little star,how I wonder what you are..."
Mereka hanya bisa ikutan bersenandung karena mulutnya masih penuh makanan. Lima menit, kami sampai di taman. Berhamburan mereka berlari menuju ayunan, perosotan atau monkey bar. Saya mengambil botol air mineral yang menggantung di sepeda motor dan duduk di sebuah sudut, sambil mengawasi mereka.
Angin masih memburai lembut. Dedaunan pohon palm yang anggun melambai perlahan. Di tengah lamunan itu, seorang perempuan tersenyum pada saya, lalu duduk di sebelah saya. Sepertinya orang baru, saya belum pernah melihat perempuan itu di kawasan ini.
"Lagi momong bu?" tanyanya.
"Iya nih, mereka sudah bosan di rumah tadi, jadi kubawa ke sini, tinggal dimana mbak," tanya saya menyenangkan dia meskipun kulihat wajahnya sudah lumayan tua.
"Di rumah itu, " katanya menunjuk sebuah rumah.
"Baru empat hari jadi pembantu?" katanya lagi.
"Oh ya," kata saya
"Dari mana asalnya bu, orang Jawa ya," tanyanya.
"Ambarawa," jawab saya tanpa ragu.
"Aku Brebes," ujarnya.
"Wah sama-sama orang Jawa ya."
Mungkin memang wajah saya ini tak bisa menutupi. Orang selalu saja bisa menebak kalau saya ini orang Jawa. Atau karena logat Jawa saya yang medok, saya tidak tahu.
"Anaknya cuma dua ya Bu," katanya lagi.
"Iya, dua saja sudah cukup," kilah saya.
"Saya enam," katanya.
"Enam? banyak sekali."
"Enam, perempuan semua," ujarnya lagi. Saya terperanjat kagum.
"Punya cucu satu," katanya.
"Hahaha, kata orang punya anak perempuan bikin cepat tua.." kelakar saya.
"Saya tidak tahu bu, anak saya enam perempuan semua, padahal saya di rumah anak perempuan sendiri, saudara saya empat laki-laki semua," ujarnya.
"Mungkin keturunan dari suami?" ujar saya menebak.
"Suamiku justru saudaranya laki-laki semua," ujarnya.
"Kok bisa ya mbak," kata saya
"Ga tahu, Bu."
"Ya ga papa kan perempuan semua," guman saya.
"Suami saya pengen anak laki-laki, akhirnya saya suruh kawin lagi, eee dapat anak perempuan lagi..."
"Kawin lagi?"
"Mbak menyuruh suami kawin lagi?" ulang saya.
"Habis gimana, dia pengen anak laki-laki, saya sudah males hamil lagi," ujarnya tanpa ekspresi.
Saya tak bertanya lagi. Hati saya berdebar.
"Dan saya bisa bekerja lagi, mengumpulkan uang buat sekolahnya anak-anak," katanya sambil berdiri.
"Baguslah kalau begitu," jawab saya kemudian.
"Saya balik dulu, Bu, sampai ketemu lagi," lalu dia berjalan dengan tubuh kurusnya. Saya memandangi perempuan itu. Bagaimana hubungan suami-istri bisa seperti itu. Faktor kekurangan, faktor kemiskinan, membuat perempuan ini mengabaikan kecemburuan, keutuhan rumah tangga, bahkan rela dipoligami.
Sore makin surut. Saya membawa anak-anak pulang. Saya bawa pulang juga sebuah memory yang sederhana, kisah seorang perempuan aneh.
No comments:
Post a Comment