CERPEN
Inspired from true story by Imam susilo
Aku membuka pintu garasi dan mengeluarkan Kijang Innovaku ke gang depan rumah. Masih belum subuh. Dingin selepas hujan pagi itu masih menyisakan kebekuan. Langit kelam. Kabut tipis menyusup di sela-sela pohon penghijauan di pinggiran hoek depan rumahku di komplek itu.
Hari ini aku berencana untuk pulang kampung. Karena cuti tahunan kali ini memang kuambil bersamaan dengan hari libur sekolah anak-anakku. Aku akan menyetir sendiri, istriku Nova, dan dua putera-puteriku juga ikut denganku untuk pulang kampung kali ini.
Perumahan masih sepi. Aapalagi rumahku berada di ujung gang yang hanya memiliki beberapa tetangga. Uf, kabut itu, mengingatkanku pada Mara. Gadis cantik dengan bola mata berkilauan bak permata 24 karat. Ketika kami masih kecil dulu, subuh-subuh begini Mara ikut ibunya ke sawah, berjalan menembus kabut dengan membawa rantang makanan di tangannya. Gadis yang sebaya denganku itu melewati gang depan rumahku, dengan langkah kecilnya , berjingkat seperti seekor kijang.
Aku melihat mata cemerlang itu melirik ke arah rumahku. Aku yang masih duduk dalam gelap beranda rumahku melihatnya dengan jelas. Wajah ceria dengan senyuman indah dan menyenangkan itu. Aku terbiasa bangun pagi karena sekolahku jauh. Sembari menunggu subuh, biasanya aku duduk di beranda rumah sambil memandangi langit berbintang.
Aku jarang menyapanya. Karena dia bersama ibunya aku merasa malu. Selain itu hatiku berdebaran kencang, bila gadis kecil itu melewati rumahku.
“Mas, sholat dulu, sudah subuh,” istriku mengingatkanku.
“Oh ya, sayang, aku sholat dulu, kau masukkan semua barang-barang ke bagasi ya,” kataku.
“Baiklah,” kata istriku sambil memasukkan barang-barang itu ke bagasi.
Setelah semua beres, kami meluncur menembus pagi yang dingin. Lalu lintas masih sepi. Paling tidak aku harus menyetir selama sepuluh jam untuk sampai di desaku di kota kecil Ambarawa. Tetapi karena niat yang berapi-api, aku menjalaninya dengan senang.
Aku duduk dengan anak sulungku yang sekarang berumur sepuluh tahun. Sementara adiknya di belakang bersama ibunya sambil disuapin nasi goreng. Istriku selalu begitu, mempesonakan dengan semua perhatiannya terhadap anak-anak. Dia bukan perempuan yang cantik, tetapi dia perempuan yang kuat. Selalu menemaniku dalam kondisi apapun. Mengurusi semua keperluanku dan keluarga, dan juga penyabar luar biasa.
Tetapi pagi ini, semua pesona itu seperti hilang. Sejak Dwiangga sahabat kecilku menemukan Mara untukku, semua pesona istriku sudah hilang. Hatiku getir menjalaninya, penghianatan ini, tetapi jiwaku telah menyatu dengan Mara jauh seblum istriku menemukanku. Untunglah Nova belum mengetahuinya, jadi rumah tanggaku masih aman.
Aku dan Mara tidak berpacaran dengan terus terang, hanya kami berdua yang tahu. Tetapi setelah tamat SMA, Mara tiba-tiba menghilang. Orang tuanya bilang Mara pergi ke Bali dan bekerja di sebuah hotel di sana. Tetapi tidak tahu pasti dimana Mara bekerja.
Lima tahun kemudian, ibuku bercerita bahwa Mara datang dengan membawa seorang pria lalu menikah dengan sederhana di desa kami, waktu itu aku masih kuliah di Jogja. Tetapi kemudian Mara pergi lagi, dan tidak ada seorangpun yang menemukannya. Aku anggap Mara menghilang ditelan bumi. Sampai akhirnya aku sudah dititik putus asa dan bertemu gadis sederhana teman kuliahku, Nova, yang kemudian aku nikahi.
Perjalanan cintaku dengan Nova berjalan mulus hingga usia perkawinan kami yang ke 10 tahun lalu. Kami tinggal di Jakarta dan anak-anakku juga bertumbuh di sini.
Setengah tahun yang lalu, ketika pulang kampung untuk menengok ibu yang sakit, aku bertemu dengan Dwiangga sahabatku ketika kecil. Dia memberiku berita bahwa dia sering bertemu Mara. Mara bekerja di sebuah hotel di Bali, sedangkan Dwiangga bekerja di salah satu perusahaan patner dari hotel tersebut. Dwiangga pun memberiku nomor telepon selullar Mara.
Aku menghubungi gadis itu, dan dia membalas dengan tawa renyah dan cerianya.
“Maafkan aku meninggalkanmu begitu saja, Raka,” kata Mara waktu itu.
“Kenapa kau lakukan itu, Mara,” ujarku getir.
“Karena aku ingin mencari mimpiku,” ujarnya.
“Mimpimu?” tanyaku heran dan tak yakin dengan jawaban itu.
“Ya,” katanya.
Ia tidak pernah menceritakan perkawinannya padaku. Setiap kami berkomunikasi, dia selalu bercerita tentang kami. Masa-masa indah ketika masih sekolah dulu. Sampai akhirnya Mara berkata bahwa akhir tahun ini, dia akan pulang. Dia ingin bertemu denganku.
Akupun segera mengambil cuti, dan kebetulan anak-anakku juga sedang liburan sekolah. Sudah tidak sabar rasanya menemui mantan kekasihku itu.
“Berapa lama lagi, kita sampai, Pa?” tanya anakku, disela-sela lamunanku.
“Sabar sayang, mungkin tiga jam lagi,” kataku.
Dari balik spion kulihat istriku sedang mengusap-usap punggung anak perempuanku agar tidur. Wajah tenang itu hanya membuatku merasa berdosa saja. Perselingkuhan ini, pikiran yang dipenuhi wajah-wajah Mara ini, sebuah dosa besar perkawinan kami. Tetapi jiwaku, cintaku seperti sudah tak bisa lagi dipisahkan dengan Mara.
Perjalanan jauh kali ini benar-benar beda dengan perjalanan sebelumnya. Menyetir sendirian hampir 10 jam terasa ringan. Padahal biasanya rasa ngantuk dan capek selalu menyerang, tetapi tidak untuk kali ini.
Di rumah ibuku, istriku yang mengurus segalanya. Dia memang istri yang pintar segalanya. Prigel. Mengurus anak-anak, membawanya jalan-jalan di sepanjang sawah dekat rumah kami dan lain-lain. Dia membiarkanku tiduran dan bermalasan sendiri.
Sampai akhirnya sore itu, aku berniat menemui Mara. Aku bilang kepada istriku bahwa aku akan ke rumah teman lama. Berjalan kaki aku menyusuri jalan desa. Hampir satu kilometer aku berjalan. Dan sampailah aku di kampung Mara. Tidak banyak yang berubah, rumah-rumah disitu. Dan rumah batu di sebelah sungai kecil yang bening itu, adalah rumah Mara.
Hatiku berdebar kencang. Aku tak berani membayangkan wajah itu. Ketika hampir seratus meter, di beranda rumah itu menuh dengan orang-orang berbusana muslim. Laki-laki di luar perempuan didalam. Mereka sedang membaca buku kecil. Oh buku Yassin. Siapakah yang meninggal.
Aku mendekati rumah, seorang perempuan tua menyambutku dan langsung memelukku, tanpa berkata-kata langsung menangis. Tak lama kemudian seorang laki-laki tua datang, bukankah dia ayah Mara, lalu siapa yang meninggal. Di rumah itu kan hanya ada tiga orang. Atau mungkin nenek atau kakeknya yang meninggal. Tidak mungkin, mereka sudah tidak ada, sejak Mara masih remaja.
Seorang mengajakku duduk.
“Siapa yang meninggal?” tanyaku pada laki-laki itu.
“Lho mas tidak tahu, yang meninggal puteri mereka satu-satunya, namanya Mara?” kata orang itu.
Kaki serasa lumpuh. Hatiku berdebar keras. Jiwaku mengamuk.
“Sudah lama Mara sakit, ini 40 hari kematiannya,” katanya lagi.
“Mara..” gumanku.
“Pernikahan itu? Suaminya?”
“Mara menikah lalu meninggalkan suaminya, karena penyakit itu, sama seperti ketika dia meninggalkan orang tuannya beberapa tahun yang lalu,” kata laki-laki yang katanya masih saudaranya itu.
“Sama juga ketika dia meninggalkanku..” gumanku perlahan. Langit di atas seperti runtuh. Senja yang indah itu berkeping-keping.
Pondok Kacang, 2 Maret 2010
No comments:
Post a Comment