Cemburu. Selalu ada perasaan itu, halus-halus menyelinap saat kudapati dirimu. Kau yang dibaluri oleh cinta dari dia yang selalu kurindu. Tak tanggung-tanggung! Kecintaan tertingginya untuk kalangan makhluk. Kau dari golongan lelaki, dan anakmu dari golongan wanita. Dua orang yang akan selalu di hatinya.
Tapi bagaimana pun, aku tahu tak akan pernah pantas menandingimu. Saat dia, putra Al Khattab pun mundur dan tak sanggup ‘bersaing’ denganmu. Waktu ia datang memberikan separuh hartanya dalam perang Tabuk. Lalu kau maju dengan seluruh hartamu! Yah, katamu, kau mencukupkan Allah, dan dia yang selalu kurindu, untuk keluargamu.
Tak cukup sampai disitu. Dalam sebuah perjalanan hijrah yang menyejarah. Kalian berdua berlindung di sebuah gua. Lalu di sana, dibaringkannya kepala manusia paling mulia dalam pangkuanmu. Lalu demi menjaga dirinya, demi kecintaanmu yang membuncah padanya, terkisahlah cerita saat kau menahan sakit oleh gigitan seekor makhluk Allah. Perih. Tapi kau tahan. Berbuah sebentuk bening yang murni mengalir dari pelupuk matamu. Menimpa dan membangunkan ia yang pulas di atas pangkumu. Lalu kalian saling mendapati cinta itu. Karena Allah. Ya, Karena Allah…
Dan di suatu fajar setelah shalat subuh selesai dihelat. Kau kembali nampak dengan keutamaan yang membahana. Saat ia yang selalu kurindu, bertanya pada khalayak; “Siapa di antara kalian yang pagi ini berpuasa?” Lalu kau berkata, bahwa kaulah orangnya. “Siapakah yang telah mengantarkan jenazah?”. Dan kau kembali mengiyakannya. “Siapakah yang telah memberi makan pada mereka yang papa?”. Lalu kau bercerita tentang setangkup roti dari tangan anakmu, yang telah kau sedekahkan. “Siapa yang telah menengok orang sakit?”. Kau menjawab, “Aku, ya Rasulullah!”. Lalu selanjutnya kabar darinya membuat wajahmu menjadi cerah ceria. “Tidaklah semua amal di atas terkumpul dalam diri seseorang melainkan ia akan masuk surga.” (HR. Bukhari)
Dan ini bukan hanya tentang syurga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Sebab saat Rasulullah, dia yang selalu kurindu, mengabarkan tentang pintu-pintu syurga yang beraneka jenisnya. Untuk mereka yang syahid, untuk mereka yang berpuasa, untuk yang ahli shalat dan berbagai jenis lainnya… Ah, dia Shallallahu alaihi wa sallam lalu mengharapkan, agar kelak kau dapat memasuki jannah lewat semua pintunya!
Kau, As Siddik yang selalu membenarkan. Langsung mengangguk mantap saat dikisahkan tentang perjalanan sang Rasul dari masjidil haram ke masjidil Aqsa. Lalu dalam semalam naik ke Sidratul Muntaha. Para kafir Quraisy menertawakan dan semakin tak percaya. Tapi kau hadir dengan keyakinan yang gagah. Berucap mantap dengan segala keimanan, “Bahkan, jika Rasulullah mengabarakan tentang hal yang lebih mustahil dari itu, maka aku akan tetap membenarkannya!”.
Putrimu yang jelita. Pipinya kemerahan merona. Ilmunya menjadi cerita gemilang tentang kearifan. Menjadi wanita yang paling dicinta Rasulullah. Yang mengakhiri hidupnya dalam dekapannya. Dan yah, sirah tentang masa yang duka itu. Di akhir hidup Rasulullah yang selalu menerbitkan air mataku. Tak dapat lepas dari kebeningan sikapmu.
Saat semua orang tau, bahwa kecintaanmu padanya adalah niscaya. Bahwa pengorbananmu untuknya tak dapat lagi diragukan. Dan bahwa, telah nyata keyakinanmu pada risalah yang dibawanya. Lebih dari itu, kalian adalah kerabat yang telah dikuatkan dengan ikatan kekeluargaan. Yang jiwanya telah menyatu dalam dekap cinta karena Allah saja.
Tapi di hari akhir Muhammad bin Abdullah, saat amarah dan duka Umar bin Khattab naik ke ubun-ubunnya. Hendak ia penggal mereka yang mengatakan bahwa Rasulullah telah tiada. Bukan, bukan karena khalifah kedua itu tidak menerima takdir Allah. Tapi jelas bahwa ia juga cinta. Cinta pada sosok mulia sepanjang masa yang tak akan pernah tergantikan.
Lalu kau hadir menenangkan. Dan kunamakan itu sebuah kebeningan.
“Barang siapa yang menyembah Muhammad, maka sungguh Muhammad telah wafat. Tapi barangsiapa yang menyembang Allah, sesungguhnya Allah hidup kekal.”
Lalu kau melanjutkan dengan lantunan ayat cinta;
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali Imran [3]:144)
Ah,
Pusaramu yang membersamai Sang Rasul adalah sebuah simbol kebersamaan kekal kalian kelak. Maka kupilih untuk menepis cemburu dan menukarnya dengan cinta. Bukankah ia akan terhitung sebagai sunnah sebab Rasulullah pun mencontohkan kecintaan pada dirimu?
Sosok yang berdua dengan Rasulullah di dalam gua. Yang diturunkan ketenangan di hatinya. Lalu diabadikan kebersamaan mereka dengan Allah, dalam kitab yang mulia.
“Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: "Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita." (QS. At Taubah [9]: 40)
Maka demikianlah wahai sahabat yang mulia! Kau yang menyejarah namanya. Termahsyur di bumi dan membumbung ke langit. Abu Bakar As Siddik.
by: Rifaah
Tapi bagaimana pun, aku tahu tak akan pernah pantas menandingimu. Saat dia, putra Al Khattab pun mundur dan tak sanggup ‘bersaing’ denganmu. Waktu ia datang memberikan separuh hartanya dalam perang Tabuk. Lalu kau maju dengan seluruh hartamu! Yah, katamu, kau mencukupkan Allah, dan dia yang selalu kurindu, untuk keluargamu.
Tak cukup sampai disitu. Dalam sebuah perjalanan hijrah yang menyejarah. Kalian berdua berlindung di sebuah gua. Lalu di sana, dibaringkannya kepala manusia paling mulia dalam pangkuanmu. Lalu demi menjaga dirinya, demi kecintaanmu yang membuncah padanya, terkisahlah cerita saat kau menahan sakit oleh gigitan seekor makhluk Allah. Perih. Tapi kau tahan. Berbuah sebentuk bening yang murni mengalir dari pelupuk matamu. Menimpa dan membangunkan ia yang pulas di atas pangkumu. Lalu kalian saling mendapati cinta itu. Karena Allah. Ya, Karena Allah…
Dan di suatu fajar setelah shalat subuh selesai dihelat. Kau kembali nampak dengan keutamaan yang membahana. Saat ia yang selalu kurindu, bertanya pada khalayak; “Siapa di antara kalian yang pagi ini berpuasa?” Lalu kau berkata, bahwa kaulah orangnya. “Siapakah yang telah mengantarkan jenazah?”. Dan kau kembali mengiyakannya. “Siapakah yang telah memberi makan pada mereka yang papa?”. Lalu kau bercerita tentang setangkup roti dari tangan anakmu, yang telah kau sedekahkan. “Siapa yang telah menengok orang sakit?”. Kau menjawab, “Aku, ya Rasulullah!”. Lalu selanjutnya kabar darinya membuat wajahmu menjadi cerah ceria. “Tidaklah semua amal di atas terkumpul dalam diri seseorang melainkan ia akan masuk surga.” (HR. Bukhari)
Dan ini bukan hanya tentang syurga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Sebab saat Rasulullah, dia yang selalu kurindu, mengabarkan tentang pintu-pintu syurga yang beraneka jenisnya. Untuk mereka yang syahid, untuk mereka yang berpuasa, untuk yang ahli shalat dan berbagai jenis lainnya… Ah, dia Shallallahu alaihi wa sallam lalu mengharapkan, agar kelak kau dapat memasuki jannah lewat semua pintunya!
Kau, As Siddik yang selalu membenarkan. Langsung mengangguk mantap saat dikisahkan tentang perjalanan sang Rasul dari masjidil haram ke masjidil Aqsa. Lalu dalam semalam naik ke Sidratul Muntaha. Para kafir Quraisy menertawakan dan semakin tak percaya. Tapi kau hadir dengan keyakinan yang gagah. Berucap mantap dengan segala keimanan, “Bahkan, jika Rasulullah mengabarakan tentang hal yang lebih mustahil dari itu, maka aku akan tetap membenarkannya!”.
Putrimu yang jelita. Pipinya kemerahan merona. Ilmunya menjadi cerita gemilang tentang kearifan. Menjadi wanita yang paling dicinta Rasulullah. Yang mengakhiri hidupnya dalam dekapannya. Dan yah, sirah tentang masa yang duka itu. Di akhir hidup Rasulullah yang selalu menerbitkan air mataku. Tak dapat lepas dari kebeningan sikapmu.
Saat semua orang tau, bahwa kecintaanmu padanya adalah niscaya. Bahwa pengorbananmu untuknya tak dapat lagi diragukan. Dan bahwa, telah nyata keyakinanmu pada risalah yang dibawanya. Lebih dari itu, kalian adalah kerabat yang telah dikuatkan dengan ikatan kekeluargaan. Yang jiwanya telah menyatu dalam dekap cinta karena Allah saja.
Tapi di hari akhir Muhammad bin Abdullah, saat amarah dan duka Umar bin Khattab naik ke ubun-ubunnya. Hendak ia penggal mereka yang mengatakan bahwa Rasulullah telah tiada. Bukan, bukan karena khalifah kedua itu tidak menerima takdir Allah. Tapi jelas bahwa ia juga cinta. Cinta pada sosok mulia sepanjang masa yang tak akan pernah tergantikan.
Lalu kau hadir menenangkan. Dan kunamakan itu sebuah kebeningan.
“Barang siapa yang menyembah Muhammad, maka sungguh Muhammad telah wafat. Tapi barangsiapa yang menyembang Allah, sesungguhnya Allah hidup kekal.”
Lalu kau melanjutkan dengan lantunan ayat cinta;
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali Imran [3]:144)
Ah,
Pusaramu yang membersamai Sang Rasul adalah sebuah simbol kebersamaan kekal kalian kelak. Maka kupilih untuk menepis cemburu dan menukarnya dengan cinta. Bukankah ia akan terhitung sebagai sunnah sebab Rasulullah pun mencontohkan kecintaan pada dirimu?
Sosok yang berdua dengan Rasulullah di dalam gua. Yang diturunkan ketenangan di hatinya. Lalu diabadikan kebersamaan mereka dengan Allah, dalam kitab yang mulia.
“Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: "Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita." (QS. At Taubah [9]: 40)
Maka demikianlah wahai sahabat yang mulia! Kau yang menyejarah namanya. Termahsyur di bumi dan membumbung ke langit. Abu Bakar As Siddik.
by: Rifaah
No comments:
Post a Comment