Aku bosan, Kak. Aku lelah!"
"Tidak! Jangan sekalipun kau bicara begitu, adikku"
"Tapi aku benar-benar lelah. Tidakkah kau lihat anak-anak itu bermain? Mereka ceria sekali. Sangat bahagia. Tak ada yang mengancam senyum mereka. Aku ingin seperti mereka kak. Tenang, tertawa, bersama kakak, umi, juga abi. Tak bisakah?"
"Bisa. Tentu bisa. Tp belum saatnya. Alloh, Tuhanmu, Tuhan kita, meminta kita untuk sedikit bersabar. Ada bahagia abadi. Lebih indah dari semua yang ada di bumi".
"Tapi, di mana saudara kita yang lain? Kata umi, saudara kita banyak. Mereka tersebar di seluruh dunia. Kenapa mereka tak datang membantu kita?"
"Mereka ada. Mereka membantu kita. Ada yang datang bergabung dalam barisan, ada yang membantu dengan harta untuk membeli obat-obatan, makanan, dukungan, ada doa dan air mata yang tak pernah berhenti mengalir. Untuk kita. Tidakkah kau merasakannya?"
"Ya, Kak. Semoga... Aku senang mereka peduli pd kita, saudaranya".
"InsyaAlloh..."
........
"Kak, tidurku kacau. Kulihat negeri ini tenggelam ke samudera. Merah. Darah. Lalu kulihat tubuh kita terbang seperti kupu-kupu. Kakak yang berwarna merah muda, dan aku biru tua. Kita mengitari taman yg luas dan indah. Sangat indah! Belum pernah kulihat tempat seindah itu sebelumnya".
"InsyaAlloh, kita akan ke sana. Sekarang, kau jangan banyak bicara. Luka di kepalamu cukup parah. Biar kakak obati dulu. Kau, lanjutkanlah bermimpi".
"Kak, aku ingin berganti dunia. Sebentar saja. Dunia rekaan imaji. Di mana bahasa burung, kupu-kupu, kunang-kunang, bisa dimengerti dengan rekah bunga bermekaran tanpa harus cemas diremas. Bebas..."
"Kupu-kupu? Lalu di mana akan kau nikmati kebebasan itu? Di ranting pepohonan yang habis terbakar orasi-orasi api bom dan rudal? Di atas puing-puing kota yang pucat? Di bawah bayang-bayang deru tank dan pesawat? Atau di depan mulut senapan yang tak pernah mengerti bahasa burung, bahasa kupu-kupu, bahasa kebebasan, bahasa kita?... Adikku, kita tak punya pilihan, selain tetap berjuang sampai syahid menjelang. Itulah sebenar-benar kebebasan."
Tiba-tiba, dari delapan penjuru mata angin, suara-suara ledakan berdentuman. Ledakan bom. Ledakan kata-kata dari mulut api. Ledakan asap yang menggantung menjadi awan di langit saga. Ledakan semburat warna merah. Ledakan anyir darah yang menggenangi lembaran-lembaran duka. Dan di antara berbagai ledakan yang merenggut kesenyapan, ribuan kupu-kupu, burung, dan gemetar jutaan kunang-kunang berhamburan menerobos cakrawala yang pekat. Mereka tampak bingung, gelisah kehilangan bayangan. Kupu-kupu itu terus terbang. Dari kelepaknya yang kaku tampak rasa gelisah menyirami raut wajahnya. Mereka gemetaran belingsatan di tengah-tengah asap yang menyesaki kerongkongan di sela-sela ribuan lembar sayap burung, kupu-kupu yang buram dengan warna merah basah. Tak ada yang mengerti bahasanya. Bahasa burung. Bahasa kupu-kupu. Bahasa kebebasan.
"Kepalaku pusing, Kak".
"Tahan sayang, kau harus kuat!"
BRAKKK!!! Tiba-tiba, enam serdadu muncul dari balik reruntuhan bangunan. Mereka menodongkan senjata ke wajah anak lelaki dan menarik paksa kakak perempuannya.
"Lepaskan! Lepaskan kakakku! Pengecut! Lawan aku!"
"Hahahahaha.. Dasar bocah cilik! Urus saja lukamu!"
BUGH!! Sebuah hantaman mendarat di pipi mungilnya.
"Alloh..."
"Hentikan! Jangan sakiti adikku! Biadab!"
"Hahahaha.. Gadis manis. Mari kita bersenang-senang".
"Tidak! Alloh... Astaghfirulloh... La'natulloh 'alaykum!"
"Kakak..."
Hitam.
Gelap.
Pekat.
Senyap.
Tak ada suara.
Pelan-pelan,
setitik cahaya bersinar di kejauhan.
Mendekat.
Mendekat.
Kian membesar.
Semakin terang.
Ribuan kupu-kupu beterbangan,
berhamburan,
berlarian,
mengitari tatanan bunga-bunga di taman.
by: akhwat zone
No comments:
Post a Comment