Thursday, May 2, 2013
Sopir Pak Harto
WARTAWAN BADUNG Pak Lukman, kiai dari Tulung Agung, juga pengajar di Universitas Paramadina, berkata: Gie. kalau kamu berada di suatu tempat, pesta, acara tertentu, terus kamu melihat ada orang yang minder, menyendiri, dekatilah dan ajaklah dia berbicara. Itu akan membantu menyemangatinya, dan kamu nggak akan kehabisan teman. Nasehat ini sebetulnya aku banget. Dan banyak keuntungan dari cara pandang seperti ini. Salah satunya aku tak pernah kekurangan teman ngobrol. Dan sampai sekarang tukang-tukang parkir, satpam, pembantu, buruh, tukang sayur, kuli dan wong-wong cilik banyak yang menjadi temanku. Kita pasti ingat peristiwa ketika Pak Harto sakit. Semua media masa heboh meliput kondisi mantan penguasa Orde Baru itu. Waktu itu Pak Harto di rawat dirawat di rumah sakit Pertamina di kawasan Blok M. Aku pun tidak kalah antusiasnya meliput Pak Harto. Siang, malam wartawan menunggui di teras depan rumah sakit. Menunggu semua peristiwa dan mencatat siapa saja yang datang menengok Pak Harto. Ternyata sakitnya berhari-hari. Dan wartawan yang meliput sedikit demi sedikit berkurang. Karena jarang ada tamu, dan di situ mengganggu pengunjung lain, para wartawan pun berpindah tempat. Sebelumnya nunggu di depan pintu masuk, sekarang, berpindah ke pintu belakang, dekat parkir. Dan ternyata, keluarga Pak Harto selalu masuk lewat pintu ini. Tommy, Bambang, Mbak Tutut, semua datang melalui pintu belakang, alasanya tentu saja untuk menghindari wartawan. Malam itu ada beberapa wartawan nongkrong di pintu belakang. Aku pun bergabung dengan mereka. Kami bercanda tertawa untuk menghilangkan kejenuhan. Namun pandanganku tertuju pada sebuah kursi dekat parkiran. Ada seorang laki-laki bertubuh gempal, berkumis dan berambut cepak. Dari pemanpilannya, dia pasti sopir pejabat. Mengenakan safari gelap dan rapi. Aku pun berjalan menghampiri laki-laki itu dan menyapanya. "Sendirian Pak?" tanyaku. "Iya, Mbak wartawan ya?" "Iya, jaga malam," kataku sambil duduk disebelahnya. Terjadilah obrolan. Biar pun bertampang militer, ternyata dia ramah juga. Mungkin jenuh juga berhari-hari dia duduk di situ sendirian. "Acara apa di sini, Pak?" tanyaku. "Saya mengantar Pak Harto," jawabnya. "Ooh, berarti dah berapa hari di sini?" "Dari hari pertama, Mbak," katanya. "Udah lama ya jadi sopir Pak Harto?" "Ya semenjak jadi Presiden." "Wah 30 tahun lebih, mantap dong." Dia tersenyum, "Sampai pensiun pun Pak Harto tidak mau diantar sopir lain, Mbak." "Pernah nggak diajak ngobrol sama Pak Harto atau Bu Tien?" "Pernah, saya ditanya ikut KB nggak?" "Terus?" "Ya saya jawab ikut, anak saya dua, waktu itu yang tanya Bu Tien," katanya. "Terus Pak Hartonya?" "Dia bilang bagus-bagus..." "30 tahun hanya ngomong begitu?" "Iya mbak, namanya juga sopir, tetapi mereka baik Mbak, nggak pernah marah-marah, atau ngomel-ngomel..." Sampai jam 2 malam aku mengobrol dengan dia. Beberapa wartawan juga ikut nimbrung. Karena kecapaian, aku kemudian berpamitan pulang, malam sudah teramat larut. Beberapa hari berikutnya aku juga bertemu dengannya. Sayangnya aku lupa menanyakan namanya. Jakarta 3 Mei 2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment