Wednesday, July 28, 2010

Perjalanan Malam

CERPEN

Kutunggu di Gambir. Demikian bunyi pesan itu melalui SMS. “Kereta berangkat pukul 19.00, jangan terlambat,” sebuah pesan menyusul, sebelum aku membalas pesan sebelumnya. Aku masih di kantor. Sejak siang tadi, gerimis mengguyur Jakarta. Segera aku berkemas, memasukkan semua barangku ke tas lap top.
Butuh waktu paling tidak setengah jam menuju Gambir. Aku memeluk tas lap topku agar terhindar dari hujan, berlari menuju jalan raya. Sekilas menyapa orang-orang yang aku lewati. “Buru-buru Her, masih hujan begini,” kata seseorang.
“Iya nih, kalau ditunggu lama, ga brenti-brenti,” jawabku sambil lalu.
Di ujung gang sebelah kantor, ada beberapa tukang ojek, meringkuk di pos keamanan kampong. Aku melambaikan tangan. Mereka saling berpandangan, dan yang mendapat giliran pun langsung menyalakan mesin dan meluncur ke arahku.
Aku masuk ke dalam jas hujan. Biarpun gerimis kecil-kecil, tetapi kalau tidak memakai jas hujan, akan basah juga.
“Gambir, bang,” kataku.
Jalanan macet seperti biasa. Namun dengan ojek, semua masalah itu bisa teratasi. Tidak sampai setengah jam, aku sudah sampai di Gambir, padahal kantorku lumayan jauh, di Sudirman. Aku menelponnya.
“Inggrid, kamu dimana? Aku sudah di gambir,” kataku.
“Lantai tiga, dekat tangga,’ jawabnya.
Setengah berlari aku menaiki tangga. Bukannya takut ketinggalan kereta, namun karena aku tak sabar ingin bertemu dengan perempuan itu. Calon penumpang sudah menumpuk di semua sudut. Aku terus mencari.
“Heru..” seseorang menyapaku. Aku menoleh ke belakang.
“Inggrid…” ujarku senang. Aku membuka tangan ingin memeluknya, tetapi kuurungkan, aku melihat Inggrid mundur.
“Apa kabar, Her,” katanya.
“Baik, hari ini adalah yang terbaik,” ujarku.
Kereta Argo Bromo Anggrek jurusan Surabaya Gubeng, segera datang. Terpaksa basa-basi itu terputus. Inggrid bersiap untuk naik.
“Kamu mau ikut? Aku sudah membeli dua tiket,” katanya.
“Tentu aku ikut,” jawabku. Lalu kuangkat sebuah tas travel Elle miliknya. Tas yang sangat bagus.
Kami melintasi para calon penumpang yang berwajah dingin. Itulah yang tidak aku sukai di kereta kelas VIP ini. Orang-orang tidak saling bertegur sapa, bahkan tersenyum pun seperti enggan.
“Kau terlihat cantik sekarang,” kataku.
“Masak, terima kasih,” ujarmu.
“Tidak ada yang berubah,” kataku lagi.
“Syukurlah, mungkin karena aku menjalani hidup ini apa adanya, seperti air mengalir,” ujar perempuan itu.
“Jadi mengapa kau ingin aku menemanimu pulang ke Surabaya?” ujarku kemudian.
“Menurutmu apa?” Inggrid balik bertanya.
“Kau marah padaku?” tanyaku, dia menggeleng.
“Lalu?”
“Malam terakhir pertemuan kita, sebulan sebelum pernikahanmu itu, aku memang sengaja mengundangmu ke rumah,” katanya. Aku mencoba mengingat-ingat.
“Terus?”
“Aku waktu itu ingin menanyakan kepastianmu padaku?” ujarnya lagi.
“Masak?”
“Ya, tetapi kamu nyerocos, terus tentang rencana pernikahanmu, dan tak ada kesempatan bagiku untuk bicara,” ujarmu.
Hatiku tersentak. Malam itu, lima tahun yang lalu, memang aku bertemu Inggrid. Kami berbincang seperti biasa, dan aku menceritakan rencana pernikahanku dengan Imelda. Aku sudah lama naksir Inggrid. Tetapi perempuan itu terlalu tertutup. Dan aku tidak pernah tahu pasti isi hatinya. Dan kuakui, sampai sekarang pun hanya dia perempuan yang aku cintai dengan sepenuh hatiku.
“Malam itu, setelah pertemuan itu, aku tidak bisa tidur, hatiku patah, dan semalaman aku merokok,” katanya lagi.
“Inggrid, benarkah?”
“Ya,” ujarnya.
Aku memandangi wajah sedih itu. Mata indahnya yang bersinar menjadi sayup.
“Sekarang, jujurlah padaku, apakah selama ini kau mencintaiku?” ujarku pasti.
“Kenapa masih kau tanyakan itu, tentu saja iya, aku malam itu jelas-jelas ingin kepastianmu,” nadanya mulai kesal.
“Bodohnya aku,” keluhku.
Dia terisak.
“Malam itu, aku berjanji pada diriku sendiri, akan menikah dengan laki-laki pertama yang melamarku,” Inggrid mulai tersedu.
“Kenapa kau tak bilang, Inggrid?”
“Entahlah aku tak punya kekuatan untuk melakukannya, seperti hari-hari sebelumnya, engkau selalu saja membuat aku merasa tak berharga?” tangisnya makin menjadi.
“Kenapa?”
“Para perempuan yang selalu ada di dekatmu, selalu saja membuatku minder,” ujarnya.
“Mereka hanya teman, tetapi yang kucintai sebetulnya kamu,” tegasku.
“Kenapa kau tak pernah mengatakannya?”
“Karena aku tak ingin hubungan kita tersebar, aku hanya ingin kau dan aku saja yang menjalani..”
“Jadi kamu malu, punya pacar sepertiku?”
“Bukan begitu maksudku, Nggrid.”
“Padahal kamu tahu, kita sudah saling tertarik sejak pertama masuk di SMA itu, kita cocok, tetapi kenapa kau tak pernah terus terang kepadaku, kamu tak pernah memberiku kepastian,” ujarnya.
“Inggrid, aku masih mencintaimu sampai sekarang,” tambahku.
“Sudah terlambat, aku sudah bersuami dan memiliki anak-anak, “ ujarnya.
“Menikahlah denganku ?” ujarku tiba-tiba.
“Tidak bisa Her, biarpun aku mencintaimu, tetapi cinta tak akan mampu mengubah takdir hidupku,” ujarnya.
“Bisa, kita bisa, ijinkan aku membayar kesalahanku?” kataku memohon.
Kuraih jemarinya yang lentik. Dia tak menolak. Aku merasakan ada tetesan air yang begitu hangat di punggung tanganku. Lalu dia menggenggam erat tanganku.
“Kita memang tak berjodoh,” ujarnya.
“Jangan bilang begitu, aku ga mau, masih ada kesempatan kedua?”
“Tidak, aku tidak akan lakukan itu,” katanya sambil menarik tangannya yang aku genggam.
“Menikahlah denganku Inggrid,” pintaku lagi.
Dia tak menjawab. Spontan, dia tutupi wajahnya dengan telapak tangannya. Menangis. Aku kebingungan sendiri menyaksikannya menangis seperti itu. Kereta terus melaju. Malam kelam nan hitam memantulkan cahaya lampu dari gerbong itu. Aku terus membujuknya agar tidak menangis. Namun sia-sia. Sampai akhirnya dia tertidur.
Pagi itu, cerianya sudah hilang. Matanya sembab karena terlalu banyak keluar air mata. Dia murung seperti patung. Kami berdua turun di stasiun Wonokromo. Aku mengantarnya sampai pintu taksi.
Itulah pertemuan terakhir dengan Inggrid. Dia tak pernah menghubungiku lagi. Namun senyumnya tak pernah dapat aku lupakan. Aku memaki diriku sendiri karena ternyata aku telah menyakitinya bertahun-tahun. Mungkin memang benar apa yang dikatakannya : perasaan cinta itu harus diungkapkan, atau hanya akan usang ditelan waktu….


Jakarta, 11 April 2010

No comments:

Post a Comment