Monday, September 17, 2012

Kumpulan Ibaroh Bahtsul Masail


                09/09/2012

OLEH : Al-Ustadz H.Taufieq Fauzie Mdr Smpg Jw Tmr

AHLU AL-SUNNAH WA AL-JAMA’AH


Pengertian Ahlu al-Sunnah Wa al-Jama’ah

Konsep aswaja (ahlu al-Sunnah wa al-jama’ah) selama ini masih belum dipahami secara tuntas sehingga menjadi “rebutan” setiap golongan, semua kelompok mengaku dirinya sebagai penganut ajaran aswaja dan tidak jarang label itu digunakan untuk kepentingan sesaat. Jadi, apakah yang dimaksud dengan aswaja itu sebenarnya? bagaimana pula dengan klaim itu, dapatkah dibenarkan?


Aswaja merupakan singkatan dari istilah ahlun, al-Sunnah wa al-Jama’ah, dan dari situ ada tiga kata yang membentuk istilah tersebut.


Ahlun berarti keluarga, golongan atau pengikut.


Al-Sunnah yaitu segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw. meliputi perkataan, perbuatan dan ketetapannya.


Al-Jama’ah yakni apa yang telah disepakati oleh para sahabat pada masa al-Khulafa’ al-Rasyidin (Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq Ra., Sayyidina Umar bin Khattab Ra., Sayyidina Utsman bin Affan Ra., dan sayyidina Ali bin Abi Thalib Krw)


Sebagaimana telah dikemukakan oleh Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailany dalam kitab al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haqq, juz I, hal.80


فَالسُّـنَّةُ مَا سَنَّهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , وَالْجَمَاعَةُ مَا اِتَّفَقَ عَلَيْهِ اَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ خِلاَفَةِ اْلأَئِمَّةِ اْلأَرْبَعَةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَلْمُهْدِيِّـيْنَ رَحْمَةُ اللهِ عَلَيْهِمْ اَجْمَعِيْنَ (الغنية لطالب طريق الحق جز 1 ص 80 )


(Yang dimaksud dengan al-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw. (meliputi ucapan, perilaku serta ketetapan beliau). Sedangkan pengertian al-Jama’ah adalah segala sesuatu yang telah menjadi kesepakatan para sahabat Rasulullah Saw. Pada masa al Khulafa’ al Rasyidin yang empat yang telah diberi hidayah (mudah-mudahan Allah Swt. memberi rahmat pada mereka semua)

(al-Ghunyah li Thalibi Thariqi al-Haqq juz I hal.80)

Selanjutnya, Syaikh Abi al-Fadhl bin ‘Abdus Syakur menyebutkan dalam kitab al-Kawakib al-Lamma’ah



اَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ الَّذِيْنَ لاَزِمُوْا سُنَّةَ النَّبِـىِّ وَطَرِيْقَةَ الصَّحَابَةِ فِى اْلعَقَائِدِ الدِّيْنِيَّةِ وَاْلأَعْمَالِ الْبَدَنِيَّةِ وَاْلأَخْلاَقِ الْقَلْبِيَّةِ ( الكواكب اللماعة ص 8-9 )


(Yang disebut Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah adalah orang-orang yang selalu berpedoman pada sunnah Nabi Saw. dan jalan para sahabatnya dalam masalah aqidah keagamaan, amal-amal lahiriyah serta akhlaq hati)

(al-Kawakib al-Lamma’ah hal. 8-9)

Jadi Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah merupakan ajaran yang mengikuti semua yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dan para sahabatnya. Sebagai pembeda dengan yang lain ada tiga ciri khas kelompok ini, yakni tiga sikap yang selalu diajarkan oleh Rasulullah Saw. dan para sahabatnya, ketiga prinsip tersebut adalah al-tawassuth yaitu sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan, prinsip al-tawazzun (seimbang dalam segala hal termasuk dalam penggunaan dalil aqli dan dalil naqli) dan al-I’tidal (tegak lurus). Ketiga prinsip tersebut dapat dilihat dalam masalah keyakinan keagamaan (teologi), perbuatan lahiriyah (fiqih) serta masalah akhlaq yang mengatur gerak hati (tasawuf). Dalam praktek keseharian, ajaran ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah dibidang teologi tercerminkan dalam rumusan yang digagas oleh Imam al-Asy’ari dan Imam al-Maturidzi, sedangkan dalam masalah perbuatan badaniyah terwujud dengan mengikuti madzhab empat, yakni madzhab Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, Imam Hambali, dan dalam tasawuf mengikuti rumusan Imam Junaidi al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali,


Salah satu alasan dipilihnya ulama’-ulama’ tersebut oleh salafuna al-shalih sebagai panutan dalam ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah karena mereka telah terbukti mampu membawa ajaran-ajaran yang sesuai dengan intisari agama Islam yang telah digariskan oleh Rasulullah Saw. beserta para sahabatnya dan mengikuti hal tersebut merupakan suatu kewajiban bagi ummatnya. Rasulullah Saw. Bersabda,



عَنْ عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ عَمْرٍو السُّلاَمِىْ اَنَّهُ سَمِعَ الْعِرْباَضَ بْنَ سَارِيَّةِ قَالَ وَعَظَناَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَلَيْكُمْ بِمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتـِىْ وَسُنَّةِ الْخُلَفاَءِ الرَّاشِدِيْنَ اَلْمُهْدِيِّـْينَ (مسند احمد بن حنبل ص 16519 )


(Dari Abd Rohman bin Amr al-Sulami, Sesungguhnya ia mendengar al-Irbadh bin Sariyah berkata, Rasulullah Saw. menasehati kami, Kalian wajib berpegang teguh pada sunnahku (apa yang aku ajarkan) dan perilaku al-Khulafa’ al-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk)

(Musnad Ahmad Bin Hambal, 16519)

Karena itu, sebenarnya ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah merupakan Islam yang murni sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. dan sesuai dengan apa yang telah digariskan dan diamalkan oleh para sahabatnya. Ketika Rasulullah Saw. menerangkan bahwa umatnya akan terpecah-belah menjadi 73 golongan, dengan tegas Rasulullah Saw. menyatakan bahwa yang benar adalah mereka yang tetap berpadoman pada apa yang telah diperbuat oleh Rasulullah Saw. dan para sahabatnya pada waktu itu (maa ana ‘alaihi waashkhabii)


وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً , وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً ,كُلّهمْ فِي النَّار إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً , قَالُوا : مَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ : مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي " (تهذيب سنن أبي داود وايضاح , باب من اطلع في بيت الجزء 2 ص 330)


(Maka, ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah sesungguhnya bukanlah aliran yang baru muncul sebagai reaksi dari beberapa aliran yang menyimpang dari ajaran haqiqi agama Islam, ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah justru berusaha untuk menjaga agama Islam dari beberapa aliran yang akan mencabut ajaran Islam dari akar dan pondasinya semula. Setelah aliran-aliran itu semakin merajalela, tentu diperlukan suatu gerakan untuk menyosialisasikan dan mengembangkan kembali ajaran murni Islam, sekaligus merupakan salah satu jalan untuk mempertahankan, memperjuangkan, dan mengembalikan agama Islam agar sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah Saw. dan para sahabat beliau)

(Khittah Nahdliyyah, 19-20)

Jika sekarang banyak kelompok yang mengaku dirinya termasuk ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah, maka mereka harus membuktikannya dalam praktik keseharian bahwa ia benar-benar mengamalkan sunnah-sunnah Rasulullah Saw. dan para sahabatnya. Abu Said al-Khadimi berkata)



فَاِنْ قِيْلَ كُلُّ فِرْقَةٍ تُدْعَى اَلِهاً اَهْلَ السُّـنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ ( قُلْنَا ذالِكَ لاَيَكُوْنُ بِالدَّعْوَى بَلْ بِتَطْبِيْقَةِ اْلقَوْلِ وَالْفِعْلِ وَذالِكَ بِالسُّنَّةِ اِلىَ زَمَانِناَ اِنَّمَا يُمْكِنُ بِتَطْبِيْقَةِ صَحَاحِ اْلأَحَادِيْثِ كَكُتُبِ الشَّيْخَيْنِ وَغَيْرِهُمَا مِنَ اْلكِتَابِ الَّتِيْ اِجْمَعَ عَلىَ وَثاَقَتِهاَ . (البريقة شرح الطريقة ص 111-112)


(Jika ada yang bertanya) semua kelompok mengaku dirinya sebagai golongan ahlu al sunnah wa al-jama’ah itu bukan hanya klaim semata, namun harus diwujudkan (diaplikasikan) dalam perbuatan dan ucapan. Pada zaman kita sekarang ini perwujudan itu dapat dilihat dengan mengikuti apa yang tertera dalam hadits-hadits yang shahih, seperti shahih al-Bukhori, Shahih Muslim dan kitab-kitab lainnya yang telah disepakati validitasnya. (al-Bariqah Syarh al-Thariqah, hal.111-112)


(Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dirumuskan bahwa Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah merupakan ajaran yang sesuai dengan Rasulullah Muhammad Saw. dan para sahabatnya, dan itu tidak bisa hanya sebatas klaim semata, namun harus dibuktikan dalam sikap dan tingkah laku sehari-hari)


 (Tiga Sendi Utama Ajaran Islam)

Seperti yang sering dijelaskan, bahwa ada tiga pedoman ajaran yang menjadi standar ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah, yakni tauhid (aqidah), fiqih dan tasawuf, ini seolah-olah ingin mengatakan bahwa inti ajaran dalam agama Islam adalah tiga hal tersebut. Bagaimanakah hal tersebut,



عَنْ عُمَرَ ابْنِ الْخَطَّابِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيدُ سَوَادِ الشَّعْرِ لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِى عَنِ الإِسْلاَمِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَتُقِيمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِىَ الزَّكَاةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيلاً. قَالَ صَدَقْتَ. قَالَ فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ. قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنِ الإِيمَانِ. قَالَ « أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ ». قَالَ صَدَقْتَ. قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنِ الإِحْسَانِ. قَالَ « أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ ». قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنِ السَّاعَةِ. قَالَ « مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ ». قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنْ أَمَارَتِهَا. قَالَ « أَنْ تَلِدَ الأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُونَ فِى الْبُنْيَانِ ». قَالَ ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا ثُمَّ قَالَ لِى « يَا عُمَرُ أَتَدْرِى مَنِ السَّائِلُ ». قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ« فَإِنَّهُ جِبْرِيلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِينَكُمْ». (صحيح مسلم الجزء 1 رقم 9



Dari Umar bin Khattab ra., dia berkata: Pada suatu hari kami berada bersama Rasulullah Saw., tiba-tiba datang kepada kami seorang laki-laki yang bajunya sangat putih, rambutnya sangat hitam, sama sekali tidak nampak pada dirinya tanda-tanda kalau dia telah melakukan perjalanan jauh, dan tak seorang pun dari kami yang mengenalnya.


Kemudian laki-laki itu duduk di hadapan Nabi Saw. sambil menempelkan kedua lututnya pada lutut Rasulullah Saw., sedangkan kedua telapak tangannya diletakkan di atas paha Rasulullah Saw., laki-laki itu bertanya: “ Wahai Muhammad, beritahukan kepadaku tentang Islam”. Rasulullah Saw. menjawab, “Islam adalah kamu bersaksi tiada Tuhan selain Allah Swt.dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah Swt. dan hendaklah kamu mendirikan shalat, menunaikan zakat, mengerjakan puasa pada bulan Ramadlan dan menunaikan ibadah haji ke Baitullah jika kamu telah mampu melaksanakannya”. Laki-laki itu pun menjawab, “Kamu berkata benar”, Umar berkata, tentu saja kami merasa heran kepada orang itu, sebab dia yang bertanya dan dia sendiri yang malah membenarkan (jawaban Rasululah)


Kemudian laki-laki itu kembali bertanya, beritahukanlah kepadaku mengenai iman!, Rasulullah Saw. menjawab “Hendaklah kamu beriman kepada Allah Swt., para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, beriman kepada hari akhir dan juga kepada qadar-Nya yang baik dan yang buruk”. Laki-laki itu pun menjawab, “kamu berkata benar”, kemudian laki-laki itu bertanya lagi “beritahukan kepada diriku mengenai ihsan”, Rasulullah Saw. menjawab “Hendaknya kamu menyembah Allah Swt. seolah-olah kamu melihat-Nya, jika kamu tidak bisa merasa melihat-Nya, maka hendaklah kamu merasa dilihat-Nya (Allah Swt. melihatmu). Laki-laki itu bertanya lagi “beritahukanlah kepadaku tentang hari kiamat!” Rasulullah menjawab, “tidaklah orang yang ditanya lebih mengetahui dibanding orang yang bertanya,. Laki-laki itu berkata “kalau begitu beritahukanlah tentang tanda-tandanya saja!” Rasulullah Saw. Berkata “kalau sudah sudah ada budak melahirkan tuannya, kalau kamu telah menyaksikan orang yang tidak beralas kaki dan tidak berbusana dari kalangan orang-orang melarat penggembala domba saling berlomba-lomba mendirikan bangunan yang tinggi.


Umar berkata “kemudian orang itu pergi. Setelah itu aku (Umar) diam beberapa saat, kemudian Rasulullah Saw. bertanya kepadaku, “Wahai Umar, tahukah dirimu siapakah laki-laki yang datang bertanya tadi? Aku menjawab, Hanya Allah Swt. dan Rasul-Nya saja yang mengetahui. Rasulullah Saw. lalu bersabda; sesungguhnya laki-laki itu adalah Jibril As. Ia datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kepada kalian semua. (Shahih Muslim, bab Ma’rifatil Iman wal Islam juz 1 hal 28)


Memperhatikan hadits di atas, maka ada tiga hal penting yang menjadi inti dari agama yang diajarkan oleh Rasulullah Saw., yakni Islam, Iman dan Ihsan. Ketiga hal ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya, dalam pengalaman kehidupan beragama tiga perkara itu harus diterapkan secara bersamaan tanpa melakukan pembedaan, seorang muslim tidak diperkenankan hanya terlalu mementingkan aspek Iman dan Islam dan begitu juga sebaliknya, sebagaimana firman Allah Swt



يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ ادْخُلُواْ فِي السِّلْمِ كَآفَّةً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ (208)


Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu menuruti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (QS. Al-Baqarah: 208)


Dan dari dalil di atas dapat kita ketahui bahwa inti ajaran Islam adalah iman, islam dan ihsan yang harus diamalkan secara kaffah (menyeluruh) dan dari perjalanan sejarah, secara keilmuan berkembang dan dikolaborasi menjadi ilmu tauhid, fiqih,dan tasawuf.



(Aswaja dan Perkembangan Sosial Budaya)

Manusia merupakan mahluk yang diciptakan Allah Swt.dalam bentuk yang paling sempurna (Fii ahsani taqwim, al-Thin:4) dibandingkan dengan mahluk-mahluk yang lainnya. Manusia diberi akal budi dan hati nurani untuk mengemban fungsi ke-khalifahan yaitu mengatur kehidupan untuk mewujudkan kemakmuran di muka bumi (al-Baqarah: 30-34, al-An’am:165)


Sejarah kehidupan yang dibangun manusia telah menghasilkan peradaban, kebudayaan dan tradisi sebagai wujud karya dan karsa manusia dalam memenuhi kebutuhan dan tuntunan hidup yang dihadapi dalam lingkungan negara atau wilayah tertentu. Suatu bangsa atau suku membangun kebudayaan serta peradabannya sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai sosial serta pandangan hidup yang diperoleh dari ajaran agama atau faham yang dianut, budaya atau tradisi itu selalu mengalami perubahan baik berupa kemajuan maupun kemunduran yang semuanya ditentukan atas dasar relevansinya dengan kehidupan dan kemanusiaan. Pertemuan antara berbagai peradaban, kebudayaan dan tradisi merupakan kenyataan dan dialektika sejarah yang menyebabkan terjadinya saling mempengaruhi, percampuran, serta perbenturan yang sesuai dengan daya tahan dan daya serap masing-masing, sebagai contoh adalah peradaban Islam di Indonesia yang muncul sejak awal abad ke-7 masehi sampai perkembangannya merupakan salah satu kenyataan sejarah tersebut.


Salah satu faktor penentu berkembangnya peradaban Islam adalah faham golongan ahlu al-Sunnah wa al-jama’ah, ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah sebagai paham dengan metode yang komperehensif, memadukan antara wahyu dan akal yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang mengandung prinsip moderat (tawasuth), menjaga keseimbangan (tawazun) dan toleransi (tasamuh). Metode pemahaman dan pemikiran (manhaj al-fikr) ini lahir dari proses dialektika sejarah pemikiran dan gerakan yang intens dengan mengikuti tuntunan wahyu dan tuntunan akal secara proporsional yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan dan hukum kehidupan (sunnatullah). Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah menghindari pertentangan politik dan fanatisme kelompok yang masuk dalam pemahaman keagamaan, dengan prinsip dan watak dasarnya itulah ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah dapat diterima dan berkembang di semua lapisan masyarakat serta ikut berperan memajukan kehidupan yang penuh kedamaian dalam wahana kebangsaan dan kenegaraan bersama peradaban, kebudayaan,dan tradisi lain.


Sebagai metode pemahaman dan pemikiran keagamaan yang fitri, ahlu al-sunnah wa al Jama’ah mengaktualisasikan diri dalam pengembangan peradaban, kebudayaan dan tradisi yang konstruktif (al-amru bi al-ma’ruf) serta mencegah perubahan yang destruktif (al nahy mabadi’ al khamsah: hifzh al-din, hifzh al-nafs, hifzh al-aql, hifzh al-nasl, hifzh al-mal) demi terwujudnya kemaslahatan di muka bumi.


Dengan prinsip menyebarkan rahmat kepada seluruh alam semesta (rahmat li al-‘alamin) ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah memandang realitas kehidupan secara inklusif (semua, menyeluruh) dan substansif (independen, hakiki). Secara mutlak ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah tidak mau terjebak dalam klaim kebenaran dalam dirinya juga tidak dalam kelompok-kelompok lain (tidak membedakan suku, ras dan budaya) karena mengaku atau mengklaim kebenaran hanya miliknya sendiri dan memandang pihak lain salah apalagi memaksakan pendapatnya kepada orang lain adalah merupakan sikap otoriter dan pada gilirannya akan mengakibatkan perpecahan, pertentangan dan konflik yang membuat kerusakan dan kesengsaraan.


Pluralitas (kemajemukan) dalam kehidupan ini adalah merupakan rahmat yang harus dihadapi dengan sifat ta’aruf, membuka diri dan melakukan dialog secara kreatif untuk menjalin kebersamaan dan kerjasama dengan saling menghormati dan saling membantu.


Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah sebagai metode pemahaman dan pemikiran yang dirumuskan dalam wacana keagamaan dalam penjabaran secara praktis masih banyak terjadi khilafiyah dan mengalami distorsi (pemutarbalikan fakta atau kenyataan) baik oleh para penganutnya maupun dikalangan orang luar. Pemahaman yang memadukan antara wahyu dan akal, teori kasab, serta tekanan ajaran zuhud (‘uzlah), qana’ah dan sebagainya telah disalahfahami yang kemudian diasumsikan menjadi penyebab kemunduran karena tumbuhnya sikap determinasi dan kepasrahan dalam kehidupan keduniaan, padahal ajaran akidah itu lebih bersifat penataan hubungan hamba dengan Tuhan. Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah mendorong manusia untuk menjadi pribadi muslim yang saleh, kreatif, dinamis dan inovatif agar mampu menjalankan fungsi kekhalifahan dengan tulus demi pengabdian dan kebudayaan yang maju, memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia dengan mendayagunakan potensi intelektualitas dan intuisinya secara maksimal dan bertanggung jawab sebagai amal saleh yang menentukan nilai dirinya dihadapan Allah Swt.


Prinsip ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam mengembangkan kebudayaan dan peradaban didasari sikap yang seimbang, menjaga kesinambungan antara hal-hal baik yang sudah ada dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik (al-mukhafazhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bil jadid al-ashlah) dan dengan dasar itulah ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah memandang peradaban dan kebudayaan modern yang baru muncul atau baru lahir sebagai hasil inovasi dan kreatifitas manusia atas dasar rasionalisme dalam menjawab tantangan yang dihadapi dalam bentuk nilai-nilai, ilmu pengetahuan dan teknologi dengan kata lain ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah memandang peradaban dan kebudayaan modern dapat dimanfaatkan sepanjang tidak mengakibatkan bahaya dan tidak bertentangan dengan sendi-sendi dasar akidah dan syariat Islam, lagi pula semua yang ada dalam peradaban dan kebudayaan modern baik berupa etos kerja, kedisiplinan, orientasi ke depan, dorongan penggunaan teknologi canggih merupakan warisan kemanusiaan yang membawa manfaat untuk kesejahteraan hidup manusia.


(Macam-Macam BID’AH)

Belakangan ini semakin gencar tudingan bid’ah pada seseorang atau kelompok tertentu, yang satu menyatakan bahwa kelompok yang tidak sefaham dengannya sebagai ahlu bid’ah sehingga mereka tersesat dan berhak masuk neraka, sementara kelompok lain juga menuding kelompok yang lainnya lagi mengembangkan bid’ah. Saling tuding seperti inilah kemudian menyebabkan perpecahan di kalangan umat Islam. Apa sebetulnya makna bid’ah itu? dan apakah memang benar bid’ah itu selalu berkonotasi negatif sehingga harus dihilangkan dari muka bumi ini?


Menurut al-Imam Abu Muhammad ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam, bid’ah adalah:


اَلْبِدْعَةُ فِعْلُ مَا لَمْ يُعْهَدْ فِيْ عَصْرِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ( قواعد الأحكام في مصالح الأنام . ج 2 ص 172 )

Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah Saw. (Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anaam, juz II hal. 172)

Dalam khazanah pemahaman literatur fiqih, bid’ah secara garis besarnya dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyi’ah (jelek), sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Syafi’i;



قَالَ اَلْمُحْدَثاَتُ ضَرْباَنِ مَا أَحْدَثَ يُخَالِفُ كِتاَباً أَوْسُنَّةً أَوْ أَثَراً أَوْإِجْمَاعًا فَهذِهِ بِدْعَةُ الضَّلاَلِ وَمَا أَحْدَثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئاً مِنْ ذلِكَ فَهَذِهِ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ انتهى (فتح البارى , ج 17 ص .1)


Sesuatu yang diada-adakan itu ada dua macam. Pertama, sesuatu yang baru itu menyalahi al-Qur’an, sunnah Nabi Saw., atsar sahabat atau ijma’ ulama’, hal ini disebut dengan bid’ah dhalalah. Dan kedua, jika sesuatu yang baru tersebut termasuk kebajikan yang tidak menyalahi sedikit pun dari hal itu (al-Qur’an, al-Sunnah dan Ijma’), maka perbuatan tersebut tergolong perbuatan baru yang tidak dicela. (Fathu al-Bari, juz 17 hal.10)


Sedangkan dalam Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-An’am, Juz I, hal. 173 telah dijelaskan lebih lanjut secara terperinci bahwa sebagian besar ulama’ membagi bid’ah menjadi lima macam,


1 Bid’ah Wajibah, yakni bid’ah yang dilakukan untuk mewujudkan hal-hal yang diwajibkan oleh syara’ seperti mempelajari ilmu Nahwu, Sharaf, Balaghah, dengan alasan karena hanya dengan ilmu-ilmu inilah seseorang dapat memahami al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad secara sempurna


2 Bid’ah Mandubah, yakni segala sesuatu yang baik tapi tak pernah dilakukan pada masa Rasulullah Saw. misalnya, shalat tarawih secara berjama’ah, mendirikan madrasah dan pesantren


3 Bid’ah Mubahah, seperti berjabat tangan setelah shalat dan makan-makanan yang lezat.


4 Bid’ah Muharramah, yakni bid’ah yang bertentangan dengan syara’ seperti madzhab Jabariyah dan Murji’ah.


5 Bid’ah Makruhah, seperti menghiasi masjid dengan hiasan yang berlebihan.


Dari sini dapat diketahui bahwa bid’ah terbagi menjadi dua, pertama bid’ah hasanah yakni bid’ah yang tidak dilarang dalam agama karena mengandung unsur yang baik dan tidak bertentangan dengan ajaran agama, masuk dalam kategori ini adalah bid’ah wajibah, bid’ah mandubah dan bid’ah mubahah, salah satu contoh dalam konteks ini seperti perkataan Sayyidina Umar bin Khattab ra. tentang jama’ah shalat tarawih yang beliau laksanakan:

نِعْمَةُ اْلبِِدْعَةُ هٰذِهِ (الموطأ رقم 231 )

Sebaik-baik bid’ah adalah ini (yakni shalat tarawih dengan berjama’ah). (al-Muwatha’ [231])

Contoh bid’ah hasanah antara lain adalah khutbah yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, membuka suatu acara dimulai dengan membaca basmalah dibawah seorang komando, menambah bacaan subhanahu wata’ala yang disingkat dengan Swt. setiap ada kalimat Allah Swt. dan sallaAllahu alaihi wasallama yang diringkas Saw. setiap ada kata Muhammad, berkendara ke tempat atau majlis terpuji dengan naik mobil Alphard, mengendara sepeda motor ke sekolah, melihat acara pengajian dengan televisi, membuat buku Galak Gampil dengan sarana komputer, mesin cetak, mengabadikan momen-momen tertentu dengan kamera digital, makan es krim, serta masih banyak lagi perbuatan lainnya yang belum pernah ada pada masa Rasulullah Saw. yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.


Bid’ah yang kedua adalah Bid’ah Sayyi’ah atau bid’ah dhalalah, yaitu bid’ah yang mengandung unsur negatif dan dapat merusak ajaran dan norma agama Islam. Bid’ah Muharromah dan Makruhah dapat digolongkan pada bagian yang kedua ini, dan inilah yang dimaksud oleh sabda Nabi Muhammad Saw:


عَنْ عَائِشَةَ - رَضِىَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ


Dari Aisyah ra, ia berkata, sesungguhnya Rasulullah Saw. Bersabda: Barang siapa yang melakukan perbuatan yang tiada perintah kami atasnya, maka amal itu ditolak. (Sahih Muslim, bab Idza Ijtahada al-Amal)


Dengan adanya pembagian ini dapat disimpulkan bahwa tidak semua bid’ah itu dilarang dalam agama, sebab yang tidak diperkenankan adalah perbuatan yang dikhawatirkan menghancurkan sendi-sendi agama Islam, sedangkan amaliyah yang akan menambah syiar dan daya tarik agama Islam tidak dilarang, bahkan untuk saat ini sudah waktunya umat Islam lebih kreatif untuk menjawab berbagai persoalan dan tantangan zaman



(PENERAPAN HUKUM FIQIH)

Setiap muslim mukallaf dituntut melaksanakan semua perintah agama dan menjauhi larangan-larangannya, namun kita sadari bahwa pada setiap masa masing-masing orang mempunyai kekuatan dan kelemahan baik dari sisi fisik maupun keimanannya, bagaimanakah sikap agama melihat kenyataan seperti itu?


Allah Swt. memang menciptakan manusia sesuai dengan kadarnya masing-masing, dari sisi hukum syari’at terdapat dua tingkatan yaitu hukum yang berat dan yang ringan, dengan demikian qoul yang berat untuk mereka yang kuat dan yang ringan untuk mereka yang lemah. Hal ini sesungguhnya telah dijelaskan di dalam kitab al-Mizan al-Kubra hal.3



وَكَماَ لاَيَجُوْزُ لَناَ اَلطَّعْنُ فِيْماَ جَائَتْ بِهِ َاْلأَنْبِياَءُ مَعَ اخْتِلاَفِ شَرَائِعِهِمْ فَكَذلِكَ لاَيَجُوْزُ لَنَا اَلطَّعْنُ فِيْمَا اسْتَنْبَطَهُ َاْلأَئِمَّةُ اَلْمُجْتَهِدُوْنَ بِطَرِيْقِ اْلاِجْتِهاَدِ وَاْلاِسْتِحْسَانِ وَيُوْضَحُ لَكَ ذلِكَ أَنْ تَعْلَمَ يَاأَخِىْ أَنَّ الشَّرِيْعَةَ جَائَتْ مِنْ حَيْثُ اْلأَمْرِ وَالنَّهِى عَلىَ مَرْتَبَتـَىْ تَحْفِيْفٌ وَتَشْدِيْدٌ لاَ عَلىَ مَرْتَبَةٍ وَاحِدَةٍ كَمَا سَيَأْتِىْ اِيْضَاحُهُ فِى الْمِيْزَانِ فَاِنَّ جَمِيْعَ الْمُكَلِّفِيْنَ لاَ يُخْرِجُوْنَ عَنِ الْقِسْمَيْنِ : قَوِيٌّ وَضَعِيْفٌ مِنْ حَيْثُ اِيْمَانِهِ اَوْ جِسْمِهِ فِيْ كُلِّ عَصْرٍ وَزَمَانٍ , فَمَنْ قَوِيَ مِنْهُمْ خُوْطِبَ بِالتَّشْدِيْدِ وَاْلأَخْذُ بِالْعَزَائِمِ وَمَنْ ضَعَفَ مِنْهُمْ خُوْطِبَ بِالتَّخْفِيْفِ وَاْلأَخْذُ بِالرُّخَصِ (الميزان الكبرى ص 3 )


Sebagaimana tidak diperbolehkan mencela perbedaan di antara syari’at-syari’at yang dibawa para Nabi, begitu juga tidak diperbolehkan mencela pendapat-pendapat yang dicetuskan para imam Mujtahid, baik dengan metode ijtihad maupun istihsan. Saudaraku! Lebih jelasnya engkau perlu mengerti, bahwa syari’at itu dilihat dari perintah dan larangannya dikembalikan pada dua kategori yaitu ringan dan berat. Lebih jelasnya hal itu dicantumkan pada ‘al-Mizan. Dengan demikian orang-orang mukallaf itu dipandangkan dari segi keimanan dan fisiknya, dalam setiap zamannya, tidak terlepas dari dua kategori yaitu orang yang lemah dan orang yang kuat, dan barang siapa tergolong kuat, maka ia mendapatkan khitob berupa qoul yang galak, dan barang siapa yang tergolong lemah maka ia mendapatkan khitob berupa qoul yang gampil. (Al-Mizanu al-Kubra, hal. 3)


Dari keterangan tersebut di atas maka dalam menerapkan suatu hukum harus sesuai dengan syari’at ajaran Islam yang di dalamnya tidak ada kekerasan dan paksaan.


(HUKUM BERPINDAH-PINDAH MADZHAB)

Bagaimanakah hukum berpindah-pindah dalam mengikuti pendapat madzhab, semisal penganut madzhab Syafi’i memilih atau mengikuti qoul yang ringan dari qoul atau pendapat selain dari madzhab Imam Syafi’i atau sebaliknya?


1 Fasiq, apabila untuk mencari kemudahan-kemudahan hukum saja. Keterangan kitab Fatkhu al-Mu’in halaman 138


(فَائِدَةٌ) إِذَا تَمَسَّكَ اْلعَامِيْ ِبمَذْهَبٍ لَزِمَهُ مُوَافَقَـتُهُ وَإِلاَّ لَزِمَهُ التَمَذْهُبَ بِمَذْهَبٍ مَعَيَّنٍ مِنَ اْلأَرْبَعَةِ لاَ غَيْرِهَا ثُمَّ لَهُ وَإِنْ عَمِلَ بِاْلأَوَّلِ َاْلإِنْتِقاَلَ إِلىَ غَيْرِهِ باِلْكُلِّيَةِ أَوْ فِي الْمَسَائِلِ بِشَرْطٍ أَنْ لاَ يَتَتَبَّعَ الرَّخَصَ بِأَنْ يَأْخُذَ مِنْ كُلِّ مَذْهَبٍ بِاْلأَسْهَلِ مِنْهُ فَيَفْسُقُ بِهِ عَلَى اْلأَوْجَهِ


(Faidah) jika orang awam berpegang teguh pada suatu madzhab maka wajib mengikutinya, jika tidak atau berpindah madzhab maka wajib mengikuti madzhab yang jelas dari salahsatu madzhab empat (madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) tidak kepada madzhab yang lainnya, jika orang awam yang sudah mengikuti madzhab yang awal menginginkan berpindah ke madzhab yang lain (hukumnya boleh) dengan syarat harus mengikuti pendapat madzhab tersebut satu rumpun atau satu qodhiyah secara utuh, atau hanya ikut dalam beberapa jenis masalah saja dengan syarat tidak mengambil atau memilih pendapat yang ringan dari setiap madzhab yang lebih mudah, jika begitu (hanya memilihi yang ringan-ringan saja) maka termasuk perbuatan fasik (menurut pendapat yang terpecaya).


2 Boleh secara mutlak, dalam artian berpindah madzhab untuk suatu kebutuhan tertentu atau berpindah-pindah madzhab hanya untuk mencari suatu kemudahan saja, asalkan tidak melakukan talfiq. Talfiq adalah menghimpun atau bertaqlid dengan dua imam madzhab atau lebih dalam satu perbuatan yang memiliki rukun, bagian-bagian yang terkait satu dengan lainnya yang memiliki hukum yang khusus, kemudian mengikuti satu dari pendapat yang ada. Hal ini diterangkan dalam kitab I’anah al-Thalibin juz 4 halaman 217


( قَوْلُهُ ثُمَّ لَهُ ) أَيْ ثُمَّ يَجُوْزُ لَهُ اِلَخْ قَالَ اِبْنُ الْجَمَالِ ( إِعْلَمْ ) أَنَّ اْلأَصَحَّ مِنْ كَلاَمِ الْمُتَأَخِّرِيْنَ كَالشَّيْخِ اِبْنِ حَجَرٍ وَغَيْرِهِ أَنَّهُ يَجُوْزُ َاْلاِنْتِقَالُ مِنْ مَذْهَبٍ إِلىَ مَذْهَبٍ مِنَ اْلمَذَاهِبِ اَلْمُدَوِّنَةِ وَلَوْ بِمُجَرِّدِ التَّشَهِّى سَوَاءٌ اِنْتِقَلَ دَوَاماً أَوْ فِيْ بَعْضِ الْحَادِثَةِ وَإِنْ أَفْتىَ أَوْ حَكَمَ وَعَمِلَ بِخِلاَفِهِ ماَ لَمْ يَلْزَمْ مِنْهُ التَّلْفِيْقُ اهـ (اعانة الطالبين ج 4 ص 217)


Ibnu Jamal berkata “ketahuilah sesungguhnya qoul yang lebih sahih menurut pendapat ulama’ periode akhir seperti Syekh Ibnu Hajar dan yang lainnya, beliau berpendapat “sesungguhnya boleh berpindah dari madzhab satu ke madzhab yang lainnya walaupun dengan keinginan untuk mencoba, baik itu berpindah selamanya atau berpindah dalam keadaan tertentu, jika orang awam menfatwakan atau memberikan hukum dan mengamalkan dengan sebaliknya hukumnya boleh selagi tidak menetapkan talfiq,



(KESUCIAN)

Junub baik laki2 atau wanita


Junub adalah kondisi hadats yang menyebabkan seseorang dilarang untuk melakukan ibadah pada Allah Swt., seperti; mendirikan shalat, membaca al-Qur’an, masuk masjid dan lain sebagainya. Adapun sebab-sebab junub


1 Melakukan senggama

2 Keluar air sperma
3 Haid
4 Nifas5
5 Melahirkan
6 Meninggal dunia

Cara bersuci dari hadats ini adalah dengan cara mandi besar dengan niat tertentu.

Bagian Anggota Tubuh yang Terlepas bagi Orang yang Hadats Besar
Ketika seseorang yang sedang dalam keadaan hadats besar (junub) dan belum bersuci, sementara sebagian anggota tubuh ada yang lepas dari tubuhnya seperti rambut, kuku atau yang lainnya, apakah anggota tubuh yang putus tersebut wajib disucikan bersama dengan membasuh anggota badan yang sudah lepas seperti rambut, kuku dan lain-lain yang terlepas pada saat dalam kondisi hadats besar?

Menurut Imam Ghazali, sebaiknya membasuhnya, karena bila anggota badan tersebut tidak dibasuh maka di akhirat akan dikembalikan dalam keadaan hadats.


وَاَمَّا قَوْلُ صَاحِبُ اْلاِحْياَءِ وَسَائِرُ أَجْزاَ الْجُنُبِ تُرَدُّ اِلَيْهِ فِي اْلأَخِرَةِ فَيَعُوْدُ اَىْ مَااُزِيْلَ قَبْلَ اْلغُسْلِ جُنُباً


Imam ghozali berpendapat: bagian-bagian anggota tubuh (yang terlepas) yang masih menanggung junub diakhirat akan dikembalikan dalam kondisi menanggung junub (hadats). (al-Qulyubi, juz I, hal. 67)


Menurut syekh Zainuddin bin Abdil Aziz al-Malibari, tidak wajib membasuh anggota badan yang sudah lepas, hanya diwajibkan pada anggota yang dzahir atau yang melekat saja.


( وَ ) ثاَنِيْهِمَا ( تَعْمِيْمُ ) ظَاهِرُ ( بَدَنٍ حَتىَّ ) َاْلأَظْفاَرَ وَماَ تَحْتَهاَ وَ ( الشَّعْرَ ) ظَاهِرًا وَباَطِناً وَإِنْ كَثِفَ وَماَ ظَهَرَ مِنْ نَحْوِ مَنْبَتِ شَعْرَةٍ زَالَتْ قَبْلَ غَسْلِهاَ


Syarat yang kedua yaitu meratakan air pada seluruh anggota dzohir badan hingga kuku dan di bagian bawahnya, rambut bagian luar dan dalam, yakni tempat tumbuhnya rambut yang telah lepas sebelum mandi. (Fath al-Mu’in, hal. 10)


Sengaja Memotong Bagian Anggota Badan pada saat Sedang Hadats Besar


Bagaimana hukumnya orang yang sedang junub (hadats besar), kemudian sengaja memotong rambut, kuku atau anggota tubuh yang lainnya?


1 Makruh hukumnya bagi orang yang mempunyai hadats besar sengaja memotong bagian anggota badan, karena di akhirat nanti bagian yang dipotong akan dikembalikan dalam keadaan hadats besar. (I’anah at-Thalibin, juz I, hal.79)


( قَوْلُهُ وَيَنْبَغِيْ أَنْ لا َيَزِيْلُوْا إِلَخْ ) قَالَ فِي الْإِحْيَاءِ لَا يَنْبَغِي أَنْ يُقَلِّمَ أَوْ يَحْلِقَ أَوْ يَسْتَحِدَّ أَوْ يُخْرِجَ دَمًا أَوْ يُبَيِّنَ مِنْ نَفْسِهِ جُزْءًا وَهُوَ جُنُبٌ إِذْ يُرَدُّ إِلَيْهِ سَائِرُ أَجْزَائِهِ فِي اْلآخِرَةِ فَيَعُوْدُ جُنُباً وَيُقاَلُ إِنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ تُطَالِبُ بِجِناَبَتِهَا اهـ


2 Boleh hukumnya melakukan hal di atas dalam kondisi hadats besar.


وَمَنْ لَزِمَهُ غُسْلٌ يُسَنُّ لَهُ اَنْ لاَّ يُزِيْلَ شَيْأً مِنْ بَدَنِهِ وَلَوْدَمًا أَوْشَعْرًا أَوْظَفَرًا حَتَّى يَغْسِلُ لِأَنَّ كُلَّ جُزْءٍ يَعُوْدُ لَهُ فِى اْلاَخِرَةِ فَلَوْ إِزَلَهُ قَبْلَ اْلغُسْلِ عَادَ عَلَيْهِ الْحَدَثُ اْلأَكْبَرُ تَبْكِيْتاً لِلشَّخْصِ . (نهاية الزين ص 31)


(Hukum Orang Junub Membaca al-Qur’an)

Pada saat acara lomba tilawatil Qur’an lintas asrama dalam rangka Haflah Akhirus Sanah Pondok Pesantren Ngalah XVII 2006 seorang santri putri Pondok Pesantren Ngalah sedang mengikuti acara tersebut, hingga pada tahapan final dia mengalami keraguan untuk tampil, ketika ditanya ternyata dia sedang datang bulan (haid). Bagaimanakah hukum seseorang dalam kondisi junub/hadats besar membaca al-Qur’an?


Menurut Syafi’iyah; haram bagi orang yang junub dengan sengaja membaca al-Qur’an meskipun satu huruf.

اَلشَّافِعِيَّةُ قاَلُوْا يَحْرُمُ عَلَى الْجُنُبِ قِرَاءَةُ اْلقُرْأَنِ وَلَوْحَرْفًا وَاحِدًا اِنْ كاَنَ قاَصِدًا تِلاَوَتُهُ

Menurut ulama’ Syafi’iyah bagi orang junub diharamkan membaca al-Qur’an meskipun satu huruf dengan sengaja membacanya, dan seterusnya.

(Madzahib al-Arba’ah, Juz I, hal. 112)

(فَرْعٌ) فِيْ مَذََاهِبِ اْلعُلَمَاءِ فِيْ قِرَاءَةِ الْجُنُبِ وَالْحاَئِضِ: مَذْهَبُناَ اَنَّهُ يَحْرُمُ عَلىَ الْجُنُبِ وَالْحَائِضِ قِرَاءَةُ اْلقُرْآنِ قَلِيْلُهَا وَكَثِيْرُهَا حَتىَّ بَعْضَ آيَةٍ وَبِهَذاَ قاَلَ اَكْثَرُ اْلعُلَمَاءِ


Menurut madzhab ulama’ (syafi’iyah) bagi orang junub dan bagi orang haid haram membaca al-Qur’an baik sebagian ayat maupun banyak dan pendapat ini yang lebih banyak (kuat). (al-Majmu’ juz II, hal. 178)


Menurut Imam Dawud; Boleh bagi orang junub membaca sedikit maupun banyak dari ayat al-Qur’an meskipun membacanya dengan disengaja.


وَقاَلَ دَاوُدُ يَجُوْزُ لِلْجُنُبِ وَالْحَائِضِ قِرَاءَةُ كُلِّ اْلقُرْآنِ وَرُوِىَ هَذاَ عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ وَابْنِ الْمُسَيَّبِ قاَلَ اْلقَاضِىُّ أَبُوْ الطَّيِّبِ وَابْنُ الصَّباَغِ وَغَيْرُهُمَا وَاخْتاَرَهُ اِبْنُ الْمُنْذِرِ وَقاَلَ مَالِكٌ يَقْرَأُ اَلْجُنُبُ َاْلآياَتِ اَلْيَسِيْرَةِ لِلتَّعَوُّذِ وَفِى الْحاَئِضِ رِوَايَتاَنِ عَنْهُ اَحَدَاهُمَا تَقْرَأُ وَالثَّانِيْ لاَ تَقْرَأُ وَقاَلَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ يَقْرَأُ الْجُنُبُ بَعْضَ آيَةٍ وَلاَ يَقْرَأُ آيَةً وَلَهُ رِوَايَةٌ كَمَذْهَبِناَ * وَاحْتَجَّ مَنْ جَوَّزَ مُطْلَقاً بِحَدِيْثِ عَائِشَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كاَنَ يَذْكُرُ اللهَ تَعَالَى عَلىَ كُلِّ أَحْياَنِهِ رَوَاهُ مُسْلِمٌ قَالُوْا وَالْقُرْآنُ ذِكْرٌ وَلِاَنَّ اْلاَصْلَ عَدَمُ التَّحْرِيْمِ . المجموع الجزء 2 ص 178 


Menurut Imam Dawud bagi orang junub dan wanita haid boleh membaca seluruh al-Qur’an hal ini diriwayatkan dari ibnu Abbas dan ibnu Musayyab, Qadhi Abu Tayyib, Ibnu Shabbah, dan yang lain, dan pendapat ini dipilih oleh Ibnu Mundzir. Malik berkata orang junub boleh membaca ayat-ayat pendek karena meminta perlindungan. Dan bagi orang yang haid ada dua pendapat,yang pertama boleh yang kedua tidak boleh. Abu Hanifah berpendapat: “orang junub boleh membaca sebagian ayat dan tidak boleh membaca satu ayat penuh” dan baginya satu riwayat seperti madzhab kita. Dan orang yang membolehkan secara mutlak itu berdasarkan kepada hadits Siti A’isyah, sesungguhnya Nabi selalu berdzikir kepada Allah Swt. pada setiap saat, HR. Muslim, mereka berpendapat al-Qur’an tersebut adalah merupakan dzikir dan karena pada asalnya tidak ada keharaman. (al-Majmu’, juz II, hal.178)


(Tidur yang Tidak Membatalkan Wudlu’)

Banyak hal-hal yang menyebabkan batalnya wudlu’, namun bagaimanakah dengan orang yang tidur apakah wudlu’nya menjadi batal?


Imam Madzahib al-Arba’ah mempunyai pandangan yang berbeda.


Menurut Imam Malik: Apabila tidurnya pulas (sekiranya orang tidur tidak merasakan peristiwa-peristiwa di sekitarnya) maka tidur seperti ini membatalkan wudlu’


enurut Imam Syafi’i: Apabila orang tersebut menetapkan pantatnya pada tempat duduk maka tidur seperti itu tidak membatalkan wudlu’


Menurut Imam Abu Hanifah: Apabila tidurnya dalam keadaan berdiri, duduk/sujud (seperti tingkah shalat) maka tidak membatalkan shalat, bila selain keadaan seperti itu (tidur berbaring, tengkurap) maka tidur tersebut membatalkan wudlu’


Menurut Imam Ahmad: Apabila tidurnya dengan posisi duduk/berdiri tidak membatalkan wudlu’ dan bila tidur selain kedua kondisi tersebut maka membatalkan wudlu’


وَاخْتَلَفَ اَلْعُلَمَاءُ فِىْ نَقْضِ اْلوُضُوْءِ باِلنَّوْمِ فَنَظَرَ ماَلِكٌ اِلَى صِفَةِ النَّوْمِ فَقاَلَ اِنْ كاَنَ ثَقِيْلاً ( وَهُوَ اَلَّذِىْ لاَ يَحِسُّ صَاحِبُهُ بِمَا فَعَلَ بِحَضْرَتِهِ ) نَقَضَ اَلْوُضُوْءُ وَاِنْ كاَنَ خَفِيْفاً فَلاَ . وَنَظَرَ اَلشَّفِعِىُّ اِلَى صِفَةِ النَّائِمِ فَقاَلَ اِنْ نَامَ مُمَكِّناً مَقْعَدَتَهُ مِنَ اْلاَرْضِ لاَيَنْقُضُ وُضُؤُهُ وَاِلاَّ اِنْتَقَضَ . وَقاَلَ اَبُوْ حَنِيْفَةَ اِنْ نَامَ عَلَى حَالَةٍ مِنْ اَحْوَالِ الصَّلاَةِ (كَأَنْ ناَمَ قاَئِماً اَوْ قاَعِدًا اَوْسَاجِدًا ) لَمْ يَنْقُضْ اَلْوُضُوْءُ وَاِلاَّ نَقَضَ . وَقاَلَ اَحْمَدُ اِذاَ ناَمَ قاَعِدًا اَوْقاَئِمًا لَمْ يَنْقُضْ اَلْوُضُوْءُ وَاِلاَّ نَقَضَ .ابانة الاحكام ج 1 ص 124.


Para ulama’ berselisih pendapat mengenai apakah tidur itu bisa membatalkan wudlu’? imam Malik lebih memandang kepada sifatnya tidur itu sendiri, beliau mengatakan: apabila tidur tersebut kategori tidur pulas (sekira orang yang tidur tidak merasakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di depannya), maka tidur seperti ini membatalkan wudlu’, dan apabila tidur tersebut termasuk kategori ringan, maka tidaklah membatalkan wudlu’. Sedangkan Imam al-Syafi’i lebih memandang kepada sifatnya orang tidur tersebut. Beliau mengatakan: apabila orang tersebut tidur dengan menetapkan pantatnya pada bumi, maka tidur seperti ini tidaklah membatalkan wudlu’, dan apabila tidak menetapkan pantatnya, maka batAllah Swt. wudlu’nya. Abu Hanifah berkata: apabila seorang tidur dengan keadaan seperti tingkahnya orang yang sedang mengerjakan shalat (sambil berdiri, duduk atau sujud), maka tidaklah membatalkan wudlu’ dan apabila keadaannya tidak seperti itu, maka tidur tersebut membatalkan wudlu’. Imam Ahmad berkata: Apabila seseorang tidur dengan duduk atau berdiri, maka tidaklah membatalkan wudlu’, dan jika tidak sambil duduk atau berdiri, maka tidur tersebut membatalkan wudlu’. (Ibanah al-Ahkam, juz I, hal.124)


(Minyak Beralkohol)

Banyak sekali ditemukan minyak yang dicampur dengan campuran alkohol, hal ini dilakukan karena berbagai fungsi, antara lain untuk menekan udara dalam botol minyak. Bagaimanakah hukum minyak wangi yang dicampur dengan alkohol?


1 Menjadi najis, minyak yang dicampur alkohol, sebab alkohol itu termasuk cairan yang memabukkan, dan cairan yang memabukkan dihukumi najis.


( قَوْلُهُ أَيْضًا نَظَرًا لِأَصْلِهِمَا ) أَيْ فَمَا كَانَ مَائِعًا حَالَ إسْكَارِهِ كَانَ نَجِسًا ، وَإِنْ جَمَدَ وَمَا كَانَ جَامِدًا حَالَ الْإِسْكَارِ يَكُونُ طَاهِرًا ، وَإِنْ انْمَاعَ كَالْحَشِيشِ الْمُذَابِ وَكَالْكِشْكِ الْمُسْكِرِ حَالَ جُمُودِه (شرح الجمل على المنهاج الجزء 1 ص 170)


2 Tidak najis, sebab tidak memabukkan dan campurannya hanya untuk menjaga kebaikan komposisi minyak.

اَلْمَبْحَثُ الثَّالِثُ فِى تَعْرِيْفِ الْكُحُوْلِ الَّذِيْ اِسْتَفَدْناَهُ مِنْ كَلاَمِ مَنْ يَعْرِفُ حَقِيْقَتَهُ الَّذِيْ يَقْبَلُهُ الْحِسُّ مَعَ مَا رَاَيْناَهُ مِنْ اَلاَتِ صِنَاعَتِهِ وَهُوَ عُنْصُرُ بُخَارٍ يَجِدُ فِى الْمُتَخَمِّرَاتِ الْمُسْكِرَاتِ مِنَ الْأَشْرِبَةِ. فَبِوُجُوْدِهِ فِيْهَا يَحْصُلُ الْأِسْكَارُ وَيُوْجَدُ هَذَا الْكُحُوْلِ اَيْضًا فِى غَيْرِ الْأَشْرِبَةِ مِنْ مُتَخَمِّرَاتِ نَقِيْعِ اْلاَزْهَرِ وَاْلاَثْمَارِ الَّذِى يُتَّخَذُ طِيْبًا وَغَيْرُهُ كَمَا يُوْجَدُ مِنْ مَعْقُوْدِ الْخَشَبِ بِأَلَاتٍ حَدِيْدِيَّةٍ مَخْصُوْصَةٍ وَهَذَا الْأَخِيْرُ أَضْعَفُ الْكُحُوْلِ كَمَا اَنَّ اَقْوَاهُ الَّذِى يُوْجَدُ فِى الْعِنَبِ. ( المباحث الوفية للسيد عثمان البتاوي 

Pengertian alkohol sebagaimana yang kami dapatkan dari pernyataan orang yang mengetahui hakekatnya serta yang kami lihat dari peralatan industri pembutannya adalah merupakan sesuatu unsur yang dapat menguap yang terdapat pada minuman yang memabukkan. Keberadaannya akan mengakibatkan mabuk. Alkohol ini juga terdapat pada selain minuman, seperti pada rendaman air, bunga dan buah-buahan yang dibuat untuk wewangian dan lainnya, sebagaimana juga terdapat pada kayu-kayuan yang diproses dengan mempergunakan peralatan khusus dari logam. Dan yang terakhir ini merupakan alkohol dengan kadar paling rendah sedangkan yang terdapat pada perasa anggur merupakan alkohol dengan kadar tinggi. (al-Mabahits al-Wafiyyah Bab Najasah)



وَمِنْهَا اَىْ مِنَ الْمَعْفُوَاتِ . الْمَائِعَاتُ النَّجَسَةُ الَّتِى تُضَافُ اِلَى الْاَدَوِيَةِ وَالرَّوَائِحِ الْعِطْرِيَّةِ لِاَصْلَاحِهَا فَإِنَّهُ يُعْفَى عَنِ الْقَدْرِ الَّذِيْ بِهِ اْلاِصْلَاحُ قِيَاسًا عَلَى الْاَنْفِخَةِ الْمَصْلَحَةِ لِلْجَبِيْنِ.


Termasuk najis yang dima’fu (ditoleransi) adalah, cairan-cairan najis yang dicampurkan untuk komposisi obat-obatan dan parfum, cairan tersebut bisa ditoleransi dengan kadar yang memang diperlukan untuk komposisi yang seharusnya. Karena hal itu diqiaskan dengan usus babat yang digunakan untuk menambahkan kualitas mentega. (Al-Fiqhu ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, juz I, hal.25)



(Media Tayammum)

Dalam literatur fiqih dapat difahami bahwa tayamum adalah bersuci dengan menggunakan selain air. Hal ini diperbolehkan sebagai alternatif bersuci karena beberapa faktor, misalnya kesulitan menemukan air, madlarat yang ditimbulkan oleh air terhadap bagian tubuh misalnya:ketika sakit, dan lain-lain.


Adapun media tayammum menurut para ulama’ adalah:


Menurut Imam Syafi’i dan Imam Hambali, menggunakan debu.


Menurut Madzhab Maliki dan madzhab Hanafi adalah segala sesuatu yang termasuk bagian dari bumi, misalnya; debu, tanah, salju, batu kapur.

 (Al-Mizan al-Kubra juz I, hal.132)

وَأَمَّا ماَاخْتَلَفُوْا فِيْهِ فَمِنْ ذٰلِكَ قَوْلُهُ اْلاِمَامُ الشَّافِعِىُّ وَأَحْمَدُ إِنَّ الصَّعِيْدَ فِى اْلأَيَةِ هُوَ التُّرَابُ فَلاَ يَجُوْزُ التَّيَمُّمُ إِلاَّ بِتُرَابٍ طَاهِرٍ أَوْ بِرَمْلٍ , فِيْهِ غُباَرٌ مَعَ قَوْلِهِ أَبِيْ حَنِيْفَةَ وَ مَالِكٍ الصَّعِيْدُ هُوَ نَفْسُ اْلأَرْضِ فَيَجُوْزُ التَّيَمُّمُ بِجَمِيْعِ أَجْزَاءِ اْلأَرْضِ وَلَوْ بِحَجَرٍ لاَتُرَابَ عَلَيْهِ وَرَمْلٍ لاَ غُباَرَ فِيْهِ (الميزان الكبرى : 1: 132)


Namun demikian madzhab empat (Syafi’i, Hambali, Maliki dan Hanafi), sepakat bahwa tayammum tidak sah bila menggunakan benda yang telah dimasak atau diproses, seperti arang kayu dan plastik.


(Hukum Sesuatu yang Terbuat dari Kotoran atau Benda Najis (Studi Kasus Biogas)

1 Boleh (dihukumi suci)


Menurut Syekh Abi Abdul Mukti atau Imam Nawawi al-Bantani al-Jawi dalam kitabnya “Kasyifah al-Saja” halaman 21, bahwasanya hukum biogas yang dihasilkan dari benda najis (seperti kotoran manusia atau kotoran hewan) adalah diperbolehkan dan dihukumi suci, dengan alasan karena biogas adalah termasuk bukhor (istilah Arab) yang berarti uap.


وَخَرَجَ بِدُخَانِ النَّجَاسَةِ بُخَارُهَا وَهُوَ الْمُـتَصَاعِدُ مِنْهَا لاَ بِوَاسِطَةِ نَارٍ فَهُوَ طَاهِرٌ وَمِنْهُ الرِّيْحُ الْخَارِجُ مِنَ الْكُـنُـفِ أَوْ مِنَ الدُّبُرِ فَهُوَ طَاهِرٌ فَلَوْ مَلاَأَ مِنْهُ قِرْبَةٌ وَحَمَلَهَا عَلَى ظَهْرِهِ وَصَلَّى بِهَا صَحَّتْ صَلاَ تـُُهُ


Tidak termasuk dalam asapnya benda najis, yaitu uap dari benda najis yang tidak disebabkan oleh api, maka uap ini adalah suci. Demikian halnya dengan angin yang keluar dari jamban (sapiteng) atau kentut yang keluar dari dubur juga dihukumi suci. Bahkan seandainya qirbah (sejenis wadah air atau susu yang terbuat dari kulit) berisi penuh dengan angin atau uap tersebut, kemudian seseorang shalat dengan membawa qirbah tersebut di atas punggungnya, maka shalatnya dihukumi sah. (Kasyifah al-Saja hal. 21)


Menurut Imam al-Bujairami, uap atau angin (biogas) yang dihasilkan dari benda najis termasuk suci menurut qoul yang rajih (unggul), karena angin tersebut berasal dari asap benda najis yang tidak menggunakan perantara atau media api.


قَوْلُهُ: ( طَاهِرًا ) وَمِنْهُ الرِّيحُ عَلَى الرَّاجِحِ ؛ لِأَنَّهُ مِنْ بُخَارِ النَّجَاسَةِ بِغَيْرِ وَاسِطَةِ نَارٍ ق ل . وَنَصَّ م ر عَلَى أَنَّ الْبُخَارَ الْخَارِجَ مِنْ الْكَنِيفِ طَاهِرٌ ، وَكَذَا الرِّيحُ الْخَارِجُ مِنْ الدُّبُرِ كَالْجُشَاءِ ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَتَحَقَّقْ أَنَّهُ مِنْ عَيْنِ النَّجَاسَةِ لِجَوَازِ أَنْ تَكُونَ الرَّائِحَةُ الْكَرِيهَةُ الْمَوْجُودَةُ فِيهِ لِمُجَاوَرَةِ النَّجَاسَةِ لَا أَنَّهُ مِنْ عَيْنِهَا 


Qoul Kyai mushonnif, (suci) uap atau angin termasuk suci menurut qoul yang rajih (unggul), karena angin tersebut berasal dari asap benda najis yang tidak menggunakan perantara atau media api (Imam Qoffal). Dan Imam Ramli juga menegaskan bahwa asap yang keluar dari WC atau kandang ternak itu suci, begitu juga angin yang keluar dari dubur atau anus seperti serdawa (perut mual) karena belum tentu serdawa tersebut berasal dari benda (ain) yang najis, dan kemungkinan bau busuk atau menjijikkan yang ada di dalamnya itu disebabkan karena dekatnya dengan najis bukan dari benda najisnya. (Hasyiyah al-Bujairami ‘ala al-Khatib juz 1 hal 202-203)


2 Boleh (tetap dihukumi najis)


Menurut pendapat Syekh Sulaiman al-Jamal dalam kitabnya “Hasyiyah al-Jamal” pada bab al-Najasati Waa Izalatiha juz 1 hal 179 dijelaskan sebagai berikut:


Termasuk kategori asap yaitu benda atau angin yang dihasilkan dari pembakaran kotoran hewan hingga menjadi bara api (mowo) yang tidak berasap, akan tetapi uap atau asap yang keluar dari proses pembakaran kotoran tersebut dihukumi najis, karena melalui perantara api. Dan apabila ada sesuatu yang disulutkan dari bara api ini seperti tangan anda dan tempat tinta (tabung asap), akhirnya ada kelembaban (basah) disalah satu sisi keduanya, sampai-sampai benda yang suci menjadi najis karenanya, maka asap yang naik atau muncul itu hukumnya najis, bila tidak maka sebaliknya”.


( قَوْلُهُ وَبُخَارُهَا كَذَلِكَ إلَخْ ) ، وَمِنْهُ مَا يَقَعُ مِنْ حَرْقِ الْجُلَّةِ حَتَّى تَصِيرَ جَمْرًا لَا دُخَانَ فِيهِ لَكِنْ يَصْعَدُ مِنْهُ بُخَارٌ فَهُوَ نَجِسٌ ؛ لِأَنَّهُ بُخَارٌ بِوَاسِطَةِ نَارٍ ، وَلَوْ أُوقِدَ مِنْ هَذَا الْجَمْرِ شَيْءٌ كَيَدِك وَدَوَاةِ دُخَانٍ ، فَإِنْ كَانَ هُنَاكَ رُطُوبَةٌ مِنْ أَحَدِ الْجَانِبَيْنِ بِحَيْثُ يَتَنَجَّسُ بِهَا الطَّاهِرُ كَانَ الدُّخَانُ الْمُتَصَاعِدُ نَجِسًا وَإِلَّا فَلَا ا هـ عَزِيزِيٌّ . (حاشية الجمل على المنهاج باب النجاسة وازالتها الجزء 1 ص 179


Menurut ulama’ madzhab Syafi’i bahwa asap dari benda najis bila terbakar maka ada dua pendapat


1 Najis, karena termasuk bagian yang terurai dari najis, seperti abu yang keluar dari suatu benda najis.


2 Tidak najis, karena asap tersebut adalah asap dari suatu benda najis, seperti angin kentut yang keluar dari perut. Hal ini diterangkan dalam kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab juz 2 hal 533.


قَالَ اَلْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ الله ُ* [ وَأَمَّا دُخَانُ النَّجَاسَةِ إِذَا أَحْرَقَتْ فَفِيْهِ وَجْهَانِ اَحَدُهُمَا اَنَّهُ نَجِسٌ ِلاَنَّهَا اَجْزَاءٌ مُتَحَلِّلَةٌ مِنَ النَّجَاسَةِ فَهُوَ كَالرَّمَادِ وَالثَّانِى لَيْسَ بِنَجَسٍ ِلاَنَّهُ بُخَارُ نَجَاسَةِ فَهُوَ كَاْلبُخَارِ اَلَّذِىْ يَخْرُجُ مِنَ الْجَوْفِ ] * (المجموع شرح المهذب ج 2 ص 533)



(ADZAN DAN IQOMAH)

Adzan adalah seruan pemberitahuan masuknya waktu shalat serta ajakan melaksanakan shalat. Sedangkan iqomah adalah panggilan untuk melaksanakan shalat.


(Membaca Taswib saat Adzan Shubuh)

Bacaan taswib dalam adzan shubuh adalah seruan: Asshalatu khoirum minan naum, awal mula seruan ini adalah dari sahabat Bilal ra. atas perintah Rasulullah Saw. Sebagaimana keterangan di bawah ini



أَنَّ بِلاَلَ أَذَّنَ لِلصُّبْحِ فَقِيْلَ لَهُ أَنَّ النَّـِبيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ناَئِمٌ، فَقاَلَ اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهاَ النَّـِبيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكاَتُهُ اَلصَّلاَةُ خَيْرٌ مِّنَ النَّوْمِ فَقاَلَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِجْعَلْهُ فِيْ تَأْذِيْنِكَ لِلصُّبْحِ. (اعانة الطالبين فصل في الاذان والاقامة ج 1 ص 236


Bahwasanya sahabat bilal setalah melakukan adzan shubuh, ia diberitahu bahwa Nabi sedang tidur, lalu ia menghampiri beliau seraya mengucapkan Semoga keselamatan, rahmat dan barokah Allah Swt. tetap atas engkau wahai Nabi, shalat itu lebih baik dari pada tidur. Kemudian Nabi bersabda: wahai bilal, jadikanlah ucapan itu (al-shalatu khoirun min al-naum) dalam adzan shubuhmu.


عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ أَمَرَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِلَالاَ بِهِ. فَأَذَّنَ وَزَادَ بِلَالٌ فِي نِدَاءِ صَلَاةِ الْغَدَاءِ اَلصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ فَأَقَرَّهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. (سنن ابن ماجه ج 1 ص 233)


Dari Zuhri dari Salim dari ayahnya, ia berkata: Nabi telah memerintahkan Bilal untuk melakukan adzan. Kemudian sahabat Bilal menambahkan (as-shalatu khairun minan naum)lalu Rasulullah menetapkan kalimat tersebut. (Sunan Ibnu Majah, juz I, hal.233)


Dengan demikian membaca taswib dalam adzan shubuh hukumnya adalah sunnah (ketetapan Nabi)


(Adzan dan Iqomah untuk Bayi yang Baru Dilahirkan)

Anak merupakan karunia yang diberikan oleh Allah Swt. kepada semua keluarga, namun anak juga merupakan amanah Allah Swt. yang mesti dijaga, dirawat serta dididik oleh kedua orang tuanya. Mendidik anak harus dimulai sebelum anak itu mulai lahir tidak hanya dilakukan setelah ia besar. Salah satu bentuk pendidikan terhadap anak tersebut ketika ia dilahirkan. Sang ayah atau salah satu dari keluarga, membacakan adzan di telinga kanan sang jabang bayi yang baru dilahirkan dan membacakan iqomah di telinga kiri bayi. Bagaimanakah hukum melakukan hal tersebut, Apakah pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw.?

Ulama’ sepakat bahwa sunnah hukumnya mengumandangkan adzan dan iqomah pada saat bayi yang terlahir kedunia berdasarkan hadits Nabi


عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ أَبِيْ رَافِعٍ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِيْنَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ (سُنَنُ أَبِيْ دَاوُدَ رَقْمُ 4441)


Dari ubaidillah Bin Abi Rafi’ ra. Dari ayahnya, ia berkata ; aku melihat Rasulullah Saw, mengumandangkan adzan ditelinga Husain Bin Ali ra. Ketika Siti Fatimah melahirkannya (yakni) dengan adzan shalat. (Sunnan Abi Dawud, [444])


Sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Majmu’ Fatawi wa Rasail, hal.112 tentang fadilah dan keutamaannya adzan untuk bayi yang baru lahir.


اَلْأَوَّلُ فَعَلَهُ فِي أَذَنِ الْمَوْلُوْدِ عِنْدَ وِلَادَتِهِ فِي أُذُنِ الْيُمْنَى وَالْإِقَامَةِ فِي أُذُنِ الْيُسْرَى وَهَذَا قَدْ نَصَّ فُقَهَاءُ الْمَذْهَبِ عَلَى نَدْبِهِ وَجَرَى بِهِ عَمَلُ عُلَمَاءِ الْأَمْصَارِ بِلَا نَكِيْرٍ وَفِيْهِ مُنَاسَبَةٌ تَامَّةٌ لِطَرْدِ الشَّيْطَانِ بِهِ عَنِ الْمَوْلُوْدِ وَلِنُفُوْرِهِمْ وَفِرَارِهِمْ مِنَ الْأَذَانِ كَمَا جَاءَ فِي السُّنَّةِ (مَجْمُوْعُ فَتَاوِيْ وَرَسَائِلَ، 112).


Yang pertama mengumandangkan adzan ditelinga kanan anak yang baru lahir lalu membacakan iqomah di telinga kiri. Ulama’ telah menetapkan bahwa perbuatan ini tergolong sunnah. Mereka telah mengamalkan hal tersebut tanpa seseorang pun mengingkari. Perbuatan ini ada relevansi, untuk mengusir syaitan dari anak yang baru lahir tersebut. Karena syaitan itu akan lari terbirit-birit ketika mereka mendengar adzan sebagaimana ada keterangan di dalam hadits (Majmu’ Fatawi Wa Rasail, hal.112)



SHALAT

Shalat nawafil (sunnah) disyariatkan oleh ajaran Islam, karena shalat sunnah di pandang perlu dan penting, sebagaimana tubuh yang membutuhkan makanan pokok, vitamin, mineral serta zat-zat lain agar tetap sehat dan bugar. Shalat maktubah sebagai makanan pokok bagi jiwa sedangkan shalat sunnah sebagai tambahan vitamin atau suplemennya

(Macam-macam Shalat Sunnah)

Shalat sunnah secara garis besar terbagi menjadi dua,


1 Shalat sunnah yang mengiringi shalat Fardhu, seperti: shalat sunnah Qobliyah dan Ba’diyah (Rawatib)


2 Shalat sunnah yang tidak mengiringi shalat Fardhu, antara lain


3 Shalat Ba’da Wudlu’ (Lissyukril wudhu’), yaitu shalat sunnah 2 rakaat yang dikerjakan setelah membaca do’a wudlu’. Adapun niat shalatnya adalah sebagai berikut:


أُصَلِّي سُنَّةً لِّشُكْرِ الْوُضُوْءِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى

Shalat Tahiyatal Masjid; yaitu shalat sunnah dengan jumlah 2 raka’at yang dilakukan ketika memasuki masjid sebelum duduk. Adapun niat shalatnya adalah sebagai berikut:

أُصَلِّي سُنَّةً تَحِيَّةَ الْمَسْجِدِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى

Shalat Taubat, yaitu shalat sunnah yang dilakukan untuk memohon ampunan atas segala dosa yang telah dilakukan. Adapun niat shalatnya adalah sebagai berikut:

أُصَلِّي سُنَّةً لِلتَّوْبَةِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى

Shalat Liidaf’il Bala’; yaitu shalat sunnah 2 rakaat yang bertujuan agar kita terhindar dari segala mara bahaya. Adapun niat shalatnya adalah sebagai berikut:

أُصَلِّي سُنَّةً لِدَفْعِ الْبَلَاءِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى

Shalat Tasbih, yaitu shalat sunnah 4 raka’at dengan dua salam yang di dalamnya terdapat bacaan tasbih pada setiap raka’at. Cara mengerjakannya: ketika selesai membaca al-Fatihah dan surat pada tiap-tiap raka’at lalu:

Membaca tasbih sebanyak 15 kali


Membaca tasbih sebanyak 10 kali ketika ruku’


Membaca tasbih sebanyak 10 kali ketika i’tidal


Membaca tasbih sebanyak 10 kali ketika sujud


Membaca tasbih sebanyak 10 kali ketika duduk diantara dua sujud


Membaca tasbih sebanyak 10 kali ketika sujud kedua


Membaca tasbih sebanyak 10 kali ketika duduk istirahat


Adapun niat shalatnya adalah sebagai berikut:


أُصَلِّي سُنَّةَ التَّسْبِيْحِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى

Shalat Liqadhail Hajat, yaitu shalat yang bertujuan untuk memohon agar hajat/kebutuhan kita segera dicukupi oleh Allah Swt. Cara mengerjakannya: pada sujud terakhir setelah membaca tasbih, kemudian berdo’a meminta apa hajat kita, tapi dengan catatan harus di dalam hati tidak boleh dilafadzkan, karena kalau dilafadzkan di lisan akan membatalkan shalat. Shalat ini berjumlah 2 raka’at, adapun niat shalatnya adalah sebagai berkut:

أُصَلِّي سُنَّةً لِقَضَاءِ الْحَاجَةِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى

Shalat Tahajjud, yaitu shalat sunnah yang dikerjakan pada waktu malam hari dengan jumlah rakaat paling sedikit 2 raka’at dan paling banyak tak terbatas. Waktu pelaksanaannya adalah setelah shalat isya’ sampai shubuh, dan lebih utama dilakukan setelah bangun tidur di malam hari. Adapun waktu mengerjakannya ada 3:

Sepertiga pertama, yaitu dari jam 7-10 malam (waktu utama)


Sepertiga kedua, yaitu dari jam 10-1 malam (waktu lebih utama)


Sepertiga ketiga, yaitu dari jam 1 malam sampai masuknya waktu shubuh (waktu yang paling utama).


Adapun niat shalatnya adalah sebagai berikut:


أُصَلِّي سُنَّةً لِتَّهَجُّدِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى

Shalat Tsubutul Iman, yaitu shalat sunnah yang bertujuan agar diberi kekuatan iman. Shalat ini berjumlah 2-6 raka’at. Adapun niat shalatnya adalah sebagai berikut:

أُصَلِّي سُنَّةً لِثُبُوْتِ الْإِيْمَانِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى

Shalat Istikharah, yaitu shalat sunnah yang dilakukan untuk meminta petunjuk kepada Allah Swt. Atas segala kebingungan, pertanyaan atau ketidaktahuan. Shalat ini lebih utama dikerjakan pada waktu malam hari sebanyak 2 raka’at. Adapun niat shalatnya adalah sebagai berikut:

أُصَلِّي سُنَّةَ الْاِسْتِخَارَةِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى

Shalat Tarawih, yaitu shalat sunnah yang hanya dilakukan pada bulan ramadlan, baik dilakukan sendiri maupun secara berjama’ah. Adapun mengenai jumlah raka’atnya ulama’ berbeda pendapat, keterangan perbedaan pendapat ulama’ mengenai jumlah rakaat shalat tarawih kami terangkan setelah ini. Niat shalatnya adalah sebagai berikut:

أُصَلِّي سُنَّةَ التَّرَاوِيْحِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى

Shalat Dhuha, yaitu shalat sunnah yang dikerjakan pada waktu matahari terbit (waktu dhuha) atau sekitar pukul 07.00 sampai pukul 11.00 WIB. Yang dikerjakan sekurang-kurangnya 2-12 raka’at. Adapun niat shalatnya adalah sebagai berikut:

أُصَلِّي سُنَّةَ الضُّحَى رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى

Shalat Awwabin, yaitu shalat sunnah yang dikerjakan antara waktu Maghrib dan waktu isya’ dengan jumlah rakaat sebanyak 2-20 rakaat. Adapun niat shalatnya adalah sebagai berikut:

أُصَلِّي سُنَّةَ الْأَوَّبِِيْنَ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى

Shalat ketika pulang dari bepergian, shalat sunnah 2 rakaat yang dikerjakan setelah kita kembali dari bepergian. Adapun niat shalatnya adalah sebagai berikut:

أُصَلِّي سُنَّةً لِقُدُوْمِ السَّفَرِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى

Shalat Ba’da Akad Nikah, yaitu shalat sunnah 2 rakaat yang dikerjakan setelah selesai melaksanakan akad nikah bagi pengantin baru, agar nikahnya diridloi oleh Allah Swt.. Adapun niat shalatnya adalah sebagai berikut:

أُصَلِّي سُنَّةً لِعَقْدِ النِّكَاحِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى

Shalat Sunnah Mutlak, yaitu shalat sunnah 2 rakaat yang dikerjakan kapanpun dan dimanapun. Adapun niat shalatnya adalah sebagai berikut:

أُصَلِّي سُنَّةَ الْمُطْلَقِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى

Shalat Witir, yaitu shalat sunnah dengan raka’at ganjil. (1-11 raka’at) yang biasanya dikerjakan shalat tarawih. Adapun niatnya adalah sebagai berikut:

أُصَلِّي سُنَّةً رَكْعَةَ الْوِتْرِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى


Dan masih banyak lagi shalat sunnah yang lain.


Keterangan tentang shalat-shalat sunnah ini diambil dari kitab

(Tanwirul Qulub, hal.200-206 dan kitab Nihayatuz Zain, hal. 98-116)

Dalam setiap shalat sunnah yang telah disebutkan di atas, disunnahkan berdo’a kepada Allah Swt. dalam hati ketika sujud terakhir, karena waktu itu merupakan waktu yang mustajabah, namun tidak diperkenankan berdo’a dengan bersuara karena bisa menyebabkan batalnya shalat. Dalil yang menjelaskan tentang kesunnahan berdo’a ketika sedang sujud adalah sebagai berikut:


رَوَيْنَا فِي (صَحِيْحِ مُسْلِمٍ)عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَأَمَّا الرُّكُوْعُ فَعَظِّمُوْا فِيْهِ الرَّبَّ وَأَمَّا السُّجُوْدُ فَاجْتَهِدُوْا فِيْهِ بِالدُّعَاءِ فَقِمْنَ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ. (الأذكار النووى ص 45)


Kami meriwayatkan dalam shahih muslim dari ibn Abbas bahwa Rasulullah Saw. Bersabda: Ketika ruku’ agungkanlah Tuhan dan ketika sujud bersungguh-sungguhlah dengan berdo’a, maka niscaya Dia mengabulkan do’amu. (al-Adzkar al-Nawawi, hal. 45)



(Bilangan Rakaat Shalat Tarawih)
Mengenai bilangan jumlah shalat tarawih ulama’ berbeda pendapat:

Menurut Imam Syafi’i, Abu Hanifah, Imam Ahmad, dan Imam Dawud sebanyak 20 raka’at dengan 10 salaman selain witir dan setiap 4 rakaat 2 salaman melakukan istirahat. Berdasarkan riwayat Imam Baihaqi dan lainnya dengan sanad yang sahih.


Menurut al-Qadhi ‘Iyadh dari jumhur ulama’ diceritakan sesungguhnya sahabat al-Ashwat bin Mazid mengerjakan shalat tarawih sebanyak 40 raka’at dan shalat witir sebanyak 7 raka’at.

Menurut Imam Malik sebanyak 36 raka’at selain witir dengan alasan karena ahli madinah mengerjakan shalat tarawih dengan bilangan ini.


Menurut Imam Nafi’ sebanyak 39 raka’at (36 raka’at shalat tarawih dan 3 shalat witir).


Keterangan dalam kitab al-Majmu’ Syarah Muhadzab bab Shalat at-Tathawu’, Juz 4, hal.38, keterangan mengenai khilaf bilangan shalat tarawih ini juga diterangkan dalam kitab al-Mizan al-Kubra, juz I, hal. 184.

(فَرْعٌ) فِيْ مَذَاهِبَ الْعُلَماَءِ فِيْ عَدَدِ رَكَعاَتِ التَّرَاوِيْحِ * مَذْهَبُناَ أَنَّهاَ عِشْرُوْنَ رَكْعَةً بِعَشْرِ تَسْلِيْماَتٍ غَيْرُ الْوِتْرِ وَذَلِكَ خَمْسُ تَرْوِيْحَاتٍ وَالتَّرْوِيْحَةُ أَرْبَعُ رَكْعاَتٍ بِتَسْلِيْمَتَيْنِ هذا مَذْهَبُناَ وَبِهِ قاَلَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ وَأَصْحَابُهُ وَأَحْمَدُ وَدَاوُدُ وَغَيْرُهُمْ وَنَقَلَهُ الْقاَضِي عِياَضٌ عَنْ جُمْهُوْرِ الْعُلَمَاءِ وَحُكِىَ أَنَّ اْلاَسْوَدَ بْنَ مَزِيْدٍ كاَنَ يَقُوْمُ بِأَرْبَعِيْنَ رَكْعَةً وَيُوَتِّرُ بِسَبْعٍ وَقاَلَ مَالِكٌ اَلتَّرَاوِيْحُ تِسْعُ تَرْوِيْحاَتٍ وَهِىَ سِتَّةٌ وَثَلاَثُوْنَ رَكْعَةً غَيْرَ اْلوِتْرِ وَاحْتَجَّ بِأَنَّ أَهْلَ الْمَدِيْنَةِ يَفْعَلُوْنَهَا هَكَذَا . وَعَنْ ناَفِعٍ قاَلَ أَدْرَكْتُ النَّاسَ وَهُمْ يَقُوْمُوْنَ رَمَضَانَ بِتِسْعٍ وَثَلاَثِيْنَ رَكْعَةٍ يُوَتِّرُوْنَ مِنْهَا بِثَلاَثٍ * وَاحْتَجَّ أَصْحَابُنَا بِمَا رَوَاهُ اْلبَيْهَقِىُّ وَغَيْرُهُ بِاْلاِسْناَدِ الصَّحِيْحِ ( المجموع شرح المهذب باب صلاة التطوع الجزء 4 ص 38 )

Lebih lanjut dalam kitab Subul al-Salam ada salah satu hadits Nabi yang berbunyi:


عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي فِي رَمَضَانَ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً وَالْوِتْرِ

Diceritakan dari ibnu Abbas ra.: sesungguhnya Ibnu Abbas berkata: Rasulullah Saw. mengerjakan shalat tarawih 20 raka’at dan shalat witir di bulan Ramadlan. (Subul al-Salam, juz II, hal. 10)

عَنْ مَالِكٍ عَنْ يَزِيْدِ بْنِ رُوْمَانَ أَنَّهُ قَالَ كَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ فِي زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ بِثَلَاثٍ وَعِشْرِيْنَ رَكْعَةً.

Diceritakan dari Malik dari Yazid bin Rumman. Dia berkata: Manusia di masa Umar bin Khattab telah melakukan shalat (tarawih) dengan 23 rakaat di bulan Ramadlan. (Tanwir al-Hawalik, hal.138)

Dengan demikian shalat tarawih sunnah dilaksanakan dengan berjama’ah, jumlah rakaatnya menurut kebanyakan ulama’ adalah 20 raka’at (10 salam) ditambah 3 rakaat shalat witir.


(Pujian Menjelang Shalat Berjama’ah)

Pujian-pujian kepada Allah Swt. yang dilakukan antara adzan dan iqomah dalam shalat maktubah merupakan syi’ar sebagai tanda akan didirikannya shalat jama’ah dan juga untuk menunggu berkumpulnya para jama’ah. Bagaimanakah hukum pujian sebelum shalat tersebut?


Dilarang, apabila mengganggu orang yang sedang shalat dan mempunyai niat pamer


Sunnah (dianjurkan), karena pujian itu bisa diambil manfaatnya bagi pembaca dan pendengarnya, akan lebih baik dibaca keras selagi tidak mempunyai niat riya’ (pamer), tidak mengganggu orang yang shalat atau orang yang tidur.

(al-Umm juz 1 hal. 108., Bughyah al-Mustarsyidin, hal. 48 dan al-Fatawi al-Fiqhiyah al-Kubra bab Ahkami al-Masajidi)

( قال الشَّافِعِيُّ ) وَأُحِبُّ ِلْلاِمَامِ أَنْ يَأْمُرَ ِبهَذَا إذَا فَرَغَ الْمُؤَذِّنُ مِنْ أَذَانِهِ وَإِنْ قَالَهُ في أَذَانِهِ فَلَا بَأْسَ عَلَيْهِ وَإِذَا تَكَلَّمَ بِمَا يُشْبِهُ هذَا خَلْفَ الْأَذَانِ مِنْ مَنَافِعِ النَّاسِ فَلَا بَأْسَ وَلَا أُحِبُّ الْكَلَامَ في الْأَذَانِ بِمَا لَيْسَتْ فِيْهِ لِلنَّاسِ مَنْفَعَةٌ وَإِنْ تَكَلَّمَ لَـمْ يُعِدْ أَذَانًا وَكَذَلِكَ إذَا تَكَلَّمَ فِيْ الْإِقَامَةِ كَرِهْتُهُ وَلَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ إِعَادَةُ إقَامَةٍ (الأم ج 1 ص 108 )


اَلذِّكْرُ كاَلْقِرَاءَةِ مَطْلُوْبٌ بِصَرِيْحِ اْلآياَتِ وَالرَّوَاياَتِ وَالْجَهْرِ بِهِ حَيْثُ لَمْ يَخِفْ رِياَءً وَلَمْ يُشَوِّشْ عَلَى نَحْوِ مُصَلٍّ أَفْضَلُ ، لِأَنَّ الْعَمَلَ فِيْهِ أَكْثَرٌ ، وَ تَتَعَدَّى فَضِيْلَتُهُ لِلسَّامِعِ ، وَلِأَنَّهُ يُوقِظُ قَلْبَ الْقَارِئِ وَيَجْمَعُ هَمَّهُ إلَى الْفِكْرِ وَيَصْرِفُ سَمْعَهُ إلَيْهِ وَيَطْرُدُ النَّوْمَ وَيَزِيدُ النَّشَاطَ ( بغية المسترشدين ص 48 )



(Hukum Jama’ah Perempuan Ketika Berada di Samping Barisan Jama’ah Laki-laki)

Tata cara shalat berjama’ah bagi kaum perempuan yaitu bertempat di belakang barisan laki-laki. Akan tetapi karena kendala tempat, terkadang makmum perempuan dalam shalat berjama’ah berada di sebelah kiri atau sebelah kanan barisan laki-laki seperti yang terdapat di beberapa musholla dan masjid. Lantas bagaimana shalat jama’ah perempuan tersebut?


Dalam hal ini terjadi perbedaan pandangan:


Perempuan yang ikut shalat berjama’ah di selain tempat belakang itu tidak mendapatkan fadilah jama’ah

وَيَقِفُ الذَّكَرُ عَنْ يَمِيْنِهِ إِلىَ أَنْ قَالَ وَكَذَا اِمْرَأَةٌ أَوْ نِسْوَةٌ تَقُوْمُ أَوْ يَقُمْنَ خَلْفَهُ وَاِنْ حَضَرَ مَعَهُ رَجُلٌ وَاِمْرَأَةٌ قَامَ الرَّجُلُ عَنْ يَمِيْنِهِ وَاْلمَرْأَةُ خَلْفَ الرِّجَالِ إَلىَ أَنْ قَالَ "وَكُلُّ مَا ذُكِرَ مُسْتَحَبٌّ وَمُخَالَفَتُهُ لاَ تُبْطِلُ الصَّلاَةَ" (قَوْلُهُ وَمُخَالَفَتُهُ لاَ تُبْطِلُ الصَّلاَةَ) لَكِنَّهَا مَكْرُوْهَةٌ تَفُوْتُ بِهَا فَضِيْلَةُ الْجَمَاعَةِ عَلىَ اْلإِمَامِ ومَنْ مَعَهُ وَلَوْ مَعَ الْجَهْلِ بِهَا.

Dan orang laki-laki berdiri di sebelah kanan imam dan seterusnya, begitu juga seorang atau beberapa wanita berdiri di belakang imam. Dan apabila laki-laki dan perempuan berjamaah secara bersamaan, maka seorang laki-laki itu berdiri di sebelah kanan, sedangkan perempuan berada di belakang laki-laki, hal tersebut disunnahkan, apabila tidak sesuai dengan tatanan shaf di atas maka hal itu tidak membatalkan shalat (akan tetapi hukumnya makruh yang menghilangkan keutamaan jama’ah atas imam dan makmumnya walaupun karena tidak tau. (al-Mahalli, Juz I, Hal. 238-239)


Mendapat fadilahnya jama’ah, akan tetapi tidak mendapatkan fadilahnya tertib shof, karena sebenarnya shof perempuan itu berada di barisan paling belakang. Sebagaimana diterangkan dalam kitab Hasyiyah I’anah al-Thalibin juz 2 hal. 24 dan dalam kitab Hasyiyah al-Jamal juz 1 hal. 547


وَقَالَ م ر فِي الْفَتَاوِيْ، تَبَعًا لِلشَّرَفِ الْمَنَاوِيْ، إِنَّ الْفَائِتَ عَلَيْهِمْ: فَضِيْلَةُ الصُّفُوْفِ، لاَ فَضِيْلَةِ الْجَمَاعَةِ. وَمَالَ ع ش إِلَى مَا فِيْ شَرْحِ الرَّمْلِي، لِاَنَّهُ إِذَا تَعَارَضَ مَا فِيْهِ وَغَيْرِهِ قُدِّمَ مَا فِي الشَّرْحِ اه. بُجَيْرَمِيْ. (حاشية اعانة الطالبين ج 2 ص 24)


( قَوْلُهُ وَكُرِهَ لِمَأْمُومٍ انْفِرَادٌ ) أَيْ ابْتِدَاءً وَدَوَامًا وَكَرَاهَتُهُ لَا تُفَوِّتُ فَضِيلَةَ الْجَمَاعَةِ بَلْ فَضِيلَةُ الصَّفِّ عِنْدَ بَعْضِهِمْ ، (حاشية الجمل , ج 1 ص 546)


(Makmum Shalat Beda Niat dengan Imam)

Ahmad adalah salah satu santri yang selalu aktif mengikuti shalat berjama’ah. Pada suatu hari ia terlambat shalat berjama’ah di masjid. Kemudian ia menghampiri seseorang yang sedang shalat untuk menjadi makmum. Setelah shalat, ternyata diketahui bahwa sang imam sedang melaksanakan shalat sunnah ba’diyah. Bagaimanakah hukum shalatnya makmum yang beda niat dengan imamnya?


Hukum shalat makmum tersebut itu boleh meskipun niatnya beda dengan imamnya, tetap sah shalatnya, dan tetap mendapatkan fadilahnya jama’ah. Keterangan kitab Tuhfah al-Habib ‘Ala Syarhi al-Khatib, bab kitab al-Shalat juz 2 hal 346, keterangan yang sama terdapat dalam kitab Jamal ‘Ala Minhaj, Juz I, hal. 562-563 dan Khasyiyah al-Bujairami



قَوْلُهُ : ( وَلَا يَضُرُّ اخْتِلَافُ نِيَّةِ الْإِمَامِ وَالْمَأْمُومِ ) أَيْ لِعَدَمِ فُحْشِ الْمُخَالَفَةِ فِيهِمَا وَهَذَا مُحْتَرَزُ قَوْلِهِ الظَّاهِرَةُ لِأَنَّ الِاخْتِلَافَ هُنَا فِي النِّيَّةِ وَهِيَ فِعْلٌ قَلْبِيٌّ فَكَانَ الْمُنَاسِبُ التَّفْرِيعَ . (تحفة الحبيب على شرح الخطيب الباب كتاب الصلاة ج 2 ص 346 )



(Bacaan Basmalah dalam Shalat)

Masalah membaca Basmalah dalam fatihah shalat merupakan salah satu masalah besar dalam agama Islam karena menyangkut sah atau tidaknya shalat. Bagaimanakah hukum membaca basmalah dalam surat al-Fatihah ketika shalat? Dan kalau wajib, apakah harus dikeraskan bacaannya?

Membaca Basmalah merupakan ibadah yang paling besar sesudah tauhid, demikian dikatakan oleh Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu juz III, hal.334.


Menurut Madzhab Syafi’i, hukum membaca Basmalah dalam al-Fatihah ketika shalat adalah wajib, karena bacaan Basmalah itu salah satu ayat dari al-Fatihah yang menjadi rukun shalat itu sendiri.

وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعًا مِّنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنَ الْعَظِيْمَ (الحجر: 87).
Dan sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu (hai Muhammad) tujuh yang berulang-ulang dan al-Qur’an yang agung. (QS. Al-Hijr: 87)

Imam Syafi’i berkata:


قَالَ الشَّافِعِيُّ: بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ اْلآيَةُ السَّابِعَةُ فَإِنْ تَرَكَهَا أَوْ بَعْضَهَا لَمْ تُجْزِهِ الرَّكْعَةُ الَّتِيْ تَرَكَهَا فِيْهَا

Imam syafi’i berkata, Bismillahirrahmanirrahim adalah termasuk ayat tujuh dari fatihah, kalau ditinggalkan semuanya atau sebagiannya tidaklah cukup rakaat shalat yang tertinggal membaca bismillahirrahmanirrahim dalam rakaat itu. (al-Umm, juz I, hal. 107).
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ إِذَا قَرَأَ وَهُوَ يَؤُمُّ النَّاسَ اِفْتَتَحَ بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ.
Apabila Nabi membaca (surat al-Fatihah) dan menjadi imam manusia, maka Nabi memulai (bacaan surat al-Fatihah) dengan bacaan basmalah.
(Diriwayatkan dari Dar al-Quthni dalam kitab al-Majmu’, juz III, hal. 34).

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: إِذَا قَرَءْ تُمُ الْحَمْدُ ِللهِ فَاقْرَؤُوْا بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ أَنَّهَا أُمُّ الْقُرْآنِ وَأُمُّ الْكِتَابِ وَالسَّبْعُ الْمَثَانِي وَبِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ أَحَدُ آياَتِهَا.

Dari Abu Hurairah ra, Nabi bersabda: Apabila kalian membaca surat al-Fatihah, maka bacalah basmalah. Sesungguhnya surat al-Fatihah adalah ummul qur’an, ummul kitab dan sab’ul matsani (tujuh ayat yang diulang-ulang), sedangkan basmalah adalah termasuk satu ayat dari surat al-Fatihah. (Diriwayatkan oleh Dar al-Quthni dalam kitab Tafsir Ayatul Ahkam, juz I, hal. 34)

عَنْ أَبِيْ عَبَّاس رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَفْتَتِحُ الصَّلاَةَ بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Diceritakan dari Ibnu Abbas, Bahwasannya Rasulullah itu memulai shalat dengan bacaan basmalah. (Diriwayatkan oleh al-Tirmidzi dalam kitab Tafsir Ayatul Ahkam, juz I, hal. 47)

Dari keterangan di atas Basmalah termasuk salah satu ayat dari surat al-Fatihah. Membaca surat al-Fatihah dalam shalat termasuk rukunnya shalat. Bagi yang ber’itiqad kalau basmalah itu bukan salah satu ayat dari al-Fatihah maka shalatnya tidak sah dan batal.


Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa basmalah merupakan sebagian surat dari al-Fatihah, sehingga harus dibaca manakala membaca al-Fatihah dalam shalat. Dan juga basmalah disunnahkan untuk dikeraskan sebagaimana sunnahnya mengeraskan al-Fatihah dalam shalat jahriyyah (shalat yang disunnahkan untuk mengeraskan suara).


Menurut Madzhab Maliki, bahwa basmalah bukan merupakan satu ayat dari surat al-Fatihah bahkan bukan merupakan satu ayat dari al-Quran. Hal ini berdasarkan hadits nabi yang diriwayatkan ‘Aisyah Ra. (Diriwayatkan oleh Dar al-Quthni dalam kitab Tafsir Ayatul Ahkam, juz I, hal. 35)


كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْتَتِحُ الصَّلَاةَ بِالتَّكْبِيْرِ وَالْقِرَاءَةِ بِالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

Berdasarkan keterangan tersebut, maka tidak wajib membaca basmalah pada waktu fatihahnya shalat baik sirri atau keras.


(Shalat Berjama’ah Dilakukan dengan Cepat)

Para ulama’ seringkali menekankan agar menjalankan shalat dengan khusyu’, karena khusyu’ merupakan syarat diterimanya shalat kita di sisi Allah Swt. Akan tetapi banyak diantara golongan yang ketika shalat berjama’ah baik shalat fardhu maupun shalat sunnah dilakukan dengan cepat, terutama ketika shalat tarawih pada waktu bulan Ramadlan. Bagaimanakah hukum shalat berjama’ah yang dilakukan dengan cepat?


1 Tidak sah, apabila kehilangan tuma’ninah atau sampai menghilangkan huruf-huruf surat al-Fatihah.


قاَلَ قُطْبُ اْلإِرْشَادِ سَيِّدُنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ عَلْوِي اْلحَدَّادُ فيِ النَّصَائِحِ وَلْيَحْذَرْ مِنَ التَّخْفِيْفِ اْلمُفْرِطِ الَّذِيْ يَعْتَادُهُ كَثِيرٌ مِنَ اْلجَهَلَةِ فيِ صَلاَِتهِمْ لِلتَّرَاوِيْحِ حَتىَّ رُبمَّاَ يَقَعُوْنَ بِسَبَبِهِ فيِ اْلإِخْلاَلِ بِشَيْءٍ مِنَ اْلوَاجِبَاتِ مِثْلِ تَرْكِ الطُّمَأْنِيْنَةِ فيِ الرُّكُوْعِ وَالسُّجُوْدِ وَتَرْكِ قِرَاءَةِ اْلفَاتِحَةِ عَلىَ الْْوَجْهِ الًّذِيْ لاَ بُدَّ مِنْهُ بِسَبَبِ اْلعَجَلَةِ فَيَصِيْرُ أَحَدُهُمْ عِنْدَ اللهِ لاَ هُوَ صَلَّى فَفَازَ بِالثَّوَابِ وَلاَ هُوَ تَرَكَ فَاعْتَرَفَ بِالتَّقْصِيرْ ِوَسَلَّمَ مِنَ اْلإِعْجَابِ وَهَذِهِ وَمَا أَشْبَهَهَا مِنْ أَعْظَمِ مَكَايِدِ الشَّيْطَانِ ِلأَهْلِ اْلإِيمْاَنِ يُبْطِلُ عَمَلَ اْلعَامِلِ مِنْهُمْ عَمِلَهُ مَعَ فِعْلِهِ لِلْعَمَلِ فَاحْذَرُوْا مِنْ ذَلِكَ وََتنَبَّهُوْا لَهُ مَعَاشِرَ اْلإِخْوَانِ وَإِذَا صَلَّيْتُمْ التَّرَوِايْحَ وَغَيْرَهَا مِنَ الصَّلَوَاتِ فَأَتمُِّوْا اْلقِيَامَ وَاْلقِرَاءَةَ وَالرُّكُوْعَ وَالسُّجُوْدَ وَاْلخُشُوْعَ وَاْلحُضُوْرَ وَسَائِرَ اْلأَرْكَانِ وَاْلآدَابِ وَلاَ تَجْعَلُوْا لِلشَّيْطَانِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا فَإِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانُ عَلَى اَّلذِيْنَ آمَنُوْا وَعَلَى رَبهِِّمْ يَتَوَكَّلُوْنَ فَكُوْنُوْا مِنْهُمْ إِنمَّاَ سُلْطَانُهُ عَلَى اَّلذِيْنَ يَتَوَلَّوْنَهُ وَالَّذِيْنَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُوْنَ فَلاَ تَكُوْنُوْا مِنْهُمْ اهـ (اعانة الطالبين ج 1 ص 265 )


Quthbu al-Irsyad sayyidina Abdullah bin Alwi mengatakan di dalam kitab al-Nashaa’inHindarilah pelaksanaan shalat dengan amat cepat seperti yang biasa dilakukan kebanyakan orang yang bodoh dalam melakukan shalat tarawih, yang karena sangat cepatnya mungkin mereka melewatkan sebagian rukun, seperti tanpa thuma’ninah di dalam ruku’ dan sujud, atau membaca surat al-Fatihah tidak dengan sebenarnya karena tergesah-gesa, sehingga shalat salah seorang di antara mereka tidak dinilai oleh Allah Swt. Sebagai shalat yang berpahala, tetapi mereka tidak dianggap meninggalkan shalat. Orang tersebut salam (menutup shalat) dengan bangga (karena bisa melaksanakannya secara cepat). Hal itu dan sejenisnya termasuk tipu daya syetan yang paling besar kepada orang yang beriman untuk merusak amal ibadah yang ia kerjakan. Karena itu, berhati-hatilah dan waspadalah wahai saudara-saudaraku. Apabila anda melaksanakan shalat tarawih dan shalat yang lain maka sempurnakanlah berdirinya, bacaan fatihahnya, ruku’nya, sujudnya, khusu’nya, hudhur-nya, rukun-rukunnya dan adabnya. Janganlah anda menjadikan setan sebagai penguasa diri anda, karena setan tidak mampu mengusai orang-orang yang beriman yang bertawakkal kepada Allah Swt., maka beradalah di dalam kelompok mereka, karena setan itu mampu menguasai orang-orang yang menolongnya dan orang-orang yang menyekutukan Allah Swt. Janganlah anda termasuk orang-orang ini. (I’anah al-thalibin juz 1 halaman 265)


2 Sah, selama masih memenuhi syarat dan rukun shalat itu sendiri, misalnya terpenuhi unsur tuma’ninah. Sesuai dengan hadits Nabi;

كَانَ أَخَفّ النَّاسِ صَلاَةً عَلىَ النَّاسِ وَأَطُوْلُ النَّاسِ صَلاَةً عَنِ النَّاسِ (الجامع الصغير الجزء 2 ص 100)
Nabi Saw. Itu orang yang paling cepat shalatnya ketika mengimami manusia dan orang yang paling lama ketika shalat sendiri. (al-Jami’ al-Shaghir, juz II, hal. 100)

Dan dalam kitab Bujarami ‘Ala al-Khatib juz 2 halaman 126 disebutkan: disunnahkan bagi imam untuk mempercepat shalat dengan tetap menjaga sunnah ab’ad dan sunnah hai’at.

وَيُنْدَبُ أَنْ يُخَفِّفَ الْإِمَامُ مَعَ فِعْلِ الْأَبْعَاضِ وَالْهَيْئَاتِ . ( بجيرامى على الخطيب الجزء 2 ص 126

(Hukum Membaca Do’a Qunut ketika Shalat Shubu)


Ada sebagian kalangan yang beranggapan bahwa membaca do’a qunut ketika shubuh adalah tidak sunnah. Bahkan haram hukumnya, karena Rasulullah Saw. tidak melaksanakannya. Bagaimanakah sebenarnya hukum membaca do’a qunut dalam shalat shubuh? Apakah benar Rasulullah tidak melaksanakannya?


Pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal mereka berpendapat bahwa shalat shubuh itu tanpa qunut karena Rasulullah tidak melakukan hal tersebut.


عَنْ سَعْدِ بْنِ طَارِقٍ الْأَشْجَعِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي ياَ أَبَتِ إِنَّكَ قَدْ صَلَََّيْتَ خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكَرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ أََفَكَانُوْا يَقْنِتُوْنَ فِي الْفَجْرِ؟ قَالَ أَيْ بُنَيَّ مُحْدَثٌ (رَوَاهُ الْخَمْسَةُ إِلَّا أَبَا دَاوُدَ) فَمِنَ الْحَدِيْثِ اَلنَّهْيُ عَنِ الْقُنُوْتِ فِي الصُّبْحِ وَبِهِ أَخَذَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ وَأَحْمَدُ. (إِبَانَةُ الْأَحْكَامِ، ج 1 ص 431)


Dari Said bin Thariq al-Asyja’i ra, ia berkata; aku pernah bertanya kepada ayahku wahai ayah! Sesungguhnya engkau pernah mengerjakan shalat di belakang Rasulullah Saw, Abu Bakar, Umar, Usman, Ali. Apakah mereka semua berdo’a qunut ketika shalat shubuh? Ayahku menjawab qunut itu termasuk perkara yang baru datang (HR. Khamsah kecuali Abu Dawud) dari hadis tersebut tercetuslah hukum berupa larangan qunut shubuh, seperti yang dipegang Abu Hanifah dan Imam Ahmad. (Ibanah al-Ahkam, juz I, hal. 431)


Ulama’ Syafi’iyah berpendapat bahwa hukum membaca qunut pada shalat shubuh termasuk sunnah ab’ad (apabila ditinggalkan maka sunnah melakukan sujud sahwi). Sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi


مَذْهَبُنَا أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ الْقُنُوْتُ فِيْهَا سَوَاءٌ نَزَلَتْ نَازِلَةً أَمْ لَمْ تَنْزَلْ وَبِهَذَا قَالَ أَكْثَرُ السَّلَفِ وَمَنْ بَعْدَهُمْ أَوْ كَثِيْرٌ مِنْهُمْ وَممَِّنْ قَالَ بِهِ أَبُوْ بَكْرٍ الصِّدِّيْقِ وَعُمَرُبْنُ الْخَطَّابِ وَعُثْمَانُ وَعَلِيٌّ وَابْنُ عَبَّاسٍ وَالْبَرَّاءُ بْنُ عَازَبَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ (اَلْمَجْمُوْعُ شرح المهذب ج 3 ص 504)


Dalam madzhab kita (madzhab Syafi’i) disunnahkan membaca qunut dalam shalat shubuh, baik ada bala’ (bencana, cobaan, adzab dan lain sebagainya) maupun tidak, inilah pendapat kebanyakan ulama’ salaf dan setelahnya. Diantaranya adalah Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman, Ali, Ibn Abbas dan al-Barra’ bin Azib ra. (al-Majmu’, Juz I, hal. 504)


Dalil yang bisa dibuat acuan adalah hadits Nabi Saw:


عَنْ أَنَسٍ بِنْ مَالِكٍ قَالَ مَازَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتىَّ فَارَقَ الدُّنْيَا (مُسْنَدُ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلَ رَقْمٌ 12196)

Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra. Beliau berkata; Rasulullah Saw. Senantiasa membaca qunut ketika shalat sampai beliau wafat. (Musnad Ahmad bin Hanbal, [12196])

Larangan qunut tersebut di atas dikomentari oleh Imam al-Sathi, dia berkata: Dasar hadis yang kemudian dikatakan bahwa qunut itu perkara yang baru datang, tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk melarang qunut. Hal ini sesuai dengan kaidah usul fiqih:


يَقْدُمُ الْمُثْبِتُ عَلَى النَّافِى لِاشْتِمَالِهِ عَلَى زِيَادَة ِعِلْمٍ (شَرْحُ نَظْمِ جَمْعِ الْجَوَامِعِ ج 2 ص 475)

Dalil yang menjelaskan adanya (terjadinya) suatu perkara, didahului oleh dalil yang menyatakan bahwa perkara tersebut tidak ada. Sebab adanya penjelasan pada suatu dalil, menunjukkan adanya pemberitahuan (ilmu) yang lebih pada dalil tersebut. (Syarah Nadzam Jam’ul Jawami’, juz II, hal. 475)

Dengan demikian membaca qunut dalam shalat shubuh merupakan hal yang disunnahkan dan tidak bertentangan dengan syari’at.



(Mengusap Wajah setelah Salam ketika Shalat)

Salah satu tradisi yang sering kita lihat setiap selesai shalat, orang-orang mengusap wajah dengan telapak tangan kanannya. Bagaimanakah hukumnya, apakah benar hal ini perbuatan bid’ah?


Di sunnahkan mengusap wajah dengan kedua telapak tangan setelah shalat karena shalat dari segi bahasa berarti do’a, sehingga orang yang melaksanakan shalat itu juga bisa dikatakan berdo’a kepada Allah Swt. Oleh karena itu sebenarnya mengusap wajah setelah salam dalam shalat bukanlah hal yang bisa dikatakan bid’ah ataupun hal yang tidak dibenarkan dalam ajaran Islam.


Imam al-Nawawi berpendapat;


(فَائِدَةٌ) قَالَ النَّوَوِيُّ فِي اْلأَذْكَارِ وَرَوَيْنَا فِي كِتَابِ ابْنِ السنى عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَضَى صَلاَتَهُ مَسَحَ وَجْهَهُ بِيَدِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيْمُ اَللَّهُمَّ اذْهَبِ الْهَمَّ وَالْحَزَنَ. (إعانة الطالبين، ج.1، ص.184-185)


(Faidah) Imam Nawawi dalam (kitabnya) al-Adzkar; Kami meriwayatkan (hadits) dalam kitabnya Ibn al-Sunni, dari sahabat Anas ra., bahwa Rasulullah Saw. Apabila selesai melaksanakan shalat, beliau mengusap wajahnya dengan tangan kanannya. Lalu berdo’a saya bersaksi tiada tuhan kecuali dzat yang maha pengasih dan penyayang. Ya Allah Swt., hilangkanlah dariku kebingungan dan kesusahan. (I’anah al-Thalibin, juz I, hal.184-185)


Dalam sebuah hadist disebutkan, setiap selesai berdo’a, Rasulullah Saw. Selalu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.



عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدَ عَنْ أَبِيْهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا دَعَا فَرَفَعَ يَدَيْهِ وَمَسَحَ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ. (سنن أبي داود باب الدعاء الجزء 1 


Dari Saib bin Yazid dari ayahnya: Apabila Rasulullah Saw. Berdo’a, beliau selalu mengangkat kedua tangannya lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangannya (Sunan Abi Dawud bab al-Do’a juz 1).


(Tata Cara Sujud)

Sujud merupakan salah satu dari rukun shalat yang dilakukan dengan cara meletakkan tujuh anggota tubuh, yaitu


1 Kening

2 Telapak tangan kanan
3 Telapak tangan kiri
4 Ujung lutut kanan5
5 Ujung lutut kiri6
6 Ujung telapak kaki kanan
7 Ujung telapak kaki kiri

Kening dan kedua telapak tangan harus langsung bersentuhan dengan alas tempat sujudnya. (al-Bujairimi ‘Ala al-Khatib, juz I, hal. 35)


وَيَجِبُ وَضْعُ جُزْءٍ مِنْ رُكْبَتَيْهِ وَمِنْ بَاطِنِ كَفَّيْهِ وَمِنْ بَاطِنِ أَصَابِعِ قَدَمَيْهِ فِي السُّجُودِ لِخَبَرِ الشَّيْخَيْنِ : { أُمِرْت أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ : الْجَبْهَةِ ، وَالْيَدَيْنِ ، وَالرُّكْبَتَيْنِ ، وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ } . وَلَا يَجِبُ كَشْفُهَا بَلْ يُكْرَهُ كَشْفُ الرُّكْبَتَيْنِ كَمَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْأُمِّ



Sujud Syukur

Sujud syukur merupakan sujud yang dilakukan ketika mendapatkan kenikmatan dan kebahagian dari Allah Swt.


Lafadz niatnya adalah:


نَوَيْتُ سُنَّةً لِسُجُوْدِ الشُّكْرِ لِلَّهِ تَعَالَى


Dalam sujud syukur yang dibaca;


    Tasbih 10 kali:



سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ


    Shalawat 10 kali:



صَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ


    Do’a sapu jagat 10 kali;



رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَ فِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ



(Membaca Wiridan Setelah Shalat)

Sudah menjadi kebiasaan kaum muslimin, setelah melaksanakan shalat mereka membaca wirid, baik secara berjama’ah maupun sendirian. Apakah amaliyah tersebut ada dasar hukumnya?


Wirid merupakan bentuk dzikir yang berupa bacaan kalimat thayyibah yang dilakukan setiap saat dengan harapan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dan mendapat ridha serta ampunan-Nya. Di kalangan Nahdliyin, wiridan setelah shalat itu dilakukan secara bersama-sama yang diakhiri dengan do’a. Hal ini sesuai dengan perintah Allah Swt. yang berbunyi:


يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اذْكُرُوا اللهَ ذِكْرًا كَثِْرًا وَسَبِّحُوْهُ بُكْرَةً وَّأَصِيْلاً (الأحزاب: 31-32)

Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah kepada Allah Swt. Dengan berdzikir yang banyak, dan bertasbihlah kepadanya, pagi dan sore. (Qs. Al-Ahzab: 31-32)


عَنِ الْبَرَاءِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَبَّحَ ِللهِ فِيْ دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثاً وَثَلاَثِيْنَ وَحَمِدَ اللهَ ثَلاَثاً وَثَلاَثِيْنَ وَكَبَّرَ ثَلاَثاً وَثَلاَثِيْنَ وَقَالَ تَمَامُ الْمِائَةِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٍ غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ اْلبَحْرِ.

Dari Bara’i, Nabi bersabda: Barang siapa (membaca) tasbih 33 kali, hamdalah 33 kali dan takbir 33 kali, lalu menyempurnakan (hitungan)100 kali dengan membaca kalimat:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

(Tiada tuhan selain Allah Swt., Dia sendirian, tidak ada yang menandingi-Nya, Dia memiliki kerajaan, Dia memiliki segala puji dan Dialah yang berkuasa atas sesuatau). (Irsyad al-‘Ibad, hal. 19. Sunan Abi Dawud)

Dengan demikian wiridan setelah shalat itu adalah hal yang sangat baik untuk dilakukan karena di dalamnya mengandung pujian-pujian kepada Allah Swt.



(Hukum Menerjemahkan Bacaan dalam Shalat)

Shalat merupakan bentuk ibadah kepada Allah Swt. Yang telah diajarkan oleh Nabi kepada umatnya mulai dari bentuk gerakan sampai ketentuan do’a yang dibaca. Surat al-Fatihah merupakan ayat yang wajib dibaca dalam shalat. Do’a dan ayat yang berbahasa arab kadang menjadi kendala bagi beberapa orang untuk memahami dan menghayati kandungan maknanya. Sehingga kemudian muncul inisiatif untuk menerjemahkan ke dalam bahasa selain Arab. Bagaimanakah pandangan ulama’ mengenai bacaan dalam shalat yang bacaannya diterjemahkan dalam bahasa selain Arab?


Dalam persoalan ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama'


Menurut pendapat Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad, dan Imam Dawud, shalat yang dilakukan baik bagi yang paham bahasa Arab maupun yang tidak paham, artinya dengan cara menerjemahkan ke bahasa selain Arab hukumnya tidak boleh dan shalatnya tidak sah.


قَالَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللهُ: (وَاِنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ بِالْفَارِسِيَّةِ لَمْ تُجْزِهِ، لِأَنَّ الْمَقْصُوْدَ مِنَ الْقُرْآنِ اللَّفْظُ وَذَلِكَ لَا يُوْجَدُ فِي غَيْرِهِ اَلشَّرْحُ) مَذْهَبُنَا أَنَّهُ لَا يُجَوِّزُ قِرَاءَةَ الْقُرْآنِ بِغَيْرِ لِسَانِ الْعَرَبِ سَوَاءٌ أَمْكَنَهُ اَلْعَرَبِيُّ أَوْ عَجَزَ عَنْهَا، سَوَاءٌ أَحْسَنَ الْقِرَاءَةِ أَمْ لَا، هَذَا مَذْهَبُنَا، وَبِهِ قَالَ مَاِلكٌ وَأَحْمَدُ، وَدَاوُدُ. ( مذاهب الأربعة ج. 1، ص. 269 )


Menurut pendapat Imam Abu Yusuf dan Muhammad adalah harus diperinci.


Shalatnya tidak sah bagi yang mampu baca al-Qur’an dan sah bagi yang tidak mampu baca al-Qur’an.


وَقَالَ أَبُوْ يُوْسُفَ وَمُحَمَّدُ: يَجُوْزُ لِلْعَاجِزِ دُوْنَ الْقَادِرِ (البجيرمي ج 2 ص 28)


Pendapat Imam Abu Hanifah shalatnya sah secara mutlak



وَقَالَ أَبُوْ حَنِيْفَةَ: تَجُوْزُ وَتَصِحُّ بِهِ الصَّلاَةُ مُطْلَقًا وَاحْتَجَ ِلأَبِي حَنِيْفَةَ بِقَوْلِهِ تَعَالَى"قُلِ اللهُ شَهِيْدٌ بَيْنِيْ وَبَيْنَكُمْ وَأُوْحِيَ إِلَيَّ هَذَا الْقُرْآنُ ِلأُنْذِرَكُمْ بِهِ" قَالُوْا وَالْعَجَمُ لاَ يَعْقِلُوْنَ اْلإِنْذَارَ إِلاَّ بِتَرْجَمَةٍ. وَفِي الصَّحِيْحَيْنِ: أَنَّ النَّبِيَّ صِلِّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "أُنْزِلَ الْقُرْآنُ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ". ( المجموع ج. 3 ، ص. 330 



(Cara Mendirikan Shalat di Pesawat)


Setiap muslim mukallaf, di manapun dan kapanpun diwajibkan untuk melaksanakan shalat lima waktu. Termasuk pada saat berada di dalam pesawat terbang, adapun pelaksanaan shalat di dalam pesawat terbang ada beberapa cara (kaifiyah)


Bagi yang masih suci (berwudlu), ada dua cara


1 Apabila dalam keadaan bisa melaksanakan dengan posisi berdiri, maka dilaksanakan dengan cara berdiri.


2 Apabila dalam keadaan tidak bisa dengan cara berdiri, maka dilaksanakan dengan cara duduk. (al-Majmu’ syarah al-Muhadzab, juz II, hal. 276)


وَذَكَرَ إِماَمُ الْحَرَمَيْنِ اِحْتِماَلاً فِيْ وُجُوْبِ اْلاِعاَدَةِ عَلَى الْمُصَلِّى قاَعِدًا لِنُدُوْرِهِ وَذَكَرَ الْبَغَوِيُّ فِيْ وُجُوْبِ اْلاِعاَدَةِ عَلَيْهِمْ كُلِّهِمْ قَوْلَيْنِ وَقاَلَ أَصَحُّهُمَا تَجِبُ كاَلْعاَجِزِ الَّذِىْ مَعَهُ مَاءٌ لَا يَجِدُ مَنْ يُوَضِّئُهُ بِهِ فَإِنَّهُ يَتَيَمَّمُ وَيُصَلَّى وَيُعِيْدُ وَالْمَذْهَبُ الصَّحِيْحُ الْمَشْهُوْرُ ماَ قَدَّمْتُهُ أَنَّهُ لاَ اِعاَدَةَ عَلَيْهِمْ لِأَنَّهُمْ عاَجِزُوْنَ فِي الْحاَلِ وَجِنْسُ عُذْرِهِمْ غَيْرُ ناَدِرٍ بِخِلاَفِ ماَ قاَسَ عَلَيْهِ الْبَغَ


Bagi yang hadats dan tidak ada air untuk berwudlu’ serta tidak ada media tayamum, maka caranya sebagai berikut:


Melaksanakan niat shalat untuk menghormati waktu (Likhurmatil Waqti) dan wajib i’adah (mengulang shalatnya) setelah menemukan alat untuk bersuci.


( وَعَلَى فَاقِدِ ) الْمَاءِ وَالتُّرَابِ ( الطَّهُورَيْنِ ) كَمَحْبُوسٍ بِمَحِلٍّ لَيْسَ فِيهِ وَاحِدٌ مِنْهُمَا ( أَنْ يُصَلِّيَ الْفَرْضَ ) لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ ( وَيُعِيدَ ) إذَا وَجَدَ أَحَدَهُمَا. (حاشية الجمل على المنهاج الجزء 1 ص 229


Menunda pelaksanaan shalat jika ada harapan ditemukannya salah satu alat bersuci, seperti yang telah dikatakan oleh Imam Al-Adhra’i.


وَلَا يُشْتَرَطُ لِصِحَّةِ صَلَاتِهِ ضِيقُ الْوَقْتِ بَلْ إنَّمَا يَمْتَنِعُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ مَا دَامَ يَرْجُو أَحَدَ الطَّهُورَيْنِ كَمَا قَالَهُ الْأَذْرَعِيُّ وَهُوَ ظَاهِر. (شرح الجمل على المنهاج الجزء 1 ص 230)




(Shalat ‘Ied Lebih Utama di Masjid atau di Lapangan)

Pada hari raya idul fitri dan idul adha, umat islam disunnahkan untuk melaksanakan shalat ‘Ied (shalat hari raya), sehingga banyak di antara mereka yang melaksanakan shalat tersebut di masjid dan ada pula yang melaksanakan di lapangan terbuka. Manakah yang lebih utama?


1 Shalat di Masjid lebih utama

Firman Allah Swt
لاَ تَقُمْ فِيْهِ أَبَدًا لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُوْمَ فِيْهِ , فِيْهِ رِجَالٌ يُحِبُّوْنَ أَنْ يَتَطَهَّرُواْ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ (108
Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguh- nya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalam mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Sesungguhnya Allah Swt. Menyukai orang-orang yang bersih. (QS. Al-Taubah:108)

Lebih lanjut dijelaskan lagi:

وَفِعْلُهَا بِمَسْجِدٍ أَفْضَلُ لِشَرَفِهِ إِلاَّ لِعُذْرٍ كَضَيْقِهِ (فتح الوهاب، ص. 83)
Mengerjakan shalat ‘Ied di masjid itu lebih utama (daripada di lapangan) karena kemulyaanya, kecuali ada halangan, seperti masjidnya sempit (tidak menampung jama’ah). (Fathu al-Wahab, hal. 83)

2 Boleh mengerjakan shalat ‘Ied di lapangan, karena mengikuti Rasulullah yang mengerjakan shalat ‘Ied di lapangan. Namun hal itu bukan tanpa alasan, beliau melakukannya karena masjid yang dibangun oleh beliau itu sempit sehingga tidak bisa menampung para jama’ah shalat ‘Ied. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj:


وَقِيْلَ فِعْلُهَا بِالصَّخْرَاءِ أَفْضَلُ لِـْلاِتْبَاعِ وَرَدَ أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا خَرَجَ إِلَيْهَا لِصِغَرِ مَسْجِدِهِ (تحفة المحتاج،ج. 3، ص.27)

Ada yang mengatakan bahwa shalat ‘Ied di lapangan itu lebih utama, karena ittiba’ (ikut perbuatan Nabi). Namun pernyataan ini dapat dibantah, karena sesungguhnya Nabi SAW melakukannya karena masjid yang beliau bangun terlalu kecil (sehingga tidak bisa menampung para jama’ah)
(Tuhfah al-Muhtaj, juz III, hal.27)

Dengan demikian selama tidak ada hal yang bisa menyebabkan shalat ‘Ied dilaksanakan di lapangan, maka lebih utama melaksanakan shalat ‘Ied di masjid. Kecuali kalau memang masjid itu tidak dapat menampung para jama’ahnya, sehingga lebih utama shalat ‘Ied dilaksanakan di lapangan.


(SHALAT JUM’AT)

Pembagian Golongan Ahli Shalat Jum’at

Orang muslim dalam masalah kesempurnaan shalat Jum’at terbagi menjadi 6 macam golongan, yaitu:

1 Orang yang wajib mengikuti shalat jum’at, serta sah dan mengesahkan shalat jum’at orang lain. Yang dimaksud pada golongan ini adalah shalat jum’atnya orang-orang yang memenuhi syarat wajib shalat jum’at (Islam, baligh, berakal, merdeka, mukim, laki-laki, sehat)


2 Orang yang wajib mengikuti shalat jum’at, akan tetapi tidak bisa mengesahkan shalat jum’at orang lain. Yang dimaksud golongan ini adalah shalat jum’at orang-orang yang bermukim tetapi tidak menetap (berpindah-pindah)


3 Orang yang wajib mengikuti shalat jum’at, akan tetapi shalatnya tidak sah dan tidak bisa mengesahkan shalat jum’at orang lain, yaitu orang murtad.


4 Orang yang tidak wajib shalat jum’at, shalatnya tidak sah dan tidak bisa mengesahkan shalat jum’at, yaitu shalat jum’atnya orang kafir.


5 Orang yang tidak wajib shalat jum’at, sedangkan shalat jum’at sah tapi tidak bisa mengesahkan shalat jum’at orang lain, yaitu shalat jum’at anak kecil yang tamyiz, budak, wanita, banci, musafir.


6 Orang yang tidak wajib shalat jum’at, tetapi shalat jum’atnya sah dan bisa mengesahkan shalat jum’at orang lain, yaitu shalat jum’at orang sakit dan orang yang udzur.

(I’anah al-Thalibin, juz I, hal.54)
( وَاعْلَمْ ) أَنَّ النَّاسَ فِي الْجُمْعَةِ سِتَّةُ أَقْسَامٍ أَوَّلُهَا مَنْ تَجِبُ عَلَيْهِ وَتَنْعَقِدُ بِهِ وَتَصِحُّ مِنْهُ وَهُوَ مَنْ تَوَفَّرَتْ فِيْهِ الشُّرُوْطُ كُلُّهَا وَثاَنِيْهَا مَنْ تَجِبُ عَلَيْهِ وَلاَ تَنْعَقِدُ بِهِ وَتَصِحُّ مِنْهُ وَهُوَ الْمُقِيْمُ غَيْرُ الْمُسْتَوْطِنِ وَمَنْ سَمِعَ نِدَاءَ الْجُمْعَةِ وَهُوَ لَيْسَ بِمَحَلِهَا وَثاَلِثُهَا مَنْ تَجِبُ عَلَيْهِ وَلاَ تَنْعَقِدُ بِهِ وَلاَ تَصِحُّ مِنْهُ وَهُوَ الْمُرْتَدُّ فَتَجِبُ عَلَيْهِ بِمَعْنَى أَنَّنَا نَقُوْلُ لَهُ أَسْلَمَ وَصَلَ الْجُمْعَةُ وَإِلاَّ فَلاَ تَصِحُّ مِنْهُ وَلاَ تَنْعَقِدُ بِهِ وَهُوَ باَقٌ بِحَالِهِ وَرَابِعُهَا مَنْ لاَ تَجِبُ عَلَيْهِ وَلاَ تَنْعَقِدُ بِهِ وَلاَ تَصِحُّ مِنْهُ وَهُوَ اْلكاَفِرُ اْلأَصْلِيُّ وَغَيْرُ الْمُمَيِّزِ مِنْ صَغِيْرٍ وَمَجْنُوْنٍ وَمَغْمَى عَلَيْهِ وَسَكْرَانٍ عِنْدَ عَدَمِ التَّعَدِّيْ وَخاَمِسُهَا مَنْ لاَ تَجِبُ عَلَيْهِ وَلاَ تَنْعَقِدُ بِهِ وَتَصِحُّ مِنْهُ وَهُوَ الصَّبِيُّ الْمُمَيِّزُ وَالرَّقِيْقُ وَغَيْرُ الذَّكَرِ مِنْ نِسَاءٍ وَخُنَاثَى وَالْمُسَافِرِ وَسَادِسُهَا مَنْ لاَ تَجِبُ عَلَيْهِ وَتَنْعَقِدُ بِهِ وَتَصِحُّ مِنْهُ وَهُوَ الْمَرِيْضُ وَنَحْوُهُ مِمَّنْ لَهُ عُذْرٌ مِنَ اْلأَعْذَارِ الْمُرَخَّصَةِ فِيْ تَرْكِ الْجُمْعَةِ (إعانة الطالبين، ج 1 ص 54)

Shalat Jum’at bagi TNI, POLRI, Satpam dan Banser yang Sedang Bertugas

TNI dan Polisi adalah perangkat negara yang betugas menjaga keamanan negara dan masyarakat, namun dalam menjalankan tugasnya terkadang ia harus meninggalkan hal-hal yang diwajibkan agama seperti tidak dapat melaksanakan shalat jum’at. Bagaimanakah hukum meninggalkan shalat jum’at karena tuntutan tugas?

Tidak diwajibkan mengikuti shalat jum’at bagi aparat keamanan baik Polisi, TNI, Satpam ataupun Banser pada saat menjalankan tugas untuk menjaga keamanan harta benda atau menjaga keamanan seseorang yang sedang terancam.


وَلاَ تَجِبُ عَلَى الْخَائِفِ عَلَى نَفْسِهِ اَوْمَالِهِ لِماَّ رَوَى اِبْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يُجِبْهُ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ اِلاَّ مِنْ عُذْرٍ قَالُوْا يَارَسُوْلَ اللهِ وَمَا الْعُذْرُ ؟ قَالَ خَوْفٌ اَوْ مَرَضٌ . المهذب ج 1 ص 178 .

Tidak diwajibkan shalat jum’at bagi orang yang khawatir pada keamanan diri dan hartanya, berdasarkan riwayat Ibnu Abbas ra. Sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda “Barang siapa mendengarkan adzan dan dia tidak menjawabnya maka tidak dianggap shalat baginya, kecuali karena udzur”. Sahabat bertanya, “Apakah udzurnya Ya Rasulallah Swt.? Rasulullah menjawab” Udzurnya adalah khawatir atau sakit”
(al-Muhadzab, juz I, hal.109)

(Hukum Shalat Jum’at bagi Wanita)
Selain shalat lima waktu, umat Islam juga diwajibkan untuk melaksanakan shalat jum’at. Tetapi apakah kewajiban itu juga berlaku bagi wanita?

Bagi laki-laki yang baligh, berakal, bukan budak wajib hukumnya melaksanakan shalat jum’at sesuai dengan rukun dan syarat tertentu. Akan tetapi bagi wanita boleh melaksanakan shalat jum’at, namun tidak menjadikan wajib bagi mereka seperti halnya orang laki-laki yang berpergian dan yang berstatus budak.



عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمُ الْجُمُعَةَ فَلْيُصَلِّ بَعْدَهَا أَرْبَعًا ». (صحيح مسلم رقم 1457)


يَجُوْزُ لِمَنْ لاَ تَلْزَمُهُ الْجُمْعَةُ كَعَبْدٍ وَمُسَافِرٍ اَوْ اِمْرَاَةٍ يُصَلِّى الْجُمْعَةَ بَدَلاً عَنِ الظُّهْرِ وَيُجْزِئُهُ بَلْ هِيَ اَفْضَلٌ ِلاَنَّهَا فَرْضٌ ِلاَهْلِ الْكَمَالِ وَلاَ تَجُوْزُ اِعَادَتُهَا بَعْدُ حَيْثُ كَمُلَتْ شُرُوْطُهَا (بغية المسترشدين فى باب الصلاة الجمعة, ص 78-79 . و فى المهذب وموهبة ذى الفضل)
Diperkenankan bagi wanita yang tidak berkewajiban jum’at seperti budak, musafir, dan wanita untuk melaksanakan shalat jum’at sebagai pengganti Dzuhur, bahkan shalat jum’at lebih baik, karena merupakan kewajiban bagi mereka yang sudah sempurna memenuhi syarat dan tidak boleh diulangi dengan shalat Dzuhur sesudahnya, sebab semua syarat-syaratnya sudah terpenuhi secara sempurna. (Bughyah al-Mustarsyidin bab shalat jum’at hal.78-79, dan dalam kitab al-Muhadzab, dan Mauhibah Dzi al-Fadhal).

Dari keterangan tersebut dapat dipahami bahwa bagi wanita, musafir dan budak laki-laki tidak wajib melaksanakan shalat jum’at namun boleh memilih untuk melaksanakan shalat jum’at sebagai ganti shalat dhuhur atau melaksanakan shalat dhuhur tanpa shalat jum’at.


(Hukum Mendirikan Shalat Jum’at di Dua Masjid dalam Satu Desa)

Dalam satu desa bagi umat Islam wajib mendirikan jama’ah shalat jum’at. Namun kadang dalam satu desa terdapat dua atau tiga masjid untuk pelaksanaan shalat jum’at. Bagaimanakah hukum mendirikan shalat jum’at di dua masjid dalam satu desa?

Ulama’ berbeda pendapat tentang shalat jum’at yang dilaksanakan di dua masjid dalam satu desa:


1 Tidak boleh mendirikan shalat jum’at lebih dari satu tempat dalam satu desa.

الثَّالِثُ مِنَ الشُّرُوْطِ اَنْ لاَيُسَابِقَهَا وَلاَيُقَارِنَهَا جُمْعَةٌ فِيْ بَلْدَتِهَا وَاِنْ كَانَتْ عَظِيْمَةً وَكَثُرَتْ مَسْجِدُهَا ِلاَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْخُلَفَاءَ مِنْ بَعْدِهِ لَمْ يُقِيْمُوْا سِوَى جُمْعَةٍ وَاحِدَةٍ اِلَى اَنْ قَالَ اِلاَّ اِذَا كَبُرَ اَيُّ الْبَلَدِ وَعَسُرَ اجْتِمَاعُهُمْ يَقِيْنًا عَادَةً فِيْ مَكَانِ مَسْجِدٍ اَوْغَيْرِهِ.
Syarat yang ketiga adalah tidak boleh mendahului dan bersamaan pelaksanaan shalat jum’at satu sama lain dalam satu desa. Karena Nabi dan orang-orang setelahnya tidak pernah mendirikan jum’at yang lain dalam satu desa, kecuali daerahnya memang luas yang pasti menyebabkan kesulitan berkumpul dalam satu masjid. (Nihayah al-Muhtaj, juz II, hal.289)

2 Boleh mendirikan shalat jum’at lebih dari satu masjid dalam suatu desa apabila satu masjid sudah tidak bisa menampung para jama’ah, masyarakatnya tidak dapat di persatukan lagi dan wilayah desanya luas.


وَالْحَاصِلُ مِنْ كَلاَمِ اْلأَئِمَّةِ أَنَّ أَسْبَابَ جَوَازِ تَعَدُّدِهَا ثَلاَثَةٌ : ضَيِّقُ مَحَلِ الصَّلاَةِ بِحَيْثُ لاَ يَسَعُ الْمُجْتَمِعِيْنَ لَهَا غَالِباً ، وَالْقِتَالُ بَيْنَ الْفِئَتَيْنِ بِشَرْطِهِ ، وَبَعُدَ أَطْرَافُ اْلبَلَدِ بِأَنْ كَانَ بِمَحَلٍ لاَ يَسْمَعُ مِنْهُ النِّدَاءِ ، أَوْ بِمَحَلٍ لَوْ خَرَجَ مِنْهُ بَعْدَ الْفَجْرِ لَمْ يَدْرِكُهَا ، إِذْ لاَ يَلْزَمُهُ السَّعْيُ إِلَيْهَا إِلاَّ بَعْدَ الْفَجْرِ اهـ.


3 Boleh secara mutlaq, namun menurut imam Ismail al-Zain jumlah jama’ah tidak kurang dari 40 orang.


قَالَ الشَّيْخُ اِسْمَاعِيْلُ الزَّيْنُ اَمَّامَسْأَلَةُ تَعَدُّدُ الْجُمْعَةِ فَالظَّاهِرُ جَوَازُ ذٰلِكَ مُطْلَقًا بِشَرْطِ اَنْ لاَ يُنْقَصُ عَدَدُ كُلٍّ عَنْ اَرْبَعِيْنَ رَجُلا

Menurut syaikh Ismail al-Zain, masalah bilangan pelaksanaan shalat jum’at diperbolehkan secara mutlak (terlepas dari faktor-faktor penyebabnya) dengan syarat (jama’ahnya) tidak kurang dari empat puluh orang laki-laki. (Qurrah al-Aini, hal.83, Mizan al-Kubra, juz I, hal 209)

(Mendirikan Jama’ah Shalat Jum’at Kurang dari 40 Orang)

Dalam suatu desa pelaksanaan shalat jum’at ada yang dilakukan kurang dari 40 orang. Bagaimanakah hukum mendirikan shalat jum’at dengan jama’ah yang kurang dari 40 orang?

Para ulama’ berbeda pendapat mengenai bilangan jama’ah shalat jum’at, adapun pendapat mereka secara terperinci adalah sebagai berikut?


Menurut Imam an-Nakha’i dan Ahli Dhahiri, cukup 2 orang muslim mukallaf, (seperti halnya shalat jama’ah biasa)


Menurut Abi Yusuf, Imam Muhammad dan al-Laits, 2 muslim mukallaf, dengan imam.


Menurut Imam Abi Hanifah dan Sufyan al-Tsaury, 3 orang muslim mukallaf dengan imam.


Menurut Ikrimah, 7 orang muslim mukallaf.


Menurut Rabi’ah, 9 orang muslim mukallaf.


Menurut Rabi’ah, 12 orang muslim mukallaf, diriwayatkan Imam malik juga berpendapat demikian.


Menurut Imam Ishaq, 12 orang muslim mukallaf selain imam (12 orang makmum dan 1 orang imam= 13 orang)


Menurut riwayat Ibnu Habib dari Imam Malik, 20 orang.


Menurut Imam Malik, harus ada 30 muslim mukallaf.


Menurut Imam Syafi’i, harus 40 muslim mukallaf (pendapat yang lebih unggul)


Menurut Imam Syafi’i, Umar bin Abdul Aziz dan sebagian golongan, harus 40 muslim mukallaf, selain imam


Menurut Imam Ahmad, harus 50 muslim mukallaf.


Menurut Imam al-Maziri, 80 orang muslim mukallaf.


Menurut sebagian golongan ulama’ Malikiyah tanpa batasan hitungan.


Diterangkan dalam kitab Hasyiyah al-Bujairami ‘Ala al-Khatib bab Syurutu Sikhati Shalat Al-Jum’at juz 2 halaman 190



وَتَأَمَّلْ هَذَا الْقَوْلَ مَعَ أَنَّهُمْ أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الْجَمَاعَةَ شَرْطٌ فِي صِحَّتِهَا كَمَا فِي شَرْحِ الْمِشْكَاةِ لِابْنِ حَجَرٍ وَعِبَارَتُهُ : وَفِيهِ أَيْ قَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : { الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ } أَنَّ الْجَمَاعَةَ شَرْطٌ فِي صِحَّتِهَا وَهُوَ إجْمَاعٌ وَإِنَّمَا اخْتَلَفُوا فِي الْعَدَدِ الَّذِي تَحْصُلُ بِهِ وَمَذْهَبُنَا أَنَّهُ لَا بُدَّ مِنْ أَرْبَعِينَ كَامِلِينَ .الثَّانِي : اثْنَانِ كَالْجَمَاعَةِ وَهُوَ قَوْلُ النَّخَعِيِّ وَأَهْلِ الظَّاهِرِ .الثَّالِثُ : اثْنَانِ مَعَ الْإِمَامِ عِنْدَ أَبِي يُوسُفَ وَمُحَمَّدٍ وَاللَّيْثِ .الرَّابِعُ : ثَلَاثَةٌ مَعَهُ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ وَسُفْيَانٍ الثَّوْرِيِّ .الْخَامِسُ : سَبْعَةٌ عِنْدَ عِكْرِمَةَ .السَّادِسُ : تِسْعَةٌ عِنْدَ رَبِيعَةَ .السَّابِعُ : اثْنَا عَشَرَ عِنْدَ رَبِيعَةَ أَيْضًا فِي رِوَايَةٍ وَمَالِكٍ .الثَّامِنُ : مِثْلُهُ غَيْرُ الْإِمَامِ عِنْدَ إِسْحَاقَ .التَّاسِعُ : عِشْرُونَ فِي رِوَايَةِ ابْنِ حَبِيبٍ عَنْ مَالِكٍ .الْعَاشِرُ : ثَلَاثُونَ كَذَلِكَ .الْحَادِيَ عَشَرَ : أَرْبَعُونَ بِالْإِمَامِ عِنْدَ الْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ .الثَّانِي عَشَرَ : أَرْبَعُونَ غَيْرُ الْإِمَامِ عِنْدَ الشَّافِعِيِّ أَيْضًا ، وَبِهِ قَالَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَطَائِفَةٌ .الثَّالِثَ عَشَرَ : خَمْسُونَ عِنْدَ أَحْمَدَ فِي رِوَايَةٍ وَحُكِيَتْ عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ .الرَّابِعَ عَشَرَ : ثَمَانُونَ حَكَاهُ الْمَازِرِيُّ .الْخَامِسَ عَشَرَ : جَمْعٌ كَثِيرٌ بِغَيْرِ حَصْرٍ .وَلَعَلَّ هَذَا الْأَخِيرَ أَرْجَحُهَا مِنْ حَيْثُ الدَّلِيلِ قَالَهُ فِي فَتْحِ الْبَارِي ا هـ حاشية البجيرمى على الخطيب الباب شروط صحة الصلاة الجمعة ج 2 ص 190 

Keterangan yang sama juga terdapat dalam kitab 
(I’anah al-Thalibin, juz II, hal.57 dan Bughyah al-Mustarsyidin, hal.81).

(Hukum Adzan Dua Kali Sebelum Shalat Jum’at)

Pelaksanaan shalat jum’at umumnya diawali dengan adanya adzan pertama sebagai tanda masuknya waktu dhuhur dan adzan kedua mengiringi khutbah. Bagaimanakah dasar pelaksanaan dua adzan sebelum shalat jum’at tersebut?


Dalil yang menerangkan adzan jum’at dalam al-Qur’an surat al-Jumu’at ayat 9;

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِنْ كُـنْـتُمْ تَعْلَمُونَ (9)
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah Swt. dan tinggalkanlah jual beli yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Al-Jumu’at ayat 9)

Dua adzan yang dilaksanakan sebelum shalat jum’at pertama kali dilaksanakan pada zaman sahabat Utsman ra., karena pada saat itu semakin bertambahnya jumlah penduduk dan jarak pemukiman penduduk dengan masjid yang jauh serta aktifitas perdagangan yang semakin pesat, sehingga adzan yang semula satu kali (dikumandangkan saat imam di atas mimbar) menyebabkan banyak dari mereka ketinggalan shalat jum’at. Dengan pertimbangan di atas, kemudian sahabat Utsman menambah adzan lagi di tempat lain yang tinggi (menara). Hal ini diterangkan dalam kitab shahih Bukhari


عَنِ الزُّهْرِى قَالَ سَمِعْتُ السَّائِبَ بْنِ يَزِيْدَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ يَقُوْلُ اِنَّ اْلاَذَانَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ كَانَ اَوَّلُهُ حِيْنَ يَجْلِسُ اْلاِمَامُ يَوْمَ الْجُمْعَةِ عَلَى الْمِنْبَرِ فِى عَهْدِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاَبِى بَكْرٍ وَعُمَرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ فِى خِلاَفَةِ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَكَثَرُوْا اَمَرَ عُثْمَانُ يَوْمَ الْجُمْعَةِ بِاْلأَذَانِ الثَّالِثِ فَأُذَّنَ بِهِ عَلَى الزَّوْرَاءِ فَثَبَتَ اْلاَمْرُ عَلَى ذَلِكَ (صحيح البخاري الجزء 1 ص 315 رقم 916)

Dari al-Zuhri, ia berkata; saya mendengarkan dari Saib bin Yazid ra. Beliau berkata . sesungguhnya pelaksanaan adzan pada hari jum’at pada masa Rasulullah Saw, sahabat Abu Bakar dan Umar hanya satu kali, yaitu dilakukan ketika imam duduk di atas mimbar. Namun ketika masa khalifah utsman dan kaum muslim semakin banyak, maka beliau memerintahkan agar diadakan adzan yang ketiga. Adzan tersebut dikumandangkan di atas Zaura’ (nama pasar) maka tetaplah perkara tersebut sampai sekarang
(Shahih al-Bukhari, juz 1 halaman 315 hadits nomor 916)

Dengan demikian disunnahkan adzan dua kali sebelum shalat jum’at, yakni adzan pertama sebelum khatib naik mimbar dan adzan kedua pada saat khatib sudah naik mimbar. Hal ini merupakan hasil ijtihad sayidina Utsman ra. dengan pertimbangan supaya tidak ada yang tertinggal dalam shalat jum’at. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Fathu al-Mu’in.

وَيُسَنُّ اَذَانَانِ لِصُبْحٍ وَاحِدٌ قَبْلَ الْفَجْرِ وَاَخَرُ بَعْدَهُ فَاِنِ اقْتَصَرَ فَاْلاَوْلَى بَعْدَهُ وَاَذَانَانِ لِلْجُمْعَةِ اَحَدُهُمَا بَعْدَ صُعُوْدِ الْخَطِيْبِ الْمِنْبَرَ وَاْلاَخَرُ الَّذِى قَبْلَهُ (فتح المعين 15)
Disunnahkan adzan dua kali untuk shalat shubuh, yakni sebelum fajar dan setelahnya. Dan jika hanya mengumandangkan satu kali, maka yang utama dilakukan setelah fajar. Dan sunnah adzan dua kali untuk shalat jum’at. Yang pertama setelah khatib naik ke mimbar dan yang ke dua sebelumnya.
(Fathu al-Mu’in, hal.15)

Kesimpulannya adalah bahwa adzan dua kali pada hari jum’at itu bukan merupakan bid’ah, sebab perbuatan itu memiliki landasan atau dalil yang kuat dari salah satu sumber hukum Islam, yakni ijma’ para sahabat.


Shalat Sunnah Qobliyah dan Ba’diyah Jum’at
Setiap sebelum dan sesudah shalat maktubah di anjurkan untuk melaksanakan shalat sunnah, yang disebut shalat qobliyah dan ba’diyah, lalu bagaimanakah dengan shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat jum’ah (shalat sunnah qobliyah dan ba’diyah jum’at) adakah dasar hukumnya?
Hadits Nabi Saw.;
عَنْ نَافِعٍ قَالَ كَانَ ابْنُ عُمَرَ يُطِيلُ الصَّلاَةَ قَبْلَ الْجُمُعَةِ وَيُصَلِّى بَعْدَهَا رَكْعَتَيْنِ فِى بَيْتِهِ وَيُحَدِّثُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ. (سنن ابى داود رقم 953)
Dari Nafi’, ia berkata: Ibnu Umar memperpanjang shalat sebelum shalat jum’at, lalu mengerjakan shalat dua rakaat setelah shalat jum’at di rumahnya kemudian ia menceritakan bahwa hal itu dilakukan oleh Rasulullah Saw. (Sunan Abi Dawud, [953])


Dari Abi Hurairah beliau berkata: Rasulullah bersabda: Apabila salah satu diantara kamu shalat jum’at, maka hendaklah melakukan shalat sunnah empat rakaat sesudahnya. (Shahih Muslim, [1457])

عَنْ ِابْنِ مَسْعُوْدٍ كاَنَ يُصَلَّى قَبْلَ الْجُمْعَةِ اَرْبَعًا وَبَعْدَهَا اَرْبَعًا(رواه الترمذى رقم 481)

Ibnu Mas’ud berkata: Bahwasannya Rasulullah Saw. melaksanakan shalat 4 rakaat sebelum shalat jum’at dan 4 rakaat sesudah shalat jum’at. (Sunan al-Tirmidzi, [481])

Berdasarkan keterangan hadits di atas maka sunnah melaksanakan shalat qobliyah dan ba’diyah jum’at. Sebagaimana perkataan Imam an-Nawawi


فَرْعٌ, فِيْ سُنَّةِ الْجُمْعَةِ بَعْدَهَا وَقَبْلَهَا: تُسَنُّ قَبْلَهَا وَبَعْدَهَا صَلاَةٌ وَأَقَلُّهَا رَكْعَتاَنِ قَبْلَهَا وَرَكْعَتاَنِ بَعْدَهَا وَاْلاَكْمَلُ اَرْبَعٌ قَبْلَهَا وَاَرْبَعٌ بَعْدَهاَ (المجموع ج 4ص9)

(Bagian) menerangkan tentang sunnah shalat jum’at, setelah dan sebelumnya. Sebelum dan setelahnya di sunnahkan melakukan shalat sunnah. Paling sedikit 2 roka’at, sebelum dan sesudahnya. Dan lebih sempurna, 4 raka’at sebelum dan sesudahnya.
(Al-Majmu’, juz IV, hal.09)

Maka menjadi jelas bahwa dianjurkan melakukan shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat jum’at sama halnya dengan shalat Dhuhur.


(Khatib Jum’at Memegang Tongkat)

Di kalangan NU pelaksanaan khutbah jum’at selalu terlihat tongkat di tangan khatib selama khutbah dibacakan, berbeda dengan sebagian golongan yang tidak memakai tongkat. Apakah ada dalil dari tradisi penggunaan tongkat saat khotib membacakan khotbah dan apakah ada hikmahnya?

Dasar hadits dalam kitab sunan Abi Dawud, bab al-Rajul Yahtubu ‘ala Qouts:
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ حَدَّثَنَا شِهَابُ بْنُ خِرَاشٍ حَدَّثَنِى شُعَيْبُ بْنُ رُزَيْقٍ الطَّائِفِىُّ قَالَ جَلَسْتُ إِلَى رَجُلٍ لَهُ صُحْبَةٌ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُقَالُ لَهُ الْحَكَمُ بْنُ حَزْنٍ الْكُلَفِىُّ فَأَنْشَأَ يُحَدِّثُنَا قَالَ وَفَدْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- سَابِعَ سَبْعَةٍ أَوْ تَاسِعَ تِسْعَةٍ فَدَخَلْنَا عَلَيْهِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ زُرْنَاكَ فَادْعُ اللَّهَ لَنَا بِخَيْرٍ فَأَمَرَ بِنَا أَوْ أَمَرَ لَنَا بِشَىْءٍ مِنَ التَّمْرِ وَالشَّأْنُ إِذْ ذَاكَ دُونٌ فَأَقَمْنَا بِهَا أَيَّامًا شَهِدْنَا فِيهَا الْجُمُعَةَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى عَصًا أَوْ قَوْسٍ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ كَلِمَاتٍ خَفِيفَاتٍ طَيِّبَاتٍ مُبَارَكَاتٍ ثُمَّ قَالَ « أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّكُمْ لَنْ تُطِيقُوا أَوْ لَنْ تَفْعَلُوا كُلَّ مَا أُمِرْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ سَدِّدُوا وَأَبْشِرُوا ». قَالَ أَبُو عَلِىٍّ سَمِعْتُ أَبَا دَاوُدَ قَالَ ثَبَّتَنِى فِى شَىْءٍ مِنْهُ بَعْضُ أَصْحَابِنَا وَقَدْ كَانَ انْقَطَعَ مِنَ الْقِرْطَاسِ.
Dari hadits ini, Shan’ani mengatakan
وَفِى الْحَدِيْثِ دَلِيْلٌ عَلَى اَنَّهُ يُنْدَبُ لِلْخَطِيْبِ اْلاِعْتِمَادُ عَلَى سَيْفٍ اَوْنَحْوِهِ وَقْتَ خُطْبَتِهِ (سبل السلام,ج2 ص59)
Hadits tersebut menjelaskan tentang kesunnahan khatib memegang pedang atau semisal (tongkat) pada waktu menyampaikan khutbahnya.
(Subul al-Salam, Juz II, hal. 59)

Jumhur ulama’ mengatakan bahwa sunnah hukumnya bagi khotib untuk memegang tongkat pada saat membaca khutbah. Hal di jelaskan oleh Imam Syafi’i di dalam kitab al-Umm juz I. Hal.272


قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَكُمُ اللهُ وَبَلَغْنَا اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ اِذَا خَطَبَ اِعْتَمَدَ عَلَى عَصًا وَقَدْ قِيْلَ خَطَبَ مُتَعَمِّدًا عَلَى عَنَـزَةٍ وَعَلَى قَوْسٍ وَكُلُّ ذَلِكَ اِعْتِمَادٌ اَخْبَرْنَا الرَّبِيْعُ قَالَ اَخْبَرْنَا الشَّافِعِيُّ قَالَ اَخْبَرْنَا اِبْرَاهِيْمُ عَنْ لَيْثٍ عَنْ عَطَاءٍ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كِانِ اَذَا خَطَبَ يَعْتَمِدُ عَلَى عَنَـزَتِهِ اِعْتِمَادًا (الأم ج1 ص 272)


(Imam Syafi’i ra berkata) mudah-mudahan Allah Swt. memberikan rahmat kepada beliau, dan telah sampai kepada kami (berita) bahwa ketika Rasulullah Saw. berkhutbah, beliau berpegang pada tongkat. Ada yang mengatakan, beliau berkhutbah dengan memegang tongkat pendek dan anak panah. Semua benda-benda itu dijadikan tempat bertumpu (pegangan). Al-Rabi’ mengabarkan dari imam Syafi’i dari Ibrahim, dari Laits dari ‘Atha’, bahwa Rasulullah Saw. jika berkhutbah beliau memegang tongkat pendeknya untuk dijadikan tumpuan.

(Al-Umm, juz I, hal.272)

Dari penjelasan tersebut sudah jelas bahwa khutbah sambil memegang tongkat mempunyai dasar yang kuat, namun masihkah hal ini diklaim sebagai perbuatan bid’ah


(Hikmah Memegang Tongkat Waktu Menyampaikan Khutbah)

وَالْحِكْمَةُ اِنَّ فِىْ ذٰلِكَ رَابِطًا لِلْقَلْبِ وَلِبُعْدِ يَدَيْهِ عَنِ الْعَبْثِ (سبل السلام ج 2 ص59)

Hikmah dianjurkannya memegang tongkat itu untuk mengikat hati (agar lebih konsentrasi) dan agar tidak mempermainkan tangannya.
(Subul al-Salam, juz II, hal.59)

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa dalam pelaksanaan penyampaian khutbah jum’at, bagi seorang khatib disunnahkan membawa tongkat seperti yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. Dan dimaksudkan agar khatib lebih khusyu’ dan konsentrasi pada khutbah yang disampaikannya.


(Mengulang Bacaan Alhamdulillah dalam Khutbah)

Sering kita mendengar saat khatib membaca alhamdulillah diulang dua kali dalam khutbahnya, hal ini biasanya terdapat di kalangan masjid-masjid NU. Bagaimanakah pendapat tentang pengulangan bacaan tersebut?


Salah satu rukun khutbah adalah membaca hamdalah. Adapun mengulang bacaan alhamdulillah itu dianggap sah karena sama dengan mengulangi di antara rukun khutbah yang hukumnya tidak dilarang. Dari keterangan asy-Syarqawi bab Jum’at.


وَكَذَا لاَيَضُرُّ تَكْرِيْرُ بَعْضِ اْلاَرْكاَنِ كَماَ يَقَعُ اْلاٰنَ اَيْضًا (الشرقاوى ج 1 ص267 )

Demikian pula boleh mengulang-ulang sebagian rukun-rukunnya sebagaimana yang terjadi sekarang ini.
(al-Syarqawi bab jum’at juz 1 halaman 267)

(Menterjemahkan Khutbah dengan Bahasa Indonesia)

Khutbah merupakan rukun shalat jum’at yang dilakukan dengan tujuan untuk mengajak kepada para jama’ah untuk selalu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Swt. sehingga perlu adanya pemahaman pada para jama’ah tentang isi yang akan disampaikan. Bagaimanakah menerjemahkan khutbah dengan bahasa Indonesia selain rukun khutbah tersebut?

Dalam hal ini terjadi perbedaan pandangan

1 Sebagian ulama’ memandang khutbah jum’at yang disampaikan dengan bahasa Indonesia (selain bahasa Arab) dianggap tidak mencukupi keabsahannya karena dinilai sebagai laghwun bahkan dianggap memutus rukun-rukun khutbah.


2 Ulama’ Syafi’iyah sepakat bahwa diperbolehkan menerjemahkan selain rukun khutbah, asal tetap pada prinsip mengajak kepada kebaikan dan tidak keluar dari tujuan khutbah sebagaimana diterangkan dalam al-Bujairimi, juz I, hal.389.


لَوْ كاَنَ مَا بَيْنَ أَرْكاَنِهِمَا بِغَيْرِ الْعَرَبِيَّةِ لَمْ يَضُرْ قاَلَ م ر مَحَلُهُ ماَ إِذَا لَمْ يُطِلْ الفَصْلُ بِغَيْرِ الْعَرَبِيَةِ وَإِلاَّ ضَرَّ لِإِخْلاَلِهِ بِالْمُوَالاَةِ كَالسُّكُوْتِ بَيْنَ اْلأَرْكاَنِ إِذَا طََالَ بِجَامِعٍ أَنَّ غَيْرَ الْعَرَبِيِّ لَغْوٌ لاَ يُحْسَبُ لِأَنَّ غَيْرَ الْعَرَبِيِّ لاَ يُجْزِىءُ مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى الْعَرَبِيِّ فَهُوَ لَغْوٌ سم وَالْقِياَسُ عَدَمُ الضَّرَرِ مُطْلَقًا وَيُفْرَقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ السُّكُوْتِ بِأَنَّ فِي السُّكُوْتِ إِعْرَاضًا عَنِ الْخُطْبَةِ بِالْكُلِّيَةِ بِخِلاَفِ غَيْرِ الْعَرَبِيِّ فَإِنَّ فِيْهِ وَعْظًا فِي الْجُمْلَةِ فَلاَ يَخْرُجُ بِذَلِكَ عَنْ كَوْنِهِ مِنَ الْخُطْبَةِ ع ش ( حاشية البجرمي ج 1 ص 389)

Yakni seandainya antara rukun-rukun khutbah memggunakan selain bahasa Arab boleh saja, (Imam Ramli berpendapat) selama pemisahan dengan selain bahasa Arab itu tidak panjang. Jika pemisahan tersebut panjang maka tidak boleh karena dapat merusak ketersambungan khutbah sama seperti diam dalam waktu yang lama di antara rukun-rukunnya. Sesungguhnya khutbah selain bahasa Arab itu dianggap gurauan yang tidak punya nilai, karena khutbah dengan selain bahasa Arab tidak mencukupi selama ia (khotib) mampu berbahasa Arab. Menurut hukum qiyas penggunaan selain bahasa arab itu diperkenankan secara mutlak, dan perbedaan khutbah selain bahasa arab dengan diam adalah sesungguhnya dalam diam itu menunjukkan berpaling dari khutbah secara keseluruhan, sedangkan khutbah selain bahasa arab mengandung nasehat maka tidak keluar dari pengertiannya sebagai khutbah. (Al-Bujairimi, juz I, hal.389)

(DZIKIR DAN DO’A)

Dzikir

Dzikir artinya mengingat atau menyebut. Dzikir kepada Allah berarti: mengingat atau menyebut nama Allah Swt.

Dzikir kepada Allah secara berjamaah sudah menjadi kebiasaan umat Islam khususnya di Indonesia, kalimat-kalimat dzikir banyak sekali, diantaranya membaca lafadz Allah. Dzikir hukumnya sunnah sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an;

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيْرًا (41) وَسَبِّحُوْهُ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً (42)
Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah Swt., zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang. (al-Ahzab:41-42)

اِعْلَمْ أَنَّهُ كَمَا يُسْتَحَبُّ الذِّكْرُ يُسْتَحَبُّ الْجُلُوْسُ فِيْ حَلْقِ أَهْلِهِ ، وَقَدْ تَظَاهَرَتْ اَلْأَدِلَّةُ عَلَى ذٰلِكَ ، (الاذكار النووى ص 8

Ketahuilah sebagaimana disunnahkan dzikir, begitu juga disunnahkan duduk dalam lingkaran orang-orang yang berdzikir, karena banyak dalil-dalil yang menyatakan hal itu. (al-Adzkar al-Nawawi, hal. 08)

Bagi warga Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah bahwa membaca dzikir dan do’a adalah suatu ibadah yang sangat tinggi pahalanya di hadapan Allah Swt. Oleh sebab itu, ciri khas ummat Islam Indonesia yang menganut faham Ahluu Sunnah Wal Jama’ah sangat rajin berdzikir dan berdo’a pada setiap setelah shalat atau pada waktu-waktu tertentu bahkan disetiap hembusan nafasnya selalu berdzikir kepada Allah dalam hatinya, selalu mengingat Allah dalam setiap aktifitasnya yaitu: ketika duduk, berdiri, berjalan, makan, minum, bekerja dan apapun yang dikerjakan oleh anggota dhahirnya, tetapi hatinya tidak pernah luput dari mengingat Allah.


Dzikir Fida’

Dzikri Fida’ merupakan dzikir penebusan, yaitu menebus kemerdekaan diri sendiri atau orang lain dari siksaan Allah Swt. dengan membaca: Laa Ilaha Illallah. sebanyak 71.000 (tujuh puluh satu ribu).

Dengan demikian, dzikir fida’ adalah upaya untuk memohonkan ampunan kepada Allah Swt. atas dosa-dosa orang yang sudah meninggal. Diterangkan dalam hadits dari Siti Aisyah


عَنْ عَائِشَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قاَلَ لاَإِلهَ اِلاَّاللهُ اَحَدَ وَسَبْعِيْنَ اَلْفًا اِشْتَرَى بِهِ مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَكَذَا فَعَلَهُ لِغَيْرِهِ. (خزينة الاسرا 1884)

Diriwayatkan dari Aisyah ra. Ia berkata; Rasulullah bersabda: barang siapa yang membaca laa ilaaha illah sebanyak tujuh puluh satu ribu maka berarti ia menebus (siksaan) dengan bacaan tersebut dari Allah ‘Azza Wajalla dan begitu juga hal ini bisa dilakukan untuk orang lain
(Khazinah al-Asrar, hal.188)

Adapun dzikir fida’ ini yang selanjutnya disebut dzikir ‘ataqah, oleh para ulama’ dibagi dua macam yakni ‘ataqah sughra yaitu membaca laa ilaaha illah sebanyak 70 ribu kali atau 71 ribu kali dan ‘ataqah kubra yaitu membaca surat al-Ikhlas sebanyak 100 ribu kali. Sebagaimana telah dijelaskan dalam kitab Syarh al-Futuhat al-Madaniyah.


وَرُوِىَ اَنَّ الشَّيْخَ اَباَ الرَّبِيْعِ اَلْمَالَقِيّ كاَنَ عَلىَ مَائِدَةِ طَعَامٍ وَكاَنَ قَدْ ذَكَرَ لاَاِلهَ اِلاَّ اللهُ سَبْعِيْنَ اَلْفَ مَرَّةٍ وَكاَنَ مَعَهُمْ عَلىَ الْمَائِدَةِ شَابٌ مِنْ اَهْلِ الْكَشْفِ فَحِيْنَ مَدَّ يَدَهُ اِلىَ الطَّعاَمِ بَكَى وَامْتَنَعَ مِنَ الطَّعَامِ فَقَالَ لَهُ الْحَاضِرُوْنَ لِمَ تَبْكِى؟ فَقاَلَ اَرَى جَهَنَّمَ وَاَرَى اُمِّىْ فِيْهَا. قَالَ الشَّيْخُ اَبُوْ الرَّبِيْعِ: فَقُلْتُ فِىْ نَفْسِىْ اَللَّهُمَّ اِنَّكَ تَعْلَمُ اَنِّىْ قَدْ هَلَّلْتُ سَبْعِيْنَ اَلْفاً وَقَدْ جَعَلْتُهَا عِتْقَ اُمِّ هَذَا الشَّابِّ مِنَ النَّارِ فَقَالَ الشَّابُّ اَلْحَمْدُ لِلّهِ أَرَى أُمِّىْ قَدْ خَرَجَتْ مِنَ النَّارِ وَمَا اَدْرِىْ ماَ سَبَبُ خُرُوْجِهَا وَجَعَلَ هُوَ يَبْتَهِجُ وَاَكَلَ مَعَ الْجَمَاعَةِ. وَهَذَا التَّهْلِيْلُ بِهذَا الْعَدَدِ يُسَمَّى عَتاَقَةَ الصُّغْرَى كَمَا اَنَّ سُوْرَةَ الصَّمَّدِيَّةِ إِذاَ قُرِئَتْ وَبَلَغَتْ مِائَةَ اَلْفِ مَرَّةٍ تُسَمَّى عَاتَقَةَ كُبْرَى وَلَوْ فِيْ سِنِيْنَ عَدِيْدَةٍ فَاِنَّ الْمُوَالاَةَ لاَتُشْتَرَطُ. اهـ (شرح الفتوحات المدنية بهامش نصائح العباد ص 24)


Diriwayatkan bahwa syekh Abu al-Robi’ al-Malaqi, berada di jamuan makanan dan beliau telah berdzikir dengan mengucapkan Laa Ilaha Ilallah 70 ribu kali. Di jamuan tersebut terdapat seorang pemuda ahli kasyaf. Ketika pemuda itu akan mengambil makanan tiba-tiba ia mengurungkan mengambil makanan itu, lalu ia ditanya oleh para hadirin mengapa kamu menangis? ia menjawab, saya melihat neraka jahanam dan melihat ibu saya di dalamnya. Kata syekh Abu al-Rafi’, saya berkata di dalam hati, “Ya Allah, sungguh engkau mengetahui bahwa saya telah berdzikir Laa Ilaha Ilallah 70 ribu kali dan saya mempergunakannya untuk membebaskan ibu pemuda ini dari neraka”. Setelah itu pemuda tersebut berkata, “Alhamdulillah, sekarang saya melihat ibu saya telah keluar dari neraka, namun saya tidak tahu apa sebabnya”. Pemuda itu merasa senang dan kemudian makan bersama dengan para hadirin. Dzikir Laa Ilaha Ilallah 70 ribu kali dinamakan ataqoh sughroh (pembebasan kecil dari neraka), sedangkan surat al-Ikhlas jika dibaca 100 ribu kali dinamakan ataqoh kubro (pembebasan besar dari neraka) walaupun waktu membacanya beberapa tahun, karena tidak disyaratkan berturut-turut. (Syarah al-Futukhat al-Madaniyah Bihamisyi Nasha’ih al-Ibad, hal.22)


(Tahlil)
Tahlil berasal dari kata هَلَّلَ - يُهَلِّلُ – تَهْلِيْلاً yang berarti membaca kalimat لااله الا الله . Sedangkan tahlil menurut pengertian yang berkembang di masyarakat adalah membaca kalimat thayyibah (shalawat, tahlil, istighfar, fatihah, surat ikhlas, mu’awwidzatain, dan lain-lain) yang pahalanya ditujukan kepada arwah keluarga yang bersangkutan.

وَالَّذِيْنَ جَاءُوْ مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلإِيْمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلاًّ لِّلَّذِيْنَ آمَنُوْا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوْفٌ رَّحِيْمٌ (10)

Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari Kami, dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, Sesungguh Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang". QS. Al-Hasyr ayat 10

عَنِ النَّـِبيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ ( كَلِمَتاَنِ خَفِيْفَتاَنِ عَلىَ اللِّسَانِ ثَقِيْلَتاَنِ فِي الْمِيْزَانِ حَبِيْبَتاَنِ إِلىَ الرَّحْمٰنِ سُبْحاَنَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحاَنَ اللهِ الْعَظِيْمِ) . رواه البخارى (احاديث مخترة من الصحيحين)

Rasul bersabda: dua kalimat yang ringan bagi lisan dan berat (timbangan kebijakannya) di Mizan (timbangan amal akhirat), dan dicintai oleh Dzat yang mempunyai belas kasih adalah kalimat Subhanallah Wa Bihamdihi Subhanallahil adzim. HR. Bukhari dalam kitab Akhadits Muhtar Min Al-Shahihain


قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلََّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ماَ الْمَيِّتُ فِى قَبْرِهِ إِلاَّ كاَلْغَرِيْقِ الْمَتَغَوِّثِ يَنْتَظِرُ دَعْوَةً تَلْحَقُهُ مِنْ أَبِيْهِ أَوْ أَخِيْهِ أَوْ صَدِيْقِ لَهُ فَإِذَا لَحِقَتْهُ كاَنَ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنَ الدُّنْياَ وَمَا فِيْهَا وَإِنَّ هَدَاياَ اْلأَحْياَءِ لِلْأَمْوَاتِ اَلدُّعاَءُ وَاْلاِسْتِغْفاَرُ

Rasulullah Saw. Bersabda: tiada seorang pun dari mayit dalam kuburnya kecuali dalam keadaan seperti orang tenggelam yang banyak meminta tolong, dia menanti doa dari ayah dan saudara atau seorang teman yang ditemuinya, apabila ia telah menemukan doa tersebut, maka doa itu menjadi sesuatu yang lebih dicintai dari pada dunia dan seisinya, dan apabila orang yang masih hidup ingin memberikan hadiah kepada orang yang sudah meninggal dunia adalah dengan doa dan istighfar’
(Ihya’ Ulum al-Din, Juz IV, hal.476

Dengan demikian tahlil yang berisi doa, istighfar, bacaan al-Qur’an, tasbih, bacaan Laa Ilaha Ilallah dan kalimat thoyyibah lainnya merupakan hadiah dari orang yang masih hidup kepada orang yang telah mati.


Kesimpulannya, selamatan dan tahlil atau melakukan do’a bersama memohon keselamatan, baik bagi yang masih hidup maupun yang sudah meninggal adalah memiliki dasar dan tidak bertentangan dengan syariat agama


(Do’a)


Berdo’a atau memohon kepada Allah Swt. merupakan inti ibadah bagi umat Islam dengan tidak memandang derajat dan pangkat. Semuanya diperintahkan supaya memperbanyak berdo’a kepada Allah, memohon ampunan, memohon keselamatan dunia akhirat, kesehatan jasmani dan rohani, dll.


Orang yang berdo’a seolah-olah munajat (berbicara), berbisik dengan Allah SWT., dengan memakai bahasa yang sopan, yang merendah. Orang yang tidak mau berdo’a adalah orang-orang yang sombong, yang menganggap dirinya lebih tinggi, lebih pandai, lebih mampu, bahkan lebih kaya dari Allah Swt. Kedudukan do’a adalah sangat tinggi dalam ibadah. Karena itu berdo’a dengan khusyu’ dan tawadhu’ sangat dianjurkan oleh agama.

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُوْنِيْ أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِيْ سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ (60)
Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku[1326] akan masuk neraka Jahannam dalam Keadaan hina dina". (QS. al-Mu’min: 60)

[1326] Yang dimaksud dengan menyembah-Ku di sini ialah berdoa kepada-Ku.

اُدْعُواْ رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ (55)
Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah Swt. tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas[549]. (QS. al-A’rof: 55)

[549] Maksudnya: melampaui batas tentang yang diminta dan cara meminta.

عَنْ عُمَرَ قاَلَ كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذاَ اَمَدَّ يَدَيْهِ فِى الدُّعَاءِ لَمْ يَرُدَّهُمَا حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ.
Apabila Nabi mengangkat kedua tangannya dalam berdo’a, Nabi tidak akan mengembalikan kedua tangannya sehingga mengusapkan pada wajahnya.(Bulugh al-Maram, hal.347)


عَنِ النُّعْماَنِ بْنِ بَشِيْرٍ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِنَّ الدُّعَاءَ هُوَ الْعِبَادَةُ.

Dari Nu’man bin Basyir dari Nabi Saw. Sesungguhnya do’a merupakan ibadah. (Bulughul Maram, hal.347)

Do’a merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah Swt. Orang yang enggan berdo’a maka termasuk orang-orang yang sombong. Berdo’a kepada Allah mempunyai kode etik atau tata krama, salah satunya adalah dengan mengangkat kedua tangan lalu mengusapkannya pada wajah ketika selesai seperti yang telah disyari’atkan Nabi.


(Do’a Bersama Umat Beragama dan Non muslim)

Berkumpul melakukan do’a bersama antar umat beragama, seperti yang telah dipelopori oleh Kyai Sholeh Bahruddin, beliau mengumpulkan tokoh-tokoh dari 6 agama yang berada di Indonesia, baik dari Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu, mereka semua berkumpul di Ponpes Ngalah dan berdo’a bersama. Bagaimanakah pandangan agama?

Dalam hal ini, terjadi beberapa pendapat di kalangan ulama’

1 Tidak boleh, karena do’anya non muslim tidak diterima serta dilarangnya tawasul dengan mereka. Diambil dari keterangan Kitab Hasyiyah al-Jamal:

لاَيَجُوْزُ اَلتَّأْمِيْنُ عَلىَ الدُّعاَءِ الْكاَفِرِ ِلاَنَّهُ غَيْرُ مَقْبُوْلٍ لِقَوْلِهِ تَعَالَى وَماَ دُعَاءُ اْلكاَفِرِيْنَ اِلاَّ فِىْ ضَلاَلٍ (حاشية الجمل ج2 ص 119)
Dan tidak boleh mengamini do’a orang kafir karena do’anya tidak diterima sesuai dengan firman Allah Swt. dan do’a (ibadah) orang-orang kafir itu, hanya sia-sia belaka.
(Hasyiyah al-Jamal, Juz II, hal. 119)

Dan sebagaimana yang telah dikatakan oleh Imam al-Rauyani dalam kitab Mughni al-Muhtaj:

لاَ يَجُوْزُ اَنْ يُّؤَمِّنَ عَلَى دُعَائِهِمْ كَمَا قَالَهُ اَلرُّوْياَنِىْ لِأَنَّ دُعاَءَ الْكاَفِرِ غَيْرُ مَقْبُوْلٍ (مغني المحتاج باب صلاة الاستسقاء , ج 1 ص 438)
Tidak boleh mengamini do’a mereka (orang kafir) sebagaimana pendapat yang dianut oleh Imam al-Rauyani, karena do’a mereka tidak akan diterima. (Mughni al-Muhtaj, bab Shalat Istisqo’ juz I, hal.438)

وَيُكْرَهُ إِخْرَاجُ اْلكُفَّارِ ِللْإِسْتِسْقاَءِ لِأَنَهُمْ اَعْداَءُ اللهِ فَلاَ يَجُوْزُ اَنْ يَتَوَسَّلَ بِهِمْ إِلَيْهِ فَإِنْ حَضَرُوْا وَتَمَيَّزُوْا لَمْ يُمْنَعُوْا ِلأَنَّهُمْ جَاءُوْا فِيْ طَلَبِ الرِّزْقِ. (المجموع ج 5 ص 69)


Dimakruhkan keluarnya orang-orang kafir untuk ikut shalat istisqo’ (meminta hujan) mengingat mereka adalah musuh-musuh Allah, maka tidak diperkenankan untuk bertawassul dengan mereka. Jika mereka ikut hadir dan keberadaan mereka berbeda dengan umat Islam, maka mereka tidak perlu dilarang karena mereka datang untuk mencari rizqi.(al-Majmu’, juz V, hal.69)


2 Makruh, jika perkumpulan tersebut berada di dalam musholla/masjid apalagi berbaurnya tersebut dilandasi hanya sekedar berkumpul tanpa ada tujuan yang positif.


( وَلاَ يَخْتَلِطُوْنَ ) أَهْلُ الذِّمَّةِ وَلاَ غَيْرُهُمْ مِنْ سَائِرِ الْكُفَّارِ ( بِناَ ) فِيْ مُصَلاَّناَ وَلاَ عِنْدَ الْخُرُوْجِ أَيْ يُكْرَهُ ذلِكَ بَلْ يَتَمَيَّزُوْنَ عَناَّ فِيْ مَكاَنٍ لِأَنَّهُمْ أَعْدَاءُ اللهِ تَعَالَى إِِذْ قَدْ يَحُلُّ بِهِمْ عَذَابٌ بِكُفْرِهِمْ فَيُصِيْبَناَ (مغنى المحتاج. ج 1 ص 323)

Orang kafir, baik dzimmi maupun orang kafir selain dzimi, itu tidak diperbolehkan menjadi satu majlis peribadatan kita, demikian halnya ketika kita keluar. Percampuran tersebut makruh, dan mereka harus berbeda dengan kita umat islam ketika berada dalam suatu tempat. Hal ini karena mereka musuh-musuh Allah Swt. yang suatu saat mereka akan ditimpa suatu adzab dengan kekufuran mereka itu dan adzab tersebut akan mengenai kita pula.
(Mughni al-Muhtaj, juz I, hal.323)

قَوْلُهُ : ( تَحْرُمُ مَوَدَّةُ الْكَافِرِ ) أَيْ الْمَحَبَّةُ وَالْمَيْلُ بِالْقَلْبِ وَأَمَّا الْمُخَالَطَةُ الظَّاهِرِيَّةُ فَمَكْرُوهَةٌ. (البجيرمي على الخطيب ج 4 ص 291)

Haram mencintai orang kafir yakni adanya rasa suka dan kecenderungan hati kepadanya. Sedangkan sekedar bergaul secara lahir saja maka hukumnya makruh. (al-Bujairami ‘ala al-Khatib, juz IV, hal.291)

3 Boleh, mengamini atau memimpin do’a bersama non muslim bahkan sunnah jika caranya tidak bertentangan dengan syari’at Islam dan isi do’anya memohon hidayah, pertolongan dan menjalin hubungan baik di dunia serta bermanfaat demi kemaslahatan umat atau untuk mencegah timbulnya sesuatu madharat yang tidak diinginkan.


وَالْوَجْهُ جَوَازُ التَّأْمِيْنِ بَلْ نَدْبُهُ إذَا دَعَا لِنَفْسِهِ بِالْهِدَايَةِ وَلَنَا بِالنَّصْرِ مَثَلًا. (تحفة المحتاج في شرح المنهاج باب صلاة الاستسقاء الزء 3 ص 553) 


Menurut salah satu pendapat: Boleh mengamini do’a orang kafir, bahkan sunnah jika ia berdo’a agar dirinya mendapatkan hidayah dan kita mendapatkan pertolongan. (Tuhfah Al-Muhtaj Fii Syarhi al-Minhaj bab shalat istisqo’ juz 3 hal. 553)


Keterangan yang sama terdapat dalam kitab Hasyiyah al-Jamal, juz II, hal.119)

وَثاَنِيْهَا (اَلْمُخَالِطَةُ) اَلْمُبَاشَرَةُ بِالْجَمِيْلِ فِى الدُّنْياَ بِحَسَبِ الظَّاهِرِ وَذلِكَ غَيْرُ مَمْنُوْعٍ (تفسير المنير ج 1 ص 94)
Yang kedua, tidak dilarang untuk bergaul (dengan orang-orang kafir) dengan pergaulan yang baik di dunia. (Tafsir Munir Lin Nawawi, juz I, hal.94)
أَمَّا مُعَاشَرَتُهُمْ لِدَفْعِ ضَرَرٍ يَحْصُلُ مِنْهُمْ أَوْ جَلْبِ نَفْعٍ فَلَا حُرْمَةَ فِيهِ ا هـ ع ش عَلَى م ر .(البجيرمي على الخطيب ج 4 ص 291)
Adapun bergaul dengan mereka untuk mencegah timbulnya madlarat yang mungkin dilakukan oleh mereka, ataupun mengambil sesuatu manfaat dari pergaulan tersebut, maka hukumnya tidak haram.
(al-Bujairami ‘ala al-Khatib, juz IV, hal.291)

(Berdo’a dengan Tawassul)
Tawassul artinya perantaraan. Kalau kita tidak sanggup menghadap langsung, kita perlu seorang perantara. Seperti contoh: kalau kita ingin menyampaikan aspirasi kita kepada presiden akan tetapi kita tidak bisa langsung bertemu dengan presiden maka kita menyampaikan aspirasi lewat menteri, apabila kita tidak bisa langsung lewat menteri kita menyampaikan aspirasi kita lewat sesneg atau lewat ajudan. Begitu juga kalau kita ingin menyampaikan suatu keinginan kepada Allah, apabila kita tidak bisa langsung ke Allah, maka kita mohon dengan perantaraan kekasih-Nya, para nabi, para syuhada’ dan orang-orang shaleh.

Sebagian orang mengatakan bahwa berdo’a dengan tawassul adalah syirik, serupa menyembah atau meminta kepada selain Allah, seperti yang telah dilakukan oleh banyak golongan yang meng-klaim, mengkafirkan umat Islam yang bertawassul ketika berdo’a. Sebenarnya bagaimanakah hukum tawassul ketika berdo’a, apakah ada dalil atau dasarnya?


Tawassul kepada Nabi, para sahabat dan orang-orang shaleh adalah merupakan salah satu cara atau perantara ketika berdo’a agar cepat diijabahi atau dikabulkan oleh Allah Swt.


Hukum tawasul adalah boleh bahkan di sunnahkan, karena para sahabat Nabi juga melakukan doa dengan tawassul, sebagaimana keterangan di bawah ini:


يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللَّهَ وَابْتَغُواْ إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُواْ فِي سَبِيْلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (35)

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.
(QS. al-Maidah:35)


وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَّسُوْلٍ إِلاَّ لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَّلَمُواْ أَنْفُسَهُمْ جَآؤُوْكَ فَاسْتَغْفَرُواْ اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُوْلُ لَوَجَدُواْ اللَّهَ تَوَّابًا رَّحِيْمًا (64)

Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika Menganiaya dirinya, datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
 (Q.S. al-Nisa’: 64)

Para sahabat Nabi juga melakukan tawassul ketika berdo’a, berikut ini dalil-dalil yang menerangkannya:


قاَلَ اِبْنُ تَيْمِيَّةِ فِي الصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيْمِ وَلاَفَرْقَ بَيْنَ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ كَماَ زَعَمَ بَعْضُهُمْ فَقَدْ صَحَّ عَنْ بَعْضِ الصَّحاَبَةِ اَنَّهُ اُمِرَ بَعْضُ الْمُحْتاَجِيْنَ أَنْ يَتَوَسَّلُوْا بِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ مَوْتِهِ فِيْ خِلاَفَةِ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَتَوَسَّلَ بِهِ فَقُضِيَتْ حاَجَتُهُ كَمَا ذَكَرَهُ الطَّبْرَانِىُّ .

Ibnu Taimiyyah berkata dalam kitabnya Shirat al-Mustaqim: Tak ada perbedaan antara orang yang masih hidup dengan orang yang sudah mati, seperti yang diasumsikan sebagian orang. Sebuah hadits sahih menegaskan: Telah diperintahkan kepada orang-orang yang memiliki hajat di masa khalifah Utsman untuk bertawassul kepada Nabi setelah beliau wafat. Kemudian, mereka bertawassul kepada Nabi, dan hajat mereka pun terkabul. Demikian diriwayatkan oleh ath-Thabrany.
(Al-Kawakib al-Durriyah juz 2 halaman 6)

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِيْنَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا قَالَ فَيُسْقَوْنَ رواه البخارى .

Dari sahabat anas, ia mengatakan: pada zaman Umar bin Khaththab pernah terjadi musim paceklik. Ketika melakukan shalat istisqa’ Umar bertawassul kepada paman Rasulullah, Abbas bin Abdul Muththalib: Ya Tuhan, dulu kami, mohon kepada-Mu dengan wasilah Nabi-Mu dan Engkau menurunkan hujan kepada kami, sekarang kami mohon kepada-Mu dengan tawassul paman Nabi-Mu, turunkanlah hujan kepada kami. Allah pun segera menurunkan hujan kepada mereka (HR. al-Bukhari)

Hadits ini diterangkan di berbagai kitab hadits antara lain yaitu:


Shahih al-Bukhary, bab sual an-Naas al-Imam Juz I, hal.128.


Musnad al-Shakhabah fii al-Kitab al-Tis’ah, bab musnad Umar bin Khaththab


Jumhurah al-Ajzaa’ juz 1 hal 78.


Kanzu al-Amal Fii Sunani al-Aqwaal


Musnad Abi ‘Uwanah, bab Ziyadaats Fii al-Istisqo’


Al-Akhad Wa al-Matsany, bab Dzikru Ahli Badrin Wa Fadhailihim Wa ‘Adadihim juz 1 hal.296.


Orang yang melakukan tawassul kepada orang yang shalih atau dengan seorang rasul itu bukan berarti menyembahnya akan tetapi untuk meminta bantuan (sebagai perantara) kepada Allah melalui kekasih-Nya. Dengan demikian tawassul dalam berdo’a membantu cepat terkabulnya do’a dan tidak bertentangan dengan syara’



(KESAHIHAN DALIL)

BUDAYA SELAMETAN 1-7 HARI, 40 HARI, 100 HARI, DAN HAUL BAGI ORANG YANG TELAH MENINGGAL

(Pengertian Selamatan atau Haul)

Kata ”haul” berasal dari bahasa Arab yang berarti telah lewat atau berarti tahun. Masyarakat Jawa menyebutnya ”khol utowo selametane wong mati” (haul atau selamatan untuk mendo’akan orang yang sudah meninggal) yaitu: suatu upacara ritual keagamaan untuk memperingati meninggalnya seorang Ulama’ (tokoh agama, kyai) atau salah satu dari anggota keluarga.


Dalil mengenai haul adalah berdasarkan hadits yang menerangkan bahwa junjungan kita Sayyidina Muhammad Saw. setiap tahun telah melakukan ziarah kubur pada syuhada’ uhud (para sahabat yang gugur waktu peperangan uhud) yang kemudian diikuti oleh sahabat Abu Bakar, Umar dan Utsman pada setiap tahun. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dari al-Waqidi:


عَنِ اْلوَاقِدِى قَالَ: كَانَ النَّبِـىُّ يَـزُوْرُ شُهَدَاءَ اُحُدٍ فِيْ كُلِّ حَوْلٍ وَاِذَا بَلَغَ رَفَعَ صَوْتـَهُ فَيَقُوْلُ: سَلاَمٌ عَلَيْكُمْ ِبـمَا صَبَرْتـُمْ فَـنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ . ثُمَّ اَبُوْ بَكْرٍ يَـفْعَلُ مِثْلَ ذٰلِكَ ثُمَّ عُمَرُ ثُمَّ عُثْمَانُ (رواه البيهقى)

 Al-Waqidy berkata: “Nabi Muhammad Saw. berziarah ke makam syuhada’ uhud pada setiap tahun, apabila telah sampai di makam syuhada’ uhud beliau mengeraskan suaranya seraya berdo’a: keselamatan bagimu wahai ahli uhud dengan kesabaran-kesabaran yang telah kalian perbuat, sungguh ahirat adalah tempat yang paling nikmat/sebaik-baik rumah peristirahatan. Kemudian Abu Bakar pun melakukannya pada setiap tahun begitu juga Umar dan Utsman. HR. Baihaqi. 
(Mukhtashar Ibnu Katsir, Juz 2 hal. 279)

Sedangkan selametan pada hari ke 1 sampai hari ke 7 setelah kematian adalah tradisi orang jawa kalau ada keluarga yang meninggal, tradisi atau budaya selametan tidaklah bertentangan dengan syara’, budaya tersebut berdasarkan pada hadits di bawah ini



Menurut golongan Madzhab Syafi’i


قَالَ طاَوُسُ: إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِى قُبُوْرِهِمْ سَبْعاً فَكَانُوْا يُسْتَحَبُّوْنَ أَنْ يُطْعِمُوْا عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَياَّمَ إِلىَ أَنْ قَالَ عَنْ عُبَيْدِ ابْنِ عُمَيْرٍ قَالَ: رَجُلاَنِ مُؤْمِنٌ وَمُناَفِقٌ فَأَمَّا الْمُؤْمِنُ فَيُفْتَنُ أَربَعِيْنَ صَبَاحاً. ( الحوى إلى فتوى للسيوطي، جز الثاني ص 178)
Imam Thawus berkata: Seorang yang mati akan memperoleh ujian dari Allah Swt. dalam kuburnya selama 7 hari. Untuk itu, sebaiknya mereka (yang masih hidup) mengadakan sebuah jamuan makan (sedekah) untuknya selama hari-hari tersebut. (Sampai kata-kata) Dari sahabat Ubaid Ibn Umair, dia berkata: Seorang mukmin dan seorang munafik sama-sama akan mengalami ujian dalam kubur. Bagi seorang mukmin akan beroleh ujian selama 7 hari, sedang seorang munafik selama 40 hari di waktu pagi. (al-Haway Ilaa Fatawa Lii al-Suyuty, juz 2 hal 178)

Perbedaan Pendapat Para Ulama’ Tentang Hukum Selametan 1-7 Hari, 40 Hari, 100 Hari dan Haul bagi Orang yang Telah Meninggal

Mengenai hukum haul dan selametan, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama’, tetapi mayoritas ulama’ dari empat madzhab berpendapat bahwa pahala ibadah atau amal shaleh (seperti: selametan) yang dilakukan oleh orang yang masih hidup bisa sampai kepada orang yang sudah meninggal. Namun di sini akan kami paparkan seputar khilaf para ulama’ mengenai hal ini baik yang memperbolehkan maupun yang tidak memperbolehkannya. Adapun berbagai pendapat ulama’ madzhab beserta dalil-dalilnya adalah seperti di bawah ini


1 Pendapat yang memperbolehkan


Menurut Ibnu Taimiyah

Syaikhul Islam Taqiyuddin Muhammad ibnu Ahmad ibn Abdul Halim (yang lebih populer dengan julukan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dari madzhab Hambali) dalam kitab Majmu’ al-Fatawa: juz 24 halaman 314-315, menjelaskan sebagai berikut ini:

اَمَّا الصَّدَقَةُ عَنِ الْمَيِّتِ فَـِانَّهُ يَنْـتَـفِعُ بِهَا بِاتِّـفَاقِ الْمُسْلِمِيْنَ. وَقَدْ وَرَدَتْ بِذٰلِكَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَحَا دِيْثُ صَحِيْحَةٌ مِثْلُ قَوْلِ سَعْدٍ ( يَا رَسُوْلَ اللهِ اِنَّ اُمِّيْ اُفْتـُلِتـَتْ نَفْسُهَا وَاَرَاهَا لَوْ تَـكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ فَهَلْ يَنْـفَـعُهَا اَنْ اَتَـصَدَّقَ عَنْهَا ؟ فَقَالَ: نَـعَمْ , وَكَذٰلِكَ يَـنْـفَـعُهُ الْحَجُّ عَنْهُ وَاْلاُ ضْحِيَةُ عَنْهُ وَالْعِتْقُ عَنْهُ وَالدُّعَاءُ وَاْلاِسْتِـْغفَارُ لَهُ بِلاَ نِزاَعٍ بَيْنَ اْلأَئِمَّةِ .


Adapun sedekah untuk mayit, maka ia bisa mengambil manfaat berdasarkan kesepakatan umat Islam, semua itu terkandung dalam beberapa hadits shahih dari Nabi Saw. seperti perkataan sahabat Sa’at “Ya Rasulallah sesungguhnya ibuku telah wafat, dan aku berpendapat jika ibuku masih hidup pasti ia bersedekah, apakah bermanfaat jika aku bersedekah sebagai gantinya?” maka Beliau menjawab “Ya”, begitu juga bermanfaat bagi mayit: haji, qurban, memerdekakan budak, do’a dan istighfar kepadanya, yang ini tanpa perselisihan di antara para imam”


Ibnu Taimiyah juga menjelaskan perihal diperbolehkannya menyampaikan hadiah pahala shalat, puasa dan bacaan al-Qur’an kepada mayit dalam kitab Fatawa: juz 24 halaman 322 sebagai berikut ini:


فَاِذَا اُهْدِيَ لِمَيِّتٍ ثَوَابُ صِياَمٍ اَوْ صَلاَةٍ اَوْ قِرَئَةٍ جَازَ ذَلِكَ

jika saja dihadiahkan kepada mayit pahala puasa, pahala shalat atau pahala bacaan (al-Qur’an/kalimah thayyibah) maka hukumnya diperbolehkan”

2 Menurut Imam Nawawi

Al-Imam Abu Zakariya Muhyiddin Ibn al-Syarof, dari madzhab Syafi’i yang terkenal dengan panggilan Imam Nawawi di dalam kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, Juz 5 hal. 258 menegaskan;

يُسْـتَـحَبُّ اَنْ يَـمْكُثَ عَلىَ اْلقَبْرِ بَعْدَ الدُّفْنِ سَاعَـةً يَدْعُوْ لِلْمَيِّتِ وَيَسْتَغْفِرُلَهُ. نَـصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِىُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ اْلاَصْحَابُ قَالوُا: يُسْـتَـحَبُّ اَنْ يَـقْرَأَ عِنْدَهُ شَيْئٌ مِنَ اْلقُرْأَنِ وَاِنْ خَتَمُوْا اْلقُرْأَنَ كَانَ اَفْضَلُ . (المجموع جز 5 ص 258)


Disunnahkan untuk diam sesaat di samping kubur setelah menguburkan mayit untuk mendo’akan dan memohonkan ampunan kepadanya”, pendapat ini disetujui oleh Imam Syafi’i dan pengikut-pengikutnya, dan bahkan pengikut Imam Syafi’i mengatakan “sunnah dibacakan beberapa ayat al-Qur’an di samping kubur si mayit, dan lebih utama jika sampai menghatamkan al-Qur’an”


Selain paparannya di atas Imam Nawawi juga memberikan penjelasan yang lain seperti tertera di bawah ini



وَيُـسْـتَحَبُّ لِلزَّائِرِ اَنْ يُسَلِّمَ عَلىَ اْلمَقَابِرِ وَيَدْعُوْ لِمَنْ يَزُوْرُهُ وَلِجَمِيْعِ اَهْلِ اْلمَقْبَرَةِ. وَاْلاَفْضَلُ اَنْ يَكُوْنَ السَّلاَمُ وَالدُّعَاءُ بِمَا ثَبـَتَ مِنَ اْلحَدِيْثِ وَيُسْـتَـحَبُّ اَنْ يَقْرَأَ مِنَ اْلقُرْأٰنِ مَا تَيَسَّرَ وَيَدْعُوْ لَهُمْ عَقِبَهَا وَنَصَّ عَلَيْهِ الشَّاِفعِىُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ اْلاَصْحَابُ. (المجموع جز 5 ص 258

Dan disunnahkan bagi peziarah kubur untuk memberikan salam atas (penghuni) kubur dan mendo’akan kepada mayit yang diziarahi dan kepada semua penghuni kubur, salam dan do’a itu akan lebih sempurna dan lebih utama jika menggunakan apa yang sudah dituntunkan atau diajarkan dari Nabi Muhammad Saw. dan disunnahkan pula membaca al-Qur’an semampunya dan diakhiri dengan berdo’a untuknya, keterangan ini dinash oleh Imam Syafi’i (dalam kitab al-Um) dan telah disepakati oleh pengikut-pengikutnya”

3 Menurut Imam Ibnu Qudamah

Al-‘Allamah al-Imam Muwaffiquddin ibn Qudamah dari madzhab Hambali mengemukakan pendapatnya dan pendapat Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab karyanya al-Mughny juz 2 hal. 566.

قَالَ: وَلاَ بَأْسَ بِالْقِراَءَةِ عِنْدَ اْلقَبْرِ . وَقَدْ رُوِيَ عَنْ اَحْمَدَ اَنَّـهُ قَالَ: اِذاَ دَخَلْتمُ الْمَقَابِرَ اِقْرَئُوْا اَيـَةَ اْلكُـْرسِىِّ ثَلاَثَ مِرَارٍ وَقُلْ هُوَ الله ُاَحَدٌ ثُمَّ قُلْ اَللَّهُمَّ اِنَّ فَضْلَهُ ِلأَهْلِ الْمَقَابِرِ .

Artinya “al-Imam Ibnu Qudamah berkata: tidak mengapa membaca (ayat-ayat al-Qur’an atau kalimah tayyibah) di samping kubur, hal ini telah diriwayatkan dari Imam Ahmad ibn Hambal bahwasanya beliau berkata: Jika hendak masuk kuburan atau makam, bacalah Ayat Kursi dan Qul Huwa Allahu Akhad sebanyak tiga kali kemudian iringilah dengan do’a: Ya Allah keutamaan bacaan tadi aku peruntukkan bagi ahli kubur.

4 Menurut golongan dari madzhab Syafi’i dalam kitab al-Adzkar al-Nawawi hal 150. dijelaskan lebih spesifik lagi seperti di bawah ini


وَذَهَبَ اَحْمَدُ ْبنُ حَنْبَلٍ وَجَمَاعَةٌ مِنَ اْلعُلَمَاءِ وَجَمَاعَةٌ مِنْ اَصْحَابِ الشَّاِفـِعى اِلىَ اَنـَّهُ يَـصِلُ . فَاْلاِ خْتِـيَارُ اَنْ يَـقُوْلَ الْقَارِئُ بَعْدَ فِرَاغِهِ: اَللََّهُمَّ اَوْصِلْ ثَـوَابَ مَا قَـرأْ تـُهُ اِلَى فُلاَنٍ . وَالله ُاَعْلَمُ

Imam Ahmad bin Hambal dan golongan ulama’ dan sebagian dari sahabat Syafi’i menyatakan bahwa pahala do’a adalah sampai kepada mayit. Dan menurut pendapat yang terpilih: “Hendaknya orang yang membaca al-Qur’an setelah selesai untuk mengiringi bacaannya dengan do’a:
اَللََّهُمَّ اَوْصِلْ ثَـوَابَ مَا قَـرأْ تـُهُ اِلَى فُلاَنٍ
Ya Allah, sampaikanlah pahala bacaan al-Qur’an yang telah aku baca kepada si fulan (mayit)

4 Menurut Fuqaha’ (Ulama’ ahli Fiqih) Ahlussunnah wal Jama’ah

Menurut jumhur fuqoha’ ahlussunnah wal jama’ah seperti yang telah diterangkan oleh al-‘Allamah Muhammad al-‘Araby mengutip dari hadits Rasulullah Saw. dari sahabat Abu Hurairah ra.
وَعَنْ اَبِـى هُرَيْرَةَ رَضِىَ الله ُعَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ دَخَلَ الْمَقَابِرَ ثُمَّ قَرَأ َفَاتِحَةَ اْلكِتَابِ وَقُلْ هُوَالله ُاَحَدٌ , وَاَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرْ , ثُمَّ قَالَ: اِنـِّى جَعَلْتُ ثَوَابَ مَا قَرَأْتُ مِنْ كَلاَمِكَ ِلأَهْلِ اْلـَمقَابِرِ مِنَ اْلمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ كَانُوْا شُفَعَاءَ لَهُ اِلَى اللهِ تَعَالىَ .
Dari Abi Hurairah ra. berkata, Rasulullah Saw. bersabda: “Barang siapa berziarah ke makam/kuburan kemudian membaca al-Fatikhah, Qul Huwa Allahu Akhad, dan Al-Hakumuttakatsur, kemudian berdo’a “sesungguhnya aku hadiahkan pahala apa yang telah kubaca dari firmanmu kepada ahli kubur orang mukmin laki-laki dan mukmin perempuan, maka pahala tersebut bisa mensyafaati si mayit di sisi Allah Swt”


Pendapat yang tidak memperbolehkan

at masyhur dari golongan madzhab Syafi’i bahwa pahala membaca al-Qur’an tidak bisa sampai pada mayit, hal ini diterangkan dalam kitab al-Adzkar al-Nawawi, hal 150.

وَاخْتَلَفَ اْلعُلَمَاءُ فِيْ وُصُوْلِ ثَوَابِ قِراَءَةِ اْلقُرْأَنِ فَالْمَشْهُوْرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِى وَجَمَاعَةٍ اَنَّهُ لاَيَصِلُ ,وَالله ُاَعْلَمُ.

Ulama’ berbeda pendapat dalam masalah sampainya pahala bacaan al-Qur’an kepada mayit, maka menurut pendapat yang masyhur dari madzhab syafi’i dan golongan ulama’ menyatakan tidak bisa sampai kepada mayit, dan Allah lah yang lebih mengetahui

Menurut Imam Malik

Menurut pendapat sebagian ulama’ pengikut madzhab Maliki dan Syafi’i bahwasanya pahala puasa, shalat sunnah dan bacaan al-Qur’an adalah tidak bisa sampai kepada mayit. Keterangan kitab Majmu’ al-Fatawa, Juz 24 hal. 314-315, yang berbunyi

وَاَمَّاالصِّـيَامُ عَنْهُ وَصَلاَةُ التَّطَوُعِ عَنْهُ وَقِرَاءَةُ اْلقُرْأَنِ عَنْهُ فَهٰذَا قَوْلاَنِ لِلْعُلَمَاءِ: اَحَدُهُمَا: يَـنْـتَـفِعُ بِهِ وَهُوَ مَذْهَبُ اَحْمَدَ وَأَبِىْ حَنِيْفَةَ وَغَيْرِهِمَا وَبَعْضُ اَصْحَابِ الشَّافِعِى وَغَيْرِهِمْ وَالثَّانِىْ: لاَتَصِلُ اِلَيْـهِ وَهُوَ اَلْمَشْهُوْرُ مِنْ مَذْهَبِ مَالِكٍ وَالشَّافِعِى.

Adapun puasa, shalat sunnah, dan membaca al-Qur’an untuk mayit ada dua pendapat salah satunya; Mayit bisa mengambil manfaat dengannya, pendapat ini menurut Imam Ahmad, Abu Hanifah dan sebagian sahabat Syafi’i yang lain, dan yang kedua; tidak sampai kepada mayit, ini menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Malik dan Imam Syafi’i.

( Rangkaian Acara Selametan atau Haul)

Dalam acara selamatan atau haul biasanya dirangkai dengan beberapa rangkaian acara sebagai berikut:


Khotmul Qur’an, yaitu membaca al-Qur’an 30 juz (mulai dari juz 1 s/d juz 30). Menurut Imam Nawawi di dalam kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, Juz 5 hal. 258 menegaskan bahwa disunnahkan untuk membacakan al-Qur’an untuk si mayit;


يُـسْـتَـحَبُّ اَنْ يَـمْكُثَ عَلىَ اْلقَبْرِ بَعْدَ الدَّفْنِ سَاعَـةً يَدْعُوْ لِلْمَيِّتِ وَيَسْـتَـغْفِرُ لَهُ. نَـصَّ عَلَيْهِ اَلشَّافِعِىُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ اَلاَصْحَابُ قَالوُا: يُـسْـتَـحَبُّ اَنْ يَـقْرَأَ عِنْدَهُ شَيْئٌ مِنَ اْلقُرْأَنِ وَاِنْ خَتَمُوْا َاْلقُرْأَنَ كَانَ اَفْضَلُ . المجموع: جز 5 ص 258.

Disunnahkan untuk diam sesaat di samping kubur setelah menguburkan mayit untuk mendo’akan dan memohonkan ampunan kepadanya”. Pendapat ini disetujui oleh Imam Syafi’i dan pengikut-pengikutnya, dan bahkan pengikut Imam Syafi’i mengatakan: “Sunnah dibacakan beberapa ayat al-Qur’an di samping kubur si mayit, dan lebih utama jika sampai menghatamkan al-Qur’an”

Tahlilan, Ibnu Taimiyah menegaskan masalah tahlil dengan keterangannya sebagai berikut:


إِذَا هَلَّلَ اْلاِنْسَانُ هٰكَذَا: سَبْعُوْنَ اَلْفًا اَوْاَقَلَّ اَوْ اَكْثَرَ وَاُهْدِيَتْ اِلَيْهِ نَـفَـعَـهُ اللهُ بِذٰلِكَ.

Jika seseorang membaca tahlil sebanyak 70.000 kali, kurang atau lebih dan (pahalanya) dihadiahkan kepada mayit, maka Allah memberikan manfaat dengan semua itu”. (Fatawa, 24/323)

Do’a yang dihadiahkan kepada si mayit, Syeh Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa ulama’ telah sepakat mengenai sampainya do’a dan istighfar (memohonkan ampunan) untuk mayit sebagaimana dalil di bawah ini:


اَلدُّعَاءُ وَاْلاِسْتِـغْـفَارُ وَهٰذَا مُجْمَعٌ عَلَيْهِ لِقَوْلِ اللهِ تَعَالىَ: (وَالَّذِيْنَ جَاءُوْ مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَناَ وَِلأِخْوَانِناَ الَّذِيْنَ سَبَقُوْناَ بِاْلاِيْمَانِ وَلاَتَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِناَ غِلاًّ ِللَّذِيْنَ أَمَنُوْا رَبَّنَا اِنَّكَ رَؤُوْفٌ رَّحِيْمٌ) وَتَقَدَّمَ قَوْلُ الرَّسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ (وَاِذاَصَلَّيْتُمْ عَلىَ اْلمَيِّتِ فَأَخْلِصُوْالَهُ اَلدُّعَاءَ) وَحُفِظَ مِنْ دُعَاءِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (اَللَّهُمَّ اْغفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّـتِـنَا) وَلاَزَالَ اَلسَّلَفُ وَالْخَلَفُ يَدْعُوْنَ لِْلأَمْوَاتِ وَيَسْأَلُوْنَ لَهُمْ الرَّحْمَةُ وَاْلغُفْرَانُ دُوْنَ اِنْكَارٍ مِنْ اَحَدٍ.

Do’a dan memohonkan ampun untuk mayit, pendapat ini telah menjadi kesepakatan Ulama’, hal ini berdasarkan firman Allah Swt. dalam al-Qur’an surah al-Hasyr ayat 10 (Dan orang-orang yang datang setelah mereka muhajirin dan anshar berdo’a: Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan iman, dan jangan engkau jadikan hati kami “mempunyai sifat” dengki kepada orang-orang yang beriman, Ya Tuhan kami sesungguhnya Engkau Maha penyantun dan Maha penyayang). Dan telah disebutkan sebelumnya sabda Rasulullah Saw. Jika kamu menyalati mayid, maka ikhlaslah dalam berdo’a. Dan juga do’a Rasulullah Saw. Ya Allah, ampunilah orang-orang yang hidup dan yang meninggal kami (umat Nabi). Ulama’ salaf dan khalaf selalu mendo’akan orang-orang meninggal dan mereka memohonkan kepadanya rahmat dan ampunan, tanpa seorang pun mengingkarinya”

Pengajian Umum, yang kadang dirangkai dengan pembacaan secara singkat sejarah orang yang dihauli, yang mencakup nasab, tanggal lahir dan wafat, jasa-jasa, serta keistimewaan yang patut diteladani. Hal ini sesuai dengan keterangan di bawah ini:


وَقَدْ يُذْكَرُ فِيْهِ مَنَاقِبُ الْمُتَوَفَّى وَذٰلِكَ مُسْـتَحْسَنٌ لِلْحَثِّ عَلىَ سُلُوْكِ طَرِيْقَتِهِ الْمَحْمُوْدَةِ كَمَا فِى الْجُزْءِ الثاَّنِىْ مِنَ اْلفَتَوَى اْلكُبْرَى

Terkadang dituturkan juga manaqib (biografi) orang yang telah meninggal, cara ini baik untuk mendorong orang lain agar mengikuti jalan (perilaku) terpuji yang telah dilakukan si mayit, sebagaimana telah diterangkan dalam kitab (Fatawa al-kubra juz II.)

Sedekah, diberikan kepada orang-orang yang berpartisipasi pada acara selametan, atau diserahkan langsung ke rumah tetangga (adat jawa: ater-ater atau weh-weh/saling memberi). Hal ini berdasarkan pada perintah Nabi dalam kitab Durratu al-Nasihin yang berbunyi


وَقاَلَ عَلَيْهِ الصَّلاَة ُوَالسَّلاَم ُ: (تَصَدَّقوُاْ عَنْ اَنـْفُـسِكُمْ وَعَنْ مَوْتاَكُمْ وَلَوْ بِشُرْبـَةِ مَاءٍ فَـاِنْ لَمْ تَـقْدِرُوْا عَلَى ذٰلِكَ فَـبِـاٰيَةٍ مِنْ كِتاَبِ اللهِ فَاِنْ لَمْ تَعْلَمُوْاشَـيْـأً مِنْ كِتاَبِ اللهِ فَادْعُوْابِالْمَغْفِرَةِ وَالرَّحْمَةِ فَقَدْ وَعَدَ كُمْ بِاْلاِجَابَةِ).

Rasulullah Saw. bersabda: “bersedekahlah kamu sekalian untuk dirimu sendiri dan untuk ahli quburmu walau hanya dengan seteguk air, jika kamu sekalian tidak mampu bersedekah dengan seteguk air maka bersedekahlah dengan satu ayat dari kitab Allah, jika kamu tidak mengetahui/tidak mengerti sesuatu dari kitab Allah, maka berdo’alah dengan memohon ampunan dan mengharap rahmat Allah, maka sesungguhnya Allah Swt. telah berjanji akan mengabulkan”. (Durratu al-Nasihin, hal. 95)

Imam Nawawi berpendapat bahwa

اَلصَّـدَقَةُ: وَقَدْ حَكىَ اَلنَّوَوِىُّ اَلاِجْمَاعَ عَلىَ اَنَّهَا تَقَعُ عَنِ اْلمَيِّتِ وَيَصِلُهُ ثَوَبُهَا سَوَاءٌ كَانَتْ مِنْ وَلَدٍ أَوْ مِنْ غَيْرِهِ . لِـمَا رَوَاهُ اَحْمَدُ وَمُسْلِمٌ وَغَيْرُهُمَا عَنْ اَبِـىْ هُرَيْرَةَ: اِنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّـبِىْ: اِنَّ أَبِـيْ مَاتَ وَتَرَكَ مَـالاً وَلَمْ يُوْصِ فَهَلْ يُكَفِّـْر عَنْهُ اَنْ اَتـَصَدَّقَ عَنْهُ ؟ قَالَ النَّـِبىْ , نَـعَـمْ.
Sedekah (shadaqah) itu dapat diambil manfaatnya oleh mayit dan pahalanya pun sampai kepadanya, baik sedekah dari anaknya (keluarga) maupun selain anak (orang lain), dan ini sudah menjadi kesepakatan Ulama’, karena hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Muslim dan lainnya. Dari Abi Hurairah ra.: Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi Saw.: Bapak saya telah meninggal, dia meninggalkan harta dan tidak meninggalkan wasiat. Apakah dapat menebus dosanya jika aku bersedekah sebagai gantinya?. Nabi menjawab: Ya, bisa. (Kitab Peringatan Haul hal. 23-26)

(WAKAF DAN MASJID)

Hukum Menjual Barang Wakaf
Sebelum membahas tentang hukum menjual barang wakaf, perlu kita ketahui pengertian wakaf terlebih dahulu, pengertian wakaf adalah sebagai berikut:

اَلْوَقَفُ لُغَةً اَلْحَبْسُ وَشَرْعًا حَبْسُ مَالِ عَيْنٍ قَابِلٍ لِلنَّقْلِ يُمْكِنُ الْاِنْتِفَاعُ بِهِ مَعَ بَقَاءِ عَيْنِهِ تَقَرُّباً اِلَى اللهِ.

Wakaf secara bahasa mempunyai arti menahan. Sedangkan menurut istilah adalah menahan bentuk harta yang dapat dipindah, diambil manfaatnya serta tetap bentuk barangnya yang dikerjakan karena Allah Swt.

Barang waqaf haruslah dimanfaatkan sesuai dengan keinginan waqif (orang yang mewaqafkan), namun terkadang terjadi kebingungan dalam mengelola barang waqafan yang sudah rusak atau kurang memberikan manfaat.


Para ulama’ berbeda pendapat mengenai hukum barang wakaf, apakah barang wakaf boleh dijual karena sebab-sebab tertentu dan kemudian hasil penjualan itu dibelanjakan dengan barang lain?


Dalam masalah ini ada tiga pendapat

Menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i: Barang wakaf tidak boleh dijual.

Menurut Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Abu Hanifah: Boleh menjual barang wakaf dan kemudian membelanjakan hasil dari penjualannya dengan barang yang semisal atau barang lain yang lebih bermanfaat.


Menurut Imam Muhammad: Barang wakaf tersebut dikembalikan kepada pemiliknya yang pertama


Diterangkan dalam kitab Rahmat al-Ummah fi Ikhtilaaf al-Ummah, hal 186 dan dalam kitab Jawahir al-‘Uqud juz 1 hal.254.


فَصْلٌ: وَاتَّفَقُوْا عَلَى أَنَّهُ إِذَا خَرِبَ الْوَقْفُ لَمْ يَعُدْ إِلَى مِلْكِ الْوَاقِفِ. ثُمَّ اخْتَلَفُوْا فِيْ جَوَازِ بَيْعِهِ، وَصَرْفِ ثَمَنِهِ فِيْ مِثْلِهِ، وَإِنْ كاَنَ مَسْجِدًا. فَقَالَ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ: يَبْقَى عَلَى حاَلِهِ فَلاَ يُباَعُ. وَقاَلَ أَحْمَدُ: يَجُوْزُ بَيْعُهُ وَصَرْفُ ثَمَنِهِ فِيْ مِثْلِهِ. وَكَذلِكَ فِيْ الْمَسْجِدِ إِذَا كاَنَ لاَ يُرْجَى عَوْدُهُ. وَلَيْسَ عِنْدَ أَبِيْ حَنِيْفَةَ نَصٌّ فِيْهَا وَاخْتَلَفَ صاَحِبَاهُ فَقَالَ أَبُوْ يُوْسُفَ: لاَ يُباَعُ. وَقَالَ مُحَمَّدُ: يَعُوْدُ إِلَى ماَلِكِهِ اْلاَوَّلِ. (جواهر العقود ج 1 ص 254)


Diterangkan dalam kitab Ahkamul Fuqaha’, juz 2 hal 74;

هَلْ يَجُوْزُ لِنَاظِرِ اْلأَرْضِ الْمَوْقُوْفَةِ عَلَى الْمَسْجِدِ أَنِ يَسْتَبْدِلَ لَهَا بِأُخْرَى الَّتِى هِيَ أَكْثَرُ مَنْفَعَةٍ مِنَ اْلأُوْلَى أَوْلاَ؟ الجواب: يَحْرُمُ إِسْتِبْدَالُ اْلأَرْضِ الْمَوْقُوْفَةِ وَيَجُوْزُ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ إِنْ كَانَتْ أَكْثَرَ نَفْعًا إهــ (احكام الفقهاء ج 2 ص 74)
Bolehkah bagi pengelola tanah waqafan untuk masjid, menukar tanah tersebut dengan tanah lain yang lebih banyak manfa’atnya? Jawab “Haram menukar barang atau tanah waqaf. Dan menurut madzhab hanafiyah boleh menjualnya jika lebih banyak manfa’atnya”

(Uang Kotak Amal)
Apakah uang hasil dari kotak amal jariyah di masjid-masjid itu termasuk barang wakaf?
Uang dari hasil kotak amal bukan termasuk barang wakaf, karena uang tersebut tidak termasuk dalam kategori barang yang boleh diwakafkan, yakni tidak Baqa’ul ‘Ain (habis setelah dibelanjakan), juga tanpa adanya sighat wakaf. Sebagaimana keterangan sebagai berikut ini


وَالْوَقْفُ جَائِزٌ بِثَلَاثَةِ شَرَائِطَ وَفِى بَعْضِ النُّسَخِ اَلْوَقْفُ جَائِزٌ وَلَهُ ثَلَاثَةُ شُرُوْطٍ اَحَدُهَا اَنْ يَكُوْنَ الْمَوْقُوْفُ مِمَّا يُنْتَفَعُ بِهِ مَعَ بَقَاءِ عَيْنِهِ (فتح القريب هامش الباجورى ج 2 ص 42 )


وَاِنْ مَلَكَ لِاَجْلِ الْاِحْتِيَاجِ اَوِ الثَّوَابِ مِنْ غَيْرِ الصِّيْغَةِ كَانَ صَدَقَةً فَقَطْ (اعانة الطالبين ج 3 ص 144)


وَالْمُرَادُ بِالْمَالِ الْمُعَيِّنَةِ بِشَرْطِهَا الاَّتِىْ غَيْرُ الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيْرِ لِاَنَّهَا تَنْعَدِمُ بِصَرْفِهَا فَلَايَبْقَى لَهَا عَيْنٌ مَوْجُوْدَةٌ ( اعانة الطالبين ج 3 ص 157 )


Kewenangan Takmir


Takmir adalah orang yang mengabdikan dirinya untuk merawat masjid dan melayani kebutuhan orang yang ada kaitannya dengan fasilitas masjid demi kenyamanan para jama’ah dalam melaksanakan ibadah, sehingga dibutuhkan tenaga takmir secara rutin untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan dalam masjid, maka dari itu sudah layak kalau takmir masjid mendapatkan bisyarah dari kinerjanya tersebut. Bagaimana hukum takmir masjid yang mengeluarkan uang masjid untuk kepentingan bisyarah ta’mir atau nadhir?

Jawaban permasalahan ini ditafsil sebagai berikut:

1 Tidak boleh, jika tidak mendapat izin dari hakim atau masyarakat.


وَاَلَّذِي يَظْهَرُ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لِلنَّاظِرِ أَنْ يَسْتَقِلَّ بِأَخْذِ ما شُرِطَ لَهُ


( الفتوى الكبرى الفقهية ج 3 ص 278 )


2 Boleh, jika jumlahnya di bawah upah minimum/shadaqah.

وَاَفْتىَ ابْنُ الصَّباَغِ بِاَنَّهُ اَلْاِسْتِقْلَالُ بِذَالِكَ مِنْ غَيْرِ الْحَاكِمِ ( قَوْلُهُ اَلْاِسْتِقْلَالُ بِذَالِكَ ) اَىْ بِأَخْذِ الْاَقَلِّ مِنْ نَفَقَةٍ وَاُجْرَةِ مِثْلِهِ ( اعانة الطالبين ج 3 ص 186)

Uang Masjid Untuk Bisyarah Khatib Shalat Jum’at


Bagaimana hukum membelanjakan uang dari kotak amal jariyah masjid untuk kebutuhan finansial, (misal, untuk bisyaroh khatib)


Boleh mengalokasikan sebagian hasil kotak amal jariyah masjid untuk orang yang berkhotbah (khatib) yang bersangkutan, karena hal ini termasuk membelanjakan untuk kepentingan masjid, seperti membeli lampu, membayar biaya listrik, pengeras suara, dan lain sebagainya


(مَسْأَلَةٌ : ي) : لَيْسَ لِلنَّاظِرِ الْعَامِ وَهُوَ الْقَاضِيُّ أَوِ اْلوَالِيُّ النَّظِرِ فِيْ أَمْرِ الْأَوْقَافِ وَأَمْوَالِ الْمَسَاجِدِ مَعَ وُجُوْدِ النَّاظِرِ الْخَاصِّ الْمُتَأَهِّلِ ، فَحِيْنَئِذٍ فَمَا يَجْمَعُهُ النَّاسُ وَيُبْذِلُوْنَهُ لِعِماَرَتِهَا بِنَحْوِ نَذَرٍ أَوْ هِبَةٍ وَصَدَقَةٍ مَقْبُوْضِيْنَ بِيَدِ النَّاظِرِ أَوْ وَكِيْلِهِ كَالسَّاعِي فِي الْعِمَارَةِ بِإِذْنِ النَّاظِرِ يَمْلِكُهُ الْمَسْجِدُ ، وَيُتَوَلَّى النَّاظِرُ اَلْعِمَارَةَ بِالْهَدْمِ وَالْبِنَاءِ وَشِرَاءِ اْلآلَةِ وَاْلاِسْتِئْجَارِ ، (بغية المسترشدين ص 65 )


Menghiasi Masjid
Seringkali kita menemukan hiasan-hiasan di dinding masjid seperti hiasan yang berbentuk kaligrafi yang sengaja dibuat atau ditempel untuk menghias dan menambah keindahan masjid, akan tetapi sangat disayangkan terkadang dalam kondisi shalat mata kita tanpa sengaja terpesona melihat hiasan tersebut sehingga membuat konsentrasi pikiran dan kekhusyukan hati menjadi terganggu. Dari fenomena tersebut, bagaimanakah hukum menghiasi masjid?

3 Makruh, apabila hiasan tersebut dapat mengganggu kekhusyukan orang yang shalat.


Boleh, apabila hiasan tersebut tidak mengganggu kekhusyukan orang yang shalat. Keterangan kitab al-Majmu’ juz 3 hal. 180:


وَيُكْرَهُ زُخْرِقَةُ الْمَسْجِدِ وَنَقْشُهُ وَتَزِيْنُهُ لِلْاَحاَدِيْثِ الْمَشْهُوْرَةِ وَلِأَنَّهُ لاَتَشْتَغِلُ قَلْبَ الْمُصَلِّى اَلنَّاسُ اهـ ( المجموع شرح المهذب جز 3 ص 180 )

Menghiasi masjid hukumnya makruh, karena bisa mengganggu ketenangan orang shalat. (al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, juz III, hal. 180)

Hukum boleh dalam masalah ini, diambil dari mafhum mukhalafah dalil di atas yaitu: apabila hiasan untuk masjid tidak mengganggu orang yang shalat maka hukum menghiasi masjid adalah boleh.


(Hukum Makan di Dalam Masjid)

Di kalangan warga nahdliyin berkembang beberapa budaya yang sering dilakukan, seperti halnya selamatan, tasyakuran dalam rangka memperingati maulid nabi Muhammad Saw. (mauludan) dan acara-acara yang lain. Dalam hal ini masjid sering dipilih sebagai tempat untuk melaksanakan acara tersebut, sehingga setelah acara selesai, para jama’ah menyajikan makanan dan minuman lalu mereka menyantapnya di dalam masjid. Bagaimanakah hukum makan dan minum di dalam masjid?


1 Tidak boleh, apabila berkeyakinan atau mempunyai perkiraan akan mengotori masjid.


2 Boleh, dengan syarat tidak sampai mengotori masjid


واَلتَّضَيُّفُ فِى الْمَسْجِدِ الْباَدِيَةِ يَكُوْنُ بِاِطْعاَمِ الطَّعَامِ النَّاشِفِ كَالتَّمْرِ لاَ اِنْ كَانَ مُقَذِّرًا كَالطَّبْحِ وَالبِطِّيْحِ وَاِلاَّ حَرُمَ اِلاَّ بِنَحْوِ سُفْرَةٍ تُجْعَلُ تَحْتَ اْلاِنَاءِ بِحَيْثُ يَغْلِبُ عَلَى الظَّنِّ عَدَمُ التَّقْذِيْرِ فَالظَّاهِرُ اَنَّهُ يَقُوْمُ مَقَامَ النَّاشِفِ (فتاوى العلامة الشيخ حسين ابراهيم المقري فى فصل أحكام المساجد )

Penjamuan dalam masjid di pedesaan dengan menyuguhkan makanan kering seperti kurma hukumnya boleh, dan diharamkan jika bisa mengotori masjid seperti makanan basah semisal semangka, kecuali jika menggunakan alas (bejana) yang sekiranya kuat dugaan tidak akan mengotori masjid. Dalam hal ini sama dengan makanan yang kering (hukumnya boleh). (Fatawi al-Allamah al-Syaikh Husain Ibrahim al-Muqarri dalam Fasal Ahkami al-Masajidi)

(Pengertian Zakat)

Zakat adalah mengeluarkan sebagian harta untuk diberikan pada yang berhak menerima zakat. Dalam literatur fiqih pada bab zakat para ulama’ madzhab sepakat bahwa golongan orang-orang yang berhak menerima zakat ada delapan, antara lain:


Fakir, yaitu orang yang selalu tidak mampu memenuhi kebutuhan makan dalam sehari.


Miskin, yaitu orang yang kurang bisa memenuhi kebutuhan, tetapi masih bisa mengusahakan.


Amil, yaitu orang yang diberi tugas untuk mengelola zakat.


Mu’alaf, yaitu orang yang baru masuk Islam.


Budak, yang melakukan penebusan dirinya untuk merdeka.


Ghorim, yaitu orang yang terbebani banyak hutang melebihi jumlah hartanya.


Sabilillah, yaitu orang yang berperang di jalan Allah, meskipun kaya.


Ibnu Sabil, yaitu orang yang kehabisan bekal selama dalam perjalanan dengan tujuan baik.

(Hal ini diterangkan dalam kitab Tanwir al-Qulub halaman 226)

Tujuan Zakat
Zakat disamping sebagai rukun Islam yang ke tiga juga merupakan ibadah malliyah (yang berhubungan dengan harta). Serta dapat dijadikan sebagai jalan seorang hamba untuk mendekatkan dirinya kepada sang khalik. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Fiqih Wadlhih;

اَلزَّكاَةُ عِباَدَةٌ مَالِيَةٌ يَتَقَرُّبُهَا اْلعَبْدُ اِلىَ خاَلِقِهِ عَزَّ وَجَلَّ فَإِذَا اَدَاهَا كاَمِلَةً عَلَى وَجْهِهَا الصَّحِيْحُ رَاضِيَةً بِهَا نَفْسُهَا مُبْتَغِيًّا بِهَا وَجْهَ رَبِّهِ تَعَالَى غَيْرَ مُرَاءٍ بِهَا النَّاسَ كاَنَ سَبَباً فِى نَجَاتِهِ مِنْ عَذَابِ النَّارِ وَدُخُوْلِهِ الْجَنَّةَ كَماَ صَرَحَتْ بِهَا اْلاَيَاتُ اْلقُرْاَنِيَّةُ وَاْلاَحاَدِيْثُ النَّبَوِيَّةُ. ( الفقه الواضح من الكتاب والسنة, ج 1 ص 464)

Zakat merupakan ibadah malliyah yang dapat dijadikan oleh seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada sang khalik azza wajalla. Jika seorang hamba menunaikannya dengan sempurna, sesuai dengan aturan yang benar, ikhlas dan hanya mencari ridla Allah Swt., tidak ada maksud ingin dipuji orang, maka akan menjadi sebab terbebasnya dari adzab api neraka, dan masuk ke dalam surga, sebagaimana telah ditegaskan ayat al-Qur’an dan hadits Nabi
(al-Fiqih al-Wadlhih Min al-Kitab Waa al-Sunnah , juz I, hal.464)

Dan juga dijelaskan dalam hadits Sahih Bukhari


عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ حِيْنمَاَ بَعَثَهُ إِلَى اْليَمَنِ : فَاعْلَمْهُمْ أَنَّ اللهَ اِفْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ اَغْنِياَئِهِمْ فَتُرَدَّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ. (صحيح البخاري رقم 1308)

Diriwayatkan dari Ibnu Abas bahwa Nabi bersabda kepada Mua’adz bin Jabal ketika mengutusnya ke Yaman (Wahai Mu’adz) beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah Swt. mewajibkan kepada mereka untuk mengeluarkan zakat yang diambil dari orang-orang kaya diantara mereka dan diberikan kepada orang-orang fakir diantara mereka. (Sahih Bukhari,[1308])

Dengan demikian dapat kita pahami bahwa zakat adalah sebagai sarana untuk membangun hubungan rohani dengan Allah Swt. (hablun min Allah) dan juga terdapat aspek sosial (hablun min an-nas) yang terletak pada semangat kepedulian sosial yang menjadi misi utama ibadah ini, yakni zakat diwajibkan kepada orang-orang yang memiliki harta lebih dan diperuntukkan bagi orang-orang yang membutuhkan.


(Pembagian Zakat)

Zakat ada dua macam
Zakat mal (zakat harta)
 Zakat fitra

Jenis barang yang wajib dikeluarkan zakatnya ada 5 macam:

Hewan ternak, seperti kambing, sapi, unta

Emas dan perak

Hasil pertanian, seperti padi, kedelai, kacang dan lain lain


Hasil pertanian, Seperti jenis buah-buahan


Harta yang diperdagangkan.


Zakat Fitrah


Syarat wajib zakat fitrah:

Islam.

Merdeka.
Memiliki kelebihan biaya untuk dirinya beserta keluarganya dan dari biaya pembayaran hutang, diwaktu hari raya.
Diterangkan dalam kitab Nihayah al-Zain halaman 173.

( وَتَجِبُ الْفِطْرَةُ عَلَى حُرٍّ بِغُرُوْبِ لَيْلَةِ فِطْرٍ عَمَّنْ تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ وَلَوْ رَجْعِيَّةً إِنْ فَضَلَ عَنْ قُوْتِ مَمُوْنٍ ) لَهُ ( يَوْمَ عِيْدٍ وَلَيْلَتِهِ وَعَنْ دَيْنٍ ) كَمَا اعْتَمَدَهُ اِبْنُ حَجَرٍ تَبَعًا لِلْمَاوَرْدِيِّ كَقَوْلِ إِمَامِ الْحَرَمَيْنِ دَيْنُ اْلآدَمِيْ يَمْنَعُ وُجُوْبَ الْفِطْرَةِ بِالْاِتِّفَاقِ ( وَمَا يُخْرِجُهُ فِيْهَا ) أَيْ اَلْفِطْرَةِ . نهاية الزين ص 173

Adapun barang yang digunakan untuk berzakat adalah berupa makanan pokok di daerah masing-masing, misalnya beras, gandum, sagu dan lain sebagainya. Ukuran barang yang dikeluarkan untuk zakat fitrah adalah 1 sha’ (4 mud) atau 2,5 kg atau lebih.

(وَهِيَ) اَىْ زَكاَةُ الْفِطْرِ (صَاعً) وَهُوَ أَرْبَعَةُ أَمْدَادٍ وَالْمُدُّ رِطْلٌ وَثُلُثٌ فَلاَ تُجْزِئُ مِنْ غَيْرِ غاَلِبِ قُوَّتِهِ أَوْ قُوَّتٍ مُؤَدٍّ أَوْ بَلَدِهِ لِتَشَوُّفِ النُّفُوْسِ لِذَلِكَ (فتح المعين : 50)


تُجِبُ زَكاَةُ اْلفِطْرِ بِغُرُوْبِ الشَّمْسِ لَيْلَةَ اْلعِيْدِ عَلَى مَنْ مَلَكَ صَاعًا - وَهُوَ أَرْبَعَةُ أَمْدَادٍ وَالْمُدُّ رِطْلٌ وَثُلُثٌ ( التذكرة الباب فصل زكاة الفطر الجوء 1 ص 73 )


(Pengertian Sabilillah dalam Zakat)

Termasuk al-Ashnaf al-Tsamaniyah (delapan golongan yang berhak menerima zakat) yang disebutkan dalam al-Qur’an adalah golongan Fii sabilillah. Apakah yang dimaksud Fii sabilillah dalam ayat itu?


Mengenahi permasalahan ini ada beberapa pandangan;

Mereka yang berperang membela agama Allah.

Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Tafsir al-Jalalain hal. 420

(وَفِىْ سَبِيْلِ اللهِ) أَيْ اَلْقَائِمِيْنَ باِلْجِهَادِ مِمَّنْ لاَ فَيْءَ لَهُمْ وَلَوْ أَغْنِيَاءَ
(تفسير الجلالين, سورة التوبة اية 60 ص 162 )
Fisabilillah artinya adalah orang-orang yang melaksanakan jihad/berperang (peperangan membela agama Allah. Yakni orang-orang yang tidak mendapatkan harta fai’ (harta yang diperoleh dari rampasan perang) meskipun tergolong kaya-raya. (Tafsir al-Jalalain hal.162)

Menurut ulama’ ahli fiqih yang dikutip oleh Imam Qoffal, yang dimaksud sabilillah adalah mencakup kepada semua bentuk kebaikan. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Tafsir al-Munir juz I, hal.344


وَنَقَلَ الْقَفَّالُ عَنْ بَعْضِ الْفُقَهَاءِ أَنَّهُمْ أَجاَزُوْا صَرْفَ الصَّدَقاَتِ إِلَى جَمِيْعِ وُجُوْهِ الْخَيْرِ : مِنْ تَكْفِيْنِ الْمَوْتىَ وَبِناَءِ الْحُصُوْنِ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ لِأَنَّ قَوْلُهُ تَعاَلَى فِىْ سَبِيْلِ اللهِ عاَمٌ فِى اْلكُلِّ. (تفسير المنير : ج 1 ص 344)

Menurut sebagian ulama’ ahli Fiqih yang dikutip oleh al-Qoffal bahwa sesungguhnya mereka itu memperbolehkan pentasarufan zakat untuk semua bentuk kebaikan, seperti untuk mengkafani mayit, membangun benteng dan memperbaiki masjid, karena firman Allah Swt. Fii sabilillah itu umum bisa mencakup semuanya. (Tafsir al-Munir, juz I, hal.344)

(Zakat Fitrah untuk Guru Ngaji dan Kyai)
Tradisi di kampung biasanya zakat masyarakat sekitar diberikan kepada kyai dan guru ngaji. Bagaimana hukumnya?

Sebagaimana dijelaskan bahwa yang berhak menerima zakat hanya terbatas pada delapan golongan saja, sementara yang lain tidak boleh menerimanya. Dalam hal ini terdapat perincian:


1 Tidak boleh menerima zakat apabila tergolong orang yang mampu.

2 Boleh menerima zakat bagi guru ngaji yang tidak mampu dikarenakan waktunya dihabiskan untuk mengajarkan ilmunya, sebagaimana diterangkan dalam kitab I’anah al-Thalibin, juz II, hal. 189.

( وَاعْلَمْ ) أَنَّ ماَ لاَ يَمْنَعُ اْلفَقْرَ مِمَّا تَقَدَّمَ لاَ يَمْنَعُ الْمِسْكِنَةَ أَيْضاً كَمَا مَرَّ اَلتَّنْبِيْهُ عَلَيْهِ وَمِمَّا لاَ يَمْنَعُهُمَا أَيْضاً اِشْتِغاَلُهُ عَنْ كَسْبٍ يَحْسِنُهُ بِحِفْظِ الْقُرْآنِ أَوْ بِالْفِقْهِ أَوْ بِالتَّفْسِيْرِ أَوِ الْحَدِيْثِ أَوْ ماَ كاَنَ آلَةٌ لِذَلِكَ وَكاَنَ يُتَأَتَّى مِنْهُ ذَلِكَ فَيُعْطَى لِيَتَفَرَّغَ لِتَحْصِيْلِهِ لِعُمُوْمِ نَفْعِهِ وَتَعْدِيْهِ وَكَوْنِهِ فَرْضُ كِفَايَةٍ (اعانة الطالبين,ج 2 ص 189)

Termasuk sesuatu yang tidak mencegah keduanya (status fakir dan miskin) adalah seseorang yang meninggalkan pekerjaan yang dapat memperbaiki ekonominya karena waktunya hanya tersita untuk menghafal al-Qur’an, memperdalam ilmu fiqih, tafsir atau hadits, atau ia sibuk melaksanakan sesuatu yang menjadi wasilah tercapainya ilmu tersebut. Maka orang-orang tersebut dapat diberi zakat, agar mereka dapat melaksanakan usahanya itu secara optimal. Sebab manfaatnya akan dirasakan serta mengena kepada masyarakat umum, disamping itu perbuatan itu juga merupakan fardhu kifayah. 
(I’anah al-Thalibin, juz II, hal. 189)

Boleh menerima zakat meskipun kaya raya, karena guru ngaji atau kyai adalah termasuk orang yang berjuang di jalan kebaikan, maka termasuk kriteria Fii sabilillah, sebagaimana pendapat sebagian ulama’ Fiqih.


وَنَقَلَ الْقَفَّالُ عَنْ بَعْضِ الْفُقَهَاءِ أَنَّهُمْ أَجاَزُوْا صَرْفَ الصَّدَقاَتِ إِلَى جَمِيْعِ وُجُوْهِ الْخَيْرِ : مِنْ تَكْفِيْنِ الْمَوْتىَ وَبِناَءِ الْحُصُوْنِ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ لِأَنَّ قَوْلُهُ تَعاَلَى فِىْ سَبِيْلِ اللهِ عاَمٌ فِى اْلكُلِّ. (تفسير المنير : ج 1 ص 344)

Menurut sebagian ulama’ ahli Fiqih yang dikutip oleh al-Qoffal bahwa sesungguhnya mereka itu memperbolehkan pentasarufan zakat untuk semua bentuk kebaikan, seperti untuk mengkafani mayit, membangun benteng dan memperbaiki masjid, karena firman Allah Swt. Fii sabilillah itu umum bisa mencakup semuanya. (Tafsir al-Munir, juz I, hal.344)

(Zakat Diberikan Kepada Santri)
Golongan yang berhak menerima harta zakat sebanyak delapan macam golongan diantaranya adalah fii sabilillah, artinya berjuang di jalan Allah Swt. Dari pemahaman ini bolehkah para santri menerima zakat

Ada perbedaan pandangan di kalangan ulama’ mengenai hal ini, sebagaimana berikut:


Menurut Jumhur Ulama’: Santri tidak boleh menerima zakat kalau atas nama Fii sabilillah.


Sebagaimana telah dijelaskan dalam kitab Hasyi’ah al-Shawi


( وَفِىْ سَبِيْلِ اللهِ أَيِّ الْقَائِمِيْنَ باِلْجِهَادِ مِمَّنْ لاَ فَيْءَ لَهُمْ وَلَوْ اَغْنِيَاءَ ) وَ يَشْتَرِىْ مِنْهاَ أَلَتَهُ مِنْ سِلاَحٍ وَ دَرْعٍ وَ فَرَسٍ . ( حاشية الصاوى على تفسير الجلالين,ج 2 ص 53 )

Dan (Zakat juga diberikan) kepada orang-orang yang menegakkan agama Allah Swt. yakni mereka yang melaksanakan perang di jalan Allah Swt. yaitu orang-orang yang tidak mendapatkan harta fai’ (rampasan perang) meskipun tergolong kaya raya. Dan zakat itu digunakan untuk membeli peralatan perang, seperti: persenjataan, perisai dan kuda. (Hasyiah al-Shawi’ Ala Tafsir al-Jalalain, hal. 53)

Menurut Imam Malik: Santri boleh menerima zakat

Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Hasyiah al-Shawi:

وَ مَذْهَبُ ماَلِكٍ أَنَّ طَلَبَةَ الْعِلْمِ اَلْمُنْهَكِّيْنَ فِيْهِ لَهُمْ اَلْأَخْذُ مِنَ الزَّكاَةِ وَلَوْ أَغْنِيَاءَ اِذَا اْنقَطَعَ حَقُّهُمْ مِنْ بَيْتِ الْمَالِ, لِأَنَّهُمْ مُجَاهِدُوْنَ اهـ ( حاشية الصاوى على تفسير الجلالين,ج 2 ص 53 

Orang-orang yang memprioritaskan seluruh waktunya untuk mencari ilmu, diperbolehkan menerima zakat, meskipun mereka tergolong kaya raya. Dengan syarat mereka sudah tidak mendapatkan jatah dari Baitul Maal. Karena sesungguhnya mereka itu termasuk golongan para pejuang". (Hasyiah al-Shawi ‘Ala Tafsir Jalalain, hal. 53)


(Hukum Zakat untuk Masjid dan Pesantren)
Hukum harta zakat dialokasikan pada pembangunan masjid, pondok pesantren, sekolahan atau yang semacamnya

Menurut mayoritas ulama’ tidak boleh memberikan kepada selain delapan golongan.


وَيَحْرُمُ عَلَى غَيْرِ مُسْتَحِقِّهَا اَخْذُهَا وَيَحْرُمُ اِعْطَاءُهَا لَهُ ( تنوير القلوب ص 227 )



Menurut sebagian ulama’ ahli fiqih yang dikutip oleh Imam Qoffal, mengalokasikan harta zakat untuk pembangunan masjid, pondok pesantren atau semacamnya, hukumnya boleh karena arti fii sabilillah bersifat umum, yaitu hal-hal yang mempunyai nilai kebaikan.


وَنَقَلَ الْقَفَّالُ عَنْ بَعْضِ الْفُقَهَاءِ أَنَّهُمْ أَجاَزُوْا صَرْفَ الصَّدَقاَتِ إِلَى جَمِيْعِ وُجُوْهِ الْخَيْرِ : مِنْ تَكْفِيْنِ الْمَوْتىَ وَبِناَءِ الْحُصُوْنِ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ لِأَنَّ قَوْلُهُ تَعاَلَى فِىْ سَبِيْلِ اللهِ عاَمٌ فِى اْلكُلِّ. (تفسير المنير : ج 1 ص 344)


Menurut sebagian ulama’ ahli Fiqih yang dikutip oleh al-Qoffal bahwa sesungguhnya mereka itu memperbolehkan pentasarufan zakat untuk semua bentuk kebaikan, seperti untuk mengkafani mayit, membangun benteng dan memperbaiki masjid, karena firman Allah Swt. Fii sabilillah itu umum bisa mencakup semuanya. (Tafsir al-Munir, juz I, hal.344)


BAB PUASA
(Penetapan Awal dan Akhir Bulan Ramadlan)
Masih ada perbedaan di kalangan umat Islam tentang penetapan awal dan akhir bulan Ramadlan. Sebagian menggunakan ru’yah (melihat bulan) dan sebagian lain memakai hisab (hitungan). Bagaimanakah sebenarnya cara yang tepat dan sesuai dengan ajaran Nabi?

Ada dua cara yang disepakati oleh jumhur (mayoritas) ulama’ untuk menentukan awal dan akhir puasa, yakni


Dengan melihat bulan


Dengan menyempurnakan hitungan bulan Sya’ban


Sebagaimana keterangan dalam kitab Ghoyatu al-Maqshad Fii Zawaidi al-Musnad bab Ru’yah al-Hilal, Sunan al-Daruqutni bab kitabu al-Shiyam, Ithaaf al-Khairah al-Mahrah bab Kitab Zakat, atau kitab-kitab hadits yang lain:


حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ عِيسَى، أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَابِرٍ، عَنْ قَيْسِ بْنِ طَلْقٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: "إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ جَعَلَ هَذِهِ الأَهِلَّةَ مَوَاقِيتَ لِلنَّاسِ، صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَتِمُّوا الْعِدَّةَ.

Telah bercerita kepadaku Ishaq bin Isa, Muhammad bin Jabir telah memberitahuku, dari Qais bin Thalqin, dari ayahnya, dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda sesungguhnya Allah ‘Azza Waa Jalla Menjadikan bulan-bulan sebagai batasan waktu bagi manusia, maka berpuasalah karena melihatnya (hilal), dan berbukalah karena melihatnya juga. Apabila bulan tertutup mendung maka sempurnakanlah hitungan bulan sya’ban (30 hari). (Ghoyatu al-Maqshad Fii Zawaidi al-Musnad bab Ru’yah al-Hilal)

Dan dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin halaman 108 dijelaskan;


لاَيَثْبُتُ رَمَضَانُ كَغَيْرِهِ مِنَ الشُّهُوْرِ اِلاَّ بِرُؤْيَةِ الْهِلاَلِ أَوْ اِكْماَلِ اْلعِدَّةِ ثَلاَثِيْنَ بِلاَفَرْقٍ

Bulan Ramadlan sama seperti bulan lainnya disepakati tidak boleh ditetapkan kecuali dengan telah melihat hilal, atau menyempurnakan bilangan menjadi 30 hari. (Bughyah al-Mustarsyidin, hal. 108)


(Waktu Niat Puasa)
Puasa adalah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari, misalnya makan dan minum dan lain-lain.

Para ulama’ sepakat bahwa puasa Ramadlan hukumnya adalah fardhu ‘ain, karena termasuk rukun Islam. Akan tetapi terdapat ikhtilaf tentang waktu pelaksanaan niat puasa Ramadlan?


Menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad Ibnu Hambal

Niat puasa Ramadlan dilakukan setiap hari pada waktu malam hari dan untuk puasa sunnah tidak wajib niat di malam hari.

وَمِنْ ذَلِكَ قَوْلُ اْلأَئِمَّةِ الثَّلاَثَةِ إِنَّ صَوْمَ رَمَضَانَ يَفْتَقِرُ كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى نِيَةٍ مُجَرِّدَةٍ مَعَ قَوْلِ مَالِكٍ إِنَّهُ يَكْفِيْهِ نِيَةٌ وَاحِدَةٌ مِنْ أَوَلِ لَيْلَةٍ مِنَ الشَّهْرِ اَنَّهُ يَصُوْمُ جَمِيْعَهُ.


( الميزان الكبرى ج 2 ص 27 )


وَمِنْ ذلك قَوْلُُ اْلأَئِمَّةِ الثَّلاَثَةِ إِنَّ صَوْمَ النَّفْلِ يَصِحُّ بِنِيَّةٍ قَبْلَ الزَّوَالِ مَعَ قَوْلِ ماَلِكٍ إِنَّهُ لاَ يَصِحُّ بِنِيَّةٍ مِنَ النَّهَارِ كاَلْوَاجِبِ


( الميزان الكبرى ج 2 ص 21 )


Lafadz niatnya adalah;



  نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَداَءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضاَنِ هذِهِ السَّنَةِ فَرْضاً ِللهِ تَعاَلَى


  نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ مِنْ رَجَبَ سُنَّةً ِللهِ تَعاَلَى


Menurut Imam Malik

Niat puasa Ramadlan cukup satu kali pada awal bulan Ramadlan yang dilakukan di malam hari.

وَمِنْ ذَلِكَ قَوْلُ اْلأَئِمَّةِ الثَّلاَثَةِ إِنَّ صَوْمَ رَمَضَانَ يَفْتَقِرُ كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى نِيَةٍ مُجَرِّدَةٍ مَعَ قَوْلِ مَالِكٍ إِنَّهُ يَكْفِيْهِ نِيَةٌ وَاحِدَةٌ مِنْ أَوَلِ لَيْلَةٍ مِنَ الشَّهْرِ اَنَّهُ يَصُوْمُ جَمِيْعَهُ.


( الميزان الكبرى ج 2 ص 27 )


Begitu juga dengan puasa sunnah, seperti puasa di bulan rajab menurut Imam Malik cukup niat satu kali yang dilakukan pada malam hari.


وَمِنْ ذلك قَوْلُُ اْلأَئِمَّةِ الثَّلاَثَةِ إِنَّ صَوْمَ النَّفْلِ يَصِحُّ بِنِيَّةٍ قَبْلَ الزَّوَالِ مَعَ قَوْلِ ماَلِكٍ إِنَّهُ لاَ يَصِحُّ بِنِيَّةٍ مِنَ النَّهَارِ كاَلْوَاجِبِ ( الميزان الكبرى ج 2 ص 21 )


Lafadz niatnya adalah;



    نَوَيْتُ صَوْمَ شَهْرٍ عَنْ أَداَءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضاَنِ هذِهِ السَّنَةِ فَرْضاً ِللهِ تَعاَلَى


    نَوَيْتُ صَوْمَ شَهْرٍ مِنْ رَجَبَ سُنَّةً ِللهِ تَعاَلَى


Menurut Imam Abu Hanifah

Sah, Niat puasa Ramadlan yang dilakukan pada waktu malam maupun siang hari hingga waktu zawal (matahari condong ke barat) dengan syarat niatnya disesuaikan dengan puasa yang dikerjakan, misalnya puasa Ramadlan, puasa Nadzar dan puasa-puasa yang lainnya. (al-Mizan al-Kubra, juz II, hal.20)

اَلثَّانِي مَعَ قَوْلِ أَبِىْ حَنِيْفَةَ إِنَّهُ لاَيَجِبُ التَّعْيِيْنُ اَىْ التَّثْبِيْتُ, بَلْ تَجُوْزُ النِّيَةُ مِنَ اللَّيْلِ فَإِنْ لَمْ يَنْوِ لَيْلاً أَجْزَأَتْهُ النِّـيَةُ إِلَى الزَّوَالِ وَكَذلِكَ قَوْلُهُمْ فِي النَّذْرِ الْمُعَيَّنِ.


( الميزان الكبرى :20:2 )



(Puasa Sunnah dengan Niat Qadla’ Ramadlan)
Terkadang seseorang dalam melakukan kewajiban berpuasa Ramadlan ada udzur (hal-hal yang membolehkan untuk tidak melaksanakannya), akan tetapi dia masih mempunyai kewajiban untuk menggantinya di lain hari. Jika orang tersebut melakukan qadha’ Ramadlan bersamaan dengan berpuasa sunnah dengan niat mengqadla’ puasa Ramadlan, bagaimanakah hukum dari niat tersebut?

Dalam masalah ini para ulama’ berpendapat sesuai dengan kadar keyakinan seseorang yang meninggalkan puasa tersebut.


Tidak sah, puasa sunnah dengan diniati mengqadla’ puasa Ramadlan, jika orang tersebut masih ragu bahwa dia pernah meninggalkan puasa Ramadlan, jadi lebih baik cukup diniati satu puasa sunnah saja.


Boleh dan Sah, puasa sunnah dengan diniati mengqadla puasa Ramadlan. Kalau memang benar-benar pernah meninggalkan puasa Ramadlan.


وَيُؤْخَذُ مِنْ مَسْأَلَةِ اْلوُضُوْءِ هذِهِ اِنَّهُ لَوْشَكَّ اَنَّ عَلَيْهِ قَضاَءٌ مَثَلاً فَنَوَاهُ اِنْ كاَنَ وَاِلاَّ فَتَطَوُّعٌ صَحَّتْ نِيَّتُهُ اَيْضاً وَحَصَلَ لَهُ اْلقَضَاءُ بِتَقْدِيْرِ وُجُوْدِهِ بَلْ وَاِنْ باَنَ اِنَّهُ عَلَيْهِ وَاِلاَّ حَصَلَ لَهُ التَّطَوُّعُ كَمَا يَحْصُلُ فِى مَسْأَلَةِ الْوُضُوْءِ اِلَى اَنْ قَالَ : وَبِهَذَا يَعْلَمُ اَنَّ الْاَفْضَلَ لِمُرِيْدِ التَّطُوُّعُ بِالصَّوْمِ اَنْ يَنْوِىَ الْوَاجِبَ اِنْ كاَنَ عَلَيْهِ وَاِلاَّ فَالتَّطَوُّعُ لِيَحْصُلَ لَهُ مَا عَلَيْهِ اِنْ كاَنَ. (الفتاوى الكبرى كتاب الصوم ج 2 ص 50)

Dapat dipahami dari masalah wudlu’ ini bahwasannya jika ragu-ragu ia punya kewajiban yang harus diqadla’, maka dia harus berniat mengqadla’nya. Jika tidak kemudian dia shalat sunnah, maka niatnya tetap sah dan qadla’nyapun terbayar bahkan seandainya jelas bahwa dia memang mempunyai kewajiban qadla’, jika tidak, maka dia memperoleh sunnah sebagaimana dalam masalah wudlu’…. Dengan demikian diketahui, bahwa yang lebih baik bagi orang yang ingin niat sunnah dalam puasanya, maka dia berniat puasa wajib jika memang ada kewajiban terhadapnya, jika tidak maka dia niat puasa sunnah agar memperoleh apa yang menjadi kewajiban terhadapnya. (al-Fatawi al-Kubra, Bab Kitab al-shaum juz 2 halaman 50)

(Mengqodlo’ Puasa dan Haji untuk Orang yang Telah Meninggal)

Mengqodlo’ puasa dan haji untuk orang yang telah meninggal, yaitu melakukan puasa dan haji untuk orang yang sudah meninggal ketika dia masih mempunyai tanggungan puasa dan Haji. Seperti keterangan sebagai berikut:


عَنْ عَائِشَةَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ ماَتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

Diceritakan dari Siti Aisyah, Rasulullah Saw. bersabda: Apabila ada orang mati, sementara dia masih punya tanggungan puasa, maka walinya harus berpuasa untuknya. (Shahih Muslim, juz II, hal. 463, al-Jam’u Baina al-Sakhikhaini al-Bukhari, dan dalam kitab-kitab hadits yang lainnya)


وَحَدَّثَنِى عَلِىُّ بْنُ حُجْرٍ السَّعْدِىُّ حَدَّثَنَا عَلِىُّ بْنُ مُسْهِرٍ أَبُو الْحَسَنِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَطَاءٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ - رضى الله عنه - قَالَ بَيْنَا أَنَا جَالِسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذْ أَتَتْهُ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ إِنِّى تَصَدَّقْتُ عَلَى أُمِّى بِجَارِيَةٍ وَإِنَّهَا مَاتَتْ - قَالَ - فَقَالَ « وَجَبَ أَجْرُكِ وَرَدَّهَا عَلَيْكِ الْمِيرَاثُ ». قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ كَانَ عَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَصُومُ عَنْهَا قَالَ « صُومِى عَنْهَا ». قَالَتْ إِنَّهَا لَمْ تَحُجَّ قَطُّ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا قَالَ « حُجِّى عَنْهَا ». (صحيح مسلم

Telah bercerita kepadaku Ali bin Hujrin al-Sa’dy, telah bercerita kepadaku Ali bin Mushir Abu al-Hasan dari Abdullah bin Ato’ dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya ra. beliau berkata: suatu hari aku duduk di samping Nabi Saw. kemudian ada seorang perempuan datang kepada Nabi dan ia berkata; sebenarnya aku bersedekah untuk ibuku dengan seorang hamba, sedangkan ibuku telah meninggal. Maka Nabi berkata: Pahalanya tetap bagimu dan harta warisannya tetap kembali kepadanu. Perempuan itu berkata lagi, Ya Rasulallah, sesungguhnya ibuku mempunyai tanggungan puasa Ramadlan, bolehkan aku puasa untuknya?. Rasul menjawab: Berpuasalah untuk ibumu. Kemudian perempuan itu bertanya lagi sebenarnya ibuku belum melaksanakan ibadah haji, bolehkan aku melakukan haji untuknya? Rasul menjawab: Berhajilah untuk ibumu. (Sahih Muslim)

Dengan demikian, haji yang belum ditunaikan dan puasa yang telah ditinggalkan oleh mayit bisa diqodho’


(Hukum Merokok Ketika Sedang Berpuasa)

Puasa adalah menahan makan dan minum yang dimulai sejak fajar sampai masuknya waktu adzan maghrib, akan tetapi di kalangan masyarakat kita terdapat beberapa persoalan tentang bagaimana hukumnya orang yang sedang berpuasa tetapi dia menghisap rokok?


Hal-hal yang dapat membatalkan puasa salah satunya adalah masuknya sesuatu/’ain (seperti air, minuman atau makanan) melalui beberapa lubang yang terdapat di dalam anggota tubuh yang bisa sampai ke lambung. Begitu juga dengan asap dari hisapan rokok, apabila seseorang sedang berpuasa dan dia menghisap rokok, maka hukumnya adalah: Membatalkan puasa, karena asap rokok itu mengandung nikotin dan nikotin tersebut adalah termasuk kategori ‘ain. Diterangkan dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin;


(فَائِدَةٌ) لاَ يَضُرُّ وُصُوْلُ الرِّيْحِ بِالشَّمِّ وَكَذَا مِنَ الْفَمِّ كَرَاءِحَةِ الْبُخُوْرِ أَوْ غَيْرِهِ اِلَى الْجَوْفِ وَاِنْ تَعَمَّدَهُ لِأَنَّهُ لَيْسَ عَيْناً وَخَرَجَ بِهِ ماَ فِيْهِ عَيْنٌ كَرَاءِحَةِ النُتْنِ يَعْنِى اَلتَّنْباَكُ لَعَنَ اللهُ مِنْ أَحَدِثِهِ لِأَنَّهُ مِنَ اْلبِدْعِ اْلقَبِيْحَةِ فَيَفْطُرُ بِهِ. (بغية المستر شدين باب شروط الصوم ص 111)

Tidak membatalkan puasa sampainya angin dengan indra pencium, begitu juga menghirup angin atau asap melalui mulut (tidak membatalkan puasa) walaupun disengaja, karena bukan merupakan ‘ain (benda), dikecualikan hal yang ada ‘ainnya seperti asap rokok (tembakau) yang dapat membatalkan puasa karena termasuk katagori memasukkan ‘ain (nekotin) dan juga termasuk bid’ah yang jelek
(Bughyah al-Mustarsyidin, bab Syurut al-Shaum. hal.111)

Memang sebelumnya Imam Zayyadi pernah berpendapat bahwa merokok tidaklah membatalkan puasa, karena beliau mengira asap yang dihasilkan dari rokok itu sama saja dengan asap pada umumnya dan tidak termasuk kategori ‘ain, tetapi setelah beliau mengetahui kenyataannya secara pasti bahwa asap yang dihasilkan dari rokok tersebut ada kandungan nikotinnya, maka Imam Zayyadi merevisi pendapatnya yang pertama yaitu: Merokok tidak membatalkan puasa direvisi dengan pendapatnya yang kedua yaitu: Merokok dapat membatalkan puasa. Hal ini diterangkan dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin, bab Syurut al-Shaum. hal.111-112.


(فَائِدَةٌ) لاَ يَضُرُّ وُصُوْلُ الرِّيْحِ بِالشَّمِّ وَكَذَا مِنَ الْفَمِّ كَرَاءِحَةِ الْبُخُوْرِ أَوْ غَيْرِهِ اِلَى الْجَوْفِ وَاِنْ تَعَمَّدَهُ لِأَنَّهُ لَيْسَ عَيْناً وَخَرَجَ بِهِ ماَ فِيْهِ عَيْنٌ كَرَاءِحَةِ النُتْنِ يَعْنِى اَلتَّنْباَكُ لَعَنَ اللهُ مِنْ أَحَدِثِهِ لِأَنَّهُ مِنَ اْلبِدْعِ اْلقَبِيْحَةِ فَيَفْطُرُ بِهِ , وَقَدْ أَفْتىَ ز.ي. بَعْدَ أَنْ أَفْتَى اَوَّلاًَ بِعَدَمِ اْلفِطْرِ قَبْلَ أَنْ يَرَاهُ اهـ ش.ق. (بغية المستر شدين باب شروط الصوم ص 111-112)

Tidak membatalkan puasa sampainya angin dengan indra pencium, begitu juga menghirup angin atau asap melalui mulut (tidak membatalkan puasa) walaupun disengaja, karena bukan merupakan ‘ain (benda), dikecualikan hal yang ada ‘ainnya seperti asap rokok (tembakau) yang dapat membatalkan puasa karena termasuk katagori memasukkan ‘ain (nekotin) dan juga termasuk bid’ah yang jelek. Dan sesungguhnya Imam zayyadi telah memberikan fatwa seperti ini (merokok ternyata membatalkan puasa) sesudah beliau memberikan fatwa pertama yaitu tidak batalnya pusa karena merokok, sebelum beliau mengetahui kenyataannya secara pasti. (Bughyah al-Mustarsyidin, bab Syurut al-Shaum. hal.111-112).

BAB HAJI DAN UMRAH
(Tasyakuran Haji)

Setelah melaksanakan haji dan pulang ke rumahnya, jama’ah haji biasanya mengadakan tasyakuran yang disebut walimatul Naqi’ah yaitu: Walimah yang diadakan untuk selamatan orang yang datang dari bepergian (walimah haji), bahkan seorang yang telah melaksanakan haji disunnahkan untuk mengadakan tasyakuran, yakni dengan menyembelih sapi atau unta. Apakah walimah itu ada dasar hukumnya?


Dalam kitab al-Fiqih al-Wadlhih dijelaskan;

يُسْتَحَبُّ لِلْحَاجِّ بَعْدَ رُجُوعِهِ اِلَى بَلَدِهِ اَنْ يَنْحَرَ جَمَلاً اَوْ بَقَرَةً اَوْ يَذْبَحَ شَاةً لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِيْنِ وَالْجِيْرَانِ وَالْإِخْوَانِ تَقَرُّباً اِلىَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ كَماَ فَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (الفقه الواضح من الكتاب والسنة , ج 1 ص 673)
Disunnahkan bagi orang yang baru pulang haji untuk menyembelih seekor onta, sapi atau menyembelih kambing (untuk diberikan) kepada fakir, miskin, tetangga, saudara. (hal ini dilakukan) sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah ‘Azza Waa Jalla, Sebagaimana yang telah diamalkan oleh Nabi Saw. (al-Fiqih al-Wadlhih Min al-Kitab wa al-Sunnah, Juz I, hal. 673)

Kesunnahan ini berdasarkan hadits Nabi

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا قَدِمَ الْمَدِيْنَةَ نَحَرَ جَزُوْرًا اَوْ بَقَرَةً. ( صحيح البخاري , باب الطعام عند القدوم )
Dari Jabir bin Abdullah ra. Bahwa ketika Rasulullah Saw. Datang ke Madinah (usai melaksanakan ibadah haji), beliau menyembelih kambing atau sapi. (Shahih al-Bukhari, bab al-Tho’amu ‘Inda al-Qudum)

amun di sebagian daerah, walimah haji itu tidak hanya dilakukan setelah mereka pulang dari tanah suci, selamatan itu juga dilakukan sebelum mereka berangkat ke tanah suci, atau setelah mereka melunasi ONH-nya. Kalau melihat isinya, maka walimah tersebut tujuannya tidak jauh berbeda dengan walimah setelah haji.


Dari beberapa keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa mengadakan walimatul haji merupakan suatu ibadah sunnah yang diajarkan oleh Nabi Saw.



(Macam-Macam Thawaf dan Hukumnya)
Thawaf Ifadhah, thawaf ini merupakan salah satu rukunnya haji, jadi hukum melaksanakannya adalah wajib. Fathu al-Qadir bab al-Ihram juz 5 hal 234.

قَالَ ( وَهَذَا الطَّوَافُ هُوَ الْمَفْرُوضُ فِي الْحَجِّ ) وَهُوَ رُكْنٌ فِيهِ إذْ هُوَ الْمَأْمُوْرُ بِهِ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى { وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ } وَيُسَمَّى طَوَافُ الْإِفَاضَةِ وَطَوَافُ يَوْمِ النَّحْرِ ( فتح القدير في باب الاحرام )


1 Thawaf Qudum, thawaf ini dilaksanakan ketika memasuki Baitul Haram dan hukum untuk melaksanakannya adalah sunnah. (Fathu al-Mu’in, hal. 62)


(وَطَوَافُ قُدُوْمٍ) ِلأَنَّهُ تَحِيَّةُ الْبَيْتِ وَإِنَّمَا يُسَنُّ لِحَاجٍ أَوْ قاَرِنٍ دُخُلُ مَكَّةَ قَبْلَ الْوُقُوْفِ وَلاَ يَفُوْتَ بِالْجُلُوْسِ وَلاَ بِتَأْخِيْرِ نعم يَفُوْتُ بِالْوُقُوْفِ بِعَرَفَةَ ( فتح المعين:62 )


2 Thawaf Wada’, thawaf ini juga bisa dikatakan thawaf perpisahan, yaitu dilakukan ketika jama’ah haji hendak pulang dari Tanah Suci. Adapun hukumnya khilaf


Qoul mu’tamad, termasuk wajib


( قَوْلُهُ وَطَوَافُ الْوَدَاعِ ) بِالرَّفْعِ مَعْطُوْفٌ عَلَى إِحْرَامٍ أَيْضًا وَقَدْ عَلِمْتَ أَنَّ عَدَّهُ مِنْ وَاجِبَاتِ الْحَجِّ رَأْيٌ ضَعِيْفٌ وَالْمُعْتَمَدُ أَنَّهُ وَاجِبٌ مُسْتَقِلٌّ (حاشية اعانة الطالبين ج 2 ص 305 )


Menurut Imam Syafi’i sunnah untuk melaksanakannya karena thawaf wada’ juga dilakukan pada tempat thawaf qudum. (al-Inayah Syarhu al-Hidayah bab al-Ihram, juz 4, hal.2)


وَقَوْلُهُ ( وَيُسَمَّى طَوَافَ الْوَدَاعِ ) الْوَدَاعُ بِفَتْحِ الْوَاوِ اسْمٌ لِلتَّوْدِيعِ كَسَلَامٍ وَكَلَامٍ وَهُوَ وَاجِبٌ عِنْدَنَا خِلَافًا لِلشَّافِعِيِّ ) فَإِنَّهُ عِنْدَهُ سُنَّةٌ لِأَنَّهُ بِمَنْزِلَةِ طَوَافِ الْقُدُومِ ، ( الاناية شرح الهداية باب الاحرام )


(Hukum Thawaf dalam Kondisi Hadats)
Bagaimanakah hukum thawaf yang dilakukan dalam kondisi hadats?
Dalam hal ini ada perbedaan pendapat

Sebagian Ulama’, thawafnya tidak sah


Menurut Imam al-Muzani, thawafnya sah


Sebagaimana hal dijelaskan dalam kitab Hamisi Fathu al-Mu’in.


(وَشُرُوْطُ الطَّوَافِ) سِتَّةٌ اََحَدُهاَ (طُهْرٌ) عَنْ حَدَثٍ وَخُبُثٍ اهـ فتح المعين هذَا هُوَ الصَّحِيْحُ الْمُعْتَمَدُ وَلَناَ قَوْلٌ ضَعِيْفٌ ذَكَرَهُ اَلْمُزَنِىْ فِى مُخْتَصَرِهِ أََنَّ الطَّوَافَ يَصِحُّ مَعَ الْحَدَثِ اهـ (هامس فتح المعين, ص 61)


Syarat-syarat thawaf itu ada enam, salah satunya harus suci dari hadats dan najis. Demikian ini menurut pendapat shahih yang bisa dibuat pegangan. Dan kita pun sebenarnya menjumpai qoul dlaif yang telah disebutkan oleh al-Muzani dalam kitab mukhtasharnya yaitu: thawaf itu dihukumi sah meskipun dalam keadaan berhadats. (Hamisi Fath al-Muin, hal.61)


(Hukum Bermalam di Mina)

Ulama’ berbeda pendapat mengenai hukum bermalam di Mina:

1 Menurut mayoritas ulama’, bahwa bermalam di Mina hukumnya wajib (karena termasuk wajib haji). Jadi ketika jama’ah haji tidak bisa bermalam di Mina, maka ada denda baginya. Hasyiyah al-Bajuri juz 1 hal. 322.


وَالسَّادِسُ الْمَبِيْتُ بِمِنَى هَذَا مَا صَحَّحَهُ الرَّافِعِيُّ لَكِنْ صَحَّحَ النَّوَاوِيُّ فِيْ زِياَدَةِ الرَّوْضَةِ الْوُجُوْبَ ( حاشية الباجوري ج 1 ص 322 )


Sedangkan menurut Imam Syafi’i, ada dua pendapat: Yang pertama wajib bermalam di Mina dan yang kedua hukumnya sunnah, dengan catatan jika ditinggalkan tetap diharuskan membayar dam.


فِيْهِ قَوْلاَنِ لِلشَّافِعِيِّ أَظْهَرُهُمَا أَنَّهُ وَاجِبٌ وَالثَّانِيْ أَنَّهُ سُنَّةٌ فَإِنْ تَرَكَهُ جَبَّرَهُ بِدَمٍ (شرح المنهاج الجزء 2 ص 470 )


Waktu Melempar Jumrah Ula, Wustho dan Aqobah pada hari Tasyrik


Kapankah waktu yang tepat untuk melempar jumrah Ula, Wustho dan Aqobah pada hari Tasyrik:


Ulama’ berbeda pendapat tentang kapankah waktu yang tepat untuk melempar jumrah, pendapat mereka adalah sebagai berikut:


Harus setelah dhuhur, kalau sesuai dengan hari yang ditentukan, apabila tidak sesuai (molor/mundur) dari hari yang sudah ditentukan maka boleh dilakukan sebelum dhuhur.


( قَوْلُهُ بَعْدَ زَوَالِ إِلَخْ ) مُتَعَلِّقٌ بِرَمْيٍ بِالنِّسْبَةِ إِلَى الْجَمَرَاتِ أَيْ وَيَكُوْنُ الرَّمْيُ إِلَى الْجَمَرَاتِ الثَّلاَثِ بَعْدَ الزَّوَالِ فَلاَ يَصِحُّ الرَّمْيُ قَبْلَ الزَّوَالِ وَهَذَا بِالنِّسْبَةِ لِرَمْيِ الْيَوْمِ الْحَاضِرِ أَمَّا بِالنِّسْبَةِ لِرَمْيِ الْيَوْمِ الْغَائِبِ فَيَتَدَارَكُ فِيْ بَقِيَّةِ أَياَمِ التَّشْرِيْقِ وَلَوْ كاَنَ قَبْلَ الزَّوَالِ ( حاشية اعانة الطالبين ج 2 ص 306 )


Melempar jumrah Ula, Wustho, Aqobah, wajib dilakukan setelah dhuhur. Maka tidak sah melempar sebelum dhuhur, ini kalau dilakukan untuk lemparan pada harinya, akan tetapi kalau untuk lemparan yang dilakukan tidak sesuai dengan harinya maka boleh dilakukan sebelum dhuhur. (Hasyiyah I’anah al-Thalibin bab haji juz 2 halaman 306)


Lebih utama dilaksanakan setelah masuk waktu dhuhur.


( وَاعْلَمْ ) أَنَّ الرَّمْيَ أَيَّامِ التَّشْرِيْقِ ثَلاَثَةُ أَوْقَاتٍ وَقْتُ فَضِيْلَةٍ وَهُوَ بَعْدَ الزَّوَالِ (حاشية اعانة الطالبين ج 2 ص 306 )

Ketahuilah sesungguhnya waktu melempar jumrah mempunyai tiga waktu, dan waktu yang lebih utama adalah setelah dhuhur. (Hasyiyah I’anah al-Thalibin bab haji juz 2 halaman 306)

Menurut Imam Haromain dan Imam Rofi’i dan pengikutnya Imam Asnawi, berpendapat bahwa melempar jumrah sebelum masuk waktu dhuhur hukumnya mubah (boleh), tetapi dengan syarat setelah keluarnya fajar. Diterangkan dalam kitab I’anah al-Thalibin:


وَالْمُعْتَمَدُ جَوَازَهُ فِيْهَا أَيْضًا وَجَوَازَهُ قَبْلَ الزَّوَالِ بَلْ جَزَمَ الرَّفِعِىُّ وَتَبِعَهُ اْلاَسْنَوِىُّ وَقاَلَ اِنَّهُ الْمَعْرُوْفُ بِجَوَازٍ رَمَى كُلَّ يَوْمٍ قَبْلَ الزَّوَالِ وَعَلَيْهِ فَيَدْخُلُ بِالْفَجَرِ (إعانة الطالبين جز307,2)

Menurut pendapat yang bisa dijadikan pedoman, bahwa boleh melempar jumrah sebelum dhuhur sebagaimana telah ditetapkan oleh imam Rofi’i dan diikuti oleh imam Asnawi bahwa boleh melempar jumrah setiap hari sebelum dhuhur dengan syarat setelah masuk waktu fajar. ( I’anah al-Thalibin bab Haji juz 2 hal 307 )

(PERMASALAHAN YANG TERKAIT DENGAN PERNIKAHAN)

Sebab-Sebab Perempuan yang Haram Dinikah

Dalam al-Qur’an dijelaskan:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ الأَخِ وَبَنَاتُ الأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّنْ نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُواْ بَيْنَ الأُخْتَيْنِ إَلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا (23)

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan[281]; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sesusu, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu menikahinya, (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan menghimpun (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. An-Nisa’ ayat 23)

[281] Maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. Dan yang dimaksud dengan anak perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah, demikian juga yang lain-lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut jumhur ulama’ termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya.


(Wanita-wanita yang haram dinikah dapat dikelompokkan sebagai berikut)
Sebab nasab ada tujuh macam:

Ibu sampai ke atas

Anak Perempuan ke bawah
Saudara perempuan
Saudara perempuan dari bapak
Saudara perempuan dari Ibu
Anak perempuan dari saudara laki-laki (keponakan)
Anak perempuan dari saudara perempuan (keponakan)
Sebab sesusu (tunggal suson) ada tujuh macam
Ibu yang menyusui
Anak perempuan dari ibu yang menyusui
Saudara sesusuan
Saudara perempuan dari bapak (bapak disini adalah suami ibu yang menyusui)
Saudara perempuan dari ibu yang menyusui
Anak perempuan dari saudara laki-laki tunggal susu
Anak perempuan dari saudara perempuan tunggal susu (keponakan). Dalam hadits dijelaskan
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ الْوِلاَدَةِ.
Perempuan yang haram dinikahi sebab hubungan mertua, itu ada empat:

Istrinya bapak (ibu mertua)

Istrinya anak laki-laki kandung (menantu perempuan)
ertua ( ibu dari istri )
Anak Tiri Perempuan dari istri

Selain dari bagian-bagian di atas ada juga perempuan yang haram dinikahi:


Mengawini saudara perempuan kandung istri (menghim

Menikahi perempuan yang bersuami atau perempuan yang belum habis masa iddahnya.]


(Iddah)

Iddah adalah masa penantian mantan istri (yang ditinggal mati atau sebab dicerai oleh suami), yang bertujuan untuk membersihkan rahim perempuan dalam waktu yang ditentukan.


Macam-macam iddah ada 2, yaitu


Istri yang ditinggal mati suami, hal ini masa ‘iddahnya ada 2


Jika masih mengandung, masa ‘iddahnya adalah sampai melahirkan

Jika tidak mengandung, massa ‘iddahnya adalah 4 bulan 10 hari

 Istri yang diceraikan oleh suami, hal ini masa ‘iddahnya ada 3


Jika masih mengandung, masa iddahnya adalah sampai melahirkan


Jika dalam keadaan haid/nifas, maka iddahnya sampai masuk pada masa haid yang ke 4


Jika dalam keadaan suci, maka ‘iddahnya sampai masuknya masa haid yang ke 3


Hukum Menjatuhkan thalaq pada istri ketika dalam keadaan haid adalah haram, meskipun thalaqnya sah. Hal ini diterangkan dalam kitab Al-Bajuri ‘Ala Ibni Qasim, Juz II, hal. 171)


وَالطَّلاَقُ فِى الْحَيْضِ حَرَامٌ كَمَا مَرَّ فَالطَّلاَقُ الْمَأْمُوْرُ بِهِ يَكُوْنُ فِى الطُّهْرِ لِتَشَرُّعِ فِي الْعِدَّةِ حِيْنَئِذٍ بِخِلاَفِ الطَّلاَقِ فِى الْحَيْضِ فَاِنَّهَا لاَ تُشْرَعُ (الباجورى على إبن قاسم الجزء 2 ص : 171)


Urutan Wali Nikah

Akad nikah tidak sah kecuali ada wali yang menikahkannya. Urutan orang-orang yang berhak menikahkan perempuan adalah:


Ayah dari pihak perempuan

Kakek dari pihak perempuan
Saudara laki-laki kandung
Saudara laki-laki se ayah (tunggal bapak)
Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung
Anak laki-laki dari saudara laki-laki se ayah (tunggal bapak)
Paman tunggal kandung (dari bapak)
Paman tunggal bapak (dari bapak)
Anak dari paman tunggal kandung (dari bapak)
Anak dari paman tunggal bapak (dari bapak)
Orang yang memerdekakan budak
Hakim (apabila wali dari nasab tidak ada).

Hal ini diterangkan dalam kitab Fathu al-Qarib hal 44. Dan keterangan yang lebih lengkap bisa dilihat dalam kitab Hasyiyah al-Bajuri ‘Ala Ibni Qasim juz 2 halaman 105.


وَ اَوْلَى الْوِلَايَةِ اَيْ اَحَقُّ الْأَوْلِيَاءِ بِالتَّزْوِيْجِ اَلْأَبُ ثُمَّ الْجَدُّ اَبُو الْأَبِ ثُمَّ الْأَخُ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ ثُمَّ الْأَخُ لِلْأَبِ ثُمَّ إِبْنُ الْأَخِ لِلْأَبِ وَالْأُمِّ ثُمَّ إِبْنُ الْأَخِ لِلْأَبِ ثُمَّ الْعَمُّ ثُمَّ إِبْنُهُ عَلَى هَذَا التَّرْتِيْبِ (فتح القريب ص 44 او حاشية الباجوري على ابن قاسم ج 2 ص 105 )



(Akad Nikah bagi Tuna Wicara)

Tata cara akad nikah bagi orang normal adalah sebagaimana biasanya yang telah kita ketahui bersama, namun bagaimanakah tata cara akad nikah bagi tuna wicara (orang bisu)?


1 Tidak boleh dilakukan sendiri, tetapi harus diwakilkan kepada seseorang yang mampu untuk mewakilinya


وَقِيْلَ لاَ يَنْعَقِدُ اَلنِّكاَحُ إِلاَّ بِالصِّيْغَةِ الْعَرَبِيَّةِ فَعَلَيْهِ يَصْبِرُ عِنْدَ الْعَجْزِ إِلَّى أَنْ يَتَعَلَّمَ أَوْ يُوَكِّلَ ( فتح المعين فى باب النكاح 

Dikatakan, bahwa akad itu nikah tidak sah kecuali dengan bahasa arab, maka hendaklah bersabar bagi orang yang tidak mampu sampai dia belajar bahasa arab atau mewakilkan kepada orang yang mampu. (Fathu al-Mu’in bab Nikah)

2 Cukup dengan mengunakan isyarah saja sudah cukup dan sah nikahnya. Dalil yang menjelaskan hal ini adalah sebagai berikut:


(قَوْلُهُ وَيَنْعَقِدُ) اَيْ النِّكَاحُ وَقَوْلُهُ بِإِشَارَةٍ اَخْرَسَ مُفْهِمَةٌ عِبَارَةُ التُّحْفَةِ وَيَنْعَقِدُ نِكَاحُ اْلأَخْرَسَ بِإِشَارَتِهِ الَّتِى لاَ يَخْتَصُّ بِفَهْمِهَا الْفَطَنُ وَكَذَا بِكِتَابَتِهِ بِلاَ خِلاَفٍ عَلَى مَا فِي الْمَجْمُوْعِ (اعانة الطالبين الجزء: 3 ص: 277)

Akad nikah dihukumi sah dengan menggunakan isyarah yang memahamkan bagi orang bisu, itu terdapat di dalam kitab Tuhfah. Nikahnya orang bisu itu dihukumi sah dengan menggunakan isyarah yang memahamkan, tidak ditentukan hanya orang yang pandai memahami isyaroh tersebut. ”Juga sah nikahnya orang yang bisu itu dengan tulisannya, pendapat ini tidak ada khilaf, (keterangan kitab majmu’). I’anah al-Thalibin juz 3 hal 277


(Menikah Lagi Bagi Perempuan yang Cukup Lama Ditinggal Pergi Suami)

1 Tidak boleh karena masih dalam ikatan pernikahan.

2 Boleh, dengan syarat istri harus yakin kalau suaminya sudah meninggal dunia atau yakin kalau suami sudah menjatuhkan talaq

Menurut Qoul Qodim: Istri boleh menikah lagi dengan syarat tidak ada kabar dari suami selama 4 tahun


Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam kitab: Mughni al-Muhtaj, juz III, hal. 105.


وَمَنْ غَابَ وَانْقَطَعَ خَبَرُهُ لَيْسَ لِزَوْجَتِهِ نِكَاحٌ حَتَّى يُتَيَقَّنَ مَوْتُهُ أَوْ طَلَاقُهُ ، وَفِي الْقَدِيمِ تَرَبَّصُ أَرْبَعَ سِنِينَ ثُمَّ تَعْتَدُّ لِوَفَاةٍ وَتَنْكِحُ، ( مغنى المحتاج ج 3 ص 105 )

Keterangan yang sama bisa dilihat dalam kitab Al-Minhaj Lii an-Nawawi bab Kitabu al-‘idadi juz 1 hal 372. dan Minhaj al-Thalibin juz 1 hal 116)

(Hukum Kado Pernikahan (Amplop Buwuhan)
Di sebagian masyarakat terdapat suatu tradisi yang menarik saat menyelenggarakan walimah/resepsi pernikahan pengantin, khitanan atau ulang tahun, yang mana para tetangga atau sahabat dan handai taulan mendatangi undangan acara tersebut dengan membawa dan memberikan kado atau uang buwuhan kepada kemanten atau penyelenggara. Bagaimanakah hukum tradisi buwuhan yang terjadi di masyarakat dilihat dari aspek hukum fikih?

Dalam hal ini ulama’ berbeda pendapat:


1 Hadiah, kado atau “buwuhan” statusnya sebagai Hibah.


عِبَارَةُ التُّحْفَةِ وَالَّذِى يَتَّجِهُ فِي النُّقُوْطِ الْمُعْتَادِ فِي اْلاَفْرَاحِ أَنَّهُ هِبَةٌ وَلاَ أَثَرَ لِلْعُرْفِ فِيْهِ لاِضْطِرَابِهِ مَالَمْ يَقُلْ خُذْهُ مَثَلاًَ وَيَنْوِى الْقَرْضَ وَيَصْدُقُ فِي نِيَةِ ذٰلِكَ هُوَ أَوْوَارِثُهُ وَعَلَى هٰذَا يُحْمَلُ إِطْلاَقُ جَمْعٍ أَنَّهُ قَرْضٌ أَىْ حُكْمًا ثُمَّ رَأَيْتُ بَعْضَهُمْ لِمَا نَقَلَ قَوْلَ هَؤُلاَءِ. وَقَوْلُ الْبُلْقِيْنِى أَنَّهُ هِبَةٌ (إعانة الطالبين، الجزء 3، ص 51)

Adapun ungkapan yang terdapat dalam kitab tuhfah yaitu: pendapat yang dianggap kuat tentang hadiah perkawinan (kado/buwuhan) adalah sebagai hibah (pemberian), dan keumuman (urf) masyarakat yang menganggap bahwa buwuhan itu hutang tidak ada pengaruh karena kebiasaan masyarakat tidak tetap, selama dia tidak mengatakan “ambillah” dan dia berniat menghutangi. I’anah al-Thalibin juz 3 hal 51

2 Hadiah, kado atau “buwuhan” statusnya sebagai Hutang, apabila memenuhi 3 (tiga) syarat sebagai berikut


Memberikannya dengan ucapan contoh ”ambillah uang ini


Berniat menghutangi


Adanya kebiasaan atau tradisi di masyarakat untuk mengembalikan uang buwuhan.


(I’anah At-Thalibin, Juz 3 hal 52.)


وَالَّذِيْ تَحَرَّرَ مِنْ كَلاَمِ الرَّمْلِى وَابْنِ حَجَرٍ وَحَوَاشِيْهِمَا أَنَّهُ لاَرُجُوْعَ فِي النُّقُوْطِ الْمُعْتَادِ فِي اْلأَفْرَاحِ أى لاَيَرْجِعُ بِهِ مَالِكُهُ إِذَا وَضَعَهُ فِي يَدِ صَاحِبِ الْفَرَحِ أَوْيَدِ مَأْذُوْنِهِ إِلاَّ بِشُرُوْطٍ ثَلاَثَةٍ أَنْ َيأَتْىِ بِلَفْظِ كَخُذْ وَنَحْوِهِ وَأَنْ يَنْوِىَ الرُّجُوْعَ وَيَصْدِقُ هُوَ أَوْ وَارِثُهُ فِيْهَا وَأَنْ يَعْتَادَ الرُّجُوْعَ فِيْهِ وَإِذَا وَضَعَهُ فِي يَدِ الْمُزَيَّنِ وَنُحُوهُ أَوْ فِي الطَّاسَةِ الْمَعْرُوْفَةِ لاَيَرْجِعُ إِلاَّ بِشَرْطَيْنِ إِذَنْ صَاحَبُ الْفَرَحِ وَشَرْطِ الرُّجُوْعِ كَمَا حَقَّقَّه شَيْخُنَا ح ف إهـ (اعانة الطالبين ج 3 ص 52)



Kesimpulan:

Status hadiah, kado atau “buwuhan” sebagai hibah apabila si pemberi hadiah, kado atau “buwuhan” tidak berniat untuk menghutangi kepada penyelenggara walimah

Status hadiah, kado atau “buwuhan” sebagai hutang, apabila si pemberi menyerahkan kepada yang di hiasi (seperti penganten) atau ditempat yang disediakan dan adanya adat atau kebiasaan uang hadiah, kado atau “buwuhan” dikembalikan lagi.



(Hukum Jihaz (Cincin Tunangan dan Sejenisnya)
Dalam menjalin hubungan pra nikah saat meminang seseorang wanita di sebagian masyarakat terjadi tradisi yaitu laki-laki menyerahkan harta misalnya cincin atau sejenisnya. Yang disebut Jihaz (pengikat).

Bagaimanakah status cincin atau sejenisnya itu


Status harta Jihaz sebagai hadiah

Status harta Jihaz sebagai mas kawin

Al-Fatawi al-Kubro, Juz 4 hal 44 ;


(وَسُئِلَ) عَمَّنْ خَطَبَ إِمْرَأَةً فَأَجَابُوْهُ فَأَعْطَاهُمْ شَيْئًا مِنَ الْماَلِ يُسَمَّى الْجِهَازُ هَلْ تَمْلِكُهُ الْمَخْطُوْبَةُ أَوْلاَ، بَيَّنُوْا لَنَا ذَلِكَ (فَأَجَاَبَ) بِأَنَّ الْعِبَرَةَ بنِيَّةُ الْخَاطِبِ الدَّافِعِ فَإِنْ دَفْعَ بِنِيَّةِ الْهَدِيَّةِ مَلَكَتْهُ الْمَخْطُوْبَةُ أَوْ بِنِيَّةِ حسَبانِهِ مِنَ الْمَهْرِ حُسِبَ مِنْهُ َإِنْ كَانَ مِنْ غَيْرِ جِنْسِهِ، أَوْبِنِيَّةِ الرُّجُوْعِ بِهِ َعَلَيْهَا إِذَا لَمْ يَحْصُلْ زُوَّاجٌ أَوْ لَمْ يَكُنْ لَهُ نِيَّةٌ لَمْ تَمْلِكْهُ وَيَرْجِعُ بِهِ عَلَيْهَا (الفتاوى الكبرى ج 4 ص44 )

Ditanyakan” tentang seorang laki-laki yang melamar wanita lain lantas keluarganya menerima, kemudian laki-laki tersebut memberikan sesuatu harta yang dinamakan dengan jihaz (pengikat) kepada mereka, apakah wanita yang dipinang tersebut berhak memilikinya atau tidak? Jawab ”Sesungguhnya yang dijadikan pedoman adalah dari si pelamar tersebut, jika dia berniat memberikannya sebagai hadiah maka wanita pinangamnya berhak memilikinya, atau jika niatnya sebagai nilai dari maskawin maka akan dianggap sebagai maskawin untuk wanita yang dipinang. Jika pelamar berniat sebagai maskawin, namun perkawinan itu gagal atau tidak ada niat sama sekali, jika si pemberi jihaz berniat menarik kembali pemberiannya maka si perempuan itu tidak bisa memilikinya dan barang itu harus dikembalikan”.


Kesimpulan:

1 Apabila si pemberi jihaz ketika memberikannya berniat atau bertujuan sebagai hadiah maka wanita yang dipinang berhak untuk memiliki harta tersebut.

2 Apabila tujuan si pemberi jihaz sebagai nilai dari maskawin maka dianggap sebagai maskawin dan wanita berhak memilikinya, tetapi si pemberi jihaz (pelamar) juga boleh menariknya kembali apabila perkawinan gagal dan wanita yang dilamar harus mengembalikannya.




(Menjamak Shalat ketika Hajatan)
Ketika di rumah menyelenggarakan hajatan seperti acara walimah pengantin, sering kali kesibukan menyita waktu banyak sehingga kadang-kadang waktu shalat tanpa disadari berlalu begitu saja.

Untuk menanggulangi kesibukan seperti itu dan demi menjaga kewajiban menunaikan shalat, bolehkah menjama’ shalat ketika ada hajatan atau kerepotan yang lain?


1 Tidak boleh, menurut sebagian ulama’ karena shalat jama’ digunakan pada saat berpergian bukan pada saat berada di rumah.


2 Boleh, menurut Ibnu Sirrin, Al-Qaffal, dan abu Ishaq al-Marwazy, karena menjama’ shalat sebagai kemurahan ketika dalam kondisi sibuk dan hal itu dilakukan bukan sebagai kebiasan.


Hal ini diterangkan dalam kitab Syarah Muslim li an-Nawawi juz 5 hal 219.


وَذَهَبَ جَمَاعَةٌ مِنَ اْلأَئِمَّةِ اِلَى جَوَازِ الْجَمْعِ فِي الْحَاضِرِ لِلْحَاجَةِ لِمَنْ لاَ يَتَّخِذُهُ عَادَةً وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ سِيْرِيْن وَأَشْهَبُ مِنْ أَصْحِابِ مَالِكٍ وَحَكاَهُ الْخَطَابِي عَنِ الْقَفَالِ وَالشَّاشِى الْكَبِيْرِ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِى عَنْ أَبِى إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِى عَنْ جَمَاعَةٍ مِنْ أَصْحَابِ الْحَدِيْثِ وَاخْتَارَهُ ابْنُ الْمُنْذِر (شَرَّحَ مُسْلِمُ لِلنَّوَاوِى فِي أَخِرِ جَوَازِ الْجَمْعِ بَيْنَ الصَّلاَةِ ج 5 ص 219 )

sejumlah imam berpendapat tentang diperbolehkannya menjamak shalat di rumah karena ada keperluan bagi orang yang tidak menjadikannya sebagai kebiasaan. Ini pendapat Ibnu Sirin, Asyhab, pengikut Imam Malik, Al-Qoffal, Al-Syasyi, Al-Kabir dari kalangan Asy-Syafi’i dan Abu Ishaq Al-Marwazi dari kalangan Ahli Hadist. Pendapat ini di pilih oleh Ibnu Mundzir.


(فَائِدَةٌ) لَنَا قَوْلٌ بِجَوَازِ الْجَمْعِ فِيْ السَّفَرِ الْقَصِيْرِ إِخْتَارَهُ الْبَنْدَنِيْجِيْ وَظَاهِرُ الْحَدِيْثِ جَوَازَهُ وَلَوْ فِيْ حَضَرٍ كَمَا فِيْ شَرْحِ الْمُسْلِمِ وَحَكَى الْخَطَّابِيْ عَنْ أَبِيْ إِسْحَاق جَوَازَهُ فِي الْحَضَرِ لِلْحَاجَةِ. (بغية المسترشدين، ص 77)

Menurut imam Al-Bandanijiy: Diperbolehkan menjamak shalat ketika dalam bepergian walaupun dekat seperti halnya yang dijelaskan dalam hadits diriwayatkan oleh Al-Khottobi dari Abi Ishaq tentang diperbolehkannya menjamak sholat ketika di rumah karena ada hajat

(KB)
Keluarga Berencana dalam istilah Arab disebut: Tanzim An-nasl yang berarti: pengaturan keturunan sebagai upaya atau tindakan yang membantu pasutri untuk 

Menghindari kelahiran yang tidak diinginkan

Mendapatkan kelahiran yang memang 
Mengatur jarak (interval) diantara kehamilan
Mengontrol waktu saat kelahiran dalam hubungan dengan umur suami istri
Menentukan jumlah anak dalam keluarga.

Jadi perlu di perhatikan pengertian KB bukanlah tahdid an-nasl: pembatasan keturunan akan tetapi tanzim An-nasl/pengaturan keturunan dengan metode kontrasepsi (cara pencegahan pembuahan)


Tujuan KB
Untuk mengatur kesejahteraan ibu dan anak dalam rangka mewujudkan keluarga bahagia yang menjadi dasar terwujudnya masyarakat sejahtera dengan mengendalikan kelahiran sekaligus dalam rangka menjamin terkendalinya pertumbuhan pendidikan. Tujuan KB : GBHN, 1973
Metode KB
etode sederhana
Pantang berkala (sistem kalender)
Senggama terputus/coitus interuptus/’azal
Menggunakan alat kondom
Metode modern

Menggunakan Spiral/IUD. Dibagi menjadi 3 kelompok


Kontrasepsi hormoral misalnya 

Pil Oral Kombinasi (POK)
Mini Pil, Suntikan dan Subkutia (implant)
Spiral/IUD (memasangnya harus dilakukan oleh suami)

Sterilisasi: Tubektomi (pemotongan tuba falloppi) dan Vasektomi (pemotongan vas deferens)

Kondom


 (Hukum  KB)

Bagaimana pandangan fiqih mengenai hukum keluarga berencana (KB)

1 Haram

pabila obat yang diminum atau metode dan alat kontrasepsi yang digunakan menyebabkan tidak berfungsinya rahim, seperti menggunakan metode Sterilisasi dengan alasan bisa mengakibatkan:

Pemandulan permanent

Mengubah dan membunuh ciptaan Allah Swt.
Dalam pelaksanaannya melanggar larangan syar’i (melihat aurat mughallazhah)

2 Makruh

Apabila obat yang diminum atau metode dan alat kontrasepsi yang digunakan bersifat menunda atau mengatur kehamilan (tidak sampai merusak rahim).

Hukum haram dan makruh ini dijelaskan dalam kitab Al-Bajuri, Juz 2 hal 92 ;


وَكَذَا اِسْتِعْمَالُ اْلإِمْرَأَةِ الشَّيْءَ الَّذِي يُبْطِئُ الْحَبَلَ وَيَقْطَعُهُ مِِنْ أَصْلِهِ فَيُكْرَهُ فِي اْلأَوَّلِ وَيَحْرُمُ فِي الثَّانِي . (الباجورى على فتح القريب في كتاب النكاح جزء 2 ص 92 )

Demikian halnya wanita yang menggunakan sesuatu (seperti obat atau alat kotrasepsi) yang dapat memperlambat kehamilan, hal ini hukumnya makruh. Sedangkan apabila sampai memutus keturunan maka hukumnya haram.

3 Boleh

Sebagian ulama’ fiqih berpendapat bahwa hukum dari KB adalah boleh dalam arti tanzim (pengaturan) bukan tahdid (pembatasan/ pemandulan), pendapat mereka berdasarkan pada seruan:

    Al-Qur’an Surat an-Nisa’ ayat 9


وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُواْ مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُواْ عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُواْ قَوْلاً سَدِيدًا (9)

Dan hendaklah takut kepada Allah Swt. orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah Swt. dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.

Hadist Riwayat Abu Hurairah

Sesungguhnya lebih baik bagimu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan daripada meninggalkan mereka menjadi beban tanggungan (meminta-minta) orang banyak”

Mahmud Syaltut (ahli fiqih kontemporer dari mesir) berpendapat hukum KB adalah boleh karena untuk mengatur interval (jarak) kelahiran dengan alasan untuk menjaga kesehatan ibu dan anak, pendapatnya tersebut berdasarkan Q.S. Al-Baqarah: ayat 233.


وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا لاَ تُضَآرَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلاَ مَوْلُودٌ لَّهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Q.S. Al-Baqarah: ayat 233

an berdasarkan hadist riwayat Muslim:

عَنْ عَائِشَةَ عَنْ جُدَامَةَ بِنْتِ وَهْبٍ الأَسَدِيَّةِ أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَنْهَى عَنِ الْغِيلَةِ حَتَّى ذَكَرْتُ أَنَّ الرُّومَ وَفَارِسَ يَصْنَعُونَ ذَلِكَ فَلاَ يَضُرُّ أَوْلاَدَهُمْ ». قَالَ مُسْلِمٌ وَأَمَّا خَلَفٌ فَقَالَ عَنْ جُذَامَةَ الأَسَدِيَّةِ. وَالصَّحِيحُ مَا قَالَهُ يَحْيَى بِالدَّالِ.

معانى بعض الكلمات : الغيلة : أن يجامع الرجل امرأته وهى ترضع

Saya pernah menginginkan untuk melarang ghilah, (yaitu berhubungan badan ketika istri dalam masa menyusui), namun setelah itu saya melihat bangsa Persia zaman romawi melakukannya dan anak-anak mereka tidak mengalami bahaya kepada ghilah tersebut”. Shahih Muslim bab Jawazu al-Ghilah.

Hukum KB adalah boleh ketika ada bahaya, seumpama jika seorang ibu terlalu sering/banyak melahirkan anak yang menurut pendapat dokter yang ahli dalam hal ini bisa membahayakan nyawa sang ibu, maka hukumnya boleh dengan jalan apa saja yang ada, karena untuk menyelamatkan.


وَكَذَا اِسْتِعْمَالُ اْلإِمْرَأَةِ الشَّيْءَ الَّذِي يَبْطِئُ الْحَبْلَ وَيَقْطَعُهُ مِنْ أَصْلِهِ فَيُكْرَهُ فِي اْلأَوَّلِ وَيُحْرَمُ فِي الثَّنِي. وَعِنْدَ وُجُوْدِ الضَّرُوْرَةِ فَعَلَى الْقَاعِدَةِ الْفِقَهِيَّةِ إِذَا تَعَارَضَتْ الْمَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا مَفْسَدَةٌ إهـــ (البجورى على فتح القريب في كتاب النكاح جزء 2 ص 93 )

Demikian halnya wanita yang menggunakan sesuatu (seperti obat atau alat kotrasepsi) yang dapat memperlambat kehamilan, hal ini hukumnya makruh. Sedangkan apabila sampai memutus keturunan maka hukumnya haram, dan ketika dalam keadaan darurat maka sesuai dengan qaidah fiqhiyah “Ketika terjadi dua mafsadat (bahaya) maka hindari mafsadat yang lebih besar dengan melakukan mafsadat yang paling ringan”


BAB MAKANAN
(Kotoran Ikan)
Seringkali kita memasak lauk pauk, misalnya ikan teri, pindang, atau ikan lain yang belum dibuang dan dibersihkan kotorannya. Bagaimanakah hukum mengkonsumsi ikan yang tidak dibuang atau tidak bersih kotorannya?

1 Tidak boleh, karena ‘ainun najasah (kotorannya) masih melekat.

وَلَا يَحِلُّ أَكْلُ سَمَكِ مِلْحٍ وَلَمْ يُنْزَعْ مَا فِيْ جَوْفِهِ لِأَنَّهُ فِي أَكْلِ السَّمَكَةِ كُلِّهَا مَعَ مَا فِيْ جَوْفِهَا مِنَ النَّجَاسَةِ (الفتاوى الكبرى الفقهية باب المسابقة والمناضلة )

2 Boleh mengkonsumsinya, menurut qaul yang berpendapat hewan yang halal dimakan, maka kotoran hukumnya suci.

(مَسْئَلَةٌ ب) ذَهَبَ بَعْضُهُمْ اِلَى طَهَارَةِ رَوْثِ الْمَأْكُوْلِ (بغية المسترشدين ص 14)
Sebagian ulama’ yang berpendapat terhadap kesucian kotoran hewan yang halal dimakan (Bughyah al-Mustarsyidin, hal.14)


(Hukum Mengkonsumsi Hewan Amphibi (hidup di dua alam)
Hewan yang bisa hidup di dua alam yakni bisa hidup di daratan juga bisa hidup di air dinamakan hewan amphibi. Misalnya katak, kepiting, buaya, kura-kura dan lain-lain. Bagaimanakah pandangan ulama’ tentang hukum mengkonsumsi hewan sejenis amphibi?

1 Menurut Imam Haramain: Haram mengkonsumsi hewan sejenis amphibi dengan alasan bisa hidup di dua alam.

2 Menurut Imam Baghawy: Halal mengkonsumsi hewan sejenis amphibi kecuali katak.
3 Menurut Qoul Dha’if: Halal mengkonsumsi hewan sejenis amphibi secara keseluruhan.

اَلضَّرْبُ الثَّانِىْ ماَ يَعِيْشُ فِى الْمَاءِ وَفِى الْبَرِّ أَيْضاً اِلَى قَوْلِهِ وَعَدَّ الشَّيْخُ اَبُوْحاَمِدٍ وَاِماَمُ الْحَرَمَيْنِ مِنْ هذَا الضَّرْبِ اَلضِّفْدَعُ وَالسَّرَطاَنُ وَهُمَا مُحَرَّماَنِ عَلىَ الْمَذْهَبِ الصَّحِيْحِ وَبِهِ قَطَعَ الْجُمْهُوْرُ وَفِيْهِمَا قَوْلٌ ضَعِيْفٌ أَنَّهُمَا حَلاَلٌ وَحَكاَهُ الْبَغَوِيُّ فِي السَّرَطَانِ عَنِ الْحُلَيْمِىِّ. ( المجموع شرح المهذب ج 9 ص 30 )

Jenis yang kedua adalah hewan yang bisa hidup di air dan juga di daratan, Abu Hamid mengkategorikan katak dan kepiting termasuk jenis ini, keduanya hukumnya haram menurut pendapat yang shahih dan menurut pendapat yang dhaif hukumnya halal. Sedangkan al-Baghowi mengecualikan katak.
(al-Majmu’, Juz 9, hal. 30)


(Makan Sebelum dan Sesudah Melaksanakan Shalat Ied)
Pada saat sebelum melaksanakan shalat Idul Fitri dan sesudah shalat Idul Adha, para jama’ah disunnahkan untuk makan terlebih dahulu, sebagaimana keterangan sebagai berikut:

عَنْ اِبْنِ بُرَيْدَةِ عَنْ اَبِيْهِ قاَلَ كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَيَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمَ وَلاَيَطْعَمَ يَوْمَ اْلاَضْحَى حَتَّى يُصَلِّى

Dari ibnu Buraidah dari ayahnya ia berkata, bahwasannya Rasulullah pada hari raya Idul Fitri tidak akan keluar, sehingga beliau makan. Dan beliau tidak akan makan pada hari raya Idul Adha sehingga mengerjakan shalat Idul Adha. (Bulugh al-Maram, hal. 105)

وَالْحَدِيْثُ دَلِيْلُ عَلَى شَرْعِيَّةِ اْلأَكْلِ يَوْمَ اْلفِطْرِ قَبْلَ الصَّلاَةِ وَتَأْخِيْرِهِ يَوْمَ اْلأَضْحَى اِلَى مَا بَعْدَ الصَّلاَةِ (سبل السلام ج 2 ص 65 )

Hadits ini menunjukkan disyari’atkannya makan sebelum pelaksanaan shalat Idul Fitri dan sesudah shalat Idul Adha. (Subul al-Salam juz 2 hal.65)

Dengan demikian, makan sebelum berangkat shalat Idul Fitri hukumnya sunnah. Adapun pada hari raya Idul Adha disunnahkan makan sesudah shalat, seperti yang telah dikerjakan oleh Rasulullah Saw.



(Hukum Merokok)

1 Haram


Menurut Syekh Abd. Aziz bin Abdillah bin Baz hukum merokok itu haram secara syar’i karena bisa membahayakan kesehatan (mendatangkan berbagai macam penyakit yang bisa menyebabkan kematian seseorang). Diterangkan dalam kitab: Hukmu Syurbu al-Dukhan Wa Imamati Man, Juz 1 hal. 1-3.


فَقَدْ دَلَّتْ اَلأَدِلَّةُ اَلشَّرْعِيَّةُ عَلىَ أَنَّ شُرْبَ الدُّخَانِ مِنَ اْلأُمُوْرِ اَلْمُحَرَّمَةِ شَرْعًا لِمَا اِشْـتَمَلَ عَلَيْهِ مِنَ اْلأَضْرَارِ ، قاَلَ تَعَالىَ:{وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ} فَهِيَ مِنَ الْخَبَائِثِ اَلْمُحَرَّمَةِ، وَيُؤَدِّيَ شُرْبَهَا إِلىَ أَمْرَاضِ مُتَعَدِّدَةِ تُؤْدِيْ إِلىَ الْمَوْتِ، وَقَالَ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ»، فاَلضَّرَرُ بِالْجِسْمِ أَوِ اْلإِضْرَارُ بِالْغَيْرِ مَنْهِيٌ عَنْهُ، فَشُرْبُهُ وَبَيْعُهُ حَرَامٌ. (كتاب حكم شرب الدخان وامامة من جز 1 ص 1-3)

Dalil-dalil syar’i menunjukkan bahwa sesungguhnya merokok itu termasuk perkara yang diharamkan karena mengandung banyak bahaya. Allah berfirman “Dan (Allah) menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk”. Maka merokok termasuk perkara buruk yang diharamkan, menghisapnya menyebabkan penyakit yang menyebabkan kematian. Nabi bersabda: “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain”. Maka membahayakan diri sendiri atau membahayakan orang lain itu dilarang, maka menghisap dan menjual rokok itu haram.

Menurut Imam Al Bajuri merokok terkadang juga bisa haram jika membelinya dengan uang jatah nafaqah yang dibutuhkan keluarga atau berkeyakinan tentang bahaya merokok. Diterangkan dalam kitab: al-Bajuri, Juz 1 hal. 343.


وَقَدْ تَعْتَرِيْهِ اْلحَرَمَةُ اِذَا كَانَ يَشْتَرِيْهِ بِمَا يَحْتَاجُهُ نَفَقَةَ عِيَالِهِ اَوْ تَيَقَّنَ ضَرَرَهُ. (كتاب البجوري جز 1 ص: 343)


2 Makruh

Menurut Qaul Mu’tamad, seperti pendapat Imam Al Bajuri, hukum merokok itu adalah makruh. Pendapat ini diterangkan dalam kitab: Irsyad al-Ihwan fi Bayani Ahkami Syurbi al-Qahwah Wa al-Dukhan hal. 37-38.

(اَلْمُعْتَمَدُ اَنَّهُ) اَيْ شُرْبُ الدُّخَانُ (مَكْرُوْهٌ كَمَا يَقُوْلُ اَلْبَاجُوْرِى اَلأََفْقَهُ) مِنْ كِتَابِ الْبُيُوْعِ مِنْ حَاشِيَةِ عَلىَ شَرْحِ اْلغَايَةِ، وَعِبَارَتُهُ بَعْدَ ذِكْرِ الْقَوْلِ باِلْحَرَمَةِ وَهٰذَا ضَعِيْفٌ وَكَذَا اْلقَوْلُ بِأَنَّهُ مُبَاحٌ وَاْلمُعْتَمَدُ أَنَّهُ مَكْرُوْهٌ. ( ارشاد الاخوان: في بيان احكام شرب القهوة والدخان. ص: 38 – 37 )

(Qoul yang mu’tamad) sesungguhnya merokok itu makruh seperti yang dikatakan oleh Imam al-Bajuri dari kitab al-buyu’ dari hasyiyah syarah al-Ghoyah, perkataannya setelah menyebutkan hukum haram, ini pendapat yang lemah, begitu juga dengan perkataan bahwa hukumnya boleh, dan yang mu’tamad hukumnya makruh

3 Mubah

Menurut Syekh Ali al-Ujhuri al-Maliki, merokok dihukumi sebagai sesuatu yang diperbolehkan, dan pendapatnya tersebut juga di perkuat oleh pendapat al-‘Arif Abdul Ghani an-Nablusy. Diterangkan di dalam kitab: Takmilah Hasyiah Rad al-Muhtar, Juz 1 hal. 15.

وَلِلْعَلَّامَةِ الشَّيْخِ عَلِيٍّ الْأُجْهُورِيِّ الْمَالِكِيِّ رِسَالَةٌ فِي حِلِّهِ نَقَلَ فِيهَا أَنَّهُ أَفْتَى بِحِلِّهِ مَنْ يُعْتَمَدُ عَلَيْهِ مِنْ أَئِمَّةِ الْمَذَاهِبِ الْأَرْبَعَةِ .قُلْت: وَأَلَّفَ فِي حِلِّهِ أَيْضًا سَيِّدُنَا الْعَارِفُ عَبْدُ الْغَنِيِّ النَّابْلُسِيُّ رِسَالَةً سَمَّاهَا ( الصُّلْحُ بَيْنَ الْإِخْوَانِ فِي إبَاحَةِ شُرْبِ الدُّخَانِ ) وَتَعَرَّضَ لَهُ فِي كَثِيرٍ مِنْ تَآلِيفِهِ الْحِسَانِ، ( تكملة حاشية رد المختار جز 1 ص 15 )


4 Wajib

Menurut pendapat Imam al-Bajuri, hukum merokok itu terkadang bisa wajib apabila akan terjadi bahaya jika meninggalkannya. Hal ini diterangkan dalam kitab: al-Bajuri, Juz 1 hal. 343.

 بـَلْ قَدْ يَعْتـَرِيْهِ اْلوُجُوْبُ كَمَا يَعْلَمُ الضَّرَرُ بِتَرْكِهِ. (كتاب البجوري جز 1 ص 343)

Al-Tommah al-Kubro berpendapat kalau menghukumi haram atau makruh itu harus ada dalil karena keduanya itu adalah hukum syar’i, sedangkan dalam masalah rokok ini tidak ada dalil (al-Qur’an atau Hadits) yang menetapkannya dengan hukum haram atau makruh, karena rokok tidaklah membuat mabuk, tidak mengganggu pikiran juga tidak membahayakan, bahkan ada beberapa manfaatnya sesuai dengan qoidah “Al-Aslu Fil Asyyaai Al-Ibaakhah”, karena sesuatu yang membahayakan bagi sebagian orang tidak bisa menjadi sebab mengharamkan kepada setiap orang. Seperti halnya madu!, pada satu sisi madu bisa membahayakan bagi orang yang mengidap penyakit kuning dan memperparah penyakitnya, tetapi di sisi lain madu bisa menjadi obat bagi penyakit yang lain dengan keterangan yang pasti bahwa madu adalah obat. Hal ini diterangkan dalam kitab Takmillah Hasiyah Raddul Muhtar , Juz 1 hal. 15.
وَأَقَامَ الطَّامَّةَ الْكُبْرَى عَلَى الْقَائِلِ بِالْحُرْمَةِ أَوْ بِالْكَرَاهَةِ فَإِنَّهُمَا حُكْمَانِ شَرْعِيَّانِ لَا بُدَّ لَهُمَا مِنْ دَلِيلٍ وَلَا دَلِيلَ عَلَى ذَلِكَ فَإِنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ إسْكَارُهُ وَلَا تَفْتِيرُهُ وَلَا إضْرَارُهُ، بَلْ ثَبَتَ لَهُ مَنَافِعُ، فَهُوَ دَاخِلٌ تَحْتَ قَاعِدَةِ الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ وَأَنَّ فَرْضَ إضْرَارِهِ لِلْبَعْضِ لَا يَلْزَمُ مِنْهُ تَحْرِيمُهُ عَلَى كُلِّ أَحَدٍ ، فَإِنَّ الْعَسَلَ يَضُرُّ بِأَصْحَابِ الصَّفْرَاءِ الْغَالِبَةِ وَرُبَّمَا أَمْرَضَهُمْ مَعَ أَنَّهُ شِفَاءٌ بِالنَّصِّ الْقَطْعِيِّ. (حاشية رد المختار ج 1 ص0 15)


TOLERANSI DALAM PLURALITAS AGAMA
(Hukum Toleransi dalam Pergaulan Antar Umat Beragama)
Manusia tidak dapat hidup tanpa orang lain, oleh sebab itu manusia disebut makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain. Lebih-lebih kita hidup dalam negara yang penuh keragaman, baik dari segi budaya, status sosial, suku, budaya maupun agama. Untuk hidup damai dan berdampingan, tentu dibutuhkan teposeliro (tenggang rasa) atau toleransi antara satu dengan yang lainnya

Hukum toleransi dalam pergaulan antar umat beragama (pluralitas agama) adalah sebagai berikut


1 Dilarang (haram), apabila dalam berhubungan, rela (ridho) serta meyakini kebenaran aqidah agama lain.


2 Boleh, bergaul atau menjalin hubungan baik dalam urusan dunia saja dengan sebatas dhohir.


Dilarang, tapi tidak menjadi kufur yaitu: Apabila tolong menolong tersebut disertai rasa condong terhadap keyakinan (akidah) agama lain yang disebabkan ada hubungan kerabat atau cinta, tetapi tetap beri’tikad bahwa agama mereka adalah bathil, dan apabila tolong menolong yang disertai rasa condong itu dapat membuat rasa simpati dan rela terhadap agama mereka maka bisa keluar dari agama Islam


3 Tidak dilarang, (bahkan dianjurkan) apabila bertujuan untuk menghindari bahaya yang berasal dari mereka atau untuk memperoleh kemanfaatan atau kemaslahatan.


Diterangkan dalam kitab: Tafsir Munir Lin Nawawi Juz : I Hal : 94. Kitab Al-Bab Fii ‘Ulumi al-Kitab bab surat Ali Imran juz 5 hal.143. dan dalam Hasyiyah al-Bujairami ‘ala al-Khatib pada Fasal Fii al-Jizyah juz 4 halaman 291-292:


وَاعْلَمْ اَنَّ كَوْنَ الْمُؤْمِنِ مُوَالِياً لِلْكاَفِرِ يَحْتَمِلُ ثَلاَثَةَ اَوْجُوْهٍ اَحَدُهَا اَنْ يَكُوْنَ رَاضِياً بِكُفْرِهِ وَيَتَوَلاَّهُ لِأَجْلِهِ وَهَذَا مَمْنُوْعٌ لِأَنَّ الرِّضَى بِالْكُفْرِ كُفْرٌ. وَثَانِيْهَا الْمُعَاشَرَةُ الْجَمِيْلَةُ فِى الدُّنْياَ بِحَسَبِ الظَّاهِرِ وَذَلِكَ غَيْرُ مَمْنُوْعٍ. وَثاَلِثُهاَ الرُّكُوْنُ اِلَى الْكُفْرِ وَالْمَعُوْنَةِ وَالنُّصْرَةِ اِمَّا بِسَبَبِ اْلقَرَابَةِ اَوْ بِسَبَبِ الْمَحَبَّةِ مَعَ اعْتِقَادٍ اَنَّ دِيْنَهُ باَطِلٌ فَهَذَا لاَ يُوْجِبُ الْكُفْرَ اِلاَّ اَنَّهُ مَنْهِىٌّ عَنْهُ لِأَنَّ الْمُوَالَةَ هَذَا الْمَعْنَى قَدْ تَجُرُّهُ اِلَى اسْتِحْساَنِ طَرِيْقِهِ وَالرِّضَى بِدِيْنِهِ وَذَلِكَ يَخْرُجُهُ عَنِ اْلاِسْلاَمِ. ( تفسير المنير الجزء 1 صحفة 94 )

Keterangan Hasyiyah al-Bujairami ‘ala al-Khatib pada Fasal Fii al-Jizyah, sebagai berikut:
قَوْلُهُ : ( تَحْرُمُ مَوَدَّةُ الْكَافِرِ ) أَيْ الْمَحَبَّةُ وَالْمَيْلُ بِالْقَلْبِ وَأَمَّا الْمُخَالَطَةُ الظَّاهِرِيَّةُ فَمَكْرُوهَةٌ - - - اِلَخْ , أَمَّا مُعَاشَرَتُهُمْ لِدَفْعِ ضَرَرٍ يَحْصُلُ مِنْهُمْ أَوْ جَلْبِ نَفْعٍ فَلَا حُرْمَةَ فِيهِ ا هـ ع ش عَلَى م ر . ( حاشية البجيرمى على الخاطب , فصل فى الجزية ج 4 ص 291-292 )
Kata pengarang, “Haram mencintai non muslim” maksudnya, cinta, senang dan condong dengan hati. Adapun berinteraksi dengan orang-non muslim dalam urusan zhahir adalah makruh, sedangkan berinteraksi dengan mereka untuk menghindari bahaya yang berasal dari mereka atau untuk memperoleh manfaat maka tidak dilarang. (Hasyiyah al-Bujairami ‘ala al-Khatib pada Fasal Fii al-Jizyah, juz 4 halaman 291-292)

(Hukum Mengucapkan Salam Kepada Non Muslim)
Yang dimaksud dengan non muslim adalah orang yang bukan beragama Islam termasuk orang Yahudi, Nasrani, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, Konghucu dan lain-lain.
Dalam hal memberi salam kepada orang non muslim, para ulama’ berbeda pandangan mengenai hal ini:

Sebagian ulama’ berpendapat bahwa memberi salam kepada orang non muslim itu tidak boleh.


لَا يَجُوْزُ السَّلاَمُ عَلَى الْكُفَّارِ، هَذَا هُوَ الْمَذْهَبُ الصَّحِيْحُ وَبِهِ قَطَعَ الْجُمْهُوْرُ. (المجموع شرح المهذب، ج 4، ص 507)

Tidak diperbolehkan memberi salam terhadap orang-orang kafir, menurut pendapat (madzhab) yang sahih yang disepakati mayoritas ulama’. (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 4, hal. 507)


رُوِىَ عَنْ سَهْلِ بْنِ اَبِىْ صَالِحٍ عَنْ اَبِيْهِ عَنْ اَبِىْ هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قاَلَ لاَ تَبْدَأُوْا الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى بِالسَّلاَمِ وَاِذاَ لَقِيتُمْ فِى الطَّرِيْقِ فَاضْطَرُّوْهُ اِلَى اَضْيَقِهِ (المجموع شرح المهذب، ج 4، ص 508)

Diceritakan dari sahal bin Abi shaleh, dari ayahnya, dari Abu Hurairah ra. Bahwa Nabi bersabda: janganlah engkau memberi salam kepada orang Yahudi dan orang Nasrani, dan ketika kamu bertemu di jalan, maka bergeserlah ke jalan yang lebih sempit. (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 4, hal. 508)

Sebagian ulama’ berpendapat bahwa memberi salam kepada orang non muslim hukumnya boleh.


وَحَكَى الْمَاوَرْدِي فِي الْحَاوِي فِيْهِ وَجْهَيْن أَحَدُهُمَا هَذَا، وَالثَّانِيْ: يَجُوْزُ ابْتِدَاؤُهُمْ بِالسَّلَامِ، لَكِنْ يَقُوْلُ السَّلاَمُ عَلَيْكَ، وَلَا يَقُوْلُ عَلَيْكُمْ . وَهَذَا شَاذُّ ضَعِيْفٌ. (المجموع شرح المهذب، ج 4، ص 507)

Dalam kitab Hawy Imam Mawardi menceritakan bahwa memberi salam kepada orang non muslim ada dua macam: yang pertama tidak boleh, kedua: boleh memberi salam kepada orang non muslim, akan tetapi dengan mengucapkan as-Salamu ‘Alaika. Jangan mengucapkan as-Salamu ‘alaikum. Pendapat ini lemah dan langka.
(Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 4, hal. 507)

عَنْ اَبِىْ اُمَامَةِ اْلبَاهِلِى اَنَّهُ كاَنَ لاَيَمُرُّ بِأَحَدٍ مِنَ الْيَهُودِي وَالنَّصَارَى اِلاَّ بِإِفْشاَءِ السَّلاَمِ عَلَيْهِمْ وَقاَلَ اَمَرَناَ رَسُوْلُ اللهِ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلَامُ عَلىَ سَلَامِ كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُعَاهَدٍ

Diceritakan dari Abi Umamah al-Bahali, sesungguhnya dia tidak pernah berjalan bertemu orang yahudi kecuali dengan memberi salam kepada mereka. Abu Umamah berkata: Rasulullah memerintah kepada kita supaya menebar salam kepada setiap orang Islam dan orang kafir mu’ahad (orang kafir yang berjanji kepada pemerintah akan tunduk dan patuh pada undang-undang Negara)

(Hukum Mengucapkan Salam Menggunakan Selain Bahasa Arab)
Ucapan salam sering kita dengar di suatu acara atau setiap kali bertemu sanak famili, teman maupun saudara, namun salam yang diucapkan itu berbeda-beda, ada yang menggunakan bahasa arab dan juga ada yang menggunakan bahasa selain bahasa arab (selain ucapan Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh) seperti dengan bahasa Jawa (sugeng injing, sugeng dalu), dengan bahasa Indonesia seperti selamat pagi, selamat siang, selamat sore, selamat malam, salam kebangsaan, salam damai, salam sejahtera atau dengan bahasa Inggris seperti hello, good morning, good afternoon dan masih banyak lagi bahasa yang lain.

Bagaimanakah pandangan fiqih mengenai hukum ucapan salam selain bahasa arab tersebut?


Menurut imam Rafi’i ada tiga wajah


1 Tidak cukup

2 Sudah mencukupi
3 Jika mampu menggunakan bahasa arab maka tidak mencukupi, tetapi kalau tidak bisa bahasa arab maka sudah mencukupi.
4 Sah dan wajib menjawab bagi orang yang disalami jika bisa memahami maksudnya (pendapat yang shahih bahkan benar).
Keterangan kitab Al-Majmu’, Juz 4 hal 505;

حَكَى الرَّافِعِىُّ فِي السَّلاَمِ بِالْعَجَمِيَّةِ ثَلاَثَةَ أَوْجُهٍ اَحَدُهَا لاَ يُجْزِئُ وَالثَّانِيْ يُجْزِئُ وَالثَّالِثُ إِنْ قَدَرَ عَلَى الْعَرَبِيَّةِ لَمْ يُجْزِئْهُ وَإِلاَّ فَيُجْزِئُهُ وَالصَّحِيْحُ بَلِ الصَّوَابُ صِحَّةُ سَلاَمِهِ بِالْعَجَمِيَّةِ وَوُجُوْبُ الرَّدِّ عَلَيْهِ إِذَا فَهِمَهُ الْمُخَاطَبُ سَوَاءٌ عَرَفَ الْعَرَبِيَّةَ اَمْ لاَ ِلأَنَّهُ يُسَمَّى تَحِيَّةً وَسَلاَمًا، وَاَمَّا مَنْ لاَ يَسْتَقِيْمُ نُطْقَةً بِالسَّلاَمِ فَيَسْلِمُ كَيْفَ اَمْكَنَهُ بِاْلإِتِّفَاقِ ِلأَنَّهُ ضَرُوْرَةٌ إهـ ( المجموع شرح المهذب الباب صفة السلام واحكامه جزء 4 ص 505 )

Imam Rofi’i mengemukakan tiga pendapat tentang salam dengan menggunakan bahasa selain bahasa arab, 1. Tidak cukup, 2. Cukup, 3. Jika mampu menggunakan bahasa arab maka tidak cukup, tetapi kalau tidak bisa maka cukup, sedangkan pendapat yang shahih bahkan benar salam sah menggunakan bahasa apa saja selain bahasa arab dan wajib menjawab bagi orang yang disalami jika bisa dipahami maksudnya baik yang mengucapkan salam bisa bahasa arab atau tidak bisa, karena salam selain bahasa arab bisa disebut sebagai penghormatan dan ucapan selamat, sedangkan bagi orang yang tidak mampu mengucapkan salam maka para ulama’ sepakat baginya tetap disunnahkan salam sebisanya karena darurat

Penjelasan

Ucapan “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu” adalah sebagai tanda penghormatan dan ucapan doa selamat, demikian pula ucapan salam dengan menggunakan berbagai bahasa yang bisa dimengerti, bahkan menurut kesepakatan para ulama’ “bagi orang yang tidak mampu mengucapkan salam dengan bahasa arab disunnahkan mengucapkan salam dengan menggunakan bahasa selain bahasa Arab yang mudah dimengerti atau mudah dipahami.


BUDAYA DAN ETIKA
(Panggilan Sayyidina)

Banyak cara dalam upaya memuliakan dan memberi penghormatan pada orang lain misalnya panggilan gus atau mas bagi putra kyai, raden ageng atau pangeran bagi keluarga kerajaan. Begitu pula dengan panggilan sayyid artinya tuan besar. Di kalangan masyarakat NU sering lafadz sayyidina diucapkan tatkala menyebut nama Nabi dan para sahabatnya.


Penyebutan sayyidina pada Nabi Muhammad bertujuan memberikan penghormatan, dan lebih bersopan santun kepada Nabi Muhammad Saw. Dan hukumnya boleh, bahkan dianjurkan, sebagaimana keterangan di bawah ini:


حَدَّثَنِى الْحَكَمُ بْنُ مُوسَى أَبُو صَالِحٍ حَدَّثَنَا هِقْلٌ - يَعْنِى ابْنَ زِيَادٍ - عَنِ الأَوْزَاعِىِّ حَدَّثَنِى أَبُو عَمَّارٍ حَدَّثَنِى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ فَرُّوخَ حَدَّثَنِى أَبُو هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأَوَّلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ ». (صحيح مسلم, باب تفضيل نبينا على بعض )

Telah bercerita kepadaku al-Hakam bin Musa Abu Shalih, telah bercerita kepadaku Hiql (yaitu Ibnu Ziyad) dari al-Auza’i, telah bercerita kepadaku Abu Ammar, telah bercerita kepadaku Abdullah bin Farrukh, telah bercerita kepadaku Abu Hurairah, dia berkata “Rasulullah Saw. Bersabda: “Aku adalah sayyid bagi manusia di hari kiamat dan orang yang pertama kali bangkit dari alam kubur, pertama kali sebagai pemberi syafa’at dan yang di syafa’ati”. (Shahih Muslim: bab Tafdhil Nabiyina ‘ala Jamii’)

وَقَوْلُهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا َاْلأَوْلَى ذِكْرُ السِّياَدَةِ، ِلاَنَّ اْلاَفْضَلَ سُلُوْكُ اْلاَدَبِ. (الباجورى على ابن قاسم ج 1 ص 156 )

Setiap kali menyebut nama Muhammad Rasulullah, yang lebih utama adalah menambah dengan sayyidina, karena lebih utama dengan jalan/cara sopan santun. (al-Bajuri ala Ibni Qasim Juz 1, hal. 156)

Dan dalam kitab Tafsir al-Baghawi, Imam Mujahid dan Imam Qotadah berkata: Janganlah kamu sekalian memanggil nama Nabi dengan namanya secara langsung (wahai Muhammad), tetapi panggillah dengan penuh tawadhuk dan lemah lembut. Misalnya memanggil dengan nama keagungan dan kebesarannya: Wahai Rasulullah, dan lain-lain.


وَقاَلَ مُجَاهِدٌ وَقَتاَدَةُ: لاَ تَدْعُوْهُ بِاسْمِهِ كَمَا يَدْعُوْ بَعْضَكُمْ بَعْضًا: ياَ مُحَمَّدُ، ياَ عَبْدَ اللهِ، وَلَكِنْ فَخَّمُوْهُ وَشَرِّفُوْهُ، فَقُوْلُوْا: ياَ نَبِيَّ اللهِ، ياَ رَسُوْلَ اللهِ، فِيْ لَيِّنٍ وَتَوَاضُعٍ ( تفسير البغوى ج 3 ص 433 )


(Berdiri untuk Menghormati Seseorang)
Sudah tidak asing lagi di kalangan pesantren dan masyarakat apabila ada seorang kyai atau ulama’ lewat mereka berdiri untuk menghormati kyai tersebut. Penghormatan ini dilakukan untuk menghormati ilmu kyai tersebut. Bagaimanakah hukum berdiri untuk penghormatan tersebut?

Mayoritas ulama’ membolehkan berdiri untuk menghormati seseorang yang datang. Mereka berdalil dengan firman Allah Swt.


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوْا إِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوْا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَانْشُزُوْا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوْتُوْا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ ( المجادلة اية 11 

Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al-Mujadalah:11

ذَهَبَ جُمْهُوْرُ اْلفُقَهَاءِ اِلَى جَوَازِ اْلقِيَامِ لِلْقاَدِمِ اِذَا كاَنَ مُسْلِمًا مِنْ أَهْلِ الْفَضْلِ وَالصَّلاَحِ عَلَى وَجْهِ التَّكْرِيْمِ لِأَنَّ احْتِرَامَ الْمُسْلِمِ وَاجِبٌ وَتَكْرِيْمَهُ لِدِيْنِهِ وَصَلاَحَهُ مِمَّا يَدْعُوْ اِلَيْهِ اْلاِسْلاَمُ لِأَنَّهُ سَبِيْلُ الْمَحَبَّةِ وَالْمَوَدَّةِ وَقَدْ قاَلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ (لاَ تَحْقَرِنْ مِنَ الْمَعْرُوْفِ شَيْأً وَلَوْ أَنْ تَكَلَّمَ أَخَاكَ وَأَنْتَ مُنَبِّسَطٌ اِلَيْهِ بِوَجْهِكَ) . (روائع البيان في تفسير ايات الأحكام, ج 2 ص 454)

Mayoritas ulama’ mengatakan bahwa boleh berdiri untuk (menghormati) orang Islam yang mulia dan baik, dengan tujuan untuk menghormatinya. Menghormati seseorang karena agama dan kebaikannya, termasuk perbuatan yang sangat dianjurkan oleh agama dan karena perbuatan itu merupakan jalan untuk menambah rasa cinta dan kasih sayang. Nabi bersabda janganlah kamu meremehkan perbuatan baik (yang dilakukan seseorang), sekalipun (dalam bentuk) kamu berbicara kepada saudaramu dengan wajah yang berseri-seri. (Rawaai’ al-Bayan Fii Tafsiri Ayat al-Ahkam, juz II, hal.404)

(Jabat Tangan dengan Dicucup atau Dicium)
Sering kali kita melihat seseorang saat bertemu atau berjumpa dengan temannya yang lain mereka saling berjabat tangan, terutama di lingkungan pondok pesantren. Etika ini juga dilakukan oleh santri saat berhadapan dengan orang tua, kyai, atau guru mereka, namun tidak hanya berjabat tangan, melainkan dengan mencium atau mencucup tangan mereka yang dipandang mulia, bahkan ada sebagian dari santri yang mencium kaki kyainya (sebagai wujud penghormatan kepada gurunya)

Namun terkadang hal ini dipandang sebelah mata oleh sebagian orang sebagai upaya pengkultusan atau budaya patron yang kurang baik. Bagaimanakah sebenarnya pandangan agama terhadap perilaku jabat tangan dengan cara mencium, mencucup tangan atau bahkan mencium kaki?


1 Makruh, apabila dilakukan terhadap orang kaya karena kekayaannya.


وَافَقَ النَّوَوِيُّ بِكَرَاهَةِ اْلاِنْحِنَاءِ وَتَقْبِيْلِ نَحْوِ يَدٍ أَوْ رِجْلٍ لاَ سِيَمَا لِنَحْوِ غَنِيٍّ لِحَدِيْثٍ : "مَنْ تَوَاضَعَ لِغَنِيٍّ ذَهَبَ ثُلُثَا دِيْنِهِ" . وَيُنْدَبُ ذَلِكَ لِنَحْوِ صَلاَحٍ أَوْ عِلْمٍ أَوْ شَرَفٍ (بغية المسترشدين ص 296 )

Imam Nawawi sepakat terhadap hukum makruh merunduk dan mencium tangan atau kaki apalagi kepada orang kaya, berdasarkan hadits “Barang siapa bertawadhu’ terhadap orang kaya maka hilanglah 2/3 agamanya”. Dan disunnahkan mencium atau merunduk kepada orang-orang saleh, orang-orang yang berilmu dan orang-orang mulia. (Bughya al-Mustarsyidin hal 296)

2 Sunnah, apabila itu dilakukan kepada orang-orang yang mulia dan orang yang sudah tua.


وَافَقَ النَّوَوِيُّ بِكَرَاهَةِ اْلاِنْحِنَاءِ وَتَقْبِيْلِ نَحْوِ يَدٍ أَوْ رِجْلٍ لاَ سِيَمَا لِنَحْوِ غَنِيٍّ لِحَدِيْثٍ : "مَنْ تَوَاضَعَ لِغَنِيٍّ ذَهَبَ ثُلُثَا دِيْنِهِ" . وَيُنْدَبُ ذَلِكَ لِنَحْوِ صَلاَحٍ أَوْ عِلْمٍ أَوْ شَرَفٍ (بغية المسترشدين ص 296 )

Imam Nawawi sepakat terhadap hukum makruh merunduk dan mencium tangan atau kaki apalagi kepada orang kaya, berdasarkan hadits “Barang siapa bertawadhu’ terhadap orang kaya maka hilanglah 2/3 agamanya”. Dan disunnahkan mencium atau merunduk kepada orang-orang saleh, orang-orang yang berilmu dan orang-orang mulia.
(Bughya al-Mustarsyidin hal 296)

Menurut Imam al-Hafidz al-Iraqi Ra.: Mencium badan, tangan dan kaki orang-orang saleh atau orang-orang mulia dengan niatan untuk mendapatkan berkah (tabarukan) adalah perbuatan baik dan terpuji.


وَقَالَ اَلْحَافِظْ اَلْعِرَاقِيْ : وَتَقْبِيْلُ اْلأَمَاكِنِ الشَّرِيْفَةِ عَلَى قَصْدِ التَّبَرُّكِ وَأَيْدِيْ الصَّالِحِيْنَ وَأَرْجُلِهِمْ حَسَنٌ مَحْمُوْدٌ بِاعْتِبَارِ الْقَصْدِ وَالنِّيَةِ اهـ. (بغية المسترشدين ص 296 )

Imam Hafidz al-Iraqi Ra. berkata: Mencium badan, tangan atau kaki orang-orang yang dianggap mulia dengan maksud mendapatkan berkah, adalah perbuatan baik dan terpuji berdasarkan tujuan dan niatnya
(Bughya al-Mustarsyidin hal 296)

Budaya mencium tangan ulama’, kyai, ahli zuhud dan orang yang sudah tua, sudah ada sejak zaman Rasulullah Saw. seperti contoh: sahabat Abu Ubaidah mencium tangan sahabat umar, sahabat Ali mencium tangan sahabat Abbas dan sahabat ka’ab mencium kedua tangan dan lutut Nabi. Sebagaimana keterangan berikut ini:


وَرَوَى اِبْنُ حِباَّنِ اِنَّ كَعْباً قَبَّلَ يَدَيْهِ وَرُكْبَتَيْهِ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ لَمَّا نَزَلَتْ تَوْبَتُهُ. (بغية المسترشدين ج 1 ص 638)Sesungguhnya Ka’ab mencium kedua tangan dan lutut Nabi. (HR. Ibnu Hibban). (Bughya al-Mustarsyidin hal 638)



(Mahal al-Qiyam, (Berdiri Ketika Membaca Barzanji)
Ketika membaca shalawat barzanji, ketika sampai bacaan “Ya Nabi Salam ‘Alaika” biasanya orang-orang melantunkannya sambil berdiri yang dikenal dengan istilah Mahal al-Qiyam. Ada sebagian orang yang mengatakan bahwa berdiri ketika membaca shalawat adalah bid’ah syayyiah sebab tidak ada dalil yang membenarkannya, benarkah begitu?. Dan sebetulnya bagaimanakah hukum berdiri ketika membaca shalawat?

Membaca shalawat kepada Nabi Muhammad Saw. merupakan ibadah yang sangat terpuji. Tujuan membaca shalawat itu adalah untuk mengagungkan Nabi Muhammad Saw. Salah satu cara untuk mengagungkan seseorang adalah dengan cara berdiri. Oleh karena itu boleh hukumnya berdiri ketika membaca shalawat Nabi Saw. Sebagaimana diterangkan dalam kitab al-Bayan Wa al-Ta’rif Fii Dzikri al-Maulid al-Nabawi, hal.29-30:


وَيَقُوْلُ اَلْبَرْزَنْجِىُّ فِىْ مَوْلِدِهِ الْمَنْثُوْرِ هٰذَا وَقَدْ اِسْتَحْسَنَ الْقِيَامُ عِنْدَ ذِكْرِ مَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ اَئِمَّةِ ذُوْ رِوَايَةٍ, وَرِوَيَةٌ اِلَخْ فَطُوْبَى لِمَنْ كاَنَ تَعْظِيْمَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غاَيَةَ مَرَامِهِ وَمَرْماَهُ وَنَعْنِيْ بِالْاِسْتِحْسَانِ باِلشَّيْئِ هُناَ كَوْنُهُ جاَئِزًا مِنْ حَيْثُ ذَاتِهِ وَاُصُلِهِ وَمَحْمُوْدًا وَمَطْلُوْباً مِنْ حَيْثُ بِوَاعِثِهِ وَعَوَاقِبِهِ اِلَخْ لاَ بِالْمَعْنىَ الْمُصْطَلَحِ عَلَيْهِ فِيْ اُصُوْلِ الْفِقْهِ (البيان والتعريف فى ذكر المولد النبوى ص 29-30)

Imam al-Barzanji dalam kitab maulidnya, yang berbentuk prosa mengatakan sebagian ulama’ ahlu hadits yang mulia itu mengaggap baik (istihsan) berdiri ketika disebutkan sejarah kelahiran Nabi. Betapa beruntungnya orang yang mengagungkan Nabi Saw. Yang dimaksud dengan istihsan disini ialah jaiz (boleh) dilihat dari aspek perbuatan itu sendiri serta asal usulnya, dan dianjurkan dari sisi tujuan dan dampaknya. Bukan dari istihsan dalam pengertian ilmu usul fiqh. (Al-Bayan Wa al-Ta’rif Fii Dzikri al-Maulid al-Nabawi,, hal. 29-30)

Berdiri untuk menghormati sesuatu sebetulnya sudah menjadi tradisi kita. Bahkan tidak jarang berdiri untuk menghormati benda mati. Misalnya setiap tanggal 17 Agustus, maupun pada waktu yang lain, ketika bendera merah putih dinaikkan dan lagu Indonesia Raya dikumandangkan, maka seluruh peserta diharuskan berdiri. Tujuannya tidak lain adalah untuk menghormati Sang Saka Merah Putih dan mengenang jasa para pejuang bangsa.


Jika dalam upacara bendera saja harus berdiri, maka berdiri untuk menghormati Nabi tentu lebih layak dilakukan, sebagai ekspresi dari bentuk penghormatan. Bukankah Nabi Saw. Adalah manusia yang teragung yang lebih layak di hormati dari pada yang lain. Oleh sebab itu Imam Nawawi berpendapat:


اَلْقِياَمُ لِلْقاَدِمِ مِنْ اَهْلِ الْفَضْلِ مُسْتَحَبٌّ وَقَدْ جَاءَ فِيْهِ اَحاَدِيْثٌ وَلَمْ يَصَحْ فِى النَّهِىْ عَنْهُ شَيْئٌ صَرِيْحٌ (صحيح مسلم بشرح النووى رقم ج 12 ص 80 )

Berdiri untuk (menyambut) kedatangan orang yang mempunyai keutamaan itu dianjurkan. Ada banyak hadits yang menerangkan hal tersebut. Tidak ada dalil yang secara nyata menyatakan larangan berdiri itu. (Shahih Muslim Bi Syarh al-Nawawi, juz XII, hal.80)

Dari sini dapat disimpulkan bahwa sebagai salah satu bentuk penghormatan, berdiri menyambut kedatangan orang terhormat itu dianjurkan. Maka berdiri untuk menghormat Nabi ketika membaca shalawat itu lebih dianjurkan.



(Hukum Membaca Manaqib Syeh Abdul Qodir atau Manaqib yang Lainnya)
Di kalangan masyarakat Islam Indonesia seringkali kita temukan adanya kegiatan pembacaan manaqib Syeh Abdul Qadir al-Jilany. Bagaimanakah hukum tradisi tersebut?

Manaqib adalah sejarah atau biografi seorang ulama’ yang mempunyai nilai-nilai yang patut untuk dijadikan suri tauladan seperti halnya Syeh Abdul Qadir al-Jilany. Adapun pembacaan manaqib beliau tidak lain adalah untuk mencari dan mendapatkan berkah, terkabulnya do’a dan turunnya rahmat di depan para wali baik yang masih hidup ataupun yang sudah mati. Sebagaimana diterangkan dalam kitab Jala’ al-Dzulam ‘Ala ‘Aqidah al-‘Awam.


اِعْلَمْ يَنْبَغِىْ لِكُلِّ مُسْلِمٍ طَالِبُ اْلفَضْلِ وَالْخَيْرَاتِ اَنْ يَلْتَمِسَ الْبَرَكاَتِ وَالنَّفَحاَتِ وَاسْتِجاَبَةِ الدُّعاَءِ وَنُزُوْلِ الرَّحْمَاتِ فِى حَضْرَاتِ الْلاَوْلِياَءِ فِى مَجَالِسِهِمْ وَجَمْعِهِمْ اَحْياَءً وَاَمْوَاتاً وَعِنْدَ قُبُوْرِهِمْ وَحاَلَ ذِكْرِهِمْ وَكَثْرَةِ الْجُمُوْعِ زِياَرَاتِهِمْ وَعِنْدَ مُذَاكِرَاتِ فَضْلِهِمْ وَنَشْرِ مَنَاقِبِهِمْ (جلاء الظلام على عقيدة العوام)

Ketahuilah! Seyogyanya bagi setiap muslim yang mencari keutamaan dan kebaikan agar ia mencari berkah dan anugerah, terkabulnya do’a dan turunnya rahmat di depan para wali, di majelis-majelis perkumpulan mereka, baik masih hidup maupun sudah mati, di kuburan mereka, ketika mengingat mereka, dan ketika banyak orang berkumpul dalam berziarah kepada mereka, serta ketika mengingat keutamaan mereka, dan pembacaan riwayat hidup mereka. (Jala’u al-Dzulam ‘Ala ‘Aqidah al-‘Awam)

Dari keterangan tersebut dapat diketahui bahwa pembacaan manaqib orang yang shalih adalah diperbolehkan bahkan dianjurkan.



(Hukum Berjabat Tangan dengan Ghoiru Mahrom)
1 Tidak Boleh
Menurut jumhur ulama’ hukum berjabat tangan antara laki-laki dengan wanita lain (ghoiru mahrom) adalah tidak diperbolehkan. Hal ini diterangkan dalam kitab Tanwir al-Qulub hal. 199 dan Hasiyah al-Shawi ‘ala Syarhi al-Shaghir.

وَتَحْرُمُ مُصَافَحَةُ الرَّجُلِ لِلْمَرْأَةِ اْلأَجْنَبِيَّةِ مِنْ غَيْرِ حَائِلٍ وَكَذَا اْلاَمْرَادُ الْجَمِيْلُ ( تنوير القلوب ص 199)


قَوْلُهُ: [ وَلاَ تَجُوزُ مُصَافَحَةُ الرَّجُلِ الْمَرْأَةَ ]: أَيْ الْأَجْنَبِيَّةَ وَإِنَّمَا الْمُسْتَحْسَنُ الْمُصَافَحَةُ بَيْنَ الْمَرْأَتَيْنِ لَا بَيْنَ رَجُلٍ وَامْرَأَةٍ أَجْنَبِيَّةٍ ، ( حاشية الصاوى على الشرح الصغي


2 Makruh

Menurut Imam Ahmad bin Hambal, hukum berjabat tangan antara orang laki-laki dengan perempuan lain adalah makruh. Hal ini diterangkan dalam kitab Masail al-Imam Ahmad bin Hambal
وَكَرَهَ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ مُصَافَحَةَ النِّسَاءِ، وَشَدَّدَ أَيْضاً حَتَّى الْمُحْرِمِ. ( مسائل الامام احمد بن حنبل 

3 Boleh

Menurut Syekh Muhammad Amin al-Kurdi, hukum berjabat tangan antara orang laki-laki dan perempuan boleh tetapi dengan syarat harus menggunakan satir seperti kaos tangan atau yang lainnya.

وَتَحْرُمُ مُصَافَحَةُ الرَّجُلِ لِلْمَرْأَةِ اْلأَجْنَبِيَّةِ مِنْ غَيْرِ حَائِلٍ وَكَذَا اْلاَمْرَادُ الْجَمِيْلُ ( تنوير القلوب ص 199)


Dalam kitab Syarhu an-Nail Wasyifaul ‘alil juz 9 hal 436 dijelaskan bahwa Rasulullah bersabda “Barang siapa berjabat tangan dengan orang yang alim maka fadhilahnya adalah seperti berjabat tangan denganku (Rasulullah)”. Dari sinilah diperbolehkan berjabat tangan bagi orang perempuan, bocah atau budak wanita kepada para alim yang betul-betul menyatukan hatinya dengan Allah Swt.


فَصْلٌ " لاَ تَفْتَرِقُ كَفَّا مُتَصَافِحَيْنِ فِي اللَّهِ حَتَّى تَتَنَاثَرَ ذُنُوبُهُمَا كَالْوَرَقِ " رُوِيَ ذَلِكَ ، وَأَنَّهُ " مَنْ صَافَحَ عَالِمًا فَكَأَنَّمَا صَافَحَنِي " ، وَجَازَتْ مُصَافَحَةُ مُوَحِّدٍ وَإِنْ أُنْثَى أَوْ صَغِيرًا ، أَوْ رَقِيقًا إنْ لَمْ يَكُنْ كَبَاغٍ . ( شرح النيل وشفاء العليل 


(Macam-Macam Batasan Aurat)
Definisi Aurat
Aurat adalah bagian tubuh manusia yang tabu dan dosa untuk diperlihatkan kepada orang lain kecuali terhadap makhrom atau suami dan istri sendiri. Secara umum aurat itu dibagi menjadi dua yaitu

1 Aurat Ghalidhah (yaitu Qubul, lubang depan yang biasanya disebut dzakar atau vagina dan dubur, yaitu lubang belakang atau anus


2 Aurat Khafifah yaitu seluruh anggota tubuh selain dari qubul dan dubur. Keterangan dalam kitab al-Jauhar al-Nirah, Juz 1 hal. 189.


الْعَوْرَةُ عَلَى نَوْعَيْنِ: غَلِيظَةٌ كَالْقُبُلِ وَالدُّبُرِ ، وَخَفِيفَةٌ وَهِيَ مَا عَدَاهُمَا


(Kriteria Pembagian Batasan Aurat)
Pendapat berbagai Ulama’ dalam membagi kriteria aurat secara terperinci diuraikan di bawah ini

Aurat Laki-Laki

Menurut pendapat madzhab Syafi’iyah, aurat orang laki-laki di dalam shalat dan di luar shalat adalah anggota tubuh mulai dari pusar sampai dengan lutut. Diterangkan di dalam kitab Hasyiyah al-Jamal juz 4 hal. 12-14 dan kitab I’anah al-Thalibin, Juz 1 Fasal Fii Syuruti Al-Shalat


وَالْعَوْرَةُ مِنَ الرَّجُلِ مَا تَحْتَ السُّرَّةِ إلَى الرُّكْبَةِ ( قَوْلُهُ وَالْعَوْرَةُ مَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ ) هُوَ تَتِمَّةُ الْحَدِيثِ وَالْمُرَادُ الْعَوْرَةُ فِي الصَّلَاةِ وَغَيْرِهَا بِقَرِينَةِ الْإِظْهَارِ فِي مَحَلِّ الْإِضْمَارِ ا هـ


Menurut Imam Zarkasyi, aurat pria di luar shalat dan ketika berada di tempat yang sepi adalah hanya dubur dan dzakar (alat kelaminnya) saja. Hal ini diterangkan dalam kitab: Syarhu al-Bahjah al-Wardiyah, juz 3 hal. 467 dan kitab Tuhfah al-Muhtaj Fii Syarhi al-Minhaj, Juz 6 hal. 243.


قَالَ الزَّرْكَشِيُّ وَالْعَوْرَةُ الَّتِي يَجِبُ سَتْرُهَا فِي الْخَلْوَةِ السَّوْأَتَانِ فَقَطْ مِنَ الرَّجُلِ



Menurut Imam Malik dan Imam Ahmad, aurat orang laki-laki di luar shalat adalah hanya kubul dan dubur saja. Diterangkan dalam kitab Bughya al-Mustarsyidin bab Fii Syuruti al-Shalat hal 34.


فائدة : قاَلَ فِي الْقَلاَئِدِ : لَناَ وَجْهٌ أَنَّ عَوْرَةَ الرَّجُلِ فِيْ غَيْرِ الصَّلاَةِ اَلْقُبُلُ وَالدُّبُرُ فَقَطْ وَهُوَ رِوَايَةٌ عَنْ مَالِكٍ وَأَحْمَدَ اهـ ( بغية المسترشدين باب شروط الصلاة ص 34 


Dalam kitab Hasyiah al-Jamal, Juz 1 hal. 411. diterangkan bahwa aurat orang laki-laki di dalam shalat hanyalah qubul (dzakar) dan dubur (anus) saja. Tetapi pendapat ini hanya khusus untuk orang laki-laki saja tidak berlaku bagi budak perempuan (amat)



قَوْلُهُ أَيْضًا بِجَامِعِ أَنَّ رَأْسَ كُلٍّ مِنْهُمَا لَيْسَ بِعَوْرَةٍ أَيْ: فِي الصَّلَاةِ نَعَمْ يَفْتَرِقَانِ فِي أَنَّ لَنَا وَجْهًا بِأَنَّ عَوْرَةَ الرَّجُلِ الْقُبُلُ وَالدُّبُرُ خَاصَّةً وَهُوَ لَا يَجْرِي فِي الْأَمَةِ


Dikatakan, Imam Malik juga berpendapat bahwa aurat yang wajib ditutupi bagi orang laki-laki dan amat (budak perempuan) adalah dua alat kelaminnya saja. (Mughni al-Mukhtaj, Juz 1 hal. 256.



وَخَرَجَ بِذَلِكَ السُّرَّةُ وَالرُّكْبَةُ فَلَيْسَا بِعَوْرَةٍ عَلَى الْأَصَحِّ وَقِيْلَ الَرُّكْبَةُ مِنْهَا دُوْنَ السُّرَّةِ وَقِيْلَ عَكْسُهُ وَقِيْلَ اَلسَّوْاَ تَانِ فَقَطْ وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَجَمَاعَةٌ.


Dan menurut Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi perintah menutupi aurat itu adalah bertujuan untuk memuliakan dan menjaga kemaluan, tidak untuk merendahkan dan menghinakannya, karena kemaluan adalah termasuk barang yang tabu dan jijik apabila terbuka atau telanjang dan tidak buruk secara dhahir dan hakikinya. Barang yang harus ditutupi itu adalah qubul (dzakar atau vagina) dan dubur (anus) sebagaimana dijelaskan di dalam kitab: Hasyiah al-Shawi ‘ala Syarhi al-Shaghir, Juz 1 bab Satru al-Aurat.



قَوْلُهُ: (وَسَتْرِ الْعَوْرَةِ): السَّتْرُ بِفَتْحِ السِّينِ لِأَنَّهُ مَصْدَرٌ ، وَأَمَّا بِالْكَسْرِ فَهُوَ مَا يَسْتَتِرُ بِهِ . وَالْعَوْرَةُ: مِنْ الْعَوَرِ ، وَهُوَ الْقُبْحُ لِقُبْحِ كَشْفِهَا لَا نَفْسِهَا ، حَتَّى قَالَ مُحْيِي الدِّينِ بْنُ الْعَرَبِيِّ: الْأَمْرُ بِسَتْرِ الْعَوْرَةِ لِتَشْرِيفِهَا وَتَكْرِيمِهَا لَا لِخِسَّتِهَا فَإِنَّهُمَا – يَعْنِي الْقُبُلَيْنِ - مَنْشَأُ النَّوْعِ الْإِنْسَانِيِّ الْمُكَرَّمِ الْمُفَضَّلِ. ا هـ 


 (Aurat Wanita)
Pendapat dari pengikut madzhab Syafi’iyah, bahwa aurat wanita di luar shalat ketika bersama orang laki-laki lain adalah seluruh tubuhnya. Sebagaimana diterangkan dalam kitab: Matan Safinah an-Najah, hal. 12.

وَعَوْرَةُ اْلحُرَّةِ وَاْلاَمَّةِ عِنْدَ اْلاَجَا نِبِ جَمِيْعُ الْبَدَنِ.


Aurat orang perempuan ketika shalat adalah seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan dua telapak tangan. Hal ini diterangkan dalam kitab Hasyiah Bujairami, Juz 4 hal. 74 dan Hasyiah al-Jamal, Juz 4 halaman. 12-14.


(وَ) عَوْرَةُ (حُرَّةٍ غَيْرُ وَجْهٍ وَكَفَّيْنِ) ظَهْرًا وَبَطْنًا إلَى الْكُوعَيْنِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى:{وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا} وَهُوَ مُفَسَّرٌ بِالْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ وَإِنَّمَا لَمْ يَكُونَا عَوْرَةً ؛ لِأَنَّ الْحَاجَةَ تَدْعُو إلَى إبْرَازِهِمَا.


Imam Muzani, telapak kaki orang perempuan dalam shalat maupun di luar shalat adalah bukan termasuk aurat. Diterangkan dalam kitab Mughni al-Mukhtaj, Juz 1 hal. 257.



وَفِيْ قَوْلِهِ اَوْ وَجْهٌ أَنَّ بَاطِنَ قَدَمَيْهَا لَيْسَ بِعَوْرَة وَقَالَ الْمُزَانِيْ لَيْسَ القَدَمَانِ عَوْرَةً

Dikatakan aurat orang perempuan ketika dalam keadaan sendirian atau pada tempat yang sepi adalah cukup menutupi sesuatu di antara pusar sampai dengan lutut. Diterangkan dalam kitab Hasyiyah al-Jamal ala al-Minhaj juz 1 hal 411.

وَاَمَّا فِى الْخَلْوَةِ فَكاَلْمَحَارِمِ وَقِيْلَ كَالرَّجُلِ ( حاشية الجمل على شرح المنهاج ج 1 ص 411 )


Imam al-Zarkasyi berpendapat dalam kitab Syarhu al-Bahjah al-Wardiyah, Juz 3 hal. 467. bahwa orang perempuan ketika dalam keadaan sendirian atau pada tempat yang sepi adalah cukup menutupi sesuatu di antara pusar sampai dengan lutut.


قَالَ الزَّرْكَشِيُّ وَالْعَوْرَةُ الَّتِي يَجِبُ سَتْرُهَا فِي الْخَلْوَةِ السَّوْأَتَانِ فَقَطْ مِنْ الرَّجُلِ, وَمَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ مِنْ الْمَرْأَةِ


Dalam kitab Matan Sulam al-Safinah, hal 12-13: aurat orang perempuan adalah dari pusar sampai dengan lututnya saja ketika bersama muhrimnya atau ketika bersama dengan sesama wanitanya.


وَعَوْرَةُ اْلحُرَّةِ وَاْلاَمَّةِ عِنْدَ اْلاَجَانِبِ جَمِيْعُ الْبَدَنِ وَعِنْدَ مَحَارِمِهَا واَلنـِّسَاءِ مَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ.


(Aurat Budak atau Hamba Sahaya)
penganut madzhab Syafi’i aurat budak ketika shalat adalah seperti auratnya wanita khurri (wanita merdeka) yaitu seluruh tubuhnya kecuali kepala, wajah dan kedua telapak tangannya, diterangkan dalam kitab: Hasyiah Qulyubi wa ‘Amirah, Juz 3 hal. 442. dan bisa dilihat dalam kitab Nihayah al-Zain, hal. 46.

وَالثَّانِي عَوْرَتُهَا (أي اْلأَمَةُ) كَالْحُرَّةِ إلَّا رَأْسَهَا، أَيْ عَوْرَتُهَا مَا عَدَا الْوَجْهَ وَالْكَفَّيْنِ وَالرَّأْسَ.


Menurut qoul yang lebih shahih seperti yang telah diterangkan oleh Imam al-Baihaqi aurat budak ketika shalat maupun di luar shalat adalah seperti auratnya orang laki-laki yaitu antara pusar sampai dengan lutut.


Keterangan kitab Fathu al-Wahab, Juz 1 hal. 87 dan kitab Hasyiah Qulyubi Wa ‘Umairah, Juz 3 hal. 442.

(وَ) ثَالِثُهَا (سَتْرُ الْعَوْرَةِ) صَلَّى فِي الْخَلْوَةِ أَوْ غَيْرِهَا، فَإِنْ تَرَكَهُ مَعَ الْقُدْرَةِ لَمْ تَصِحَّ صَلاَ تُهُ (وَعَوْرَةُ الرَّجُلِ) حُرًّا كَانَ أَوْ عَبْدًا (مَا بَيْنَ سُرَّتِهِ وَرُكْبَتِهِ) لِحَدِيثِ الْبَيْهَقِيّ، وَإِذَا زَوَّجَ أَحَدُكُمْ أَمَتَهُ عَبْدَهُ أَوْ أَجِيرَهُ فَلَا تَنْظُرُ إلَى عَوْرَتِهِ، وَالْعَوْرَةُ مَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ، (وَكَذَا اْلأَمَةُ) عَوْرَتُهَا مَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ (فِي اْلأَصَحِّ) إلْحَاقًا لَهَا بِالرَّجُلِ.



(Aurat Karyawati (Wanita Karier)
Aurat karyawati adalah seluruh badan, kecuali kepala.

وَفِيْهِ وَجْهٌ اَنَّ جَمِيْعَ ذٰلِكَ عَوْرَةٌ كَمَا فِيْ حَقِّ الْحُرَّةِ سِوَى الرَّأْسِ ( الشرح الكبير للرافعى ج 4 )

Aurat karyawati adalah seluruh badan, kecuali anggota badan yang tampak dan terbuka ketika bekerja, seperti kepala, leher, lengan tangan dan ujung betis. Karena anggota tersebut butuh untuk dibuka dan sulit untuk menutupnya.

(وَالثَّانِيَّةُ) مَا يَبْدُو وَيَنْكَشِفُ فِِِي حَالِ الْمِهْنَةِ فَلَيْسَ بِعَوْرَةٍ مِنْهَا وَهُوَ الرَّاْسُ وَالرَّقَبَةُ وَالسَّاعِدُ وَطَرْفُ السَّاقِ لِاَنَّهَا تَحْتَاجُ اِلَي كَشْفِهِ وَيَعْسُرُ عَلَيْهَا سَتْرُهُ ( الشرح الكبير للرافعى ج 4 )


ثَالِثَتُهَا جَمِيْعُ الْبَدَنِ إِلاَّ مَا يَظْهَرُ عِنْدَ الْمِهْنَةِ وَهِيَ عَوْرَتُهَا عِنْدَ النِّسَاءِ الْكَافِرَاتِ (نهاية الزين ص 47 )


Aurat Khuntsa (orang yang mempunyai dua jenis kelamin)


Aurat khuntsa adalah semua badannya sebagaimana wanita merdeka. (Hasyiyah Qulyubi bab Suruti al-Shalat juz 1)


عَوْرَةُ الْخُنْثَى الرَّقِيْقِ لاَ تَخْتَلِفُ , وَالْخُنْثَى الْحُرِّ كَاْلأُنْثَى الْحُرَّةِ , اِبْتِدَاءً وَكَذَا دَوَامًا , عِنْدَ شَيْخِنَا الرَّمْلِيُّ وَخَالَفَهُ الْخَطِيْبُ (حاشية قليوبى باب شروط الصلاة ج 1 

Aurat khuntsa adalah semua anggota badannya, kecuali wajah, kedua telapak tangan dan kepalanya. Diterangkan dalam kitab Khawasyi al-Syarwani, Juz 2 hal 120.
وَ الْخُنْثَى (فِي اْلأَصَحِّ) عَوْرَتُهَا كَالْحُرَّةِ إلَّا رَأْسَهَا ، أَيْ عَوْرَتُهَا مَا عَدَا الْوَجْهَ وَالْكَفَّيْنِ وَالرَّأْسَ (حاشية الشروانى )



Pornografi

Pornografi adalah bentuk gambar atau patung yang menampilkan keindahan bagian tubuh yang dapat menimbulkan syahwat bagi orang lain, baik yang terdapat pada media cetak, elektronik, maupun pada perilaku seseorang, terutama yang bersumber dari kaum wanita. Dan sangat disayangkan pada saat ini di berbagai daerah di Indonesia makin banyak aksi-aksi porno, baik penayangan dari media cetak, media elektronik maupun langsung.


Dari fenomena tersebut kemudian memunculkan RUU APP. Dan kemudian Pro dan kontra terhadap RUU itupun semakin ramai dan menguat.


Bagaimanakah hukum melihat pornografi?


1 Haram melihat, apabila sampai menimbulkan syahwat dan fitnah.


وَمِنْ مَعَاصِى الْعَيْنِ اَلنَّظْرُ بِهَا مِنَ الذَّكَرِ اِلَى شَيْئٍ مِنْ جَمِيْعِ بَدَنِ أَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ اْلاَجْنَبِيَّاتِ مَعَ الْقَصْدِ. (تَنْبِيْهٌ) عَدَّ فِى الزَّوَاجِرِ نَظْرُ اْلأَجْنَبِيَّةِ بِشَهْوَةٍ وَخَوْفِ فِتْنَةٍ وَلَمْسُهَا كَذٰلِكَ . (اسعاد الرفيق ص 67)


2 Boleh, asal tidak menimbulkan fitnah dan syahwat. (Tuhfah al-Muhtaj, juz 9, hal. 20 - 21)

فَلَا يَحْرُمُ نَظَرُهُ فِي نَحْوِ مِرْآةٍ كَمَا أَفْتَى بِهِ غَيْرُ وَاحِدٍ وَيُؤَيِّدُهُ قَوْلُهُمْ لَوْ عَلَّقَ الطَّلَاقَ بِرُؤْيَتِهَا لَمْ يَحْنَثْ بِرُؤْيَةِ خَيَالِهَا فِي نَحْوِ مِرْآةٍ ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَرَهَا وَمَحَلُّ ذَلِكَ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ حَيْثُ لَمْ يَخْشَ فِتْنَةً وَلَا شَهْوَةً وَلَيْسَ مِنْهَا الصَّوْتُ فَلَا يَحْرُمُ سَمَاعُهُ إلَّا إنْ خَشِيَ مِنْهُ فِتْنَةٌ وَكَذَا إنْ الْتَذَّ بِهِ كَمَا بَحَثَهُ الزَّرْكَشِيُّ. (تحفة المحتاج , ج 9 ص 20 - 21)

3 Terlepas dari pro-kontra di atas, para ulama’ sepakat melarang untuk mengeksploitasi keindahan tubuh di depan public terutama bagi kaum hawa, hal itu menunjukkan bahwa agama sebenarnya lebih menjunjung tinggi kehormatan manusia.


(Hukum Pergaulan Bebas)ANAK MUDA MAUPUN TUA
Pada zaman sekarang memang lebih marak dengan yang namanya pergaulan bebas, sehingga seakan-akan Negara kita punya nilai kebebasan tanpa adanya moral, bahkan masyarakat Indonesia yang biasa dikenal kental dengan adat ketimurannya, sedikit demi sedikit mulai luntur, karena semakin hebatnya pengaruh, transformasi budaya luar.

Pada suatu forum, misalnya acara ulang tahun atau pesta-pesta yang lain sering terlihat dalam acara tersebut banyak bercampurnya antara laki-laki dan perempuan, yang notabene adalah remaja. Sehingga para santri merasa sangat tabu akan hal itu. Bagaimanakah hukum menghadiri suatu acara atau pesta yang demikian itu?


Hukum berbaurnya laki-laki dan perempuan:


1 Haram dan berdosa apabila menghadiri acara tersebut jika nantinya dapat menimbulkan fitnah. Keterangan kitab Is’adul Rafiq:


مِنْ أَقْبَحِ الْمُحَرَّمَاتِ, وَأَشَدِّ اْلمَحْظُوْرَاتِ إِخْتِلاَطُ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ فىِ الْجُمُوْعَاتِ لِمَا يَتَرَتَّبُ عَلَى ذَلِكَ مِنَ الْمَفَاسِدِ وَاْلفِتَنِ اْلقَبِيْحَةِ (اسعاد الرفيق ص 67

Sebagian perkara yang sangat diharamkan dan dikhawartirkan adalah bercampurnya laki-laki dan perempuan dalam tempat perkumpulan yang dapat menimbulkan fitnah. (Is’ad al-Rafiq hal. 67)

2 Makruh, bilamana menilai kehadirannya dalam acara tersebut timbul rasa khawatir atau takut terkena fitnah/berdampak negatif.


قاَلَ فى الزَّوَاجِرْ: وَهُوَ مِنَ الْكَبَائِرِ لِصَرِيْحِ هٰذِهِ اْلأَحَادِيْثِ, وَيَنْبَغِى حَمْلُهُ لِيُوَافِقَ قَوَاعدُنَا عَلىَ مَا إِذَا تَحَقَّقَتْ الفِتْنَةُ: أَمَّا مُجَرَّدُ خَشْيَتِهَا فَاِنَّمَا هُوَ مَكْرُوْهٌ, وَمَعَ ظَنِّهَا حَرَامٌ غَيْرُ كَبِيْرَةٍ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ.(اسعاد الرفيق ص:136)


3 Boleh menghadiri acara tersebut jika tidak menimbulkan fitnah dan tentunya berdampak positif atau memberikan hal yang lebih baik.


Berbaurnya laki-laki dan perempuan tidak dipermasalahkan jika tidak melanggar aturan agama dan norma-norma yang berlaku, sehingga pergaulan mereka memang merupakan hal yang wajar. Sebagaimana keterangan dalam kitab Is’adur Rofiq hal :136.



(Hukum Onani atau Masturbasi)
Onani adalah merangsang kemaluan sendiri untuk mencapai orgasme (bagi laki-laki) dan bagi perempuan disebut masturbasi.

Bagaimanakah hukum dari masturbasi atau onani?


1 Haram, menurut Imam Malik, Imam syafi’i, dan Imam Abu Hanifah

2 Boleh, menurut Imam Ahmad bin Hambal tetapi dengan tiga syarat:

1 Khawatir akan melakukan perzina’an

2 Tidak mampu menikah (tidak punya mahar untuk menikahi wanita)
3 Dengan menggunakan tangannya sendiri, tidak menggunakan tangan orang lain.

Hal ini dijelaskan dalam kitab as-Showi ‘ala Syarhi Tafsir al-Jalalain juz 3 halaman 112.


قَوْلُهُ كَاْلاِسْتِمْناَءِ بِالْيَدِّ أَيْ فَهُوَ حَرَامٌ عِنْدَ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيْ وَأَبِيْ حَنِيْفَةَ فَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلْ يَجُوْزُ بِشُرُوْطِ ثَلاَثَةِ أَنْ يَخَافَ الزِّناَ وَأَنْ لاَ يَجِدَ مَهْرَ حُرَّةٍ أَوْ ثَمَنَ أَمَّةٍ وَأَنْ يَفْعَلَهُ بِيَدِهِ لاَ بِيَدِ أَجْنَِبيِّ أَوْ اَجْنَبِيَّةِ . الصاوي على شرح تفسير الجلالين جز 3 ص 112



(Hukum Menyemir Rambut)

Semir rambut adalah zat kimia yang dapat merubah warna rambut dari warna aslinya. Bagaimanakah hukum menggunakan semir rambut tersebut untuk menyemir rambut?

(Hukum menyemir rambut dengan warna hitam)
1 Tidak boleh menyemir rambut dengan warna hitam, baik laki-laki maupun perempuan, karena hal tersebut ada unsur merubah ciptaan Allah Swt. (Is’ad al-Rofiq, juz II, hal.119)
مِنْهاَ التَّخْضِيْبُ لِلشَّعْرِ باِلسَّوَادِ وَلَوْلِاْمرَأَةٍ كَماَ قاَلَهُ ابْنُ حَجَرٍ فِى الْمِنْهَجِ الْقَوِيْمِ اِلَى اَنْ قاَلَ بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِيْنَ اَنَّهُ يَحْرُمُ عَلَى الْوَلِىْ خَضْبُ شَعْرِ الصَّبِىِّ وَالصَّبِيَّةِ اِذَا كاَنَ اَصَبَّ بِالسَّوَادِ لِمَا فِيْهِ مِنْ تَغْيِيْرِ الْخِلْقَةِ وَفِىْ شَرْحِ الْمُسْلِمِ لِلنَّوَوِىِّ مَذْهَبُنَا لِلرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ اِسْتِحْباَبُ خِضَابِ الشَّيْبِ بِصُفْرَةٍ اَوْ حَمْرَةٍ وَيَحْرُمُ خِضَابُهُ باِلسَّوَادِ عَلىَ اْلاَصَحِّ

2 Makruh Tanzih, sama halnya dengan tidak mensyukuri apa yang telah diberikan oleh Allah Swt. Karena itu lebih baik diterima apa adanya dari pada merubah warna asli rambut yang diberikan Allah kepada kita. (Is’ad al-Rofiq, juz II, hal.119)

وَقِيْلَ يُكْرَهُ كَرَاهَةَ تَنْزِيْهاً وَالْمُخْتاَرُ التَّحْرِيْمُ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِجْتَنِبُوْا باِلسَّوَادِ

3 Boleh menyemir rambut dengan warna hitam, bagi istri yang mendapat izin dari suaminya. (Is’ad al-Rofiq, juz II, hal.119)

قَالَ الشِّهَابُ الرَّمْلِيُّ فِيْ شَرْحِ نَظْمِ الزُّبَدِ نَعَمْ يَجُوْزُ لِلْمَرْأَةِ ذَلِكَ بِإِذْنِ زَوْجِهَا اَوْ سَيِّدِهَا لِأَنَّ لَهُ غَرَضًا فِيْ تَزْيِيْنِهَا

Hukum menyemir rambut yang sudah beruban dengan semir warna kuning atau merah (selain hitam)

Sunnah menyemir rambut yang sudah beruban dengan semir warna merah atau kuning. (Is’ad al-Rofiq, juz II, hal. 119)
وَفِىْ شَرْحِ الْمُسْلِمِ لِلنَّوَوِىِّ مَذْهَبُنَا لِلرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ اِسْتِحْبَابُ خِضَابِ الشَّيْبِ بِصَفْرَةٍ اَوْ حَمْرَةٍ وَيَحْرُمُ خِضَابُهُ باِلسَّوَادِ عَلىَ اْلاَصَحِّ (إسعاد الرفيق ج 2 ص 119)
Dalam Syarah Muslim, Imam Nawawi mengatakan ”Sunnah bagi laki–laki dan perempuan menyemir rambut dengan warna kuning atau merah dan haram menyemir rambut dengan warna hitam menurut pendapat yang lebih shahih.” (Is’ad al-Rofiq, juz II, hal. 119)

يُسَنُّ لِكُلِّ أَحَدٍ إِلَخْ ...وَخَضْبُ شَيْبِ رَأْسِهِ وَ لِحْيَتِهِ بِحَمْرَةٍ اَوْ اَصْفَرٍ اَىْ لاَبِسَوَادٍ اَمَّا بِهِ فَيَحْرُمُ (إعانة الطالبين ج 2 ص 339 )Disunnahkan menyemir uban rambut kepala dengan warna merah atau kuning yakni tidak dengan warna hitam karena hal tersebut hukumnya haram. (I’anah al-Tholibin, juz II, hal.339)


(Hukum Pria Memakai Perhiasan Emas)
Wanita akan tampak kelihatan anggun dan cantik apabila memakai perhiasan (emas) yang tidak berlebihan, akan tetapi lain halnya apabila pria yang memakainya. Bagaimanakah hukum pria memakai perhiasan emas?

Dalam hal ini ada beberapa pandangan di kalangan ulama’


1 Haram bagi pria memakai emas murni maupun campuran

وَكَذَا يَحْرُمُ عَلَى الرِّجاَلِ وَمِثْلُهُمْ اَلْخُنَاثَى (اَلتَّخْتِمُ بِالذَّهَبِ) لِخَبَرِ أَبِيْ دَاوُدَ باِسْناَدٍ صَحِيْحٍ أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَخَذَ فِيْ يَمِيْنِهِ قَطْعَةَ حَرِيْرٍ وَفِيْ شِمَالِهِ قَطْعَةَ ذَهَبٍ. وَقَالَ هَذَانِ أَيْ اِسْتِعْمَالُهُمَا حَرَامٌ عَلَى ذُكُوْرِ أُمَّتِيْ حَلَّ لِأُناَثِهِمْ, وَأُلْحِقَ باِلذُّكُوْرِ اَلْخُناَثَى اِحْتِيَاطًا. وَاحْتَرَزَ بِالتَّخْتِمِ عَنْ اِتْخَاذُ أَنْفٍ أَوْ أَنْمِلَةٍ أَوْ سِنٍّ فَإِنَّهُ لاَ يُحْرَمُ اِتْخَاذُهاَ مِنْ ذَهَبٍ عَلَى مَقْطُوْعِهَا وَإِنْ أَمْكَنَ اِتْخَاذُهَا مِنَ الْفِضَّةِ .(الاقناع فى حال الفاظ ابى شجاع ص 172)
Begitu juga bagi laki-laki, diharamkan memakai cincin dari emas sedangkan bagi khuntsa hukumnya disamakan dengan laki-laki karena adanya sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad shahih; Bahwa Rasulullah Saw. mengambil sepotong sutra pada tangan kanannya dan sepotong emas pada tangan kirinya. Beliau bersabda; sutra dan emas ini, keduanya haram dipakai kaum laki-laki dari umatku. Para khuntsa disamakan dengan laki-laki, karena berhati-hati, dikecualikan dari haramnya memakai cincin yaitu untuk membuat hidung, ujung jari atau gigi palsu dari bahan emas. Demikian itu diperbolehkan bagi orang yang organ-organnya tersebut terpotong, meskipun masih memungkinkan membuatnya dari bahan perak. (al-Iqna’ Fii Haali al-Fadzi Abi Syuja’, hal.172)

ذَهَبَ الْجُمْهُوْرُ مِنَ الْعُلَمَاءِ اِلَى حَرَمَةِ التَّخَتُّمِ بِالذَّهَبِ لِلرِّجَالِ دُوْنَ النِّسَاءِ. (فقه السنة جز 3 ص 258)

Mayoritas ulama’ berpendapat bahwasannya haram bagi laki-laki memakai cincin dari emas, bukan untuk orang perempuan.
(Fiqih as-sunnah, juz III, hal. 258)

2 Makruh bagi pria memakai perhiasan baik dari emas murni maupun campuran. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Fiqih al-Sunnah, juz III, hal.364

وَذَهَبَ جَمَاعَةٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ اِلَى كَرَاهَةِ التَّخْتِمِ بِالذَّهَبِ لِلرِّجَالِ كَراَهَةَ تَنْزِيْهٍ وَلَقَدْ لَبِسَهُ جَمَاعَةٌ مِنَ الصَّحَابَةِ مِنْهُمْ سَعْدُ ابْنُ اَبِيْ وَقَاصٍ وَطَلْحَةُ بْنِ عَبْدِ اللهِ وَصُهَيْبٌ وَحُذَيْفَةُ وَجَابِرُ بْنُ سَمْرَةَ وَالْبَرَّاءُ بْنُ عاَزِبٍ وَلَعَلَّهُمْ حَسَبُوْا اَنَّ النَّهِيَّ لِلتَّنْـزِيْهِ (فقه السنة جز 3 ص259)

Ada sebagian ulama’ yang memakruhkan laki-laki memakai perhiasan emas, karena ada sebagian sahabat yang memakainya, diantaranya adalah Said bin Abi Waqhas dan Talhah bin Abdullah, Suhaib, Hudzaifah, Jabir bin Samroh, Barra’ bin ‘Azib, mereka mengira bahwa larangan itu adalah makruh tanzih. (Fiqih al-Sunnah, juz III, hal.259


(Hukum Tindik bagi Laki-Laki)
Sering terlihat di sebagian kalangan dan kadang menjadi tradisi atau trend menindik (melubangi) hidung atau telinga guna memasang anting atau sejenisnya baik laki-laki maupun perempuan.

Bagaimanakah pandangan fiqih apabila orang laki-laki menindik hidung atau telinga


1 Haram mutlak bagi anak atau orang laki-laki menindik/melubangi hidung atau telinganya, menurut Ulama’ Syafi’iyah


(وَحَرَمٌ تَثْقِيْبُ) أَنْفٍ مُطْلَقًا (وَأُذُنِ) صَبِيٍّ قَطْعًا وَصَبِيَّةٍ عَلَى اْلاَوْجُهِ لِتَعْلِيْقِ الْحَلْقِ كَمَا صَرَحَ بِهِ الْغَزَالِى وَغَيْرُهُ ِلأَنَّهُ إِيْلاَمٌ لَمْ تَدْعُو إِلَيْهِ حَاجَةٌ

Haram mutlak menindik (melubangi) hidung, para ulama’ sepakat atas keharaman menindik telinga anak laki-laki yang masih kecil guna memasang anting, sedangkan pada anak perempuan yang masih kecil menurut qoul aujah juga haram sebab hal itu menyakiti sebelum ada keperluan. I’anah At-Thalibin, Juz 4 hal 175 – 178.

2 Makruh bagi anak laki-laki yang masih balita, menurut sebagian Ulama’ Hambaliyah.


وَفِي الرِّعَايَةِ لِلْحَنَابِلَةِ يَجُوْزُ فِي الصَّبِيَّةِ لِغَرْضِ الزِّيْنَةِ. وَيُكْرَهُ فِي الصَّبِيِّ . إهـ

Dalam kitab ri’ayah karangan pengikut madzhab Hambali menyatakan boleh menindik anak perempuan yang masih kecil, sebab bertujuan sebagai perhiasan, sedangkan pada anak laki-laki yang masih kecil hukumnya makruh.

3 Boleh, menurut Imam Zarkasyi, melubangi telinga laki-laki yang masih balita.


وَجَوَّزُهُ الزَّرْكَشِىُّ وَاسْتَدَلَّ بِمَا فِي حَدِيْثِ أُمِّ زَرْعٍ فِي الصَّحِيْحِ ، وَفِي فَتَاوِى قَاضِيْخَان مِنَ الْحَـنَفِيَّةِ أَنَّهُ لاَبَأْسَ بِهِ ِلأَنَّهُمْ كَانُوْا يَفْعَلُوْنَهُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَلَمْ يَنْكِرُ عَلَيْهِمْ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم ،

Imam Zarkasyi memperlobehkannya berdasarkan hadits Ummi Zarin di dalam hadits Shahih. Fatwa-fatwa Syech Qodikhon pengikut Madzhab Hanafi, menyatakan bahwa tidak mengapa melakukan hal itu sebab pernah dilakukan pada zaman jahiliyah, sedangkan Nabi Saw. tidak mengingkarinya

Menindik telinga bagi perempuan kebanyakan ulama’ tidak melarang karena hal itu ada hak baginya untuk memperindah dan menghiasi dirinya. Asalkan saat menindik tidak menimbulkan dampak negatif.


وَالتَّعْذِيْبُ فِي مِثْلِ هَذِهِ الزِّيْنَةِ الدَّاعِيَةِ لِرَغْبَةِ اْلأَزْوَاجِ إِلَيْهِنَّ سَهِلَ مُحْتَمِلٌ وَمُغْتَفِرٌ لِتِلْكَ الْمَصْلَحَةِ . فَتَأَمَّلَ ذَلِكَ فَإِنَّهُ مُهِمٌّ .


(إعانة الطالبين الجزء الرابع ص: 175 – 178)

Sedangkan menyakiti demi untuk perhiasan yang dapat menimbulkan rasa cinta suami pada istrinya itu sangat ringan dan tidak masalah sebab ada unsur kemaslahatan.
Keterangan tersebut di atas terdapat pada kitab I’anah At-Thalibin, Juz 4 hal 175 – 178.

(Hukum Tato)
Di kalangan remaja sering kita jumpai banyak para remaja yang bertato, menurut mereka tato merupakan style atau mode, bahkan bagi sebagian dari mereka merasa ada suatu kebanggaan tersendiri kalau bisa mentato tubuhnya, bahkan ada yang hampir seluruh tubuhnya terlukis tato.

Tato adalah zat yang dapat dituangkan pada tubuh dengan bentuk gambar atau yang lain melalui berbagai cara sehingga tato tersebut terkadang berada di kulit lapisan luar atau kulit lapisan dalam, dan bisa menyebabkan tidak meresapnya air pada kulit baik ketika mandi besar ataupun wudlu’. Bagaimanakah hukum orang yang tubuhnya di tato? Dan sahkah wudlu’nya?


Ulama’ berpendapat: Hukum mentato tubuh adalah Haram, karena perbuatan itu dilaknat Allah Swt dan Nabi pun melaknatnya juga. Sebagaimana keterangan dalam kitab Is’ad al-Rafiq hal. 122


وَمِنْهاَ الْوَشْمُ وَطَلَبُ عَمَلِهِ قاَلَ الْكُرْدِىُّ وَهُوَ أَىْ الْوَشْمُ غََرْزُ الْجِلْدِ بِالْإِبْرَةِ حَتَّى يَخْرُجَ الدَّمُ ثُمَّ يَذُرَّ عَلَيْهِ وَيَحْشَى بِهِ الْمَحَلُّ مِنْ نَيْلَةٍ اَوْ نَحْوِهاَ لِيَزْرُقَ اَوْ يَسْوَدَّ لِأَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ فاَعِلَ ذلِكَ (اسعاد الرفيق ص 122)


Mengenai tentang sah dan tidaknya wudlu’ atau mandi besar orang yang tubuhnya bertato para ulama’ berbeda berpendapat:


1 Tidak sah wudlu’ atau mandi besarnya tubuh yang bertato, apabila tato tersebut berada di lapisan luar kulit, karena bisa mencegah sampainya air kepada kulit. Fathu al-Mu’in halaman 5.


Apabila di bawah kulit maka sah, karena tidak menghalangi sampainya air kepada kulit. Fathu al-Mu’in halaman 5.


وَ(رَابِعُهَا) أَنْ لَا يَكُوْنَ عَلَى الْعُضْوِ حَائِلٌ بَيْنَ الْمَاءِ وَالْمَغْسُوْلِ كَنُوْرَةٍ وَشَمْعٍ وَدُهْنٍ جَامِدٍ وَعَيْنِ حَبْرٍ وَحَنَاءٍ بِخِلاَفِ دُهْنٍ جَارٍ أَيْ مَائِعٍ وَإِنْ لَمْ يَثْبُتْ الْمَاءُ عَلَيْهِ وَأَثْرُ حَبْرٍ وَحَنَاءٌ. (فتح المعين، ص 5).

Apabila tato itu dilakukan atas dasar persetujuan orang yang ditato, dia tidak khawatir akan terjadi bahaya ketika menghilangkannya, dan apabila tato tersebut tidak dihilangkan, maka dia tidak bisa menghilangkan hadatsnya, karena tatonya bercampur najis. Otomatis kalau dia ingin bersuci harus menghilangkan tatonya terlebih dahulu.

Akan tetapi apabila dia khawatir dengan bahaya apabila menghilangkannya, maka dima’fu/dimaafkan untuk membiarkan tatonya tersebut, dan bersucinya tetap sah dan orang tersebut tetap sah menjadi imam. Sebagaimana diterangkan dalam kitab Nihayah al-Muhtaj, juz I, hal. 178


وَكَذَا الْوَشْمُ وَهُوَ غَرْزُ الْجِلْدِ بِالْإِبرة حَتَّى يَخْرُجَ الدَّمُ ثُمَّ يَذُرَّ نَحْوَ نِيْلَةٍ لَيَزْرُقَ بِهِ أَوْ يَخْضُرَ فَفِيْهِ تَفْصِيْلُ الْجَبْرِ خِلَافًا لِمَنْ قَالَ إِنَّ بَابَهُ أَوْسَعُ فَعُلِمَ مِنْ ذَلِكَ أَنَّ مَنْ فَعَلَ الْوَشْمَ بِرِضَاهُ فِي حَالَةِ تَكْلِيْفِهِ وَلَمْ يَخَفْ مِنْ إِزَالَتِهِ ضَرَرًا يُبِيْحُ التَّيَمُّمَ مُنِعَ ارْتِفَاعُ الْحَدَثِ عَنْ مَحَلِّهِ ِلَتَنَجُّسِهِ وَإِلَّا عُذِرَ فِي بَقَاِئهِ وَعُفِيَ عَنْهُ بِالنِّسْبَةِ لَهُ وَلِغَيْرِهِ وَصَحَّتْ طَهَارَتُهُ وَإِمَامَتُهُ وَحَيْثُ لَمْ يُعْذَرْ فِيْهِ وَلَا فِي مَاءٍ قَلِيْلًا أَوْ مَاِئعًا أَوْ رَطْبًا نَجْسُهُ كَذَا أَفْتَى بِهِ اْلَواِلُد رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى وَإِلَّا أَيْ بِأَنْ وَصَلَهُ بِهِ مَعَ وُجُوْدٍ صَالِحٍ طَاِهرٍ أَوْ مَعَ عَدَمِ الْحَاجَةِ أَصْلًا حَرُمَ عَلَيْهِ لِلتَّعَدِّيْ وَ وَجَبَ عَلَيْهِ نَزْعُهُ وَيجْبر عَلَى ذَلِكَ ِإنْ لَمْ يَخَفْ ضَرَرًا ظَاهِرًا يُبِيْحُ التَّيَمُّمَ وَإِنْ اكْتَسَى لَحْمًا كَمَا لَوْ حَمَلَ نَجَاسَةً تَعَدَّى بِحَمْلِهَا مَعَ تَمَكُّنِهِ مِنْ ِإزَالَتِهَا وَكَوَصْلِ الْمَرْأَةِ شَعْرَهَا بِشَعْرٍ نَجِسٍ فَإِنْ امْتَنَعَ لَزِمَ الْحَاكِم نَزْعَهُ لِدُخُوْلِ النِّيَابَةِ فِيْهِ كَرَدِّ الْمَغْصُوْبِ وَلَا اعْتِبَارَ بِأَلَمِهِ حَالًا إِنْ أَمِنَ مَآلًا وَلَا تَصِحُّ صَلَاتُهُ حِيْنَئِذٍ


(Hukum Wanita Memakai Celana Ketat)

Cara berbusana adalah berbeda-beda, sesuai dengan budaya dari setiap daerah tertentu, misalnya cara berbusana di Indonesia juga berbeda-beda, yang jawa memakai pakaian adat Jawa, yang dari batak memakai busana adat Batak, dan lain-lain. Kalau jubah adalah budaya busana dari bangsa arab. Intinya setiap daerah pasti memiliki khas atau budaya sendiri-sendiri.

Namun di masa moderen seperti saat ini, terdapat banyak perkembangan mode atau style dalam berpenampilan pada masyarakat, khususnya bagi kaum hawa banyak sekali perkembangan dalam model atau cara berbusana, seperti halnya memakai celana, disamping berfungsi sebagai penutup aurat juga sebagai sarana untuk mempercantik diri dan memperindah penampilan. Tidak sedikit dari para wanita yang menggunakan celana ketat, sehingga sampai terlihat lekukan-lekukan tubuhnya.


Dari fenomena di atas, bagaimanakah pandangan fiqih tentang hukum wanita yang berbusana dengan memakai celana ketat?


Dalam hal ini, para ulama’ berbeda pandangan


1 Tidak diperbolehkan bagi wanita memakai celana ketat sehingga menimbulkan syahwat bagi yang melihatnya apalagi sampai kelihatan warna kulitnya.


2 Makruh bagi wanita memakai celana ketat.


وَيَكْفِى مَا يُحْكَي لِحَجْمِ الْاَعْضَاءِ (اَيْ وَ يَكْفِيْ جِرْمٌ يَدْرِكُ النَّاسُ مِنْهُ قَدْرَ الْاَعْضَاءِ كَسَرَاوِيْلَ ضَيْقَةٍ) لَكِنَّهُ خِلَافُ الْاَوْلَى (اَيْ لِلرَّجُلِ وَاَمَّالْمَرأَةُ وَالْخُنْثَي فَيُكْرَهُ لَهُمَا) ( حاشية إعا نة الطا لبين ج 1 ص 134 )


وَشَرْطُ السَّاتِرِ فِى الصَّلاَةِ وَخاَرِجِهاَ اَنْ يَشْمِلَ الْمَسْتُوْرُ لَبِساً وَنَحْوَهُ مَعَ سَتْرِ اللَّوْنِ فَيَكْفِى مَا يَمْنَعُ اِدْرَاكَ لَوْنِ الْبَشَرَةِ


(Mauhibah Dzil Fadlal, juz II, hal. 326-327 dan al-Minhaj al-Qawim juz 1 hal 234).


(Hukum Wanita Kerja pada Malam Hari)
Di era globalisasi saat ini, jumlah tenaga kerja wanita bertambah besar bahkan hampir mendominasi lapangan pekerjaan dalam bidang industri. Di perusahaan besar pekerjaan berjalan full time/24 jam atau sehari penuh, dan dalam 24 jam tersebut biasanya dibagi menjadi 3 sift (giliran), berarti setiap delapan jam ganti sift. Ketika seorang pekerja wanita mendapat giliran jam kerja pada waktu malam hari, dikhawatirkan terjadi kerawanan dan tidak menuntut kemungkinan bisa membahayakan kemanan dari pekerja wanita tersebut. Kalau dipandang dari agama bagaimanakah hukum seorang wanita bekerja pada malam hari di luar rumah

Dalam hal ini para ulama’ mempunyai pandangan yang berbeda-beda:


1 Apabila diduga kuat bisa menimbulkan fitnah maka hukumnya adalah haram.


2 Makruh, apabila hanya sekedar ada kekhawatiran akan terjadinya fitnah.


Sebagaimana keterangan dalam kitab Is’ad al-Rofiq:


قاَلَ فِى الزَّوَاجِرِ وَهُوَمِنَ الْكَباَئِرِ لِصَرِيْحِ هَذِهِ اْلأَحَادِيْثِ وَيَنْبَغِيْ حَمْلُهُ لِيُوَافِقَ عَلَى قَوَاعِدِناَ عَلَى مَا اِذَا تَحَقَّقَتْ اَلْفِتْنَةُ. أَمَّا مُجَرَّدُ خَشْيَتِهاَ فَاِنَّمَا هُوَ مَكْرُوْهٌ وَمَعَ ظَنِّهَا حَرَامٌ غَيْرُ كَبِيْرٍ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ (اسعاد الرفيق ج 2 ص 136)

Dalam kitab Al-Zawajir disebutkan bahwa sesuai dengan redaksi hadits di atas, maka (keluarnya wanita dari rumah) adalah termasuk dosa besar. Agar pernyataan ini sesuai dengan kaidah-kaidah kita, maka harus dipahami dalam keadaan jika memang benar-benar akan terjadi fitnah. Adapun jika hanya sekedar ada kekhawatiran terjadinya fitnah, maka hukumnya makruh. Sedangkan jika disertai dengan dugaan kuat adanya fitnah, maka hukumnya haram, namun bukan dosa besar.
(Is’ad al-Rofiq, juz II, hal. 136)

3 Boleh, bagi wanita bekerja di malam hari karena untuk mencari nafkah, asalkan aman dari fitnah dan mendapat ijin dari suaminya atau wali (bagi yang masih belum punya suami). Hal ini diterangkan dalam kitab I’anah al-Thalibin:


وَمِنْهاَ (اَيْ مِنَ الْمَوَاضِعِ الَّتِيْ يَجُوْزُ الْخُرُوْجُ ِلأَجْلِهَا) اِذَا خَرَجَتْ لِاكْتِسَابِ نَفَقَةٍ بِتِجَارَةٍ أََوْ سُؤَالِ أَيْ سُؤَالِ نَفَقَةٍ أَيْ طَلَبِهاَ عَلَى وَجْهِ الصَّدَقَةِ أَوْكَسْبٍ اِذَا عَسَرَالزَّوْجُ (اعانة الطالبين ج 4 ص 81 

Dan diantara hal-hal yang memperbolehkan wanita bekerja di luar rumah adalah jika keluarnya itu untuk mencari nafkah, dengan berdagang, meminta sedekah atau mencari pekerjaan ketika suami sedang dalam kesulitan uang (ada udzur)
(I’anah al-Thalibin, juz IV, hal. 81)


(Hukum Mengeraskan Bacaan Al-Qur’an bagi Wanita di Hadapan Khalayak Umum)
Setiap tahun di Pondok Pesantren Ngalah, ketika merayakan acara Haflah Akhirussanah diadakan lomba Qiro’ah dan pidato yang diikuti oleh santri putra dan putri. Bagi santri putra sudah tidak ada keraguan lagi dalam hukum fiqih mengenai hukum suaranya. Namun bagi santri putri ini bagaimanakah hukum mengikuti lomba tersebut, karena ada sebagian pendapat yang mengatakan suara perempuan itu termasuk aurot, sedangkan lomba tersebut memakai pengeras suara (sounds system), bertempat di atas panggung dan disaksikan oleh seluruh santri dan masyarakat sekitar.

Dari keterangan tersebut di atas, bagaimanakah hukum seseorang Perempuan/wanita mengeraskan suaranya ketika membaca al-Qur’an (Qiro’ah) atau berpidato dengan menggunakan alat pengeras suara di hadapan khalayak umum?


1 Haram, apabila menimbulkan fitnah atau menimbulkan rasa ladzat atau syahwat.

2 Boleh, apabila tidak menimbulkan fitnah atau tidak menimbulkan rasa ladzat atau syahwat, karena suara orang perempuan bukan termasuk aurat menurut pendapat yang lebih shahih.

Hal ini diterangkan dalam kitab I’anah al-Thalibin juz 3. halaman 260.


وَلَيْسَ مِنَ العَوْرَةِ الصَوْتُ فَلاَ يَحْرُمُ سِمَاعُهُ اِلاَّ اَنْ خُشِيَ مِنْهُ فِتْنَةٌ أَوِ التَّلَذُّذُ بِهِ أَىْ فَاِِنَّهُ يَحْرُمُ سِمَاعُهُ أَىْ وَلَوْ بِنَحْوِ قُرْأَنٍ. وَمِنَ الصَّوْتِ اَلزَّغاَرِيْدُ ( اعانة الطالبين ج 3 ص 260 )

suara perempuan tidak termasuk aurat, maka tidak haram mendengarkannya, kecuali jika dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah atau laki-laki menikmati suaranya, maksudnya haram bagi laki-laki untuk mendengarkannya, walaupun yang dibaca itu al-Qur’an. Dengungan nada tanpa kata-kata (rengeng-rengeng) juga termasuk suara


وَفِي الْبُجَيْرَمِىِّ وَصَوْتـُهَا لَيْسَ بِعَوْرَاةٍ عَلىَ اْلاَصَحِّ لَكِنْ يَحْرُمُ اْلاِصْغاَءُ اِلَيْهِ عِنْدَ خَوْفِ اْلفِتْنَةِ وَاِذَا قَرَعَ باَبَ اْمرَأَةٍ أَحَدٌ فَلاَ تُجِيْـبُهُ بِصَوْتٍ رَخِيْمٍ بَلْ تُغَلِّظُ صَوْتَهَا بِاَنْ تَأْخُذَ طَرَفَ كََفِّهَا بِفِيْهَا . اهـ ( اعانة الطالبين ج 3 ص 260 )

suara perempuan bukanlah aurat menurut pendapat yang lebih shahih, tetapi haram mendengarkannya ketika akan menimbulkan fitnah. Apabila seorang laki-laki mengetuk pintu rumah perempuan, maka perempuan tersebut tidak boleh menjawabnya dengan suara yang lembut, melainkan ia harus menjelekkan suarannya dengan cara menutupkan ujung telapak tangannya pada mulutnya.

(Hukum Jual Beli Kucing)
Bagaimanakah hukum dari jual beli kucing, karena sekarang ini semakin marak masyarakat yang melakukan transaksi perdagangan hewan kucing, bahkan banyak pasar yang khusus menjual macam-macam kucing?

Diperbolehkan menjual hewan yang bisa diambil manfaatya, seperti digunakan untuk berburu, diambil kulitnya atau madunya, disamping hewan tersebut ada dan dapat disaksikan oleh pembeli yakni hadir pada tempatnya juga harus memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut:


Hewan yang dijual dalam keadaan suci.


diambil manfaatnya sesuai dengan yang dimaksudkan.


Dapat diserahkan pada pihak pembeli.


Hal ini diterangkan dalam kitab:

Ihya’ Ulummu ad-din juz 2 halaman 67 penerbit hidayah dan hal 62 terbitan Darul Kutub Beirut

وَيَجُوْزُ بَيْعُ الْهِرَّةِ وَالنَّحِلِ وَبَيْعُ اْلفَهْدِ وَاْلأَسَدِ وَمَايَصْلُحُ لِصَيِّدِ اَوْيَنْتَفِعُ بِـجِلْدِهِ

Diperbolehkan menjual kucing, lebah, harimau dan hewan yang dapat digunakan untuk berburu atau diambil kemanfaatannya.
Raudhah at-Thalibin halaman 505
وَمِمَّا يَنْتـَفِعُ بِهِ اَلْقِرْدُ وَاْلفِيْلُ وَاْلهِرَّةُ وَدُوْدُ اْلقُزِّ وَبَيْعُ النَّحِلِ فِي اْلكَوَارَةِ صَحِيْحٌ إِنْ شَاهِدَ جَمِيْعُهُ وَإِلاَّ فَهُوَ مِنْ بَيْعِ اْلغَائِبِ .
Diantara hewan yang dapat diambil manfaatnya antara lain, kera, kucing, ulat sutra, dan menjual lebah yang masih dalam sarangnya hukumnya shahih apabila dapat di lihat semuanya (barang yang dijual dapat disaksikan), apabila tidak maka termasuk kategori jual beli barang ghaib.

(HUKUM HIBURAN DAN PERMAINAN)
(Nyanyian, Orkesan, Musik, Tarian, Ludruk, Wayang dll)

Pengertian Hiburan dan Permainan

Macam-macam hiburan dalam istilah agama Islam menurut Syekh Ahmad bin Muhammad al-Shawy diistilahkan dengan ”Lahwun” dan untuk macam-macam seni musik seperti orkes dan lain sebagainya diistilahkan dengan istilah ”Laghwun” yang keduanya memiliki pengertian: segala hal yang dapat menyibukkan seseorang sehingga dapat melupakan kepentingan dirinya sendiri.

Adapun permainan dikategorikan dengan istilah ”La’bun” yaitu: segala hal yang dapat menyibukkan seseorang tanpa ada manfaatnya sama sekali terhadap keadaan diri ataupun hartanya.


Hal ini diterangkan di dalam kitab Tafsir al-Shawy juz 04 hal. 119:


إِنَّمَا الحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَإِن تُؤْمِنُوا وَتَتَّقُوا يُؤْتِكُمْ أُجُورَكُمْ وَلا يَسْأَلْكُمْ أَمْوَالَكُمْ (36)

Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau. dan jika kamu beriman dan bertakwa, Allah Swt. akan memberikan pahala kepadamu dan dia tidak akan meminta harta-hartamu. (Q.S. Muhammad ayat 36)

اَللَّعْبُ مَـايُشْغِلُ اْلاِنْسَـانَ وَلَيْـسَ فِيْـهِ مَنْفَعَةٌ فِيْ الْحَـاِل وَاْلماَلِ وَاللَّـغْوُ مَـا يُشْغِلُ اْلاِ نْسَـانَ عَنْ مُهِمَّـاتِ نَفْسِـهِ (اَلصَّـاوِيْ عَلَى الْجَلاَ لَيْـنِ فِىْ تَفْسِيْـرِ قَوْلِـهِ تَعـَالىَ انَِّـمَا الْحَيـَاةُ الدُّنْيـَا لَعِبٌ وَلَـهْوٌ)



Hukum Hiburan dan PermainaN

1 Haram

Di dalam kitab Ihya’ Ulumi al-Diin diterangkan ada golongan yang mengharamkan nyanyian, mereka menggunakan dalil riwayat dari Ibnu Mas’ud al-Hasan al-Bishri dan al-Nakha’i, dengan landasan al-Qur’an Surat Luqman ayat 6. yang berbunyi:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِيْ لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ (6)

Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah Swt. tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah Swt. itu olok-olokan. mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. (Q.S. Luqman ayat 6)

اِحْتَجُوْا بِقَوْلِهِ تَعَالَى وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّشْتَرِيْ لَهْوَ الْحَدِيْثِ قَالَ اِبْنُ مَسْعُوْدٍ وَالْحَسَنُ الْبِصْرِيُّ وَالنَّخَعِيُّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ إِنَّ لَهْوَ الْحَدِيْثِ هُوَ الْغِنَاءُ (احياء علوم الدين ج 2 باب بيان حجج القائلين بتحريم السماع والجواب عنها)

Mereka menafsirkan lafadz Lahwal Hadits (perkataan yang tidak berguna) ini dengan arti nyanyian.

Ada sebagian ulama’ memberi hukum haram pada hiburan dan permainan (Nyanyian, Musik, Tarian, Ludruk, Wayang dll) dengan landasan dalil hadits di bawah ini:



وَرَوَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اِنَّ اللهَ تَعَالىَ حَـرَّمَ الْقَيْنَةَ ( اَىْ اَلجْاَرِيَةَ ) وَبَيْعَهَا وَثمَٰنَهَا وَتَعْلِيْمَهَا

Aisyah ra. Meriwayatkan hadits: Sesungguhnya Nabi Saw. bersabda: Sesungguhnya Allah Swt. telah mengharamkan al-Qoinah (penyanyi wanita/budak wanita yang menghibur), haram menjual belikannya, haram uang hasil darinya dan haram mengajarkanya.

Dalam Ihya’ Ulumuddin, Imam Ghozali menafsiri hadits di atas bahwa yang dimaksud perkataan Qoinah ialah budak perempuan yang menyanyi untuk laki-laki di tempat minum-minuman (semacam bar atau club malam/dugem)


فَنَقُوْلُ أَمَّا الْقَيْنَةُ فَالْمُرَادُ بِهَا الْجَارِيَةُ الَّتِيْ تَغَنِّيَ لِلرِّجَالِ فِيْ مَجْلِسِ الشُّرْبِ (احياء علوم الدين ج 2 باب بيان حجج القائلين بتحريم السماع والجواب عنها)


Golongan dari madzhab Hambali berpendapat Nyanyian adalah haram hukumnya, baik dinyanyikan oleh perempuan maupun laki-laki apabila mendatangkan syahwat bagi orang yang mendengarkan atau menyebabkan bercampurnya kaum laki-laki dan wanita atau disertai mabuk-mabukan.


اَلْحَناَبِلَةُ - قاَلُوْا : اَلْغِناَءُ حَرَامٌ سَوَاءٌ كَانَ مِنَ النِّسَاءِ أَمْ مِنَ الرِّجاَلِ إِذاَ كاَنَ الْقَوْلُ يُثِيْرُ الشَّهْوَةَ لِمَنْ اِسْتَمَعَ إِلَيْهِ أَوْ أَدَى إِلَى اخْتِلاَطِ الرِّجاَلِ بِالنِّساَءِ أَوْ خُرُوْجِ عَنْ حِشْمَةٍ وَوَقاَرٍ ( الفقه على المذاهب الاربعة الجزء 5 ص 27 )


2 Makruh

Menurut Imam Tabrani dalam kitabnya al-Mu’jam al-Ausat hukum dari hiburan dan permainan (nyanyian, musik, seni tari, ludruk, wayang, dll.) adalah makruh.

حَدَثَنَا مُحَمَّدِ بْنِ مَحْمُوِيَّهْ اَلْجَوْهَرِيُّ اَلأَهْوَازِيُّ ، حَدَثَنَا حَفْصٍ بِنْ عُمَرُو الرَّبَّالِيْ ، حَدَثَنَا اْلمُنْذِرُ بْنُ زِيَادٍ الَطَّائِيُّ ، عَنْ زَيْدٍ بْنِ أَسْلَمْ ، عَنْ أَبِيْهِ ، عَنْ عُمَرُ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « كُلُّ لَهْوٍ يُكْرَهُ إِلاَّ مُلاَعِبَةُ الرَّجُلِ اِمْرَأَتَهُ ، وَمَشِيْهِ بَيْنَ اْلهَدَفَيْنِ ، وَتَعْلِيْمِهِ فَرَسَهُ » « لمَ ْيَرْوِ هٰذَا الْحَدِيْثِ عَنْ زَيْدٍ بْنِ أَسْلَمْ إِلاَّ اْلمُنْذِرُ بْنُ زِيَادْ ، تَفَرَّدَ بِهِ: حَفْصُ بْنُ عُمَرُو الَرَّبَّالِيْ » (المعجام الاوسط للطبرنى ج 7 ص 170)


Dan diambil dari pendapat Imam Syafi’i, bahwa beliau berkata: sesungguhnya ghina’ (Lagu-laguan) merupakan hiburan yang dimakruhkan, serupa dengan perbuatan batil. Barang siapa terlalu banyak terlena karenanya maka dia dianggap bodoh dan ditolak kesaksiannya. Keterangan dalam kitab al-Fiqhu ‘ala Madzahib al-Arba’ah:


فَقَدْ نُقِلَ عَنِ اْلإِ مَامِ الشَّافِعِى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: اَلْغِنَاءُ لهَوْ ٌمَكْرُوْهٌ يُشْبِهُ الْباَطِلُ, مَنِ اِسْتَكْثَرَ مِنْهُ فَهُوَ سَفِيْهٌ وَتُرَدُّ شَهَادَتُهُ.(كتاب الفقه على المذاهب الأربعة الجزء 5 ص 54


Imam Al-Qaffal, Al-Rauyani dan Abu Mansur berpendapat bahwa hiburan dan permainan seperti tari-tarian berirama hukumnya makruh tidak sampai haram dengan alasan bahwa hal tersebut termasuk ”lahwun, laghwun dan la’bun” (dagelan, musik dan pemainan). Hal ini diterangkan dalam kitab الإتحاف على الإحياء dan dalam kitab احيـاء فى باب السمـاع, sama halnya nyanyian dan mendengarkan lagu atau musik. Keterangan dari kitab Al-Manhaj juz 5 hal 380.


وَلَنَذْكُرُمـَا لِلْعُلَمـَاءِ فِيـْهِ اَيْ فِي الـَّرقْصِ مِنْ كَلاَمِ فَذَهَبَتْ طَاِئـفَةٌ اِلىَ كَرَاهَتِـهِ مِنْهُمْ اَلْقَفَّـالُ حَـكَاهُ عَنْهُ الَرَّوْيـَانِـيْ فِي اْلبَحْرِ. وَقَـالَ اَلأُسْتـَاذُ اَبـُوْ مَنْصُـوْر تُكَلِّفُ اَلـَّرقْصُ عَلىَ اْلإِ يْقـَاعِ مَكْرُوْهٌ وَهٰـؤُلاَءِ اِحْتَجُـوْا بِاَنَّهُ لَعِبٌ وَلَـهْوٌ وَهُوَ مَكْرُوْهٌ.


 Imam Ghozali berpendapat dalam kitab Ihya’ Ulumuddin juz 02 bahwasanya nyanyian, orkesan dan sejenisnya adalah termasuk hiburan (Laghwun) yang dimakruhkan, serupa dengan perbuatan batil tetapi tidak sampai haram, sebagai contoh adalah permainan orang-orang Habasyah dan tarian mereka, Rasulullah pernah menyaksikannya dan tidak membencinya. Dalam hal ini Lahwun dan laghwun tidak dimurkai Allah Swt.


اَلْغِنـَاءُ لَـهْوٌ مَكْرُوْهٌ يُشْبِهُ اْلبـَاطِلَ وَقَوْلِـِه لَـهْوٌ صَحِيْحٌ وَلَكِنَّ اللَّهْوَ مِنْ حَيْثُ اَنَّهُ لَـْهوٌ لَيْسَ بِـحَرَامٍ فَلَعْبُ اْلحَبَشَةِ وَرَقْصُهُمْْ لَـهْوٌ وَقَدْ كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْـهِ وَسَلَّمَ يَنْظُرُ اِلَيْهِ وَلاَ يَكْرَهُهُ بَلِ اللَّّّـهْوُ وَاللَّـغْوُ لاَ يـُؤَا خِذُ الله ُبِهِ (احيـاء جز 2 فى باب السمـاع )


Menurut Qordowi, hiburan dan permainan (Nyanyian, Musik, Tarian, Ludruk, Wayang dll) hukumnya adalah باطل apabila digunakan untuk sesuatu yang tidak ada faidah dan membuat seseorang sibuk sehingga sampai mengganggu atau dapat mengurangi ketaatannya kepada Allah Swt., sedangkan hukum melakukan sesuatu yang tidak berfaidah tidaklah haram selama tidak menyia-nyiakan hak atau melalaikan kewajiban. Pendapat Qordowi ini berdasarkan Hadits:


كُلُّ لَهْوٍ بَاطِلٌ إِذَا شَغَلَهُ عَنْ طَاعَةِ اللَّهِ )صحيح البخاري , كتاب بدء الوحي(

Setiap hiburan itu adalah batil apabila bisa melalaikan seseorang dari ketaatan kepada Allah Swt.

Menurut riwayat Imam al-Baihaqi hukum nyanyian atau orkesan dan sejenisnya dihukumi makruh karena dapat menumbuhkan kemunafikan dalam hati, seperti halnya air bisa menumbuhkan tanaman. Diterangkan dalam kitab al-Sunan al-Kubro lii al-Baihaqi bab al-Rajul Yaghni Fayattakhidu al-Ghina’ juz 7 halaman 931



وَ أَخْبَرَنَا ابْنُ بِشْرَانَ أَنْبَأَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ صَفْوَانَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِى الدُّنْيَا حَدَّثَنَا عَلِىُّ بْنُ الْجَعْدِ أَنْبَأَنَا مُحَمَّدُ بْنُ طَلْحَةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ كَعْبٍ الْمُرَادِىِّ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: الْغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِى الْقَلْبِ كَمَا يُنْبِتُ الْمَاءُ الزَّرْعَ وَالذِّكْرُ يُنْبِتُ الإِيمَانَ فِى الْقَلْبِ كَمَا يُنْبِتُ الْمَاءُ الزَّرْعَ


3 Boleh

Imam Bukhari meriwayatkan hadits dalam kitab sahihnya bab an-Niswah al-Laati Yahdina al-Mar'ah juz 1 hal 145 dari Siti Aisyah bahwa Nabi pernah berkata:

4765 – حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ يَعْقُوبَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَابِقٍ حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا زَفَّتْ امْرَأَةً إِلَى رَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ فَقَالَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَائِشَةُ مَا كَانَ مَعَكُمْ لَهْوٌ فَإِنَّ الْأَنْصَارَ يُعْجِبُهُمْ اللَّهْوُ

Dari hadits tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Nabi menginginkan seorang penyanyi yang dapat disuruh Nabi untuk menghibur kaum Anshar ketika Siti Aisyah menikahkan seorang gadis dengan pemuda anshar karena kaum anshar sangat kagum dan senang dengan nyanyian.

Diceritakan dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Nasa'i bahwa pada hari raya sahabat Abu Bakar berkunjung ke rumah Siti Aisyah untuk halal bi halal kepada Nabi Saw., ketika beliau masuk beliau menjumpai ada dua gadis di samping Siti Aisyah yang sedang menyanyi, seketika itu Abu Bakar menghardik mereka seraya berkata: Apakah pantas ada seruling syaitan di rumah Rasulullah?! Kemudian Nabi Saw. bersabda: “Biarkanlah mereka, wahai Aba Bakar, sesungguhnya hari ini adalah hari raya. Adapun bunyi hadits yang menceritakan peristiwa itu adalah sebagai berikut ini dalam kitab Sunan an-Nasai juz 6 hal. 59.


أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَفْصِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ طَهْمَانَ عَنْ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ أَنَّهُ حَدَّثَهُ أَنَّ عَائِشَةَ حَدَّثَتْهُ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ دَخَلَ عَلَيْهَا وَعِنْدَهَا جَارِيَتَانِ تَضْرِبَانِ بِالدُّفِّ وَتُغَنِّيَانِ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُسَجًّى بِثَوْبِهِ وَقَالَ مَرَّةً أُخْرَى مُتَسَجٍّ ثَوْبَهُ فَكَشَفَ عَنْ وَجْهِهِ فَقَالَ دَعْهُمَا يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّهَا أَيَّامُ عِيدٍ وَهُنَّ أَيَّامُ مِنَى وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَئِذٍ بِالْمَدِينَةِ

Dari cerita di atas bisa dibuat dalil bahwa Nabi tidak melarang hiburan dan permainan (nyanyian, orkesan, musik, tarian, ludruk, wayang dll)

Menurut Imam Al-Fauroni: Hukum dari hiburan dan permainan (nyanyian, orkesan, musik, tarian, ludruk, wayang, dll) adalah boleh, dengan alasan bahwa semua perkara itu adalah termasuk Lahwun, Laghwun dan La’bun dan hukum asal dari Lahwun, Laghwun dan La’bun itu adalah mubah. Diterangkan di dalam kitab al-Itkhaf juz 06.


وَهَـؤُلاَءِ اِحْتَجُّـوْا بِاَنَّهُ لَعْبٌ وَلَـهْوٌ وَهُوَ مَكْرُوْهٌ وَذَهَبَتْ طَائِـفَةٌ إِلَى إِبَاحَتِـهِ قَـالَ اَلْفَـوْرَانِـيْ فِيْ كِتـَابِهِ اَلْعُمْدَةُ اَلْغِنَـاءُ يُبـَاحُ أَصْلُهُ


Imam Haromain, Imam al-Makhali, Imam Ibni ‘Imad Al-Suhrowardi, Imam Rofi’i dan Ibnu Abi Dam berpendapat: Hiburan tarian atau sejenisnya adalah tidak haram, apabila tidak menyebabkan rusaknya harga diri dan tidak ada penyerupaan laki-laki dengan perempuan atau sebaliknya


قَـالَ إِمـَامُ الْحَرَمَيْـِن اَلـَّرقْصُ لَيْـسَ بِـمُحَرَّمٍ فَاِنَّـهُ مُـجَرَّدُ حَرَكَاتٍ عَلَى اِسْتِقَامَةٍ أَوْ اِعْوِجَـاجٍ وَلَكِنْ كَثِيْرُهُ يُـحْرَمُ اَلمْـُرُوْءَةُ وَكَذَلِكَ قـَالَ اَلمْـَحَلِّىْ فِي الدَّخَـاِئرِ وَابْنُ الُعِمَـادِ اَلسُّهْـرَوَرْدِيْ وَالرَّفِعِيْ وَبِهِ جَزَمَ اْلمُصَنِّفُ فِي الْوَسِيْطِ وَابْنُ اَبِي الدَّمِ (الإتحاف على الإحياء في باب السماع)



PERDUKUNAN
(Berobat dengan Suwuk)
Masyarakat kita telah lama mengenal pengobatan penyakit melalui doa-doa yang disebut suwuk. Bagaimanakah hukum pengobatan dengan cara suwuk?
Sesungguhnya di dalam al-Qur’an telah dijelaskan:

وَتُبْرِىءُ الأَكْمَهَ وَالأَبْرَصَ بِإِذْنِي (الماءدة:110)


Dan (ingatlah) di waktu kamu (Nabi Isa) menyembuhkan orang yang buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang berpenyakit sopak dengan seizin-Ku, (QS. Al-Maidah: 110).


Tentang pengobatan dengan menggunakan suwuk ini pernah ditanyakan pada Rasulullah dalam sebuah hadits berikut:


عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كُنَّا نَرْقِى فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ تَرَى فِى ذَلِكَ فَقَالَ « اعْرِضُوا عَلَىَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ تَكُنْ شِرْكًا ». (سنن أبى دا ود,جز 1, 230)

Dari ‘Auf bin Malik berkata, bahwasannya kami mengobati penyakit dengan menggunakan suwuk pada zaman jahiliyah, lalu kami bertanya kepada Rasul, wahai Rasul bagaimana pendapat anda tentang hal tersebut? Rasul menjawab, hadapkanlah suwuk-suwuk kalian kepadaku, sesungguhnya hal itu tidak membahayakan selama kalian tidak syirik (menyekutukan Allah Swt.). (Sunan Abi Dawud, juz I, hal. 230)

Diceritakan dalam sebuah hadits Sunan Abi Dawud, mengenai pengalaman para sahabat Nabi yang telah melakukan pengobatan dengan suwuk:


عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ أَنَّ رَهْطًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- انْطَلَقُوا فِى سَفْرَةٍ سَافَرُوهَا فَنَزَلُوا بِحَىٍّ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ إِنَّ سَيِّدَنَا لُدِغَ فَهَلْ عِنْدَ أَحَدٍ مِنْكُمْ شَىْءٌ يَنْفَعُ صَاحِبَنَا فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ نَعَمْ وَاللَّهِ إِنِّى لأَرْقِى وَلَكِنِ اسْتَضَفْنَاكُمْ فَأَبَيْتُمْ أَنْ تُضَيِّفُونَا مَا أَنَا بِرَاقٍ حَتَّى تَجْعَلُوا لِى جُعْلاً. فَجَعَلُوا لَهُ قَطِيعًا مِنَ الشَّاءِ فَأَتَاهُ فَقَرَأَ عَلَيْهِ أُمَّ الْكِتَابِ وَيَتْفُلُ حَتَّى بَرَأَ كَأَنَّمَا أُنْشِطَ مِنْ عِقَالٍ. قَالَ فَأَوْفَاهُمْ جُعْلَهُمُ الَّذِى صَالَحُوهُمْ عَلَيْهِ فَقَالُوا اقْتَسِمُوا. فَقَالَ الَّذِى رَقَى لاَ تَفْعَلُوا حَتَّى نَأْتِىَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَنَسْتَأْمِرَهُ. فَغَدَوْا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَذَكَرُوا لَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مِنْ أَيْنَ عَلِمْتُمْ أَنَّهَا رُقْيَةٌ أَحْسَنْتُمُ اقْتَسِمُوا وَاضْرِبُوا لِى مَعَكُمْ بِسَهْمٍ

Dari Abi Said al Khudzri ra. Bahwasannya sekelompok sahabat Nabi berangkat melakukan suatu perjalanan, mereka berhenti diperkampungan Arab. Salah satu dari penduduk tersebut berkata, Sesungguhnya pemimpin kami disengat kalajengking. Apakah ada di antara kalian yang bisa memberi manfaat (mengobati pemimpin kami)? Seorang laki-laki dari sahabat menjawab, betul. Demi Allah Swt. sesungguhnya kami bisa menyuwuk (mengobatinya) tetapi, ketika kami akan bertamu, kalian malah menolak. Aku tidak akan mengobati, sehingga kalian memberi gaji (upah). Bayarlah gaji tersebut dengan seekor kambing. Lalu satu kambing didatangkan. Laki-laki tersebut membaca surat al-Fatihah, kemudian meniupkan ludahnya sehingga pimpinan itu sembuh, (saking cepatnya) seperti orang yang terlepas dari tali serban. Abi Said berkata,” mereka menepati janji dengan memberi gaji (upah).” Lalu para sahabat berkata, “Bagilah (upah tersebut).” Lelaki tukang suwuk berkata, “Jangan lakukan hal itu sehingga kita datang kepada Rasul.” Lalu Rasul bersabda, “Dari mana kalian tahu bahwa ummul kitab bisa dipergunakan untuk menyuwuk? Bagus….kalian, bagilah! Dan aku minta bagian”
(Sunan Abi Dawud, juz II, hal. 232-233)

Dari beberapa penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa mengobati berbagai penyakit dengan do’a-do’a itu dibenarkan. Dan mengambil ongkos/upah dari pengobatan itu juga diperbolehkan.


(Batasan Praktik Orang-orang Pintar (Dukun)
Dilarang praktiknya orang-orang pintar (dukun) dikarenakan dalam praktiknya menggunakan sihir yang jelas bertentangan dengan syari’at Islam, yakni terdapat kemusyrikan yaitu menggunakan perantara jin dan setan, serta menimbulkan bahaya pada orang lain.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ ». (سنن ابى داود رقم 3385)

Dari Abdullah Ia pernah mendengar bahwa Rasulullah bersabda: sesungguhnya suwuk, zimat, dan sihir adalah syirik. (Sunan Abi Dawud, hal. 3385)

Dibenarkan praktiknya orang-orang pintar (dukun) dengan tiga ketentuan yang harus diperhatikan yaitu: Pertama, amalan, hizib, azimat atau yang semisalnya harus menggunakan kalam Allah Swt. Kedua, menggunakan bahasa yang dapat dipahami maknanya. Ketiga, meyakini semua hanya sebatas ikhtiar serta keberhasilan yang terwujud atau semua kejadian yang terjadi semata karena takdir Allah Swt.


وَسُئِلَ بَعْضُهُمْ عَنْ رَجُلٍ صَالِحٍ يَكْتُبُ لِلْحَمَى وَ يَرْقَى وَيَعْمَلُ النَّشْرَةَ وَيُعَالِجُ اَصْحَابَ الصَّرْعِ وَالْجُنُوْنِ بِأَسْمَاءِ اللهِ وَالْخَوَاتِمِ وَاْلعَزَائِمِ وَيَنْتَفِعُ بِذَالِكَ مِنْ عَمَلِهِ وَلاَ يَأْخُذُ عَلَى ذلِكَ اَلْاُجُوْرَ هَلْ لَهُ بِذلِكَ اَجْرٌ اَمَّا الْكُتُبُ لِلْحَمَى وَالرَّقِى وَالنَّشْرُ باِلْقُرْأَنِ وَبِالْمَعْرُوْفِ مِنْ ذِكْرِ اللهِ فَلاَ بَأْسَ بِهِ اهـ (فتاوى حاشية ص 88)


PEMAKAMAN
(Macam-macam Orang Mati Syahid)
Menurut Imam Ibnu Rif’ah dan sahabatnya, orang yang mati syahid itu ada tiga golongan, yaitu

1 Syahid ‘Indallah (mati syahid menurut Allah) diantaranya

2 Orang yang meninggal karena dibunuh secara zhalim
3 Meninggal karena tenggelam
4 Meninggal karena terbakar
5 Meninggal karena tertimpa bangunan
6 Meninggal karena sakit perut
7 Meninggal karena dilukai oleh orang lain
8 Meninggal karena kerinduan
9 Meninggal mendadak
10 Meninggal karena sakit waktu melahirkan
11 Meninggal di negeri orang kafir Harbi (Musuh)

Orang yang meninggal di atas termasuk golongan yang wajib diperlakukan sebagaimana mestinya (dimandikan dan dishalati)


Syahid Fid Dunya (mati syahid menurut manusia)

Orang yang meninggal sebagai pengatur strategi perang yang tidak terjun langsung dalam medan peperangan.

1 Orang yang meninggal dunia dalam peperangan akan tetapi memihak kepada kelompok lain.


2 Orang yang meninggal dunia dalam peperangan karena riya’ dan mencari popularitas.


3 Orang-orang yang meninggal di atas sebagai syahid secara hukum, jadi tidak wajib dimandikan dan dishalati.


Syahid Fid Dunya Wal Akhirat (mati syahid menurut Allah dan Manusia)


Yang termasuk golongan ini, yaitu orang yang meninggal karena berperang membela agama Allah (fii sabilillah). Mayat golongan ini tidak dimandikan dan tidak perlu dishalati. (Kifayah al-Akhyar, Fashal Fii al-Mu’tadati al-Raj’iyah juz I, hal.164).


وَإثْنَانِ لاَيُغْسَلاَنِ وَلا يُصَلَّى عَلَيْهِمَا : اَلشَّهِيْدُ فِى مَعْرَكَةِ اْلكُفََّارِ وَالسِّقْطُ اَّلذِى لَمْ يَسْتَهِل


Dan dua orang yang tidak dimandikan dan tidak dishalati atas mereka: (1) orang yang meninggal dalam medan pertempuran melawan orang-orang kafir dan (2) janin yang jatuh (bayi kluron) yang belum sempat menangis.


(وَاثْنَانِ لاَ يُغْسَلاَنِ وَلَا يُصَلّى عَلَيْهِمَا الشَّهِيْدُ فِي مَعْرَكَةِ الْكُفَّارِ وَالسِّقْطُ الَّذِيْ لَمْ يَسْتَهِلْ ) وَيُصَلَّى عَلَيْهِ إِنْ اخْتَلَجَ اعْلَمْ أَنَّ الشَّهِيْدَ يَصْدُقُ عَلَى كُلِّ مَنْ قُتِلَ ظُلْمًا أَوْ مَاتَ بِغَرَقٍ أَوْ حَرَقٍ أَوْ هَدَمٍ أَوْ مَاتَ مَبْطُوْناً أَوْ مَاتَ عِشْقًا أَوْ كَانَتْ إِمْرَأَةٌ وَمَاتَتْ فِي الطَّلْقِ وَنَحْوِ ذَلِكَ وَكَذَا مَنْ مَاتَ فُجْأَةً أَوْ فِي دَارِ الْحَرْبِ قَالَهُ ابْنُ الرِّفْعَةُ وَمَعَ صِدْقِهِ أَنَّهُمْ شُهَدَاءٌ فَهَؤُلَاءُ يُغْسَلُوْنَ وَيُصَلَّي عَلَيْهِمْ كَسَاِئرِ المْـَوْتَى وَمَعْنَى الشَّهَادَةِ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُوْنَ. وَأَمَّا مَنْ مَاتَ فِْي قِتَالِ الْكُفَّارِ مُدَبِّرًا غَيْرَ مُتَحَرِّفٍ لِقِتَالٍ أَوْ مُتَحَيِّزًا إِلىَ الْفِئَةِ أَوْ كَانَ يُقَاتِلُ رِيَاءً وَسُمْعَةً فَهَذَا شَهِيْدٌ فِي الْحُكْمِ ِبمَعْنَى أَنَّهُ لَا يُغْسَلُ وَلَا يُصَلَّى عَلَيْهِ وَهُوَ شَهِيْدٌ فِي الدُّنْيَا دُوْنَ الآخِرَةِ وَأَمَّا مَنْ مَاتَ فِي قِتَالِ الْكُفَّارِ بِسَبَبِ الْقِتَالِ عَلَى الْوَجْهِ الْمَرْضِِّي فَهَذَا شَهِيْدٌ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ. ( كفاية الأخيار، فصل ويلزم في الميت، جزء 1 ص 154 


(Talqin Saat Naza’ (Sakaratul Maut)
Talqin terhadap orang yang akan meninggal dunia adalah mengajari ucapan kalimah toyyibah supaya dalam akhir hayatnya tetap membawa kalimat “Laa Ilaha Illallah, Muhammad Rasulullah”.

عَنْ أَبِى سَعِيْدٍ الْخُدْرِىِّ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- : « لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ». أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ فِى الصَّحِيحِ مِنْ حَدِيثِ خَالِدِ بْنِ مَخْلَدٍ عَنْ سُلَيْمَانَ وَأَخْرَجَهُ أَيْضًا مِنْ حَدِيثِ أَبِى حَازِمٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ .


1. صحيح مسلم باب تلقين الموتى.


2. سنن أبي داود باب مافى التلقين


3. السنن الكبرى للبيهقى وفي ذيله باب ما يستحب من تلقين الميت 

Dari said dan Abu Hurairoh ra. Mereka berkata, Rasul bersabda: “Ajarilah orang mati kalian dengan kalimat Laa Ilaha Illallah”. Hadits ini diriwayatkan Imam Muslim pada kitab sahihnya, dari cerita Khalid bin Makhlad, dari sulaiman. Imam Muslim juga meriwayatkan hadits ini dari cerita Abi Khazim, dari Abu Hurairah.

Yang dimaksud hadits di atas adalah Rasulullah mengutus kita agar mengajari orang yang sedang naza’ (menjelang meninggal dunia) dengan ucapan kalimat tauhid. Sebagaimana firman Allah:


يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُواْ بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاء (27)

Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan Ucapan yang teguh itu[788] dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki”. (Q.S. Ibrahim:27)

(788) Yang dimaksud ucapan-ucapan yang teguh di sini ialah kalimatun thayyibah yang disebut dalam ayat 24.


Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa sangat di anjurkan mengajari kalimat tauhid kepada orang yang akan meninggal dunia, karena pada saat menjelang kematiannya akan menjadi tolak ukur kebahagiaan dan kesengsaraan kehidupan manusia di akhirat selanjutnya.



(Posisi Jenazah Ketika Dishalati)

Posisi jenazah ketika dishalati


Posisi jenazah laki-laki yaitu posisi kepala terletak di sebelah kiri imam


Posisi jenazah perempuan yaitu posisi kepala terletak di sebelah kanan imam.

وَيَجْرِىْ هَذَا التَّفْصِيْلُ فِى الْوُقُوْفِ فِى الصَّلاَةِ عَلىَ الْقَبْرِ اِلَى اَنْ قاَلَ وَيُضَمُّ لِهذِهِ الْقَاعِدَةِ قاَعِدَةٌ اُخْرَى سَيَأْتِيْ اَلتَّصْرِيْحُ بِهَا فِىْ عِباَرَةِ الْبَرْماَوِىِّ وَهِيَ يُجْعَلُ مُعْظَمُ الْمَيِّتِ يَمِيْنَ الْمُصَلِّى فَحِيْنَئِذٍ يَكُوْنُ رَأْسُ الذَّكَرِ فِيْ جِهَةِ يَساَرِى الْمُصَلِّى وَاْلاُنْثَى باِلْعَكْسِ (حاشية الجمل على المنهاج الجزء 2 ص 188

Posisi imam shalat jenazah


Untuk jenazah laki-laki, posisi imam berdiri lurus searah dengan kepala jenazah.


Untuk jenazah perempuan, posisi imam berdiri lurus searah dengan pantat jenazah. (Hasyiyah al-Jamal ‘Ala al-Minhaj, juz II, hal. 188)

وَيَقِفُ نَدْباً غَيْرُ مَأْمُوْمٍ فِى إِماَمٍ وَمُنْفَرِدٍ عِنْدَ رَأْسِ ذَكَر ٍوَعَجِزِ غَيْرِهِ مِنْ اُنْثىَ وَخُنْثَى (حاشية الجمل على المنهاج الجزء 2 ص 188)


(Shalat Jenazah bagi Wanita)
Hukum shalat jenazah adalah fardlu kifayah (yang mengerjakan satu menggugurkan kewajiban yang lain). Shalat jenazah bagi wanita hukumnya adalah sah. Tatapi ulama’ masih khilaf tentang apakah shalat jenazah orang wanita dapat menggugurkan kewajiban shalat jenazah bagi orang laki-laki?

Menurut Imam Ibnu Muqri dan dikukuhkan oleh imam al-Romli bahwa shalatnya orang perempuan sah dan hanya dapat menggugurkan fardu kifayah dari golongan perempuan saja, artinya tidak dapat menggugurkan kewajiban kaum laki-laki.


وَاِذَا صَلَّتْ اَلْمَرْأَةُ سَقَطَ اَلْفَرْضُ عَنِ النِّسَاءِ (شرح المنهج جز 2 ,181)

Perempuan yang shalat jenazah hanya bisa menggugurkan kewajiban bagi kalangan perempuan saja (tidak bisa menggugurkan kewajiban bagi laki-laki). (Sarayh, al-Minhaj, juz II, hal. 181)

Menurut Ibnu Hajar, melaksanakan shalat jenazah bagi perempuan sah dan bisa menggugurkan kewajiban shalat jenazah bagi yang lain dengan syarat tidak ada orang laki-laki. Dan shalat jenazah tersebut disunnahkan pula berjama’ah bagi golongan perempuan.

أَمَّا اِذاَ لَمْ يَكُنْ غَيْرُهُنَّ فَتَلْزَمُهُنَّ وَتَسْقُطُ بِفِعْلِهِنَّ وَتُسَنُّ لَهُنَّ الْجَمَاعَةُ

(شرح المنهج جز 2 ,181)


(Shalat jenazah) boleh bagi perempuan selagi tidak ada yang lain (orang laki-laki) dan juga dapat menggugurkan kewajiban orang laki-laki serta disunnahkan pelaksanaan shalat jenazah dengan berjama’ah. (Sarakh al-Minhaj, juz II, hal. 181)


(Hukum Melaksanakan Shalat Jenazah Tanpa Wudluk)
Pada suatu saat, setelah melaksanakan shalat jenazah, Sanimo ditanya temannya kenapa kamu shalat jenazah tanpa sesuci? Shalat itu kan harus punya wudlu’?. Bagaimanakah status shalat Sanimo dalam kasus di atas?

Hukumnya khilaf

1 Tidak sah. Menurut ijma’ ulama’, setiap bentuk shalat yang diawali takbir dan diakhiri dengan salam harus dalam kondisi suci meskipun dalam shalat jenazah tanpa ruku’, i’tidal, sujud dan tahiyyat.

(فَرْعٌ) ذَكَرَناَ مَذْهَبُناَ اَنَّ صَلاَةَ الْجَنَازَةِ لاَتَصِحُّ اِلاَّ بِطَهَارَةٍ وَمَعْناَهُ إِنْ تَمَكَّنَ مِنَ اْلوُضُوْءِ لَمْ تَصِحَّ اِلاَّ بِهِ، وَإِنْ عَجَزَ تَيَمَّمَ، وَلَا يَصِحُّ التَّيَمُّمِ مَعَ إِمْكَانِ الْمَاءِ، وَإِنْ خَافَ فَوْتَ الْوَقْتِ (المجموع شرح المهذب جز 5 ص177)

Telah saya sebutkan bahwa sesungguhnya shalat jenazah itu tidaklah sah kecuali dengan bersuci. Artinya apabila seseorang masih mungkin berwudlu’, maka shalat jenazah tersebut tidak sah kecuali dilakukan dengan memakai wudlu’. (al-Majmu’ syarh al-Muhadzab jld V, hal. 177)

2 Sah. Menurut Imam Ibnu Jarir dan Imam Syi’bi. Karena shalat jenazah merupakan bentuk do’a bukan seperti shalat maktubah atau yang lain.


وَقاَلَ الشَّعْبِىْ وَمُحَمَّدُ ابْنُ جَرِيْرٍ اَلطَّبَرِيّ وَالشِّيْعَةُ تَجُوْزُ صَلاَةُ الْجَناَزَةِ بِغَيْرِ الطَّهَارَةِ مَعَ اِمْكَانِ الْوُضُوْءِ وَالتَّيَمُّمِ لِأَنَّهَا دُعَاءٌ (المجموع شرح المهذب ج 5، ص 177

Asya’bi, Muhammad bin Jarir al-Thabari dan kaum syi’ah berkata diperbolehkan shalat jenazah dengan tanpa bersuci, meskipun masih memungkinkan untuk mengerjakan wudlu’ dan tayammum, karena shalat jenazah itu hanya sekedar do’a. (al-Majmu’ syarh al-Muhadzab jld V, hal. 177)

(Kesaksian Terhadap Jenazah)
Ketika jenazah hendak diberangkatkan ke pemakaman dilakukan acara Ibro’ terlebih dahulu di hadapan masyarakat, keluarga dan sanak famili yang ditinggalkannya untuk memohonkan maaf buat jenazah atas kesalahannya dan penyelesaian utang-piutang selama hidupnya, dalam kesempatan itu yang menarik adalah permintaan kesaksian masyarakat (isyhad) terhadap nilai perilaku jenazah selama hidupnya. Bagaimanakah hukum memberi kesaksian kepada jenazah yang akan diberangkatkan ke pemakaman?

Tradisi ibro’ yang telah berlaku di masyarakat ini hukumnya boleh (disunnahkan), bahkan dianjurkan memberi pujian baik kepada jenazah asalkan si mayit memang pantas untuk dipuji. Sebagaimana keterangan di bawah ini:


وَيُسْتَحَبُّ الثَّنَاءُ عَلَى الْمَيِّتِ وَذِكْرُ مَحَاسِنِهِ ( الاذكار النواوى ص 150 )

Disunnahkan memuji atas mayit dan menyebutkan kebaikannya. (al-Adzkar al-Nawawi hal.150)

( فَإِنْ رَأَى خَيْرًا سُنَّ ذِكْرُهُ ) لِيَكُوْنَ أَدْعَى لِكَثْرَةِ الْمُصَلِّينَ عَلَيْهِ وَالدَّاعِينَ لَهُ وَلِخَبَرِ ابْنِ حِبَّانِ وَالْحَاكِمِ اُذْكُرُوْا مَحَاسِنَ مَوْتَاكُمْ وَكَفُّوا عن مَسَاوِيهِمْ


Sunnah hukumnya menyebut kebaikan si mayit apabila mengetahuinya. Tujuannya tiada lain untuk mendorong agar lebih banyak yang memintakan rahmat dan berdoa untuknya. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Ibnu Hibban dan Hakim: Sebutlah kebaikan seseorang yang meninggal dunia dan hindari membuka aibnya. Fathu al-Wahab, bab Kitab al-Janaaiz juz 1 hal. 91


قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - :« أَيُّمَا مُسْلِمٍ شَهِدَ لَهُ أَرْبَعَةٌ بِخَيْرٍ أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ ». قَالَ قُلْنَا : وَثَلاَثَةٌ قَالَ :« وَثَلاَثَةٌ ». قَالَ قُلْنَا : وَاثْنَانِ قَالَ :« وَاثْنَانِ ». قَالَ : لَمْ نَسْأَلْهُ عَنِ الْوَاحِدِ رواه الْبُخَارِى

Nabi bersabda: Setiap muslim yang disaksikan sebagai orang baik-baik oleh 4 orang, Allah akan memasukkan ke surga. Kami (para sahabat) bertanya: kalau disaksikan 3 orang? Nabi menjawab: kalau disaksikan 3 orang juga masuk surga. Kalau disaksikan 2 orang? Nabi menjawab: 2 orang juga. Kami (para sahabat) tidak menanyakan lagi bagaimana kalau hanya disaksikan oleh 1 orang. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab sahihnya
(Riyad al-Shalikhin, bab Fadl Man Maata Lahu Aulaadun Shighor hal 388)


(Mengantar Jenazah Sambil Mengucap Lafadz LAA ILAHA ILLALLAH)
Sudah menjadi tradisi di kalangan masyarakat apabila mengiringi jenazah menuju ke pemakaman, dengan diiringi bacaan kalimat tahlil (Laa Ilaha Illallah). Bagaimanakah hukum membaca kalimat tersebut?

Tradisi seperti itu sebenarnya sudah berlangsung sejak lama, dan amalan tersebut tidak dilarang oleh agama, sebab selain mengandung nilai-nilai kebaikan dengan berdzikir kepada Allah Swt. perbuatan itu tentu jauh lebih baik dari pada berbicara masalah duniawi dalam suasana berkabung, sebagaimana dijelaskan oleh syekh Muhammad Bin A’lan al-Siddiqi dalam kitabnya al-Futukhat al-Rabbaniyah



وَقَدْ جَرَّتْ اَلْعَادَةُ فِىْ بَلَدِناَ زَبِيْدٍ بِالْجَهْرِ باِلذِّكْرِ اَماَمَ الْجَناَزَةِ بِمَحْضَرٍ مِنَ اْلعُلَمَاءِ وَاْلفُقَهَاءِ وَالصُّلَحَاءِ وَقَدْ عَمَّتْ اَلْبَلْوَى بِمَا شَاهِدْناَهُ مِنْ اِشْتِغَالٍ غاَلِبٍ الْمُشَيِّعِيْنَ بِالْحَدِيْثِ اَلدُّنْيَوِيِّ وَرُبَّمَا اَدَاهُمْ ذَلِكَ اِلَى الْغِيْبَةِ اَوْ غَيْرِهَا مِنَ اْلكَلاَمِ اَلْمُحَرَّمَةِ فَالَّذِيْ اِخْتَارَهُ اِنَّ شُغْلَ اِسْمَاعِهِمْ بِالذِّكْرِ اَلْمُؤَدِّيْ اِلَى تَرْكِ اْلكَلاَمِ وَتَقْلِيْلِهِ اَوْلَى مِنِ اسْتِرْسَالِهِمْ فِى اْلكَلاَمِ الدُّنْيَوِيِّ اِرْتِكَاباً بِأَخَّفِ الْمَفْسَدَتَيْنِ . كَماَ هُوَ الْقَاعِدَةُ الشَّرْعِيَّةُ وَسَوَاءٌ اَلذِّكْرُ وَالتَّهْلِيْلُ وَغَيْرُهَا مِنْ اَنْوَاعِ الذِّكْرِ وَاللهُ اَعْلَمُ (الفتوحات الربانية على اذكر النواوية ج 4 ص 183)

Telah menjadi tradisi di daerah kami Zabith untuk mengeraskan dzikir di hadapan jenazah (ketika mengantar ke kuburan). Dan itu dilakukan di hadapan para ulama’, ahli fiqih dan orang-orang saleh. Dan sudah menjadi kebiasaan buruk yang telah kita ketahui, bahwa ketika mengantarkan jenazah, orang-orang sibuk dengan perbincangan masalah-masalah duniawi, dan tidak jarang perbincangan itu menjerumuskan mereka ke dalam ghibah atau perkataan lain yang diharamkan. Adapun hal yang terbaik adalah mendengarkan dzikir yang menyebabkan mereka tidak berbicara atau meminimalisir pembicaraan adalah lebih utama dari pada membiarkan mereka bebas membicarakan masalah-masalah duniawi. Ini sesuai dengan prinsip memilih yang lebih kecil mafsadahnya, yang merupakan salah satu kaidah syar’iyah. Tidak ada bedanya apakah yang dibaca itu dzikir, tahlil ataupun yang lainnya, WaAllahu a’lam.
(al-Futukhat al-Rabbaniyah ‘ala Adzkari al-Nabawiyah juz IV, hal. 183)

Dan lebih jelas lagi di terangkan dalam kitab Tanwirul Qulub, bahwa disunnahkan melantunkan ayat-ayat al-Qur’an, membaca dzikir atau membaca shalawat kepada nabi Muhammad Saw., dan dilarang gaduh atau berbincang-bincang tentang perkara yang tidak berguna:


وَيُسَنُّ الْمَشْيُ اَمَامَهَا وَقُرْبَهَا وَاْلاِسْرَاعُ بِهَا وَالتَّفَكُّرُ فِى الْمَوْتِ وَماَبَعْدَهُ . وَكُرِهَ اللُّغَطُ وَالْحَدِيْثُ فِيْ اُمُوْرِ الدُّنْيَا وَرَفْعِ الصَّوْتِ اِلاَّ بِالْقُرْأَنِ وَالذِّكْرِ وَالصَّلاَتِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلاَ بَأْْسَ بِهِ اْلاَنَ لِأَنَّهُ شِعَارٌ لِلْمَيِّتِ. ( تنوير القلوب ص 213 

Para pengantar jenazah yang berjalan kaki disunnahkan berjalan di depan keranda atau di dekatnya sambil berjalan cepat dan berfikir tentang dan sesudah mati. Tetapi tidak disunnahkan bagi para pengantar jenazah untuk gaduh, bercakap-cakap urusan dunia, apalagi dengan suara keras, kecuali melantunkan ayat-ayat al-Qur’an, membaca dzikir, atau shalawat kepada nbi karena hal ini menambah syi’ar bagi si mayit. (Tanwir al-Qulub halaman 213)


(Talqin Mayit)
Talqin mayit adalah mengajari dan menuntun aqidah kepada mayit, dengan harapan si mayit mampu menjawab pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir.

( قَوْلُهُ يَقُوْلُ ياَ عَبْدَ اللهِ إِلَخْ ) رَوَاهُ الطَّبْرَانِيُّ بِلَفَظٍ إِذَا ماَتَ أَحَدٌ مِنْ إِخْوَانِكُمْ فَسَوَيْتُمُ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ فَلْيَقُمْ أَحَدُكُمْ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ ثُمَّ لْيَقُلْ ياَ فُلاَنُ ابْنُ فُلاَنَةٍ فَإِنَّهُ يَسْمَعُهُ ثُمَّ يَقُوْلُ ياَ فُلاَنُ ابْنُ فُلاَنَةٍ فَإِنَّهُ يَسْتَوِيْ قاَعِدًا ثُمَّ يَقُوْلُ ياَ فُلاَنُ ابْنُ فُلاَنَةٍ فَإِنَّهُ يَقُوْلُ أَرْشَدْناَ يَرْحَمُكَ اللهُ وَلَكِنْ لاَ تَشْعَرُوْنَ فَلْيَقُلْ اُذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْياَ شهادة أن لا إله إلا الله وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَأَنَّكَ رَضِيْتَ باِللهِ رَباَّ وَبِالْإِسْلاَمِ دِيْناَ وَبِمُحَمَّدٍ نَبِياًّ وَبِالْقُرْآنِ إِماَماً (رواه الطبرانى. إعانة الطالبين ج 2 ص 14)

Rasulullah bersabda; apabila salah seorang dari saudara kamu meninggal dunia, maka ratakanlah tanah kuburannya, berdirilah di atas kepala kuburan mayit, lalu berkatalah wahai fulan bin fulan; sesungguhnya mayit tersebut mendengar ucapan itu, lalu orang yang menalqin berkata: bahwa fulan bin fulan! bahwa mayit tersebut mendengar ucapan itu, lalu mayit tersebut duduk, dan orang yang menalqin berkata lagi, wahai fulan bin fulan, sesungguhnya mayit itu berkata, tunjukkan aku maka engkau akan diberi rahmat oleh Allah Swt., sesungguhnya kalian (manusia) tidak mengetahuinya, lalu orang yang menalqin berkata, aku ingatkan padamu (mayit) sesuatu (yang harus) engkau bawa keluar dari dunia, yaitu penyaksian bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah Swt. dan sesungguhnya Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-NYA, dan sesungguhnya kamu ridho bahwa Allah Swt. adalah tuhanmu, islam menjadi agamamu, Muhammad menjadi Nabimu dan Al-Qur’an menjadi imammu. (HR. Imam at Tabrani) (I’anat al-Thalibin, juz II, hal. 14)

Menurut Imam al-Adzra’i:

Disunnahkan mentalqin mayit yang sudah baligh sesuai dengan firman Allah yang artinya dan berdzikirlah sesungguhnya dzikir itu memberikan manfaat kepada orang-orang yang beriman.

Tidak disunnahkan mentalqin anak yang belum baligh karena dia tidak mendapat fitnah di dalam kuburnya, begitu juga orang gila. Hal ini diterangkan dalam kitab I’anah al-thalibin juz 2 halaman 140.

( قَوْلُهُ وَتَلْقِيْنُ بَالِغٍ ) مَعْطُوْفٌ عَلَى أَنْ يُلَقِّنَ أَيْضًا أَيْ وَيُنْدَبُ تَلْقِيْنُ بَالِغٍ إِلَخْ وَذَلِكَ لِقَوْلِهِ تَعَالَى { وَذْكُرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِيْنَ } وَأَحْوَجُ مَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ إِلَى التَّذْكِيْرِ فِيْ هَذِهِ الْحَالَةِ وَخَرَجَ بِالْبَالِغِ الطِّفْلِ فَلاَ يُسَنُّ تَلْقِيْنُهُ لِأَنَّهُ لاَ يُفْتَنُ فِيْ قَبْرِهِ وَمِثْلُهُ اَلْمَجْنُوْنُ إِنْ لَمْ يَسْبِقْ لَهُ تَكْلِيْفٌ وَإِلاَّ لُقِنَ وَعِبَارَةُ النِّهَايَةِ وَلاَ يُلَقَّنُ طِفْلٌ وَلَوْ مُرَاهِقًا وَمَجْنُوْنٌ لَمْ يَتَقَدَّمَهُ تَكْلِيْفٌ كَمَا قَيَّدَ تْهُ اْلأَذْرَعِيَّ لِعَدَمِ اِفْتِتَانِهِمَا اه اعانة الطالبين ج 2 ص 140 .


Dengan demikian talqin mayit adalah hal yang diperintahkan oleh Rasulullah Saw.



(Menyiram Kuburan dengan Air Bunga)
Ketika berziarah, rasanya tidak lengkap jika seorang peziarah yang berziarah tidak membawa air bunga ke tempat pemakaman, yang mana air tersebut akan diletakkan pada pusara. Hal ini adalah kebiasaan yang sudah merata di seluruh masyarakat. Bagaimanakah hukumnya? Apakah manfaat dari perbuatan tersebut?

Para ulama mengatakan bahwa hukum menyiram air bunga atau harum-haruman di atas kuburan adalah sunnah. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi al-Bantani dalam Nihayah al-Zain, hal. 145



وَيُنْدَبُ رَشُّ الْقَبْرِ بِمَاءٍ باَرِدٍ تَفاَؤُلاً بِبُرُوْدَةِ الْمَضْجِعِ وَلاَ بَأْسَ بِقَلِيْلٍ مِنْ مَّاءِ الْوَرْدِ ِلأَنَّ الْمَلاَ ئِكَةَ تُحِبُّ الرَّائِحَةَ الطِّيْبِ (نهاية الزين 154)

Disunnahkan untuk menyirami kuburan dengan air yang dingin. Perbuatan ini dilakukan sebagai pengharapan dengan dinginnya tempat kembali (kuburan) dan juga tidak apa-apa menyiram kuburan dengan air mawar meskipun sedikit, karena malaikat senang pada aroma yang harum.
(Nihayah al-Zain, hal. 154)

Pendapat ini berdasarkan hadits Nabi;

حَدثَناَ يَحْيَ : حَدَثَناَ أَبُوْ مُعَاوِيَةَ عَنِ الأعمش عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ طاووس عن ابن عباس رضي الله عنهما عَنِ النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ مَرَّ بِقَبْرَيْنِ يُعَذِّباَنِ فَقاَلَ: إِنَّهُمَا لَـيُعَذِّباَنِ وَماَ يُعَذِّباَنِ فِيْ كَبِيْرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لاَ يَسْتَتِرُ مِنَ البَوْلِِ وَأَمَّا اْلآخَرُ فَكَانَ يَمْشِيْ باِلنَّمِيْمَةِ . ثُمَّ أَخُذِ جَرِيْدَةً رَطْبَةً فَشْقِهَا بِنَصْفَيْنِ، ثُمَّ غُرِزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةٍ، فَقَالُوْا: ياَ رَسُوْلَ اللهِ لِمَ صَنَعْتَ هٰذَا ؟ فقاَلَ: ( لَعَلَّهُ أَنْ يُخَفَّفَ عَنْهُمَا مَالَمْ يَيْـبِسَا) (صحيح البخارى رقم 1361)
Dari Ibnu Umar ia berkata; Suatu ketika Nabi melewati sebuah kebun di Makkah dan Madinah lalu Nabi mendengar suara dua orang yang sedang disiksa di dalam kuburnya. Nabi bersabda kepada para sahabat “Kedua orang (yang ada dalam kubur ini) sedang disiksa. Yang satu disiksa karena tidak memakai penutup ketika kencing sedang yang lainnya lagi karena sering mengadu domba”. Kemudian Rasulullah menyuruh sahabat untuk mengambil pelepah kurma, kemudian membelahnya menjadi dua bagian dan meletakkannya pada masing-masing kuburan tersebut. Para sahabat lalu bertanya, kenapa engkau melakukan hal ini ya Rasul?. Rasulullah menjawab: Semoga Allah meringankan siksa kedua orang tersebut selama dua pelepah kurma ini belum kering. (Sahih al-Bukhari, [1361])

Lebih ditegaskan lagi dalam I’anah al-Thalibin;

يُسَنُّ وَضْعُ جَرِيْدَةٍ خَضْرَاءَ عَلَى الْقَبْرِ لِلْإ تِّباَعِ وَلِأَنَّهُ يُخَفِّفُ عَنْهُ بِبَرَكَةِ تَسْبِيْحِهَا وَقيِْسَ بِهَا مَا اعْتِيْدَ مِنْ طَرْحِ نَحْوِ الرَّيْحَانِ الرَّطْبِ (اعانة الطالبين ج. 2، ص119 )
Disunnahkan meletakkan pelepah kurma yang masih hijau di atas kuburan, karena hal ini adalah sunnah Nabi Muhammad Saw. dan dapat meringankan beban si mayat karena barokahnya bacaan tasbihnya bunga yang ditaburkan dan hal ini disamakan dengan sebagaimana adat kebiasaan, yaitu menaburi bunga yang harum dan basah atau yang masih segar. (I’anah al-Thalibin, juz II, hal. 119)

Dan ditegaskan juga dalam Nihayah al-Zain, hal. 163

وَيُنْدَبُ وَضْعُ الشَّيْءِ الرَّطْبِ كَالْجَرِيْدِ الْأَحْضَرِ وَالرَّيْحَانِ، لِأَنَّهُ يَسْتَغْفِرُ لِلْمَيِّتِ مَا دَامَ رَطْباً وَلَا يَجُوْزُ لِلْغَيْرِ أَخْذُهُ قَبْلَ يَبِسِهِ. (نهاية الزين 163
Berdasarkan penjelasan di atas, maka memberi harum-haruman di pusara kuburan itu dibenarkan termasuk pula menyiram air bunga di atas pusara, karena hal tersebut termasuk ajaran Nabi (sunnah) yang memberikan manfaat bagi si mayit.


(Hukum Shalat Jenazah di Atas Kuburan)
Banyak orang yang ingin mengerjakan shalat jenazah. Apalagi jika yang meninggal adalah seorang ulama’. Tidak jarang, shalat jenazah dilakukan setelah mayit disemayamkan dalam kuburannya. Bagaimana hukum shalat jenazah di atas kuburan itu?

Menanggapi hal ini ulama’ Syafiiyah mengatakan boleh dan sah hal ini didasarkan pada hadits:

عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، فَلَمَّا وَرَدْنَا الْبَقِيعَ إِذَا هُوَ بِقَبْرٍ جَدِيدٍ ، فَسَأَلَ عَنْهُ ، فَقَالُوا : فُلانَةٌ ، فَعَرَفَهَا ، فَقَالَ : أَلا آذَنْتُمُونِي ؟ قَالُوا : كُنْتَ قَائِلا صَائِمًا ، فَكَرِهْنَا أَنْ نُؤْذِنَكَ ، فَقَالَ : لا تَفْعَلُوا لأَعْرِفَنَّ مَا مَاتَ مِنْكُمْ مَيِّتٌ مَا كُنْتُ بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ إِلا دَعَوْتُمُونِي ، فَإِنَّ صَلاتِي عَلَيْهِ رَحْمَةٌ قَالَ : ثُمَّ أَتَى الْقَبْرَ ، فَصُفِفْنَا خَلْفَهُ ، فَكَبَّرَ عَلَيْهَا أَرْبَعًا (مسند أحمد بن حنبل الجزء 4 ص 388 
Diriwayatkan dari Zaid Bin Tsabit Ra, beliau berkata kami pernah keluar bersama Nabi Saw. Ketika kami sampai di Baqi’, ternyata ada kuburan baru. Lalu beliau bertanya tentang kuburan itu. Sahabat bertanya, yang meninggal adalah seorang perempuan, dan ternyata beliau mengenalnya. Kemudian beliau bersabda Kenapa kalian tidak memberitahu aku tentang kematiannya?. Mereka bertanya: Wahai Rasulullah, anda (waktu itu) sedang tidur qailulah (tidur sebentar sebelum waktu dhuhur) dan berpuasa. Maka kami tidak ingin mengganggumu. Rasulullah menjawab: Jangan begitu, seorang tidak akan mati di antara kalian selama aku berada di tengah-tengah kalian kecuali kalian mengabarkannya kepadaku. Karena shalatku merupakan rahmat baginya. Lalu beliau mendatangi kuburan itu dan kami pun berbaris di belakang beliau. Kemudian beliau bertakbir empat kali (shalat jenazah) untuknya
(Musnad Ahmad bin Hanbal, juz 4 hal 388)

Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa shalat jenazah di atas kuburan adalah boleh. Al-Sham’ani mengatakan;


وَالْحَدِيْثُ دَلِيْلٌ عَلَى صِحَّةِ الصَّلاَةِ عَلَى الْمَيِّتِ بَعْدَ دُفْنِهِ مُطْلَقاً سَوَاءٌ صَلِّى عَلَيْهِ قَبْلَ الدُّفْنِ أَمْ لاَ وَإِلَى هذَا ذَهَبَ الشَّافِعِيُّ. (سبل السلام, ج 2 ص 100

Hadits itu secara mutlak menunjukkan sahnya shalat jenazah setelah dikuburkan, baik sebelum dikuburkan sudah dishalati atau belum. (Subul al-Salam, juz II hal. 100).

Imam Daru al-Quthni menambahkan shalat jenazah di depan kuburan tetap sah meskipun jenazah sudah satu bulan dimakamkan.


وَلَوْ صَلَّى عَلَى مَنْ دُفِنَ صَحَّتْ صَلاَتُهُ لِأَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ صَلَّى عَلَى الْقَبْرِ بَعْدَ مَا دُفِنَ (رَوَاهُ الشَّيْخَانِ) زَادَ دَارُ القُّطْنِى بَعْدَ شَهْرٍ (كفاية الاخيار، ج 1 ص 157)

Imam al-Rouyani berkata meskipun mayat telah dikebumikan tetap sah menshalatinya karena Nabi pernah melakukan hal tersebut di atas kuburan setelah mayat di tanam, bahkan Imam Daru al-Quthni menambahkan, meskipun sudah melewati satu bulan. (Kifayah al-Akhyar, juz I hal. 157)


(Shalat Ghaib untuk Mayit)
Ketika seorang ulama’ besar dan kharismatik dipanggil ke rahmatullah, seluruh umat akan merasa kehilangan panutannya. Sebagai rasa turut berduka dan bela sungkawa, sebagian kaum muslimin yang tidak sempat melakukan shalat jenazah maka mereka melaksanakan shalat ghaib. Bagaimana pandangan ulama’ tentang pelaksanaan shalat ghaib untuk mayit?

Shalat ghaib adalah shalat jenazah yang jenazahnya tidak berada di hadapannya, tetapi berada di lain tempat, bisa jadi di desa lain ataupun di negara lain.


Dalam pelaksanaan shalat ghaib untuk mayat terjadi perbedaan pandangan di kalangan ulama’


1 Tidak sah, pelaksanaan shalat ghaib.


لاَ تَصِحُّ الصَّلاَةُ عَلَى المَيِّتِ الَّذِيْ فِيْهَا أَىْ الْبَلَدِ الَّتِيْ كَانَ الْمُصَلِّيْ حاضرا فيها ولم يحضر في ذلك الميت: وَإِنْ كَبُرَتْ اَلْبَلَدُ لَتَيَسَّرَ الحُضُوْرُ غالبا، والْمُتَّجَهُ أَنَّ الْمُعْتَبَرَ الْمَشَقَّةُ وَعَدَمُهَا فَحَيْثُ شَقَّ الْحُضُوْرُ وَلَوْ فِي اْلبَلَدِ لِكِبَرِهَا وَنَحْوِهِ صَحَّتْ، وَحَيْثُ لاَ وَلَوْ خاَرِجَ السُّوْرَ لَمْ تَصِحَّ كَمَا نَقَلَهُ الشِّبْرَامُلِسِى عَنْ اِبْنِ قاَسِمٍ، فَلَوْكاَنَ الْمَيِّتُ خَارِجَ السُّوْرَ قَرِيْبا مِنْهُ فَهُوَ كَدَاخِلِهِ وَالْمُرَادُ بِالْقَرِبِ هُناَ حَدُّ اْلغَوْثِ (نهاية الزين ص 159-160)

Tidak sah shalat mayit di suatu daerah yang memungkinkan untuk datang, namun dia tidak menghadirinya: walaupun daerah tersebut luas dan mudah dijangkau. Dan menurut qoul yang diunggulkan sesungguhnya hal yang menjadi pertimbangan adalah ada atau tidak adanya kesulitan untuk menghadirinya, apabila ada kesulitan maka shalatnya sah. (Nihayah al-Zain hal.159-160)

2 Sah menurut qaul mu’tamad, pelaksanaan shalat ghaib tersebut dikatakan sah apabila tidak memungkinkan menghadiri shalat jenazah. Sebagaimana diterangkan dalam Nihayah al-Zain;


وَتَصِحُّ الصَّلاَةُ عَلَى غَائِبٍ عَنْ بَلَدٍ لِأَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمَ صَلَّى عَلَى النَّجَاشِيْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ بِالْمَدِيْنَةِ يَوْمَ مَوْتِهِ بِالْحَبَشَةِ (نهاية الزين ص 159

Sah pelaksanaan shalat ghaib di suatu daerah, karena Nabi Saw. telah menshalati orang Najasyi Ra. di Madinah waktu dia wafat di Habasyah.
(Nihayah al-Zain, hal. 159)

(Qadla’ Shalat untuk Mayit)
Salah seorang keluarga si A meninggal dunia, selama dua bulan terakhir, dia tidak mengerjakan shalat. Lalu dia berwasiat, kalau nanti dia mati supaya shalatnya diqadla’i oleh ahli warisnya. Bagaimana hukumnya mengqadla’ shalat untuk orang yang sudah mati?

Shalat merupakan ibadah Mahdloh, yaitu ibadah yang dilakukan seorang hamba dengan langsung berhubungan dengan sang Khalik. Maka pertanggung jawabannya kepada Allah Swt. secara pribadi. Berkaitan dengan shalat yang pernah ditinggalkan oleh orang yang mati maka ada beberapa pandangan:


1 Tidak boleh dan tidak sah mengqadha’ shalatnya karena shalat termasuk ibadah badaniyah, sebagaimana telah dijelaskan;


وَلَوْ قَضَاهَا وَارِثُهُ بِأَمْرِهِ لَمْ يَجُزْ لِأَنَّهَا عِبَادَةٌ بَدَنِيَّةٌ (إعانة الطالبين، ج 1 ص 33)

Seandainya ahli warisnya mengqadla’i atas perintah si mayit sebelum mati, maka tidak diperbolehkan melaksanakannya, karena shalat itu merupakan ibadah badaniyah. (I’anah al-Tholibin, juz I, hal. 33)

2 Tidak ada kewajiban qadla’ bagi ahli warisnya. Demikian juga mereka tidak berkewajiban menebusnya dengan harta yang ditinggalkan oleh si mayit, hanya saja sebagian ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa shalat yang ditinggalkan si mayit boleh di qadla’ oleh ahli warisnya, baik sebelum meninggal dunia dia berwasiat atau tidak. Sebagaimana dijelaskan dalam I’anah al-Thalibin, juz I, hal. 33.

مَنْ ماَتَ وَعَلَيْهِ صَلاَةُ فَرْضٍ لَمْ تُقْضَ وَلَمْ تُفْدَ عَنْهُ، وَفِيْ قَوْلٍ أَنَّهَا تُفْعَلُ عَنْهُ. أَوْصَى ِبهَا أَمْ لَا، مَا حَكَاهُ الْعُبَادِي عَنِ الشَّافِعِيِّ لِخَبَرٍ فِيْهِ. وَفَعَلَ بِهِ اَلسُّبْكِيُّ عَنْ بَعْضِ أَقاَرِبِهِ (إعانة الطالبين، ج 1 ص 33)
Barang siapa yang mati dan punya tanggungan shalat, maka tidak wajib mengqadla’ dan membayar tebusan (oleh ahli waris). Dan dalam satu pendapat, bahwa shalat itu diqadla’, baik si mayit berwasiat atau tidak. Sebagaimana yang diriwayatkan Al-Ubbady dari Imam Syafi’i. Imam Subki pernah mengerjakan (Qadla’ shalat) itu untuk kerabatnya. (I’anah al-Thalibin, juz I, hal.33)


(Fidyah sebagai Ganti Puasa yang Ditinggal oleh Mayit)

Ibadah puasa merupakan kewajiban yang dibebankan oleh Allah Swt. Kepada seluruh umat Islam. Orang-orang yang memenuhi syarat wajib melaksanakannya. Jika pada suatu saat, orang tersebut tidak puasa ia berkewajiban mengganti puasa yang ditinggalkan tersebut pada lain hari. Persoalannya adalah, bagaimanakah jika orang itu tidak mengganti puasanya sampai ia meninggal dunia, bolehkah keluarga atau kerabatnya menggantikan puasanya tersebut?

Ada beberapa kemungkinan orang yang meninggal dunia yang belum mengganti puasanya.


Pertama, orang tersebut meninggalkan puasa karena udzur, Ia meninggal sebelum sempat mengganti puasanya, misalnya tidak ada waktu untuk mengqadla’ puasanya. Seperti orang yang meninggal dunia pada pertengahan puasa atau pada saat hari raya, atau karena sakit yang ia derita tak kunjung sembuh hingga ajal menjemputnya.


Kedua, tidak puasa karena tidak ada udzur, tatapi orang tersebut memiliki kesempatan mengqadla’ puasanya, namun ia tidak mengganti puasa yang telah ditinggalkannya itu, baik karena malas atau alasan yang dibenarkan oleh syara’ kemudian ia meninggal dunia sebelum mengganti puasanya.


Jawaban

1 Pada contoh yang pertama, orang tersebut tidak punya kewajiban untuk mengganti puasanya, sebab ia tidak berbuat lalai atau meremehkan masalah agama.

2 Pada contoh yang kedua, orang itu mati dengan meninggalkan hutang puasa. Maka ada dua pilihan yang dapat dilakukan oleh waris atau familinya, yaitu:

Memberikan makanan kepada fakir miskin


(Mengqadla’ puasanya orang yan meninggal)
Sebagaimana yang diterangkan Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitab Nihayah al-Zain, hal. 192

وَمَنْ ماَتَ وَعَلَيْهِ صِياَمُ رَمَضَانَ أَوْ نَذَرٌ أَوْ كَفاَرَةٌ قَبْلَ إِمْكاَنِ فِعْلِهِ بِأَنْ اِسْتَمَرَ مَرِضُهُ اَلَّذِيْ لاَ يُرْجَى بُرْؤُهُ أَوْ سَفَرُهُ الْمُباَحُ إِلَى مَوْتِهِ فَلاَ تَدَارُكَ لِلْفاَئِتِ بِالْفِدْيَةِ وَلاَ بِالْقَضَاءِ وَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ لِعَدَمِ تَقْصِيْرِهِ فَإِنْ تَعَدَّى بِاْلإِفْطَارِ ثُمَّ ماَتَ قَبْلَ التَّمَكُّنِ وَبَعْدَهُ أَوْ أَفْطَرَ بِعُذْرٍ وَماَتَ بَعْدَ التَّمَكُّنِ أَطْعَمَ عَنْهُ وَلِيُّهُ مِنْ تِرْكَتِهِ لِكُلِّ يَوْمٍ فاَتَهُ مُدَّ طَعاَمٍ مِنْ غاَلِبِ قُوْتِ الْبَلَدِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ تِرْكَةٌ لَمْ يَلْزَمْ اَلْوَلِيَّ إِطْعاَمٌ وَلاَ صَوْمٌ بَلْ يُسَنُّ لَهُ ذلِكَ لِخَبَرٍ مَنْ ماَتَ وَعَلَيْهِ صِياَمٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ (نهاية الزين, ص 192)

Orang mati dengan meninggalkan puasa Ramadhan, Nadar atau puasa Kafarot, sedangkan ia belum sempat menggantinya, seperti sakit yang ia derita terus berkepanjangan dan sedikit harapan untuk sembuh, atau ia terus melakukan perjalanan mubah (perjalanan yang tidak untuk maksiat) sampai ia mati. Maka orang itu tidak perlu mengganti puasa yang ditinggalkannya, baik dengan puasa atau dengan membayar Fidyah (makanan pokok), sebab ia tidak lalai. Tapi jika ia sengaja tidak berpuasa (tanpa sebab yang dibenarkan), kemudian orang tersebut mati, baik sebelum sempat atau telah punya waktu untuk mengganti puasanya. Atau orang itu tidak puasa karena ada alasan yang dibenarkan, kemudian meninggal setelah ia memiliki kesempatan untuk mengqadla’ puasanya, (dalam kedua masalah ini) wali atau keluarga si mayit harus memberikan satu mud makanan pokok daerah itu setiap satu hari. Makanan itu diambilkan dari tirkah (harta peninggalan) si mayit (dan diberikan kepada para fakir miskin). Apabila orang yang meninggal itu tidak memiliki harta, maka wali tidak wajib berpuasa atau membayar fidyah yang diambil dari hartanya sendiri, tapi (perbuatan itu) disunnahkan kepada si wali. Sesuai dengan hadits Nabi Saw. barang siapa yang mati sedangkan ia punya tanggungan puasa, maka walinya boleh berpuasa untuknya.
(Nihayah al-Zain hal. 192

Ketentuan ini sesuai dengan sabda Nabi;


عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامُ شَهْرٍ فَلْيُطْعَمْ عَنْهُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينٌ (سنن ابن ماجه,ج 1 ص 558, رقم 1747)

Dari Ibnu Umar ia berkata, Rasulullah Bersabda; Barang siapa yang mati dan dia mempunyai kewajiban berpuasa, maka hendaklah setiap hari (ahli warisnya) memberi makan kepada fakir miskin. (Sunan Ibnu Majah [1747])

(قَوْلُهُ فَإِطْعَامُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْناً إلخ) تَمْلِيْكُ سِتِّيْنَ مِسْكِيْناً أَوْ فَقِيْرًا كُلُّ وَاحِدٍ مُدُّ طَعَامٍ، وَلَيْسَ الْمُرَادُ أَنْ يَجْعَلَ ذَلِكَ طَعَامًا وَيُطْعِمُهُمْ إِيَّاهُ فَلَوْ غَدَاهُمْ أَوْعَشَاهُمْ لَا يَكْفِيْ (إعانة الطالبين، جزء 2، ص240)

Fidyah adalah membayar denda untuk mengganti kewajiban yang ditinggalkan dengan memberi makan kepada 60 orang fakir miskin, masing-masing orang, satu mud (6 ons).

Dengan demikian ada beberapa pilihan, apabila ada keluarga kita yang meninggal dunia dengan mempunyai hutang puasa, yakni bisa dengan mengqadla’ puasanya atau dengan membayar fidyah.


(Ziarah kubur)
Pada malam jum’at atau siang harinya, sudah lazim bagi masyarakat Nahdliyin melakukan ziarah kubur. Mereka berziarah ke makam leluhur dan sanak kerabat yang telah lebih dahulu meninggalkannya. Berbagai kegiatan mereka lakukan di sana seperti membaca al-Qur’an, dzikir ataupun tahlil. Bagaimanakah sebenarnya hukum ziarah kubur tersebut apakah manfaat dan kegunaannya?

Pada masa awal Islam, Rasulullah memang melarang umat Islam untuk melakukan ziarah kubur. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga akidah umat Islam yang waktu itu masih lemah. Setelah akidah umat Islam kuat dan tidak ada kekhawatiran untuk berbuat syirik, Rasulullah membolehkan para sahabatnya untuk melakukan ziarah kubur. Karena ziarah kubur dapat membantu orang yang hidup untuk mengingat akan kematiannya. Nabi telah bersabda;



عَنْ بَرِيْدَةٍ قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِياَرَةِ اْلقُبُوْرِ فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمَّدٍ فِيْ زِياَرَةِ قَبْرِ أُمِّهِ فَزُوْرُوْهَا فَإِنَّهَا تُذَكِرُ اْلآخِرَةَ (سنن الترمذى، رقم 973)

Dari Buraidah ia berkata, Rasulullah bersabda; saya pernah melarang kamu berziarah kubur. Tapi sekarang, Muhammad telah diberi izin untuk berziarah ke makam ibunya. Maka sekarang, berziarahlah! Karena perbuatan itu dapat mengingatkan kamu pada akhirat. (Sunan al-Tirmidzi_974)

Ibnu Hajar al-Haitami pernah ditanya tentang ziarah ke makam para wali, beliau mengatakan;


وَسُئِلَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ زِيَارَةِ قُبُورِ الْأَوْلِيَاءِ فِيْ زَمَنٍ مُعَيَّنٍ مَعَ الرِّحْلَةِ إلَيْهَا هَلْ يَجُوزُ مَعَ أَنَّهُ يَجْتَمِعُ عِنْدَ تِلْكَ الْقُبُورِ مَفَاسِدٌ كَثِيرَةٌ كَاخْتِلَاطِ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ وَإِسْرَاجِ السُّرُجِ الْكَثِيرَةِ وَغَيْرِ ذٰلِكَ فَأَجَابَ بِقَوْلِهِ زِيَارَةُ قُبُورِ الْأَوْلِيَاءِ قُرْبَةٌ مُسْتَحَبَّةٌ وَكَذَا الرِّحْلَةُ إلَيْهَا (الفتاوى الفقهية الكبرى، ج 1 ص 421)

Beliau ditanya tentang berziarah ke makam para wali pada waktu tertentu dengan melakukan perjalanan khusus ke makam mereka. Beliau menjawab, berziarah ke makam para wali adalah ibadah yang disunnahkan. Demikian pula perjalanan ke makam mereka.
(al-Fatawi al-Kubra, juz I, hal. 421)

Maka, ziarah kubur itu memang dianjurkan dalam agama Islam bagi laki-laki ataupun perempuan, sebab di dalamnya terkandung manfaat yang sangat besar, baik bagi orang yang telah meninggal dunia yaitu berupa hadiah pahala bacaan al-Qur’an dan kalimat-kalimat thayyibah, maupun bagi orang yang berziarah itu sendiri, yakni mengingatkan manusia akan kematian yang pasti akan menjemputnya.



(Keutamaan Ziarah Qubur)
Fadhilah atau keutamaan ziarah kubur ditegaskan dalam Nihayah al-Zain hal.164 bahwa
Disunnahkan untuk berziarah kubur, barang siapa berziarah ke makam kedua orang tuanya atau salah satunya setiap hari jum'at, maka Allah mengampuni dosa-dosanya dan dia dicatat sebagai anak yang ta'at dan berbakti kepada kedua orang tuanya”. Dalam riwayat lain disebutkan, “Barang siapa berziarah ke makam kedua orang tuanya atau salah satunya setiap hari jum'at dan membacakan surat Yaasin dan al-Qur’an al-Hakim di samping kuburnya maka Allah mengampuni dosa-dosanya sebanyak jumlah bilangan huruf yang terdapat pada ayat surat Yaasin dan al-Qur’an al-Hakim”. Dan riwayat lain menyebutkan pahala ziarah kubur kepada orang tua adalah seperti pahala ibadah haji:


وَيُسَنُّ زِيَارَةُ الْقُبُوْرِ وَوَرَدَ أَنَّ مَنْ زَارَ قَبْرَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا فِيْ كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّةً غُفِرَ لَهُ وَكَانَ باَرًا لِوَالِدِيْهِ، وَفِيْ رِوَايَةٍ: مَنْ زَارَ قَبْرَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا فِيْ كُلِّ جُمُعَةٍ فَقَرَأَ عِنْدَهَ يَس وَالْقُرْآنَ الْحَكِيْمَ غَفَرَ اللهُ لَهُ بِعَدَدِ ذٰلِكَ آيَةً وَحَرْفًا، وَفِيْ رِوَايَةٍ: مَنْ زَارَ قَبْرَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا فِيْ كُلِّ جُمُعَةٍ كاَنَ كَحَجَّةٍ. (نهاية الزين ص 164)



Mengenai keutamaan ziarah kubur juga diterangkan oleh Ibnu Najar dalam tarikhnya dari Abu Bakar Assiddiq, Rasulullah bersabda; “Barang siapa berziarah ke makam kedua orang tuanya atau salah satunya setiap hari jum'at dan membacakanya surat Yaasin maka Allah mengampuni dosa-dosanya sebanyak jumlah bilangan huruf yang terdapat pada surat Yaasin”. Hal ini diterangkan dalam kitab: al-Dar al-Mansur, Juz 7 hal. 40, Makarim al-Akhlak, Juz 1 hal. 73 dan 248, dan lain-lain.



وَأَخْرَجَ اِبْنُ النَّّجَارِ فِيْ تَارِيْخِهِ عَنْ أَبِيْ بَكْرٍ اَلصِّدِّيِقِ قاَلَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهِ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ " مَنْ زَارَ قَبْرَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا فِيْ كُلِّ جُمُعَةٍ فَقَرَأَ عِنْدَهَا يَس غَفَرَ اللهُ لَهُ بِعَدَدِ كُلِّ حَرْفٍ مِنْهَا " ( في الكتاب الدر المنثور جز 7 ص 40 و مكارم الاخلاق جز 1 ص 83 , 248 )

Rasulullah bersabda; “Barang siapa berziarah ke makam kedua orang tuanya atau salah satunya setiap hari jum'at maka Allah mengampuni dosa-dosanya dan dia dicatat sebagai anak yang ta'at dan berbakti kepada kedua orang tuanya”.

Diterangkan dalam kitab: al-Mu'jam al-Kabir Litthabrani, Juz 19 hal. 85.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بن أَحْمَدَ أَبُو النُّعْمَانِ بن شِبْلٍ الْبَصْرِيُّ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا عَمُّ أَبِي مُحَمَّدِ بن النُّعْمَانِ، عَنْ يَحْيَى بن الْعَلاءِ الْبَجَلِيِّ، عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ أَبِي أُمَيَّةَ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ:"مَنْ زَارَ قَبْرَ أَبَوَيْهِ أَوْ أَحَدِهِمَا فِي كُلِّ جُمُعَةٍ غُفِرَ لَهُ وَكُتِبَ بَرًّا. (كتاب المعجم الكبير للطبرانى جز 19 ص 85)
Rasulullah juga bersabda; “Barang siapa berziarah ke makam bapak atau ibunya, paman atau bibinya, atau berziarah ke salah satu makam keluarganya maka pahalanya adalah sebesar pahala haji yang mabrur. Dan barang siapa yang istiqamah berziarah kubur sampai datang ajalnya maka para malaikat akan selalu menziarahi kuburannya”.
Hal tersebut diterangkan dalam kitab: al-Maudhu'at, Juz 3 hal. 240.
أَنْبَأَناَ إِسْمَاعِيْلُ بِنْ أَحْمَدَ أَنْبَأَناَ حَمْزَةُ أَنْبَأَناَ أَبُوْ أَحْمَدُ بِنْ عُدَى حَدَثَناَ أَحْمَدُ بِنْ حَفْصِ السَّعْدِى حَدَثَناَ إِبْرَاهِيْمُ بِنْ مُوْسَى حَدَثَناَ خَاقَانِ السَّعْدِى حَدَثَناَ أَبُوْ مَقَاتِلْ اَلسَّمَرْقَنْدِى عَنْ عُبَيْدِاللهِ عَنْ ناَفِعِ عَنْ اِبْنُ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَ اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنْ زَارَ قَبْرَ أَبِيْهِ أَوْ أُمِّهِ أَوْ عَمَّتِهِ أَوْ خَالَتِهِ أَوْ أَحَدٍ مِنْ قَرَابَاتِهِ كَانَتْ لَهُ حَجَّةٌ مَبْرُوْرَةٌ، وَمَنْ كَانَ زَائِراً لَهُمْ حَتَّى يَمُوْتُ زَارَتْ اَلْمَلاَئِكَةُ قَبْرَهُ " (كتاب الموضوعات جز 3 ص 240)


(Ziarah Kubur bagi Perempuan)
Pada dasarnya ziarah kubur merupakan tuntunan Nabi bagi umatnya untuk selalu mengingat bahwa setiap makhluk yang hidup akan mengalami kematian dan adanya kehidupan akhirat kelak. Lalu bagaimanakah hukum ziarah kubur bagi perempuan:

1 Makruh, apabila perempuan mudah susah dan resah, menangis dengan menjerit akibat lemahnya hati dan perasaannya.


( قَوْلُهُ فَتُكْرَهُ ) أَيْ اَلزِّياَرَةُ لِأَنَّهَا مَظِنَّةٌ لِطَلَبِ بُكَائِهِنَّ وَرَفْعِ أَصْوَاتِهِنَّ لِمَا فِيْهِنَّ مِنْ رِقَّةِ اْلقَلْبِ وَكَثْرَةِ الْجَزَعِ (إعانة الطالبين, ج 2 ص 142)

Dimakruhkan bagi wanita berziarah kubur karena hal tersebut cenderung membantu pada kondisi yang melemahkan hati dan jiwa.
(I’anah al-Thalibin, Juz II, hal. 142)

2 Sunnah, jika ziarah ke makam para Nabi, auliya’ dan orang shaleh.


يُسَنُّ لَهَا زِياَرَةُ قَبْرِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِلَخْ وَقَالَ بَعْضُهُمْ اَىْ مِثْلُ زِياَرَةِ قَبْرِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زِياَرَةُ سَائِرِ قُبُوْرِ اْلأَنْبِيَاءِ وَاْلعُلَمَاءِ وَاْلأَوْلِياَءِ (إعانة الطالبين، ج …ص 142)

Disunnahkan bagi wanita berziarah kuburnya para Nabi, ulama’ dan para wali atau orang-orang yang shalih.
(I’anah al-Thalibin, Juz II, hal. 142)


(Mengharap Barokah)
Dari dahulu masyarakat Indonesia marak melakukan ziarah makam para wali. Ziarah makam para wali yaitu mendatangi makam seseorang yang dianggap sebagai waliyullah (orang yang dekat dengan Allah Swt.) yang berada di wilayah tertentu. Seperti di pulau jawa terdapat makam wali songo dan wali-wali lainnya.

Tujuan melakukan ziarah selain untuk mengingatkan kepada kematian juga untuk mengharap limpahan barokah (berkah) yang diyakini dapat mengalir dari do’a para wali tersebut. Ada sebagian orang berpendapat bahwa mengharap barokah itu termasuk syirik. Benarkah anggapan tersebut?


Sebelum membahas tentang hukum mengharap barokah terlebih dahulu kita harus mengetahui pengertian barokah. Menurut Imam Syamsudin al-Syakhawi barokah adalah: Berkembang dan bertambahnya kebaikan dan kemulyaan. Hal ini diterangkan dalam kitab al-Qaul al-Badi’ Fii al-Shalati ‘ala al-Habibi al-Syafi’:


اَلْمُرَدُ بِالْبَرَكَةِ اَلنُّمُوُّ وَالزِّياَدَةُ مِنَ الْخَيْرِ وَالْكَرَمَةِ. (القول البديع فى الصلاة على الحبيب الشفيع, ص 91)

Yang dimaksud dengan barokah adalah berkembang dan bertambahnya kebaikan dan kemulyaan. (al-Qaul al-Badi’ Fii al-Shalati ‘ala al-Habibi al-Syafi’, hal.91)

Barokah itu ada yang diletakkan pada diri seseorang atau atsar (hal-hal yang membekas, memberikan kesan berupa jasa atau yang lain) dari seseorang. Mengenai dalil yang menerangkan barokah yang terdapat pada diri seseorang adalah perkataan Imam Mujahid dan Imam Atho’ dalam kitab Tafsir al-Baghawy;



( وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ ) اَىْ نَفَّاعًا حَيْثُ مَا تَوَجَّهْتُ . وَقَالَ مُجَاهِدٌ مُعَلِّمًا لِلْخَيْرِ , وَقَالَ عَطَاءٌ اَدْعُوْ اِلَى اللهِ وَاِلَى تَوْحِيْدِهِ وَعِبَادَتِهِ . وَقِيْلَ مُبَارَكاً عَلَى مَنْ تَبِعَنِيْ ( تفسير البغوى ج 3 ص 233 )

(Dan Dia (Allah) menjadikan aku (Nabi Isa as) seorang yang diberkati di mana saja aku berada) yaitu berguna di manapun aku menghadap. Imam Mujahid berkata: Mengajarkan kebaikan. Imam Atho’ berkata: Aku berdo’a kepada Allah, dan mengesakan-Nya juga menyembah-Nya. Dan dikatakan diberkahi atas orang yang mengikutiku (Nabi Isa As.). (Tafsir al-Baghawy juz 3 halaman 233)

Adapun dalil yang menerangkan barokah yang terdapat pada atsar seseorang adalah hadits sebagai berikut


حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ مَوْلَى أَسْمَاءَ عَنْ أَسْمَاءَ قَالَ أَخْرَجَتْ إِلَيَّ جُبَّةً طَيَالِسَةً عَلَيْهَا لَبِنَةُ شَبْرٍ مِنْ دِيبَاجٍ كِسْرَوَانِيٍّ وَفَرْجَاهَا مَكْفُوفَانِ بِهِ قَالَتْ هَذِهِ جُبَّةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَلْبَسُهَا كَانَتْ عِنْدَ عَائِشَةَ فَلَمَّا قُبِضَتْ عَائِشَةُ قَبَضْتُهَا إِلَيَّ فَنَحْنُ نَغْسِلُهَا لِلْمَرِيضِ مِنَّا يَسْتَشْفِي بِهَا (مسند احمد بن حنبل, باب حَدَّثَنَا أَسْمَاءُ بنت ابي بكر الصديق , رقم 25705)

Telah bercerita kepadaku Yahya bin Sa’id dari Abdul Malik, beliau berkata: Abdullah budaknya Asma’ binti Abu Bakar ra, menceritakan dari Asma’, dia berkata; Asma’ memperlihatkan kepadaku pakaian yang berlubang yang berjahit sutra, lalu asma berkata, ini adalah pakaian Rasulullah Saw. yang pernah beliau pakai. Pakaian itu dulu disimpan oleh ‘Aisyah ra. Ketika Aisyah ra. Wafat, saya yang menyimpannya. Kami selalu mencelupnya ke air untuk mengobati orang yang sakit dari kalangan kami. (Musnad Ahmad bin Hambal bab Hadatsana Asma’ binti Abu Bakar Al-Shiddiq, [25705]).

Berdasarkan paparan di atas, hukumnya boleh mencari barokah (berkah) dengan berziarah ke makam-makam para wali, dengan catatan tidak meyakini bahwa tempat itulah yang memberikan berkah, akan tetapi hanya Allah Swt. semata yang memberikan barokah.



(Membakar Kemenyan di Kuburan)
Di kalangan masyarakat terkadang melakukan upaya membakar kemenyan (dupo) di kuburan, pada waktu mulai membangun rumah, ataupun pada waktu mulai menanam padi dan acara selamatan-selamatan lainnya. Bagaimanakah hukum perilaku masyarakat seperti di atas?

Perilaku masyarakat di atas terkait dengan keyakinan dan pengharapan, dengan demikian hukumnya ditafsil:


1 Haram dan kufur, bila beri’tikad bahwa kemenyan yang dibakar memberikan pengaruh, misalnya dapat mendatangkan keberuntungan dan rizki.


2 Boleh, melakukan upaya membakar kemenyan untuk menghilangkan bau yang tidak nyaman dan beri’tikad bahwa semua kemanfaatan yang dihasilkan hanya datang dari Allah.


dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin, hal. 249

جَعَلَ الْوَسَائِطِ بَيْنَ الْعَبْدِ وَبَيْنَ رَبِّهِ ، فَإِنْ صاَرَ يَدْعُوْهُمْ كَمَا يَدْعُوْ اللهَ فِي اْلأُمُوْرِ وَيَعْتَقِدُ تَأْثِيْرُهُمْ فِي شَيْءٍِ مِنْ دُوْنِ اللهِ تَعاَلَى فَهُوَ كُفُرٌ ، وَإِنْ كاَنَ نِيَتُهُ التَّوَسُّلَ بِهِمْ إِلَيْهِ تَعَالَى فِي قَضَاءِ مُهِمَّاتِهِ ، مَعَ اعْتِقَادٍ أَنَّ اللهَ هُوَ النَّافِعُ الضَّارُّ الْمُؤْثِرُ فِي اْلأُمُوْرِ دُوْنَ غَيْرِهِ ، فاَلظَّاهِرُ عَدَمُ كُفْرِهِ وَإِنْ كاَنَ فِعْلُهُ قَبِيْحاً. (بغية المسترشدين :249 


(Hukum Membangun Kuburan)
Banyak sekali pemakaman baik di pemakaman umum maupun di tanah pribadi yang diberi pagar, diperbaiki dengan rapi dan indah, bahkan ada yang membangun dengan melakukan pengkijingan, pemasangan atap dan seterusnya. Kadang hal ini menelan dana yang tidak sedikit, misalnya makam para wali, makam dari golongan keluarga kaya dan sebagainya. Bagaimanakah hukum membangun makam seperti di atas?

1 Haram, membangun kuburan di tanah Musabbalah (tanah kuburan umum) dan tanah wakaf.


2 Makruh, membangun kuburan di tanah pribadi atau tanah yang tidak diwakafkan karena termasuk menyia-nyiakan harta.


3 Boleh, membangun kuburan Nabi, sahabat, auliya’ dan orang-orang shaleh karena dibuat untuk tabarruk (mencari berkah)

(Khasyiyah al-Bujairami ‘Ala al-Khatib, Fashlun Fil Janazah juz II, hal.297)


( وَلَا يُبْنَى ) أَيْ يُكْرَهُ فِي غَيْرِ الْمُسَبَّلَةِ وَالْمَوْقُوفَةِ وَيَحْرُمُ فِيهِمَا كَمَا أَشَارَ لِذَلِكَ الشَّارِحُ ، إلَّا إنْ خِيفَ نَبْشُهُ أَوْ تَخْرِقةُ سَيْلٍ لَهُ فَلَا يُكْرَهُ حِينَئِذٍ وَلَا فَرْقَ فِي عَدَمِ الْكَرَاهَةِ لِأَجْلِ ذَلِكَ بَيْنَ الْمُسَبَّلَةِ وَغَيْرِهَا كَمَا صَرَّحَ بِهِ الزَّرْكَشِيّ .ا هـ .حَجّ وَلَوْ وُجِدَ بِنَاءٌ فِي أَرْضٍ مُسَبَّلَةٍ وَلَمْ يُعْلَمْ أَصْلُهُ تُرِكَ لِاحْتِمَالِ أَنَّهُ وُضِعَ بِحَقٍّ قِيَاسًا عَلَى مَا حَرَّرُوهُ فِي الْكَنَائِسِ وَمِنْ الْبِنَاءِ الْأَحْجَارُ الَّتِي جَرَتْ عَادَةُ النَّاسِ بِتَرْكِيبِهَا نَعَمْ اسْتَثْنَى بَعْضُهُمْ قُبُورَ الْأَنْبِيَاءِ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَنَحْوَهُمْ ، بِرْمَاوِيٌّ وَعِبَارَةُ الرَّحْمَانِيِّ : نَعَمْ قُبُورُ الصَّالِحِينَ يَجُوزُ بِنَاؤُهَا وَلَوْ بِقُبَّةِ الْأَحْيَاءِ لِلزِّيَارَةِ وَالتَّبَرُّكِ. (حاشية البجيرمي على الخطيب، فصل في الجنازة، جزء 2، ص. 297).



(Hukum Memindah Kuburan)
Terkadang kita menjumpai di tengah-tengah masyarakat ada pemindahan mayit dari pemakaman yang satu ke pemakaman yang lain, baik tempatnya berjauhan maupun dekat, hal ini dilakukan karena berbagai alasan diantaranya karena perluasan jalan raya, sengketa tanah, bahkan juga keinginan dari pihak keluarga sendiri untuk dipindahkan. Hal semacam ini bolehkah dilakukan?

1 Haram, dilakukan pemindahan tersebut, baik tempatnya berjauhan maupun dekat, karena mengakibatkan terbukanya aib si mayit, kecuali dalam keadaan dharurat. Sebagaimana keterangan dalam kitab Mahalli, juz I, hal. 352.

وَنَبْشُهُ بَعْدَ دَفْنِهِ لِلنَّقْلِ وَغَيْرِهِ حَرَامٌ إلَّا لِضَرُورَةٍ: بِأَنْ دُفِنَ بِلَا غُسْلٍ أَوْ فِي أَرْضٍ، أَوْ ثَوْبٍ مَغْصُوبَيْنِ، أَوْ وَقَعَ فِيهِ مَالٌ، أَوْ دُفِنَ لِغَيْرِ الْقِبْلَةِ لَا لِلتَّكْفِينِ فِي الْأَصَحِّ. (المحلى، ج 1 ص 352)
Menggali kembali kuburan untuk dipindahkan atau tujuan lainnya hukumnya haram kecuali karena ada sesuatu yang dharurat seperti: mayit belum dimandikan, mayit dikubur atau memakai pakaian ghosob, terdapat harta berharga, atau mayit dikubur tidak menghadap kiblat, bukan karena untuk mengkafani (menurut pendapat yang lebih sahih). (al-Mahalli, juz I, hal. 352)

2 Makruh, pemindahan tersebut baik tempatnya berjauhan maupun dekat karena tidak ada dalil yang jelas mengenai hal ini. Sebagaimana dijelaskan dalam Hawasyi al-Syarwani;

وَقَضِيَّةُ قَوْلِهِ بَلَدٍ آخَرَ أَنَّهُ لَا يَحْرُمُ نَقْلُهُ لِتُرْبَةٍ وَنَحْوِهَا وَالظَّاهِرُ أَنَّهُ غَيْرُ مُرَادٍ وَأَنَّ كُلَّ مَا لَا يُنْسَبُ لِبَلَدِ الْمَوْتِ يَحْرُمُ النَّقْلُ إلَيْهِ ثُمَّ رَأَيْت غَيْرَ وَاحِدٍ جَزَمُوا بِحُرْمَةِ نَقْلِهِ إلَى مَحَلٍّ أَبْعَدَ مِنْ مَقْبَرَةِ مَحَلِّ مَوْتِهِ ( وَقِيلَ يُكْرَهُ ) إذْ لَمْ يَرِدْ دَلِيلٌ لِتَحْرِيمِهِ (حاشية الشروانى، ج 4 ص 199)
Batasan pemindahan itu selagi tidak melebihi jarak kuburan daerahnya si mayit. Dalam hal ini menurut sebagian ulama’ pemindahan itu tidak diharamkan, akan tetapi dihukumi makruh, karena tidak ada dalil yang tegas dalam hal ini.
(Hasyiyah al-Syarwani, juz IV, hal. 199)


(Membongkar Kuburan)
Di suatu daerah terdapat peristiwa pembongkaran makam, hal ini dilakukan karena mayat di dalamnya harus divisum terkait dengan kasus kriminal yang terjadi. Bagaimanakah hukum dari pembongkaran pemakaman mayat tersebut?

1 Haram, karena hal tersebut merupakan perkara yang membuka aib si mayit.

2 Boleh, apabila hal ini mendapat izin dari keluarga mayat.
Keterangan di atas berdasarkan kitab Bujairami ‘Ala al-Khotib, Juz II, halaman. 309.
وَأَمَّا نَبْشُهُ بَعْدَ دَفْنِهِ وَقَبْلَ الْبَلَى عِنْدَ أَهْلِ الْخِبْرَةِ بِتِلْكَ الْأَرْضِ لِلنَّقْلِ وَغَيْرِهِ كَالصَّلَاةِ عَلَيْهِ وَتَكْفِينِهِ فَحَرَامٌ لِأَنَّ فِيهِ هَتْكًا لِحُرْمَتِهِ إلَّا لِضَرُورَةٍ بِأَنْ دُفِنَ بِلَا غُسْلٍ وَلَا تَيَمُّمٍ بِشَرْطِهِ وَهُوَ مِمَّنْ يَجِبُ غُسْلُهُ لِأَنَّهُ وَاجِبٌ ، فَاسْتَدْرَكَ عِنْدَ قُرْبِهِ فَيَجِبُ عَلَى الْمَشْهُورِ نَبْشُهُ وَغُسْلُهُ إنْ لَمْ يَتَغَيَّرْ أَوْ دُفِنَ فِي أَرْضٍ أَوْ فِي ثَوْبٍ مَغْصُوبَيْنِ وَطَالَبَ بِهِمَا مَالِكُهُمَا فَيَجِبُ النَّبْشُ وَلَوْ تَغَيَّرَ الْمَيِّتُ لِيَصِلَ الْمُسْتَحِقُّ إلَى حَقِّهِ ، وَيُسَنُّ لِصَاحِبِهِمَا التَّرْكُ .( البجيرمى على الخاطب ج 2 ص 309 )

Sebab-sebab wajibnya membongkar kuburan:

Mayat belum dimandikan
Mayat tidak menghadap kiblat
Jika mayat membawa barang orang lain (ghosob)

Ada janin pada perut mayat dan diperkirakan janin tersebut masih hidup, (misalnya karena janin berumur 6 bulan lebih), menurut ahli kedokteran.


Orang kafir yang dikubur di pemakaman orang islam.

Terkena banjir atau bencana yang lain.
Orang kafir yang dikubur di tanah suci (Makkah)
Adanya tuntutan orang lain terhadap ahlul waris mayit karena terjadi kasus.

Keterangan dalam kitab Inarah al-Duja, hal. 158


وَيَنْبَسُ الْمَيِّتُ لِلْأَرْبَعَةِ لِلْغُسْلِ مَعْ تَوْجِيْهِهِ لِلْقِبْلَةِ


هَذَا لَمْ إِذَا يَتَغَيَّرْ وَانْتِقَا لِلْمَالِ إِنْ دُفِنَ مَعْهُ مُطْلَقًا


كَذَاكَ لِلْجَنِيْنِ حَيْثُ دُفِنَا مَعْ أُمهِ وَظُنَّ حَيًّا هَاهُنَا


Dengan demikian membongkar kuburan hukumnya boleh ketika dalam keadaan darurat.


Non Muslim Meninggal sebelum Baligh Masuk Sorga atau Neraka


Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, ada 3 pendapat


Menurut sebagian ulama’ anak orang kafir yang meninggal belum baligh akan masuk neraka karena dinisbatkan (dibangsakan) pada orang tuanya yang kafir.


عَنْ خَدِيْجَةَ اَنَّهَا سَاَلَتْ اَلنَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ اَوْلاَدِهَا اَلَّذِيْنَ مَاتُوْا فِى الْجَاهِلِيَّةِ مِنْ زَوْجٍ لَهَا قَبْلَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقاَلَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِنْ شِئْتِ اَرَأَيْتُكِ تَقْبِلَهُمْ فِى النَّارِ وَاِنْ شِئْتِ اِسْمَعْكِ نَعْلاَئِهِمْ فِى النَّارِ وَلِأَنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ وَلاَ يَلِدُوْا اِلاَّ فاَجِرًا كَفَّارًا، فَإِنَّهُمْ حِيْنَ وَلَدُوْا كاَنُوْا كُفَّارًا.

Diceritakan dari Siti Khadijah Ra., sesungguhnya dia bertanya pada Nabi tentang anak-anaknya yang telah meninggal pada masa Jahiliyah dengan suami sebelum Nabi, Maka Nabi Muhammad Saw. Berkata: Kalau kamu ingin mengetahui, aku akan menunjukkan keberadaan anakmu di neraka, kalau kamu ingin mengetahui aku akan memperdengarkan sandal anakmu yang ada di neraka, Allah Swt. berfirman: Anak-anak orang kafir tidak dilahirkan kecuali menjadi orang yang rusak dan kafir.

Menurut sebagian ulama anak orang kafir yang meninggal sebelum baligh akan masuk surga karena dikembalikan pada fitrah (suci)


رُوِىَ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَاَبُوْاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ وَيُمَجِّسَانِهِ.

Diceritakan dari Nabi Muhammad Saw. beliau bersabda; setiap bayi yang dilahirkan adalah suci, tergantung orang tuanya yang menjadikan Yahudi, Nasrani atau Majusi.

Menurut sebagian ulama’, anak orang kafir yang meninggal sebelum baligh akan dijadikan pelayan surga.


عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَذَرُوْنَ مِنَ اللاَّهُوْنِ مِنْ أُمَّتِىْ فَقَالُوْا اَللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ فَقاَلَ أَطْفاَلُ الْمُشْرِكِيْنَ لَمْ يَذْنِبُوْا فَيُعَذِّبُوْا وَيُعَمِّلُوْا حَسَنَةً فَيُثاَبُوْا فَهُمْ خُدَّامُ أَهْلِ الْجَنَّةِ.

Diceritakan dari Nabi Muhammad Saw. Beliau bersabda: apakah kalian tahu apa yang dinamakan Lahun dari umatku?. Para sahabat menjawab: Allah dan rasulnya yang lebih tahu. Kemudian Nabi bersabda: mereka adalah anak-anak orang kafir yang meninggal sebelum baligh, belum melakukan dosa dan akan disiksa, dan belum melakukan perbuatan baik kemudian mendapat pahala, yaitu anak-anak orang kafir (yang meninggal sebelum baligh) mereka akan menjadi pelayan di surga. (Bustan al-Arifin, hal. 101-102)

(Adzan dan Iqomah saat Mayit Dibaringkan dalam Liang Lahat)
Adzan merupakan salah satu ibadah yang dianjurkan oleh agama Islam. Karena di dalam adzan ada manfaat yang sangat besar, serta terkandung syiar agama Islam. Ketika akan melaksanakan shalat, adzan dikumandangkan sebagai tanda masuknya waktu shalat. Dan salah satu kebiasaan yang berlaku di masyarakat adalah adzan setelah mayit diletakkan dalam kuburan. Bagaimanakah hukum adzan tersebut?

Dalam hal ini pandangan ulama’ terbagi menjadi dua


1 Tidak disunnahkan adzan setelah mayit diletakkan dalam liang lahat, karena tidak ada dalil yang menunjukkan kesunnahan pelaksanaan hal tersebut dari Nabi.

2 Sunnah karena bisa disamakan pada adzan dan iqomah ketika anak baru lahir ke dunia.

وَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا يُسَنُّ الْأَذَانُ عِنْدَ دُخُوْلِ الْقَبْرِ خِلَافًا لِمَنْ قَالَ بِسُنَّتِهِ قِيَاسًا لِخُرُوْجِهِ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى دُخُوْلِهِ فِيْهِ (إِعَانَةُ الطَّالِبِيْنَ، ج.1، ص. 230)

Ketahuilah, sesungguhnya adzan itu tidak disunnahkan ketika memasukkan jenazah ke dalam kubur. Berbeda dengan orang yang berpendapat bahwa adzan itu sunnah, karena kematian dikiaskan dengan kelahiran. (Ianah al-Thaliban, juz I, hal. 230).
Dengan demikian adzan dan iqomah tersebut tidak dapat dikatakan haram.


SIKAP DAN KEPRIBADIAN SEORANG SUFI
(Definisi Sufi yang Dikemukakan oleh Para Ulama’)
Menurut Imam Junaidi al-Baghdady
وَقَالَ جُنَيْدِيْ: اَلصُّوْفِيْ كَالاَرْضِ يُطْرَحُ عَلَيْهَا كُلُّ قَبِيْحٍ وَلاَ يَخْرُجُ مِنْهَا إِِلاَّ كُلُّ مَلِيْحٍ وَقَالَ اَيْضًا: اَلصُّوْفِى كَالاَرْضِ يَطَئُوْهَا الْبِرُّ وَالْفَاجِرُ وَكَالسَّمَاءِ وَكَالسَّحَابِِ تُظِلُّ كُلَّ شَيْءٍ وَكَالْمَطَارِ يُسْقِى كُلَّ شَيْءٍِ . في الكتاب نشأة التصوف وتصريف الصوف ص 22
Seorang sufi itu bagaikan bumi yang bila dilempari keburukan maka ia akan selalu membalasnya dengan kebaikan. Seorang sufi itu bagaikan bumi yang mana di atasnya berjalan segala sesuatu yang baik maupun yang buruk (semua diterimanya). Seorang sufi juga bagaikan langit atau mendung yang menaungi semua yang ada di bawahnya, dan seperti air hujan yang menyirami segala sesuatu tanpa memilah dan memilih, [yang baik maupun yang buruk semuanya diayominya]”. Kitab Nasyatu at-Tashawuf Wa Tashrifu as-Shufi hal 22

Dan menurut Aba Bakar al-Syibly dalam kitab Hilyah al-Auliya' Hal 11.


قَالَ اَبَا بَكَرْ الشِّبْلِيْ: اَلصُّوْفِيْ, مَنْ صَفاَ قَلْبَهُ فَصَفَى، وَسَلَكَ طَرِيْقَ اْلمُصْطَفَى صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَمَى الدُّنْيَا خَلْفَ اْلقَفَا، وَأَذَاقَ اْلهَوَى طَعْمَ اْلجَفَا.(كتاب حلية الاولياء ص:11)

Orang sufi itu adalah seseorang yang membersihkan hatinya maka bersihlah hatinya, dan mengikuti jalannya Nabi al-Musthafa Saw. Serta tidak terlalu memikirkan perkara duniawi (lebih mementingkan masalah ukhrowi), dan menghilangkan keinginan hawa nafsunya. Hilyatu al-Auliya’ halaman 11

Aba Hammam Abd. Rahman bin Mujib as-Shufi berpendapat:

سَمِعْتُ أَبَا هَمَّامْ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنِ مُجِيْبٍ اَلصُّوْفِي وَسُئِلَ عَنِ اَلصُّوْفِيْ فَقَالَ: لِنَفْسِهِ ذَابِحٌ، وَلِهَوَاهُ فَاضِحٌ، وَلِعَدُوِّهِ جَارِحٌ، وَلِلْخَلْقِ نَاصِحٌ. دَائِمِ اْلوَجَلِ، يَحْكُمُ اْلعَمَلَ، وَيَبْعَدُ اْلأَمَلَ وَيَسُّدُّ اْلخِلَلَ، ويَغْضَى عَلىَ الزَّلَلِ، عُذْرُهُ بِضَاعَةٍ، وَحَزْنُهُ صَنَاعَةٌ وَعَيْشُهُ قَنَاعَةٌ بِالْحَقِّ عَارِفٌ وَعَلىَ الْبَابِ عَاكِفٌ وَعَنِ الْكُلِّ عَازِفٌ. (كتاب حلية الاولياء ص:11)

1 Ciri-ciri orang sufi itu adalah sebagai berikut;

2 Seseorang yang merasa dirinya hina
3 Menahan dan memerangi hawa nafsunya
4 Memberi nasehat kepada mahluk
5 Selalu mendekatkan diri kepada Allah
6 Berperilaku bijaksana
7 Menjauhi berandai-andai (berangan-angan terlalu tinggi dalam hal duniawi)
8 Tidak mau mencela
9 Mencegah perbuatan dosa
10 Waktu luangnya digunakan untuk beribadah
11 Susahnya sengaja di buat-buat (karena memang seorang sufi itu
terhindar dari 12 berbagai macam kesedihan dan kesusahan duniawiyah)
13 Hidupnya sederhana
14 Arif terhadap sesuatu yang benar
15 Mengasingkan diri dan mencegah dari segala sesuatu yang sia-sia.


(Ciri-Ciri Kepribadian dan Perilaku Seorang Sufi)

Menurut Imam Qusyairi dalam kitabnya Risalah al-Qusyairiyah hal. 126-127 ciri-ciri kepribadian dan perilaku seorang sufi dibagi menjadi dua yaitu:


1 Seorang sufi al-Shadiq: merasa miskin setelah memperoleh kekayaan, merasa hina setelah mendapatkan kemulyaan, dan menyamarkan dirinya setelah terkenal.


2 Seorang sufi al-Kadzib: merasa kaya akan harta sesudah faqir, merasa mulia setelah hina, merasa terkenal yang mana sebelumnya dia tidak masyhur.

عَلاَمَةُ الصُّوْفِيّ الصَّادِقِ: أَنْ يَفْتَقِرَّ بَعْدَ الغِنىَ، وَيَذِلَّ بَعْدَ الْعِزِّ، وَيَخْفىَ بَعْدَ الشُّهْرَةِ، وَعَلاَمَةُ الصُّوْفِيْ اَلْكَاذِبِ: أَنْ يَسْتَغْنِيَ بِالدُّنْيَا بَعْدَ الْفَقْرِ، وَيَعِزَّ بَعْدَ الذِلِّ، وِيَشْتَهِرَ بَعْدَ الْخُلَفَاءِ. ( كتاب رسالة القشيرية ص 126-127 )

_
________________________________________________

Demikialah Rangkaian Tentang masalah kumpulan Ibaroh Ilmu fiqh,
bila ada ke khilafan Mohon maaf seribu maaf,
Akhiron _ Wassalamualaikum warohmatullohi wabaratuh?


(H.Taufieq Fauzie)

No comments:

Post a Comment