Wednesday, November 3, 2010

Yuniawan Wahyu Nugroho in Memoriam

SKETSA
Aku masih menemani suamiku mengobrol malam itu. Membicarakan perkembangan bencana meletusnya gunung Merapi di Jogjakarta. Suamiku menyebutkan nama Yuniawan Wahyu Nugroho adalah salah satu korban yang meninggal di rumah Mbah Marijan.

Aku kaget tak percaya. Suamiku kenal dengan Mas Wawan, tetapi tidak tahu nama lengkapnya. Lalu dia membuka internet dan mengulang-ulang membaca nama itu. Benar tak salah lagi, tiba-tiba aku merasa seluruh tubuhku lemas.

“Itu kan mas Wawan…” kataku tak percaya.

Lalu aku membuka Facebook dan mengklik wallnya. Benar, banyak sekali ucapan selamat tinggal di wall tersebut. Kakiku spontan menjadi kaku, jantungku berdebar keras. Rasanya tak percaya mendengar semua kabar itu.

Orang berkata bumi itu sempit, kata-kata itu pas banget untuk menjuluki pertemananku dengan Mas Wawan, begitu Yuniawan biasa di sapa. Aku mengenal lebih dalam dengannya waktu kami sama-sama meliput acara sebuah partai di Kepulauan Seribu.

Karena tak banyak wartawan yang ikut, maka kami berdua menjadi akrab. Berdua menikmati perut yang kelaparan karena partai tak menyediakan makanan, menyusuri kampong-kampung mencari makanan di pulau yang asing bagi kami itu, tetapi tidak juga menemukan orang jualan makanan. Lalu kami meluangkan waktu berjalan di tepi pantai sambil menunggu acara partai yang membosankan itu usai.

Dan ketika akan meninggalkan pulau, kami sempat diusir oleh orang-orang partai, gara-gara sengaja naik kapal yang salah. Panitia menyediakan beberapa kapal, dan para wartawan mendapatkan jatah kapal biasa yang memang jalannya agak lambat. Sementara para petinggi partai menggunakan speed boat besar yang cepat dan mampu menampung sekitar 50 orang.

Kami berdua menyusup di salah satu speed boat itu, tetapi saat kapal itu siap meluncur, dua orang yang merasa tempat duduknya kami tempati, memprotes kami. Lalu dengan kasar dia menyuruh kami berdua pindah ke kapal kami sebelumnya.

“Kami mengejar dead line,” kataku agak marah.

Aku memang kurang sabaran. Tetapi Mas Wawan dengan tenang menarik tanganku untuk keluar dari kapal itu.

Sesampai di luar dia bercanda :

“Emangnya ibu ini dari partai mana ?” tanyanya padaku sambil tertawa.

Aku masih sewot.

“Bukan anggota partai dilarang naik kapal itu,” katanya lagi.

Aku pun tertawa.

“Kita kan buru-buru Mas, dasar sombong, belum tentu partainya menang udah sombong,” kataku kesal.

Mas Wawan malah menertawakan aku.

“Ayo pindah kapal yang itu,” katanya.

Dengan berengut aku mengikutinya. Sore itu kami menikmati sun set di atas kapal yang mengalun perlahan di laut Jawa. Melihatku kelaparan, Mas Wawan meminta makanan dari para anggota partai di kapal itu. Bolak-balik dia mengambil makanan dan beberapa minuman kaleng untukku. Memotretku dengan latar belakang sunset dan mengobrol ngalor ngidur.

“Sudahlah Gie, kamu ini jadi orang kok mudah sewot sih,” katanya.

“Biarin,” ujarku.

Setelah itu kami menjadi akrab. Bertemu lagi di KPU untuk meliput kegiatan sehari-hari di sana. Bersama yang lain menikmati badut-badut partai di KPU yg waktu itu diketuai oleh Jenderal (purn) Rudini.

“Kamu asli mana Gie ?” tanyanya suatu hari.

“Ambarawa, Mas,” jawabku.

“Lho kok sama,” katanya.

“Masak ?”

“Iya, mertuaku juga di Ambarawa,” ujarnya.

Kalau pas sama-sama pulang ke Ambarawa, Mas Wawan mengajak anak-anak dan istrinya main ke rumahku. Bahkan ibu mertuanya juga akrab dengan ibuku. Terakhir aku pulang ke Ambarawa, bulan Juli lalu, aku mencarinya bersama anak-anakku kerumah mertuanya, karena kudengar dia tak bekerja di Jakarta lagi. Ternyata tlisiban. Baru dua hari Mas Wawan berangkat ke Jakarta.

Aku mencarinya ke Facebook, dan kami berbincang bahwa dia sekarang sudah kembali bekerja di Jakarta.

Beberapa hari lalu sebelum meninggal Mas Wawan tergolong rajin bikin status. Aku pernah mendengar Mas Wawan sakit. Terus ketika muncul statusnya aku komentar :”Sik urip to Mas (Masih hidup to Mas) ?”

Dia langsung menelponku via HP, dan mengabarkan bahwa dia sudah sehat. Cuma sekarang sudah gemuk. Mas Wawan juga ke kontrakanku dengan keluarganya ketika anak sulungku Adam, meninggal. Dia memang sahabat yang baik. Selalu perhatian terhadap apapun yang aku resahkan. Bahkan aku selalu berkonsultasi padanya ketika mendapatkan masalah.

Rasanya masih belum percaya mendengar berita ini. Selalu teringat bagaimana dia suka mentraktirku dan suka meledekiku. Umur siapa yang tahu, tetapi aku senang pernah memiliki sahabat seperti dia. Dalam kondisi apapun selalu tenang bercanda dan santai. Selamat jalan sahabat, kamulah jurnalis sejati, karena meninggal sedang dalam tugasmu. Sayang selalu untukmu.



Jakarta 27 Oktober 2010



No comments:

Post a Comment