Wednesday, February 9, 2011

Surat Buat Ibunda

PUISI
Ibunda…
Malam begitu sepi
Rintik hujan mengirimkan sunyi dan dingin
Menusuk ke dalam relung jiwaku
Kurapatkan selimutku
Dan kuhirup kopi malamku yang pekat
Kuluruskan kakiku di kursi dan memandangi luar jendela
Terbias cahaya lampu taman
Dan berjuta serangga terbang mengelilinginya

Ibunda…
Sunyi tiba-tiba menggetarkan aku akan sebuah rindu
Dan malam gelap bergambarkan bayangan wajah itu
Wajah ayu yang memancarkan energi illahi
Dan semakin menua oleh berjalannya waktu
Getar ini, semakin kuat mengoyak sukmaku
Lihatlah, alangkah rindu aku akan semua perjalanan waktu yang telah kita lalui bersama dahulu

Ibunda…
Malam ini, apakah Ibunda juga merasakan,
Aku benar-benar tak berdaya, terpenjara oleh semua kenangan itu
Saat kita berdua, dalam keceriaan, dalam kesedihan dan dalam perdebatan-perdebatan
Atau, indahnya saat-saat kita berbicara tentang apa saja
Tentang cita-cita, tentang cinta, tentang manusia dan tentang kehidupan

Ibunda…
Waktu itu, Ibunda menanyakan padaku tentang seorang laki-laki
Aku malu menjawab pertanyaan itu,
tetapi pikiranku terbayang pada lelaki yang telah mencuri hatiku
Lalu aku katakan sebuah keyakinan bahwa dia akan menjadi jodohku
Ibunda terdiam….
Seakan tak setuju dengan kesombonganku
Sorot mata itu isyaratkan bahwa aku tak berhak berbicara apapun mengenai sebuah takdir cinta
Mata Ibunda seperti berkata, Nak, hanya Tuhan yang tahu akan semua jalan takdir cintamu…
Lalu lelaki itu meninggalkanku dalam luka
Dan aku tak pernah berani bercerita lagi kepadamu tentangnya, Ibunda


Ibunda…
Kemudian Ibunda tanyakan tentang cita-citaku
Kukatakan bahwa aku ingin menuliskan apa saja tentang kehidupan manusia
Manusia dengan segala tingkah polahnya
Yang lemah harus dibela dan yang angkara harus di tentang
Ibunda terdiam…
Aku melihat sorot mata itu menjadi begitu cemas
Seakan berkata, hati-hatilah Nak, kau akan menantang bahaya…

Ibunda…
Lalu Ibunda bertanya tentang manusia
Aku berkata bahwa manusia selalu berpijak kepada tingkah lakunya
Mereka yang menjalani kebenaran
Akan menemukan terang seperti terangnya bintang
Dan mereka yang menjalani keburukan
Akan terpenjara dalam nista dan membeku dalam dendam dan hukuman
Ibunda terdiam…
Aku melihat binar itu lagi, seakan berkata, temukan jalan itu, Nak, dan tetaplah dalam kebenaran…”

Ibunda…
Lalu kita berbincang tentang kehidupan
Ku berpendapat bahwa kehidupan ini semacam ujian bagi manusia
Manusia hidup sesekali waktu akan berada di atas
Sesekali waktu akan berada di bawah
Kalau di atas, kataku, jangan bersombong, karena semua yang dimiliki itu hanya titipan dari Tuhan
Sedangkan jika berada di bawah, kataku, jangan pernah merasakan rendah dan nista
Karena Tuhan sedang menguji dan Tuhan tak melihat manusia dari apa yang mereka miliki
Ibunda lagi-lagi terdiam…
Tetapi mata itu seakan berkata, bersiaplah dan tetaplah menjadi kuat, Nak, karena hanya kekuatan akan kau arungi semua kesedihan dan kebahagiaan dengan sempurna


Ibunda…
Malam ini, lihatlah anakmu dicekam oleh gelap malam
Menggigil oleh rindu…
Terbayang saat-saat kita bersama menyusuri kebun-kebun bunga dulu
Berbincang tentang warna-warna bunga yang begitu indah
Dan bayangan mengenai semua keindahan bunga-bunga itu
atau wanginya yang membius nafasku, terngiang sampai kini, Ibunda
Dan Ibunda katakan dalam sorot mata kekaguman…
bunga adalah pesona keagungan Tuhan yang tak tertandingi apapun,
Sambil berdua kita memenuhi keranjang itu dengan bunga-bunga…

Ibunda…
Di luar, langit masih kelam
Gerimis telah usai menyisakan titik-titik air di sudut daun-daunan
Bulan malu-malu bersembunyi di balik awan
Mengingatkan aku akan malam-malam kita merencanakan perayaan-perayaan
Memasak hingga terkuras tenaga dan pikiran
Mengatur bunga-bunga dalam vas dan mengatur piring-piring di meja makan
Tak berhenti aku memuji nikmatnya makanan-makanan buatanmu itu
Atau kue-kue sederhana yang kau buat dengan hikmat
Alangkah rindunya aku akan semua itu

Ibunda…
Atau saat hari raya kita duduk bersama dengan semua saudaraku
dan juga Bapak saat masih ada bersama kita
Satu persatu kami anak-anakmu bersujud di lututmu
Lalu bergantian bersujud pada Bapak
Kami juga mendengarkan petuah pendekmu, Nak, jadilah manusia yang berguna…
Lalu aku selalu mendengar isak tangismu dan ada bulir air mata terjatuh di pipimu..

Ibunda…
Waktu terus berjalan mematangkan hidupku
Keberanian yang kau tanamkan menjadikanku angkuh dan sombong
Kepandaian dan kemahiran yang kau dukung
Menjadikanku lupa segalanya
Kemudian aku terkungkung dalam lingkaran keangkuhanku
Terbius oleh segala puja dan puji
Seakan akulah jagoan yang telah menaklukkan semua kehidupan itu
Aku mulai membantahmu
Aku mulai mendebatmu
Duh, Ibunda.. setan mana yang telah berani mengajariku begitu

Ibunda…
Sampai suatu saat, cahaya itu kembali datang kepadaku
Indahnya seperti sorot mata ketabahanmu
Terangnya seperti kerling indah di sudut mata kelabumu
Hatiku seperti tersentak oleh peringatan itu
Jiwaku terus bergetar mencari jalan menunjumu
Kulawan segala keangkuhan dan kesombonganku
Kusingkirkan segala kekakuan dan kekeraskepalaanku
Aku melawan semua itu dengan sekuat tenagaku

Ibunda…
Aku terus melawan, dan menemukan kesadaran itu
Bahwa hanya Ibunda tumpuan segala gundah dan kegelisahanku
Restumu adalah mata air bagi kehidupanku
Ridomu adalah jalan keluar bagi kemudahanku

Ibunda…
Kini aku akan datang padamu untuk bersujud
Aku ingin menangis di pangkuanmu
Aku ingin sisa-sisa hariku kembali berdamai dengan cahaya matamu
Aku ingin kau kembali padaku dengan lembut sentuhanmu
Dan aku ingin kembali berteduh dalam suci hatimu

Ibunda…
Sambutlah tangan anakmu ini
Marilah kembali kita menyusuri kebun bunga
Dan akan kupetik bunga terindah, hanya untukmu…

Ibunda…
Malam masih gulita
Dan kelelawar-kelelawar bernyanyi dalam lengkingan-lengkingan
Aku masih merindu
Rindu terdalam yang pernah kurasakan
Rindu padamu Ibunda…..
Rindu padamu Ibunda….


Ibunda…
Ibunda…


Jakarta, 10 February 2011

No comments:

Post a Comment