Sunday, January 22, 2012

Stasiun Wonokromo

CERPEN

Aku membenahi bedakku dan sebatang lipstik kugoreskan di bibirku. Masih jam 4 pagi, tetapi kereta sudah memasuki kota Surabaya. Seorang petugas berkeliling, berkata, kalau kereta sudah hampir sampai di stasiun Wonokromo.
Aku buka lagi SMS dari Alia, "Turun di stasiun Wonokromo, nanti aku jemput..."
Aku menurunkan koper kecil bertulis nama sebuah biro travel ternama di Jakarta. Sebuah tas punggung aku cangklong di belakang. Dan telepon genggam tetap ku pegang di tangan kiriku.
Aku menarik tuas tas travel, dan siap untuk diseret karena kunci dua rodanya telah terbuka. Aku mendekati pintu kereta. Melewati orang-orang yang kusut karena bangun tidur.
Kereta berhenti, bersama beberapa penumpang lain, aku turun, dan berjalan menuju peron. Surabaya lasih terlelap. Udara dingin pagi menyusup, aku melangkah perlahan sambil merapatkan jaketku.
Masih tertalu pagi, untuk membangunkan Alia. Kasihan, lebih baik aku duduk dulu di stasiun dan menunggu pagi menghangat di sini. Kalau sudah cukup terang, baru aku akan menelponnya.
Stasiun itu kotor. Sampah bertebaran di mana-mana. Beberapa penumpang kereta api, duduk-duduk di peron, merebahkan diri di bangku peron, atau sekedar terlelap di sandaran kursi. Anak kecil terlelap di pangkuan ibu-ibu yang terkantuk-kantuk di kursi. Wajah sedih tukang asongan, para petugas perkerataapian yang berwajah tegang, semua mengundang haruku, mengusir semua kantukku.
Aku memilih duduk di peron paling ujung, lalu, duduk bersantai sambil menikmati coklat panas yang ku pesan pada sebuah gerai di dalam stasiun. Aku memilih peron yang sepi, aku tiup perlahan, aku hirup aromanya, aku cecap dan coklat panas itu seperti meleleh lembut di tenggorokanku.
Angin Surabaya lembut menyentuhku, langit masih penuh bintang, seperti bertengger di atas atap stasiun yang tinggi megah. Di ujung langit nan kelam, penuh dengan pendar-pendar cahaya kota.
Saat aku menyesap coklat panas itu perlahan, terdengar suara isakan tangis. Aku menoleh ke kanan dn kekiri. Berhenti menghirup coklat itu dan meletakkan di bangku. Lalu aku berdiri. Suara tangis itu berasal dari balik mushala, tepatnya di belakang mushala. Sungguh menyayat.
Aku berjalan menyusuri tembok mushala untuk menemukan suara itu. Rerumputan basah oleh embun, campur aduk dengan sampah-sampah plastik. Benar di belakang mushala itu, seorang perempuan duduk sendiri dengan sesengukan.
Dia kaget melihatku datang, lalu tertunduk lagi, tanpa mempedulikan aku. Aku membuka tas tanganku dan mengeluarkan dua lembar tissu, Dia kembali menatap aku yang berdiri tepat di depannya. Dia menerima tissu itu lalu menghapus air matanya.
Setelah itu aku menarik tanganya dan mengajaknya berdiri. Lalu aku ajak dia duduk di bangkuku. Dia masih menunduk. Beberapa laki-laki iseng melihat perempuan itu dan melontarkan kata-kata mesum kepadanya. Dia tak menyahut, menunduk dan terus menangis.
Perempuan bertubuh kecil itu berkulit hitam kusam. Ada sisik-sisik putih di betisnya yang kurus. Hanya dadanya saja yang gemuk. Dibalut kaos ketat warna merah menyala dengan gambar hati di tengahnya. Dia mengenakan celana legging murahan selutut, menutupi pahanya yang kurus.
Wajahnya tidak cantik. Rambutnya di cat merah, bercabang-cabang di ujungnya. Bibirnya tebal, hidungnya tak mancung, dan dua matanya tidak simetris. Perempuan itu juga memiliki gigi yang tak teratur. Dari segi penampilan fisik, dia bukan tergolong perempuan yang cantik,
"Namamu siapa ?" tanyaku.
"Prapti, Mbak," jawabnya.
"Kenapa malam-malam disitu, kenapa menangis, " tanyaku lagi.
Lalu aku berdiri. Dia pasti sedih dan kedinginan.
"Tunggu di sini sebentar ya," kataku.
Aku menuju kafe kecil, dan memesan coklat panas. Lalu aku mengambil baki dan menaruh dua buah brownis keju di atasnya. Aku kembali ke tempat dudukku,dimana Prapti masih duduk dengan kepala menunduk. Seperti menanggung kesedihan yang dalam. Aku melihat dia belum berhenti menangis. Pastilah masalah yang menghimpitnya begitu beratnya. Aku mengulurkan coklat panas itu dan baki berisi dua brownis itu aku taruh di depannya.
"Makanlah, kamu pasti lapar ya," kataku.
Melihat dua brownis itu, dia lalu mengeluarkan tas kain kusam miliknya dan membukanya. Kulihat ada dompet kain, bedak dan lipstik.
"Biar aku bawa pulang untuk Laila saja, boleh ?" tanyanya sambil memandangku.
"Boleh," kataku sambil senyum.
Setelah memasukkan dua brownis itu, dia menaruh tas kusam itu di kursi, di sebelah pahanya. Lalu kembali mengambil gelas plastik berisi coklat panas itu, dan mulai menyesapnya perlahan.
"Laki-laki brengsek," umpatnya.
"Oh," kataku sambil tersenyum.
"Sudah aku layani, sampai berdarah, tetap saja nggak mau bayar, belum lagi hutangnya yang kemarin," katanya lagi. Dia menunjukkan kakinya, memang aku melihat ada bekas darah yang sudah mengering.
"Apa yang terjadi ?" aku mulai mengira-ngira perempuan ini seorang pelacur.
"Bangsat itu, kalau tidak dilayani akan marah-marah, lalu memukul aku dan akan memaksa aku, Mbak..."
"Apa di memperkosamu ?"
"Bukan, tetapi kalau main, dia kasar, sesuka hati, sampai berkali-kali, kalau aku menolak pasti dia akan melakukan kekerasan padaku.
"Apa yang terjadi malam ini ?"
"Ya gitu, aku hanya merasakan perih," katanya.
"Kenapa mau ?"
"Dia tak bisa ditolak, bisa membahayakan aku dan anakku, Laila, aku nggak mau terjadi sesuatu pada Laila..."
"Oh," aku menghela nafas.
"Jadi dia sudah berhutang berapa ?" tanyaku memberanikan diri.
"Sekali main lima ribu, empat kali berarti dua puluh ribu," jawabnya membuatku kaget.
"Ya Alloh," desahku dalam hati dengan sedih.
"Hari ini, anakku Laila, harus membayar uang komputer sepuluh ribu rupiah, di sekolahnya. Tadi malam, saat si brengsek itu datang aku sudah senang, berharap dia akan membayar hutang-hutangnya yang dulu. Tetapi lihatlah Mbak, setelah main, langsung pergi, dan bilang, besok baru mau bayar, dasar brengsek," tuturnya.
Aku diam.
"Saya tahu dia yang punya duit, dia kan preman pasar, uangnya banyak. Sayangnya dia lagi-lagi nggak mau bayar. Sama seperti yang lain, bayar seenaknya, kadang seribu kadang dua ribu, maklum mereka gelandangan sama pengemis dan pemulung jadi duitnya bokek," jelasnya.
"Oh.... tetapi dimana kalian main seks ?" tanyaku lagi.
"Di gerbong kosong, Mbak..."
Hari mulai terang. Perempuan itu sudah tidak menangis. Dan aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Perempuan kotor, kurus kering dan tidak sehat. Telepon berdering, Alia menelpon dan kujawab aku sudah di Stasiun Wonokromo.
Aku diam di samping perempuan itu, dia juga diam. Dua puluh ribu, diperolehnya dengan perjuangan seperti itu. Aku tahu dia menangis karena nggak bisa membayar uang praktek komputer anaknya. Bukan karena rasa sakit di kemaluannya. Begitu berharganya uang dua puluh ribu untuk dirinya, untuk hidupnya.
Alia datang dengan tergopoh. Aku menyambutnya. Ketika akan pulang, aku menyelipkan uang seratus ribu pada pelacur gebong kereta itu.
"Siapa perempuan itu, " tanya Alia di mobil.
"Pelacur yang tidak dibayar," kataku.
"Oh, pelacur gerbong kereta ya, mereka pelacur termurah di Surabaya, paling banter tarifnya lima ribu, bahkan kadang di bawahnya," kata Alia.
"Kasihan..."
"Mereka biasanya sudah tua-tua dan jelek, bahkan hidupnya menggelandang, " kata Alia.
"Anaknya sekolah," ujarku.
"Ya... sebagian punya anak, bahkan ada yang punya suami," jelas Alia.
Di timur matahari cerah benderang. Surabaya mulai terbangun, lalu lintas memadat. Suara tangis pelacur itu tak mau pergi dari ingatanku. Stasiun Wonokromo yang kumuh, dan perempuan kurus yang sudah tak memiliki apapun dalam hidupnya, menunggu mati, bila penyakit kelamin menggerogotinya....




Jakarta 11 11 11

No comments:

Post a Comment