Showing posts with label Fiqih. Show all posts
Showing posts with label Fiqih. Show all posts

Monday, February 24, 2014

Mahram

Mahram

Mahram yaitu orang orang yang tidak batal wudhu jika bersentuhan dan tidak boleh dinikahi:
  1. Ibu kandung (nenek dan seterusnya ke atas baik dari jalur laki-laki atau perempuan) / ibu susu
  2. Anak kandung perempuan (cucu perempuan dan seterusnya ke bawah baik dari laki-laki atau perempuan) / anak susu perempuan
  3. Saudara kandung perempuan / saudara susu perempuan
  4. Saudara perempuan dari bapak kandung (saudara perempuan dari kakek dan seterusnya ke atas baik sekandung, seayah atau seibu) / saudara perempuan dari bapak susu
  5. Saudara perempuan dari ibu kandung (saudara perempuan dari nenek dan seterusnya ke atas baik sekandung, seayah atau seibu) / saudara perempuan dari ibu susu
  6. Anak perempuan dari saudara kandung laki laki (sekandung, seayah atau seibu, cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki laki maupun perempuan) / anak perempan dari saudara susu laki-laki
  7. Anak perempuan dari saudara kandung perempan (sekandung, seayah atau seibu, cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki laki atau perempuan) / anak perempuan dari saudara susu perempuan
  8. Istri bapak kandung (ibu tiri), istri kakek dan seterusnya ke atas 
  9. Istri dari anak laki laki, istri cucu dan seterusnya ke bawah
  10.  Mertua perempuan, ibunya dan seterusnya ke atas
  11.  Anak perempuan istri dari suami lain (rabibah), cucu perempuan istri baik dari keturunan rabibah maupun dari keturunan rabib dan seterusnya ke bawah

Mahram
Perbedaan arti mahram dan muhrim

  • Mahram adalah orang yang tidak batal wudhu dan tidak boleh dinikahi
  • Muhrim adalah orang yang berihram waktu melakukan haji atau umrah
  • Seorang dinyatakan menjadi mahrah apabila dia menyusu sebelum umur dua tahun, dan tindakan penyusuan dilakukan sedikitnya 5 kali penyusuan.

Sunday, February 16, 2014

Wudhu’. tata cara, sunnah dan yang membatalkannya

Wudhu’. tata cara, sunnah dan yang membatalkan Wudhu'

Wudhu
Wudhu’ dalam bahasa Arab artinya kebersihan dan dalam ilmu Fiqih ialah mencuci anggota-anggota tertentu dengan air diiringi oleh niat.
Wudhu’ terbagi atas:
  1. Wajib Wudhu
  2. Sunah Wudhu
  3. Yang Membatalkan Wudhu

A- Wajib Wudhu


1. Niat disaat ingin berwudhu’

عَنْ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ أَبِي حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ: سَمِعْت رَسُولَ اللَّهِ يَقُولُ : إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ (رواه الشيخان)

Dari Umar bin Khattab ra, ia mendengar Rasulallah saw bersabda:“ “Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai dengan niatnya. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya itu Karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya” (HR Bukhari Muslim)

2. Membasuh muka seluruhnya dari batas rambut sampai ke dagu dan dari batas telinga kanan sampai ke telinga kiri.

Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ – المائدة ﴿٦﴾

Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku,” (Qs al-Maidah ayat:6)

Jika seseorang memiliki jenggot yang tebal maka cukup membasuh luarnya saja,  sesuai dengan hadits Rasulallah saw

لِمَا صَحَّ أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأََ فَغَرَفَ غرفةً وَغَسَلَ بِهَا وَجْهََهُ (رواه البخاري)

Bahwa Nabi saw berwudhu maka beliau mengambil seciduk air lalu membasuh mukanya (HR Bukhari). Satu cidukan air tidak cukup untuk membasuh dagu karena tebalnya jenggot beliau yang mulia.

3. Membasuh kedua tangan sampai ke siku

Sesuai dengan ayat di atas

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ – المائدة ﴿٦﴾

Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku,” (Qs Al-Maidah ayat: 6)

4. Mengusap kepala (bagian dari kepala atau rambut).

Allah berfirman:

وَامْسَحُواْ بِرُؤُوسِكُمْ – المائدة ﴿٦﴾

Artinya: “dan sapulah kepalamu”. (Qs Al-Maidah ayat: 6)

عَنِ ابْنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأََ فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى العٍمَامةِ (رواه المسلم)

Sesuai dengan hadits dari Ibnu Mughirah ra, bahwa Rasulallah saw: berwudhu;lalu mengusap jambul dan atas serbannya” (HR.Muslim)

5. Membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki. 

Allah berfirman:

وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَينِ – المائدة ﴿٦﴾

Artinya: “dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”. (Qs Al-Maidah ayat: 6)

6. Tertib

Tertib artinya teratur seperti membasuh muka dahulu baru tangan, tidak boleh sebaliknya sesuai dengan yang diajarkan Allah dalam ayat tersebut di atas dan hadits Rasulallah saw bahwa beliau tidak berwudhu’ kecuali dengan tertib

B- Sunah Wudhu


1. Memakai siwak atau mengosok gigi sebeulm berwudhu.

عَنْ أَبِي هرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَوْ لاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ (رواه الشيخان)

Dari Abu Hurairah ra Rasulallah saw mengajarkan umatnya dengan sabdanya: “Seandainya aku tidak khawatir akan memberatkan umatku, niscaya aku perintahkan mereka bersiwak setiap kali akan shalat.” (HR Bukhari Muslim).

Sunah ini dilakukan kapan waktu ingin berwudhu kecuali di bulan puasa hukumnya makruh menggunakan siwak setelah waktu dhuhur.

عَنْ أَبِي هرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَخُلُوْفُ فَمِِ الصَائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ الِمسْك (رواه الشيخان)

Dari Abu Hurairah ra, Rasulallah saw bersabda: “Bau mulut orang yang berpuasa bagi Allah lebih wangi dari pada wangi misik” (HR Bukhari Muslim)

2. Membaca bismillah, dimulai dari pertama mencuci kedua telapak tangan.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ : تَوَضَّؤُوا بِاسْـمِ اللهِ (رواه البيهقي بإسناد جيد)

Sesuai dengan sabda Rasulallah saw dari Anas ra: “berwudhulah kamu dengan bismillah – dengan nama Allah.” (HR al-Baihaqi dengan sanad jayyid)

3. Mencuci kedua telapak tangan.

لِأَنَّ عُثْمَان وَعَلِيّ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا وَوَصَفَا وُضُوْءَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآلِهِ وَسَلَّمَ فَغَسَلاَ اليَدَ ثَلاَثًا (رواه الشيخان)

Ustman dan Ali ra menyipatkan wudhu Rasulallah saw bahwa beliau mencuci tangan tiga kali (HR Bukhari Muslim)

4. Berkumur tiga kali

5. Memasukan air ke hidung dan mengeluarkanya.

عَمْرُو بْنُ عَبَسَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ : مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَقْرَبُ وَضُوءَهُ ثُمَّ يَتَمَضْمَضُ وَيَسْتَنْشِقُ وَيَنْتَثِرُ إِلَّا خَرَّتْ خَطَايَاهُ مِنْ فَمِهِ وَخَيَاشِيمِهِ مَعَ الْمَاءِ (رواه مسلم) .

Sesuai dengan sabda Rasulallah saw dari Amr bin Abasah ra “Tidaklah seorang diantara kalian mendekati air wudhunya, lalu dia berkumur, memasukkan air kedalam hidung dan membuangnya, kecuali keluar dosa-dosanya dari rongga hidungnya bersama sama air” (HR Muslim)

6- Mengusap seluruh kepala dari depan ke belakang

لِمَا صَحَّ أَنَّ عَبْدَاللهِ بِنْ زَيْد رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَصَفَ وُضُوْءَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَمَسَحَ رَأْسَهُ بِيَدَيْهِ فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ (رواه الشيخان)
Sesuai dengan wudhu Rasulallah saw yang disipatkan oleh Abdullah bin Zeid ra “maka beliau mengusap kepalanya dengan kedua tanganya dari depan ke belakang dan dari belakang ke depan” (HR Bukhari Muslim)

7. Mengusap kedua telinga luar dan dalamnya dengan air baru.


عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ مَسَحَ رَأْسَهُ و أذنَيْهِ ظَاهِرَهُمَا وَبَاطِنَهُمَا وَأَدْخَلَ أََصْبُعَيْهِ فِي حِجْرَيْ أُذنـيْهِ (حسن أبو داود و النسائي).

Sesuai dengan wudhu Rasulallah saw: ”sesungguhnya beliau mengusap kepalanya dan kedua telinganya luar dan dalam lalu memasukan kedua jari telunjuknya kedalam lubang lubang telinganya (HR Abu Dawud dan An-Nasai’ – hadits hasan)

8. Membasuh jenggot yang tebal atau memasukan air wudhu ke dalam selah-selah jenggot dengan jari jari tangan.

عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُخلِّلُ لِحْيَتَهُ (رواه الترمذي)

Hal ini sesuai dengan yang dilakukan Rasulallah saw ketika berwudhu, ”beliau membasuh jenggotnya (dengan jari-jari tangan)” (HR At-Tirmidzi dari Utsman Bin Affan ra)

9. Mencuci selah-selah tangan dan kaki.

لِمَا رُوِىَ أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِلْقَيْط بِنْ صَبْرَة رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَسْبِغِ الْوُضُوءَ وَخَلِّلْ بَيْنَ الأَصَابِعِ (رواه أبو داود و الترمذي بإسناد صحيح) .

Pernah Rasulallah saw bersabda kepada al-Qaith bin Shabrah: “Sempurnahkanlah wudhu’ dan cucilah selah-selah jari-jari” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi dengan sanad shahih)

10. Mendahulukan yang kanan sebelum yang kiri.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُا قَالَتْ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يُعْجِبُهُ التَيَمُّنُ في شأنِهِ كلّهِ في طهُوْرِِهِ و تَرَجُّلِهِ و تَنَعُّلِهِ (رواه الشيخان) .

Ada sebuah hadist dari Aisyah ra, ia berkata: ”Sesungguhnya Rasulallah saw menyukai yang kanan dalam segala urusanya, dalam berwudhu, dalam berjalan dan dalam memakai sandalnya” (HR Bukhari Muslim)

11. Membasuh dan mengusap semua anggota wudhu tiga kali-tiga kali

عَنْ عُثْمَان رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أنه صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ ثَلاَثًا ثَلاَثًا (رواه مسلم)

Sesuai dengan hadist dari Ustman bin Affan ra, ia berkata: ”sesungguhnya Rasulallah saw berwudhu tiga kali-tiga kali.” (HR Muslim)

12. Melebihi pengusapan kepala, begitu pula kedua tangan sampai ke atas siku dan kaki sampai di atas mata kaki.

لِمَا صَحَّ من قوله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ : تَأْتِي أُمَّتيِ يَوْمَ القِيَامَةِ غُرًّا مُحَجَّلِيْنَ مِنْ آثَارِ الوُضُوْءِ فَمَنْ اسْتَطَاعَ أن يُطِيْلَ غُرّتَهُ فَلْيَفْعَلْ (رواه الشيخان)

Rasulallah saw berwasiat kepada umatnya dengan sabdanya: ”Akan datang umatku mereka memiliki cahaya putih di muka, cahaya putih di tangan dan cahaya putih di kaki pada hari kiamat karena penyempurnaan wudhu. Maka barang siapa di antara kalian yang mampu, hendaklah ia memanjangkan cahaya putih tersebut” (HR Bukhari Muslim)

13. Membaca do’a setelah selesai wudhu.
Do’anya:

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اَللَّهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ التَّوَّابِيْنَ وَاجْعَلْنِيْ مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ  أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ

Artinya: ”Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagiNya. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya.Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertobat dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bersuci. Maha Suci Engkau ya Allah, aku memuji kepadaMu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Engkau, aku minta ampun dan bertobat kepadaMu”

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ تَوَضَّأ فَقَالَ : أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ (رواه مسلم)

Dari Anas bin Malik ra, Rasulallah saw bersabda “barang siapa berwudhu lalu berkata:

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

”Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagiNya. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya”, dibukakan baginya delapan pintu-pintu surga dan masuk ke dalam pintu yang ia sukai (HR Muslim).

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ : مَنْ دَعَا بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَسَاعَةَ فَرَغَ مِنْ وُضُوئِهِ يَقُولُ : أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اَللَّهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ التَّوَّابِيْنَ وَاجْعَلْنِيْ مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ (رواه الترمذي و البزار و الطبراني)

Begitu pula dalam hadits yang lain “Barang siapa bewudhu’ dan setelah selesai dari wudhunya ia berkata:

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اَللَّهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ التَّوَّابِيْنَ وَاجْعَلْنِيْ مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ

”saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagiNya. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya.Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertobat dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bersuci”, dibukakan baginya pintu pintu surga dan masuk ke dalam pintu yang ia sukai (HR at-Tirmidzi, al-Bazzar dan at-Thabrani)

عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الخُدْرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ،  قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ : مَنْ تَوَضَّأ فَقَالَ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ  أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ كُتِبَ فِي رَقٍّ ثُمَّ طُبِعَ بِطَابَعٍ فَلَمْ يُكْسَرْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ (رواه النسائي و الحاكم في المستدرك) أبي سعيد الخدري

Dalam hadits lainnya dari Abu Said Al-Khudri ra, Rasulallah saw bersabda: “Barangsiapa berwudu lalu berdo’a:

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ  أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ

“Maha suci Engkau Ya Allah, segala pujian untuk-Mu, tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Engkau, aku senantiasa memohon ampun dan bertaubat pada-Mu”, maka akan dicatat baginya di kertas dan dicetak sehingga tidak akan rusak hingga hari kiamat.” (HR an-Nasai’, al-Hakim dalam al-Mustadrak)

C- Yang Membatalkan Wudhu


1. Keluarnya sesuatu dari aurat depan dan belakang

Firman Allah:

وَإِن كُنتُم مَّرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَآءَ أَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَائِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُواْ مَآءً فَتَيَمَّمُواْ صَعِيداً طَيِّباً فَامْسَحُواْ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِّنْهُ – المائدة ﴿٦﴾

Artinya: “dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu” (Qs Al-Maidah ayat: 6)

عَنْ أَبِي هرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ : لاَ وُضُوْءَ إِلاَّ مِنْ صَوْتٍ أَوْ رِيْحٍ (رواه الترمذي)

Dari Abu Hurairah ra. Rasulallah saw bersabda “Tidaklah batal wudhu seseorang kecuali keluar suara atau bau (dari aurat belakan) (HR at-Tirmidzi).

عَنْ المِقْدَاد بن الأَسْوَد أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ : فيِ المَذِى يُنْضَحُ فَرْجُهُ بالماءِ وَيَتَوَضَّأُ وُضُوْءَهُ للصلاه (رواه البخاري و مسلم)

Dari Al-Miqdad bin Al-Aswad ra, Rasulallah saw bersabda: “tentang mazi, hendaknya ia membasuh kemaluannya lalu berwudhu” (HR Bukhari Muslim).

Sedang keluar mani hukumnya tidak membatalkan wudhu karena mempunyai kewajiban yang lebih besar yaitu mandi junub.

2. Hilangnya akal karena mabuk, gila, pingsan dan tidur.


عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُا أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ أُغْمِيَ عليه ثُمَّ فَاقَ فَاغْتَسَلَ (رواه الشيخان)

Dari Aisyah ra ia berkata: ”sesungguhnya Nabi saw pernah pingsan lalu sadar, maka beliau mandi (HR Bukhari Muslim).

Tidur berat jika dilakukan dengan berbaring membatalkan wudhu.

عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِنَّمَا الْعَيْنُ وِكَاءُ السَّهِ ، فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ (رواه أبو داود و ابن ماجه)

Dari Ali Bin Abi Thalib ra, Rasulullah saw. bersabda, “Mata adalah tali dubur, maka barang siapa yang tidur hendaknya berwudu.” (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Sedangkan tidur sambil duduk (dengan mantap) kemudian bangun, boleh mengerjakan shalat tanpa berwudhu lagi.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ ينْتَظِرُونَ الْعِشَاءَ الآخِرَةَ حَتَّى تَخْفِقَ رُءُوسُهُمْ ، ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلا يَتَوَضَّئُونَ (الشافعي ومسلم وأبو داود والترمذي)

Menurut Anas bin Malik, sahabat-sahabat Nabi pun terkadang tidur sambil duduk sampai kepala mereka tertunduk untuk menanti datangnya shalat Isya. Kemudian mereka mengerjakan shalat tanpa berwudhu lagi. (Hadits ini diriwayatkan oleh Syafi’i, Imam Muslim, Abu Daud, dan at-Tirmidzi)

3. Bersentuhan kulit laki laki dan perempuan dewasa yang bukan mahram tanpa pembalut hukumnya batal wudhu penyetuh dan yang disentuh karena keduanya merasakan kelezatan sentuhan

Allah berfirman:

أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَآءَ – المائدة ﴿٦﴾

Artinya: ”atau menyentuh perempuan” , (Qs Al-Maidah ayat: 6)

Bersentuhan dengan mahram atau anak kecil hukumnya tidak membatalkan wudhu, begitu pula menyentuh rambut, gigi dan kuku karena tidak merasakan kelezatan sentuhan

4. Menyentuh aurat (kemaluan) dan dubur belakang dengan telapak tangan.

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ : إِذَا مَسَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ أَوْ فِي رِوَايَة : مَنْ مَسَّ فَرْجَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ (مالك و الشافعي و أبو داود وغيرهم بالأسانيد الصحيحة)

Sesuai dengan sabda Rasulallah saw: “Jika seseorang menyentuh dzakarnya (dengan telapak tangan) maka hendaknya ia berwudhu, dalam riwayat lain: barang siapa menyentuh kemaluannya maka hendaknya ia berwudhu” (HR. Malik, Syafie, Abu Daud dll dengan sanad-sanad shahih).

عَنْ أَبِي هرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إذا أَفْضَى أحَدُكُم بِيَدِهِ إِلَى فَرْجِهِ وَلَيْسَ بَيْنَهُمَا سِتْرٌ وَلاَ حِجَاب ، فَليَتَوَضَّأ (ابن حبان ، الحاكم ، البيهقي ، الطبراني)

Hadits lainya, dari Abu Hurairah, Rasulallah saw bersabda: “Jika seseorang menyentuh kemaluanya (dengan telapak tangan) tanpa hijab dan pembalut maka wajib baginya wudhu” (HR Ibnu Hibban, al-Hakim, al-Baihaqi dan at-Thabrani)

Larangan Bagi Yang Tidak Berwudhu

Dilarang bagi yang tidak ada wudhu melakukan tiga perkara:

1. Shalat

Semua yang dinamakan shalat tidak boleh dilakukan tanpa wudhu walaupun sujud tilawah atau shalat janazah,

لِمَا صَحَّ أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةً بِغَيْرِ طُهُوْرٍ (رواه مسلم)
Sabda Rasulallah saw “Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci” (HR Muslim)

2. Thawaf

Sesuai dengan sabda Rasulallah saw

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ : الطَوَافُ بِالبَيْتِ صَلاَةٌ إِلاَّ أَنَّ اللهَ أَبَاحَ فِيْهِ الكَلاَمُ (رواه الترمذي و الحاكم الدارقطني)

Dari Ibnu Abbas ra, Rasulallah saw bersabda: “Thawaf di Baitullah itu sama dengan shalat hanya saja Allah membolehkan dalam thawaf berbicara” (HR at-Tirmidzi, al-Hakim, ad-Darquthni)

3. Menyentuh Al-Qur’an atau membawanya, karena ia adalah kitab suci, maka tidak boleh disentuh atau dibawa kecuali dalam keadaan suci
Allah berfirman: 
لاَّ يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ – الواقعة ﴿٧٩﴾

Artinya “tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan” (Qs alWaqi’ah ayat:79)

Dibolehkan membawa atau menyentuh al-Qur’an tanpa wudhu berupa barang atau tafsir/terjemahan yang kalimatnya lebih banyak dari isi al-Qur’an.

Barang siapa yang ragu apakah ia masih menyimpan wudhu atau tidak maka hendaknya ia bepegang kepada keyakinnya,

عَنْ أَبِي هرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنْ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا (رواه مسلم)


Dari Abu Hurairah ra, Rasulallah saw bersabda, “Apabila seseorang dari kalian merasa sesuatu di dalam perutnya, yaitu ragu-ragu apakah keluar darinya sesuatu atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid (untuk berwudhu) hingga ia dengar suara atau ia merasakan angin (bau).” (HR Muslim)

Sunday, February 9, 2014

Alat dan Tujuan Thaharah

Alat Thaharah

Alat Thaharah
Alat thaharah ada 4 macam :
  1. Air
  2. Tanah
  3. Batu
  4. Penyamak

Tujuan Thaharah

Tujuan thaharah (kesucian) ada 4
  1. Wudhu
  2. Mandi
  3. Tayammum
  4. Menghilangkan najis

Pembagian Air

Air terbagi atas 5 bagian:

1. Air Bebas:

Air bebas ialah air yang bebas dari segala macam ikatan dan campuran. Hukumnya suci dan mensucikan, contohnya air hujan, air laut, air sungai, air sumur, air mata air, air salju, air embun dll.

Allah berfirman:


وَأَنزَلْنَا مِنَ السَّمَآءِ مَآءً طَهُوراً - الفرقان﴿٤٨﴾

Artinya: “dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih” (Qs al-Furqan ayat: 48)


عَنْ أَبِي هرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ سُئِلَ النَبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ عَنْ مَاءِ البَحْرِ فَقَالَ: هُوَ اَلطُّهُورُ مَاؤُهُ، اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ (حسن صحيح ، الترمذي وغيره)

Dari Abu Hurairah ra, ketika Rasulallah saw ditanya tentang air laut beliau bersabda “Ia suci dan bangkainya halal” (HR at-Tirmidzi dll- hadits hasan shahih)

2. Air Terjemur

Air terjemur ialah air yang disimpan di dalam bejana atau wadah terbuat dari logam (bukan emas dan perak), terjemur di terik matahari di negeri yang panas. Hukumnya suci dan mensucikan tapi makruh untuk dipakai berwudu’ dan mandi semasih air itu panas, dan tidak makruh jika dipakai untuk mencuci. Karena disangsikan bisa menimbulkan penyakit sopak atau belang.


عَنِ الحَسَن بْنِ عَلِيّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ : دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ (حسن صحيح الترمذي والنسائي)

Dari Hasan Bin Ali ra, Rasulallah saw bersabda:”Tinggalkan apa apa yang meragukan kepada yang tidak meragukan” (HR at-Tirmidzi – an-Nasai – hadits hasan shahih)

Memakai air yang terjemur panas untuk berwudhu’ dan mandi merupakan hal yang diragukan yaitu bisa menimbulkan penyakit sopak. Begitu pula menggunakan air yang terlalu panas dan terlalu dingin hukumnya makruh untuk berwudhu’ dan mandi karena tidak bisa diresapkan ke anggota tubuh dan tidak bisa sempurna wudhu’ dan mandi seseorang.

3. Air Bekas

Air bekas ialah air yang sedikit bekas dipakai untuk berwudhu’ dan mandi atau bekas menghilangkan kotoran. Air ini setelah digunakan tidak berobah bentuknya dan tidak bertambah banyaknya.  Hukumnya suci tapi tidak mensucikan. Hukum ini diterapkan karena belum pernah dilakukan oleh para shahabat Nabi saw mengumpulkan air bekas dipakai wudhu’ atau mandi dalam perjalanan mereka untuk digunakan kembali sedang mereka sangat membutuhkanya.

4. Air Berubah

Air berubah ialah air yang berubah karena bercampur dangan sesuatu benda yang suci sehingga berobah nama air itu, contohnya air teh, air kopi dsb. Hukumnya suci tapi tidak mensucikan. Adapun air yang berobah karena bercampur dengan sedikit dari benda suci dan tidak merobah nama air tersebut,  maka hukumnya suci dan menyucikan, boleh digunakan untuk berwudhu karena Nabi saw pernah berwudhu dengan air dari wadah yang masih terdapat bekas serbuk tepung. Begitu pula air yang berubah warnanya karena bercampur lumut, tanah merah, dan daun2an hukumnya suci dan mensucikan karena kesulitan terhidarnya dari semua itu.

5. Air Najis

Air najis ialah air yang kena najis. Jika air itu sedikit jumlahnya yaitu kurang dari qullatain (dua Qullah) maka hukumnya menjadi najis tanpa syarat, tapi jika air itu banyak yaitu lebih dari dua qullah maka hukumnya tidak najis kecuali jika berubah warna, rasa dan baunya.


عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ ، عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ خَبَثًا (حديث حسن الشافعي و الترمذي وغيرهما)

Dari Ubaidillah bin Abdullah bin Umar ra, Rasulallah saw bersabda; “Jika air telah mencapai dua qullah, tidak membawa najis (HR Syafi’i, at-Tirmidhi dll – hadits hasan).

Ada beberapa najis yang dimaafkan yaitu najis yang tidak bisa dilihat oleh mata, seperti asap dan uap yang keluar dari benda yang najis atau menajiskan, sedikit dari bulu binatang yang najis dan debu dari pupuk kotoran binatang. Semua najis ini dimaafkan karena kesulitan untuk menghidarinya. Begitu pula dimaafkan bangkai binatang yang tidak mengalir darahnya seperti lalat, nyamuk dsb.


عَنْ أَبِي هرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ،  قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ : إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ كُلَّهُ ثُمَّ لِيَطْرَحْهُ فَإِنَّ فِي أَحَدِ جَنَاحَيْهِ شِفَاءً وَفِي الْآخَرِ دَاءً (رواه البخاري)

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulallah saw bersabda: “Jika jatuh seekor lalat pada minuman kalian maka celupkanlah seluruhnya lalu angkatlah, karena di salah satu sayapnya terdapat penyembuhan dan pada sayap yang satunya terdapat penyakit.” (HR Bukhari)

Keterangan (Ta’liq):
  • Air yang banyak (lebih dari dua Qullah) ialah air yang jumlahnya lebih dari 216 liter. Air yang sedikit (kurang dari dua Qullah) ialah aIr yang jumlahnya kurang dari 216 liter.
  • Niat: ialah bermaksud melakukan sesuatu sambil dilaksanakanya.
  • Hukum: ialah kewajiban yang berada di dalam pekerjaan seperti ruku’, sujud didalam shalat dll
  • Syarat: ialah kewajiban yang berada diluar pekerjaan seperti wudhu, tayammum untuk shalat dll.
Perubahan Air Yang Diperkirakan 

Yaitu air yang berobah karena kejatuhan sesuatu  yang tidak bisa dilihat oleh mata, maka hukumnya sensitif bisa diperkirakan dengan sifat air yang bercampur dengan benda trb. Jika air itu kejatuhan sesuatu benda yang sifat-sifatnya sesuai dengan air, maka diperkirakan dengan seringan ringannya sifat, seperti rasa delima atau bau kuping atau warna jus. Maka air ini dikatagorikan suci dan mensucikan, boleh digunakan untuk berwudhu. Tapi jika air kejatuhan sesuatu benda yang diperkirakan najis maka diperkirakan dengan seberat-beratnya sifat, seperti warna tinta, bau minyak misik, atau rasa cuka (rasanya asam). Maka air tsb dikatagorikan najis dan tidak boleh digunakan untuk berwudhu.

Hukum Bejana Emas dan Perak

Telah diketahui bahwa seluruh bejana boleh kita gunakan baik itu untuk makan, minum ataupun untuk selainnya, kecuali bejana yang terbuat dari emas dan perak.


عَنْ حُذَيْفَة بِنْ اليَمَان رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لا تَشْرَبُوا فِي آنِيَةِ اَلذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ , وَلا تَأْكُلُوا فِي صِحَافِهَا ، فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي اَلدُّنْيَا , وَلَكُمْ فِي اَلآخِرَةِ (رواه الشيخان)

Dari Hudzaifah bin Yaman ra, telah ditetapkan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Janganlah kalian minum dari bejana emas dan perak dan jangan pula kalian makan dari piring-piring emas dan perak. Sesungguhnya keduanya bagi mereka (orang kafir) di dunia, dan bagi kalian di akhirat.” (HR Bukhari Muslim)

Hadits ini secara jelas menegaskan larangan penggunaan bejana dari emas dan perak untuk makan dan minum, meskipun jenis makanan dan minumannya adalah halal, namun jika ditempatkan di wadah yang terbuat dari emas dan perak, maka makanan dan minuman tersebut haram untuk dimakan dan diminum. Apabila makanan dan minuman tersebut dipindah ke wadah lain yang tidak terbuat dari emas ataupun perak, maka hukumnya berubah kembali menjadi halal untuk dimakan dan diminum.

Berlainan dengan pemasangan gigi palsu dengan mengunakan emas dan perak atau operasi anggota tubuh dengan menggunakan logam mulia, ini dibolehkan dalam agama. Hal ini karena kebutuhan manusia terhadap kesehatan.

Operasi semacam ini dengan menggunakan bahan atau logam sudah dikenal di masa Nabi saw, sebagaimana diriwayatkan Imam Abu Daud, At-tirmidzi dan An-nasai dengan sanad jayyid (baik) yang mengisahkan:


لِمَا رُوِىَ أَنَّ عَرْفَجَة ابْنِ سَعْدٍ أُصِيْبَ أَنْفُهُ يَومَ الكُلَابِ فِي الجَاهِلِيَّةِ فَاتَّخَذَ أَنْفـًا مِن وَرِقٍ ، فَأَنتَنَ عَلَيْهِ فَأَمَرَهُ النبيُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ أََنْْ يَتَّخِذَ أَنفًا مِن ذَهَبٍ (حديث حسن أبو داود والترمذي والنسائي باسناد جيد)

Diriwayatkan bahwa ‘Arfajah bin As’ad pernah terpotong hidungnya pada perang Kulab zaman Jahiliyyah, lalu ia memasang hidung (palsu) dari perak, namun hidung tersebut justru mulai membusuk, maka Nabi saw menyuruhnya untuk memasang hidung palsu dari bahan emas. (HR. Abu Daud, At-tirmidzi, An-nasai, hadits hasan dengan sanad baik)

Hukum Emas dan sutera

Emas dalam bentuk apapun, dalam berbagai warna hukumnya adalah haram bagi laki-laki. Meskipun seandainya emas itu dijadikan sepuhan untuk bahan lain, maka hukumnya tetap haram. Sebab nama emas tetap saja terdapat meski kadarnya berkurang.

Diriwayatkan Rasulallah saw pernah mengambil sutera, lalu beliau letakkan di tangan kanannya dan mengambil emas lalu beliau letakkan pada tangan kirinya, kemudian beliau bersabda:


عَنْ أَبِي مُوْسَى الأَشْعَرِي رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ : حُرِّمَ لِبَاسُ الحَرِيْرِ وَالذَهَبِ عَلَى ذُكُوْرِ أُمّتِي و أُحِلَّ لإِنَاثِهِمْ  (حسن صحيح الترمذي وغيره)

Dari Abu Musa Al-Asy’ari ra, Rasulallah saw bersabda: “Diharamkan sutera dan emas untuk dikenakan oleh kaum laki-laki dari kalangan umatku dan halal bagi perempuannya.” (HR Tirmidzi dll, hadits hasan)

Jika penggunaanya sedikit untuk keperluan hukumya tidak haram (dibolehkan). Hal ini sesuai dengan hadits,


عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ قَدَحَ النَبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ اِنْكَسَرَ فَاتَّخَذَ مَكَانَ الشِّعْبِ سِلْسِلَةً مِنْ فِضَّةٍ (حديث حسن أبو داود و الترمذي)

Dari Anas ra, sesungguhnya periuk Nabi saw pecah, lalu beliau mengambil rantai perak (untuk menambal) tempat yang pecah itu. (HR Abu Daud dan Tirmidzi, hadits hasan)

Jika penggunaanya sedikit untuk perhiasan hukumnya makruh. Hal ini sesuai dengan hadits,


عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَتْ نَعْلُ سَيْفِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ مِنْ فِضَّةٍ وَقَبِيْعَةُ سَيْفِهِ فِضَّة وَمَا بَيْنَ ذَلِكَ حَلَقُ الفِضَّةِ (حديث حسن أبو داود و الترمذي)

Dari Anas ra, sesungguhnya sarung pedang Rasulullah saw adalah dari perak, pegangannya juga dari perak dan di antaranya itu lingkaran perak.” (HR Abu Daud dan Tirmidzi, hadits hasan)

Jika penggunaanya banyak untuk keperluan hukumnya makruh dan jika penggunaanya banyak untuk perhiasan hukumya haram. Hal ini sesuai dengan hadits,


لِمَا رُوِىَ كَانَ ابنُ عُمَر لاَ يَشْرَبُ فِي قَدَحٍ فِيْهِ حَلَقَةُ فِضَّةٍ وَ لاَ ضَبَّةُ فِضَّةٍ (رواه الشيخان)

Diriwayatkan: sesungguhnya Ibnu Umar ra tidak mau minum dari bejana yang lingkaran dan tambalannya dari perak (HR Bukhari Muslim)


Namun benda yang disepuh dengan warna emas, tidak bisa dikatakan sebagai emas. Sehingga tidak menjadi masalah bila seorang laki-laki menggunakan pakaian atau perlengkapan imitasi emas. Hukumnya tidak haram, sebab kenyataannya memang bukan emas, melainkan hanya rupa dan warnanya saja.  Yang haram adalah emas, bukan yang mirip emas.

Sunday, January 19, 2014

Pengertian, Adab dan Cara-cara Istinja'

Istinja menurut bahasa artinya terlepas atau selamat, dari bahasa Arab الْاِسْتِنْجَاء . Sedangkan istinja menurut istilah syariat Islam ialah bersuci sesudah buang air besar atau buang air kecil.

Istinja’ hukumnya wajib, hal mana ditunjukkan oleh sabda Rasulullah SAW, sebagaimana yang akan kita bahas nanti.

ALAT ISTINJA’

Istinja; boleh dilakukan dengan air mutlak. Cara inilah yang pokok dalam bersuci dari najis, di samping boleh juga dengan menggunakan benda padat apa saja, asal kasat hingga dapat menghilangkan najis, seperti batu, daun dsb.

Tapi yang lebih utama, hendaklah pertama-tama berisitinja; dengan batu dan semisalnya, kemudian barulah menggunakan air. Karena, batu itu dapat menghilangkan ujud najis, sedang air yang digunakan sesudah itu dapat menghilangkan bekasnya tanpa kecampuran najis. Namun demikian, kalau hendak menggunakan salah satu di antara keduanya, tentu airlah yang lebih afdhal, karena ia menghilangkan ujud najis dan bekasnya sekaligus, lain halnya selain air. Adapun kalau hanya menggunakan batu dan semisalnya, maka dipersyaratkan benda yang digunakan itu cukup kering; hendaklah digunakan selagi yang keluar dari qubul atau dubur itu belum kering; kotoran yang keluar itu jangan sampai melampaui sampai kepada permukaan pantat, atau permukaan kepada zakar, atau daerah sekitar liang kencing pada wanita; kotoran itu jangan sampai berpindah dari tempat yang dikenainya sewaktu keluar. Demikian pula dipersyaratkan, benda yang dijadikan alat pengusap itu tidak kurang dari tiga batu, atau tiga benda lain penggantinya. Kalau dengan tiga benda itu belum juga bersih tempat keluarnya kotoran tersebut, maka boileh ditambah, dan disunatkan jumlahnya ganjil: lima, tujuh dan seterusnya, umpamanya.

Al-Bukhari (149) dan Muslim (271) telah meriwatkan dari Anas bin Malik RA, dia bersabda:

 كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يَدْخُلُ الْخَلاَءَ، فَاَحْمِلُ اَناَ وَغُلاَمٌ

Pernah Rasulullah SAW masuk kakus. Maka, saya bersama seorang anak sebaya saya membawakan sebuah bejana berisi air dan sebatang tombak pendek. Lalu beliau beristinja’ dengan air itu.

Al-khala’: tempat kosong, maksudnya kakus.

Idawah: bejana kecil dari kulit.

‘Anzah: tombak pendek yang ditancapkan di depan tempat sujud, sebagai pembatas.

Yastanji: membersihkan diri dari bekas najis.

Al-Bukhari (155) dan lainnya, juga meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud RA, dia berkata:

 اَتىَ النَّبِيُّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْغَائِطَ، فَاَمَرَنِى اَنْ اَتِيَهُ بِثَلَثَةِ اَحْجَارٍ

Nabi SAW mendatangi tempat membuang hajat, lalu beliau menyuruh saya membawakan untuk beliau tiga butir batu. Al-Gha’ith: tanah cekung tempat membuang hajat; dan digunakan pula untuk menyebut sesuatu yang keluar dari dubur.

Abu Daud (40) dan lainnya meriwayatkan dari ‘Aisyah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

 اِذَا ذَهَبَ اَحَدُكُمْ اِلَى الْغاَئِطِ فَلْيَذْهَبْ مَعَهُ بِثَلَثَةِ اَجْحَارٍ يَسْتَطِيْبُ بِهِنَّ، فَاِنَّهَا تُجْزِئُ عَنْهُ.

Apabila seorang dari kamu sekalian pergi membuang hajat, maka hendaklah membawa serta tiga butir batu untuk beristinja’. Sesungguhnya tiga batu itu akan mencukupinya.

Yastathibu: menyehatkan diri, maksudnya: beristinja’. Disebut demikian, karena orang yang beristinja’ itu menyehatkan dirinya dengan menghilankan kotoran dari temapt keluarnya.

Sedang Abu Daud (44), at-Tirmidzi (3099) dan Ibnu majah (357) meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW, beliau bersabda:

 نَزَلَتْ هَذِهِ اْلاَيَةُ فِى اَهْلِ قُبَاءَ

Ayat beikut ini turun mengenai orang-orang Quba’: “Di dalamnya (masjid Quba’) ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih (Q.S. at-taubah 108).

Sabda Nabi: “Mereka beristinja’ dengan air, oleh karenanya maka turunlah ayat ini.” Muslim (2622) meriwayatkan pula dari Salman RA, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda:

 لاَ يَسْتَنْجِى اَحَدُكُمْ بِدُوْنِ ثَلاَثَةِ اَجْحَارٍ

Janganlah seorang dari kamu sekalian beristinja’ dengan kurang dari tiga butir batu. Sedang al-Nukhari (160) dan Muslim (237) meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

 وَمَنِ اسْتَجْمَرَ فَلْيُوْتِرْ

Dan barangsiapa beristijmar, maka ganjilkanlah. Istijmara: beristijmar, yakni mengusapkan al-jimar (batu bata kecil).

Friday, January 10, 2014

Syarat sah beristinja’ dengan batu

istinja'
Artikel Fiqih kali ini kan membahas tentang tatacara Beristinja'. Istinja’ artinya menghilangkan najis atau menipiskannya dari lubang kencing atau tahu. Berasal dari kata an-Naja’, artinya terlepas dari penyakit; arti dari an-Najwah yang artinya: tanah tinggi; atau dari an-Najwu, artinya: suatu yang keluar dari dubur. Bersuci semacam ini dalam syara’ disebut istinja’, karena orang yang beristinja’ berusaha melepaskan diri dari penyakit dan berupaya menghilangkannya dari dirinya, dan pada umumnya berlindung di balik gundukan tanah yang cukup tinggi dan semisalnya, supaya dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan tenang. 

Istinja’ hukumnya wajib, hal mana ditunjukkan oleh sabda Rasulullah SAW. 

ALAT ISTINJA’

Istinja; boleh dilakukan dengan air mutlak. Cara inilah yang pokok dalam bersuci dari najis, di samping boleh juga dengan menggunakan benda padat apa saja, asal kasat hingga dapat menghilangkan najis, seperti batu, daun dsb. Kalo dizaman sekarang dengan menggunakan tisue.

Syarat sah beristinja’ dengan batu ada 8


1. Hendaknya dengan 3 batu
2. (Ketiga batu) bisa membersihkan tempat (najis) 
3. Najis belum kering
4. Najis belum berpindah ke tempat lain
5. Tidak bercampur dengan najis lain
6. Tidak melampaui Hasyafah (bila kencing)
7. Tidak terkena air
8. Harus dengan batu yang suci.

Thursday, January 2, 2014

Ciri atau Tanda Baligh menurut Islam

Ciri atau Tanda Baligh menurut Islam

ciri baligh

Baligh merupakan istilah dalam hukum Islam yang menunjukkan seseorang telah mencapai kedewasaan. "Baligh" diambil dari kata bahasa Arab yang secara bahasa memiliki arti "sampai", maksudnya "telah sampainya usia seseorang pada tahap kedewasaan". Secara hukum Islam, seseorang dapat dikatakan baligh apabila :

1 . Sempurnanya umur atau telah mencapai batasan usia yang telah di tentukan.

Maksudnya adalah seorang wanita yang sudah mencapai minimal umur 9 tahun, dan laki laki sudah mencapai umur 15 tahun menjadi Ciri - ciri Baligh. Ini sudah mupakat para ulama ahli Fiqih.

2. Mimpi Ihtilam / Jima' (berhubungan suami istri).

maksudnya adalah bermimpi melakukan hubungan layaknya suami istri, walaupun tidak keluar air mani ( sperma ) baik itu di sengaja ataupun tidak di sengaja keluarnya air mani (sperma) tersebut. Ataupun tidak mimpi jima, tapi keluar dengan perbuatan sendiri. contohnya seperti onani, dan lain - lain.

3. Haid. 

Yang Ciri Baligh yang terakhir di khususkan hanya untuk wanita, dan biasanya keluar haid itu pada usia 9 tahun. walaupun keluar haidnya sedikit, maka orang tersebut sudah Baligh hukumnya.

Catatan :
Jika seseorang mempunyai dua alat vital, maka dalam islam memberikan dua cara untuk mengetahui ciri baligh orang tersebut, di antaranya sebagai berikut :

  • Jika keluar air maninya (sperma) dari dzakarnya dan keluar haid dari Farjinya (vagina) maka orang tersebut sudah termasuk baligh. 
  • Dan jika keluar air mani (sperma) atau haidnya, dari salah satu alat vital tersebut maka orang tersebut belum bisa di katakan baligh.


( Rujukan : SAFINATUNNAJA )

Demikian Artikel Fiqih Tentang Ciri atau Tanda Baligh menurut Islam semoga bermanfa'at khususnya bagi saya sendiri dan umumnya bagi kita semua pembaca blognya Senyumku Dakwahku

Saturday, December 28, 2013

Makalah tentang Fiqih Islam

fikih islam
Makalah tentang Fiqih Islam - Pada kesempatan ini saya akan mengemukakan tentang Ilmu fiqih, mungkin pada posting sebelumnya sudah di ulas sedikit tentang Pengertian apa Fiqih itu.

fikih islam, fiqih, ilmu fikih, hukum fikih, fikih wanita, pengertian fikih, buku fikih, kitab fikih, rpp fikih, makalah fikih.

Untuk Mengetahui dan Memperdalam Ilmu Fiqih Coba Baca Artikel Saya Tentang Kumpulan Artikel Fiqih Disini...!!!


Pentingnya belajar ilmu fiqih itu karna sebagai dasar landasan untuk beribadah kepada allah 'azza wajalla, jika tidak memahami ilmu fiqih maka sia-sia ibadahnya. 

Makalah ini berisikan tentang informasi Pengertian Fiqih, sejarah fiqih atau yang lebih khususnya membahas penerapan fiqih dalam kehidupan sehari-hari. Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang Fiqih Islam.

Makalah Fiqih


BAB I
PENDAHULUAN



     Menurut Bahasa Fiqih Berarti faham atau tahu. Menurut istilah, fiqih berarti ilmu yang menerangkan tentang hukum-hukum syara’ yang berkenaan dengan amal perbuatan manusia yang diperoleh dari dalil-dali tafsil (jelas).Orang yang mendalami fiqih disebut dengan faqih. Jama’nya adalah fuqaha, yakni orang-orang yang mendalami fiqih.

Fiqih menurut bahasa berarti ‘paham’, seperti dalam firman Allah: 

“Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (QS.An Nisa:78) 

Dan Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: 
“Sesungguhnya panjangnya shalat dan pendeknya khutbah seseorang, merupakan tanda akan kepahamannya.” 
(Muslim no. 1437, Ahmad no. 17598, Daarimi no. 1511) 

Dalam kitab Durr al-Mukhtar disebutkan bahwa fiqih mempunyai dua makna, yakni menurut ahli usul dan ahli fiqih. Masing-masing memiliki pengertian dan dasar sendiri-sendiri dalam memaknai fiqih.

    Menurut ahli usul, Fiqih adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum shara’ yang bersifat far’iyah (cabang), yang dihasilkan dari dalil-dalil yang tafsil (khusus, terinci dan jelas). Tegasnya, para ahli usul mengartikan fiqih adalah mengetahui hukum dan dalilnya.

     Menurut para ahli fiqih (fuqaha), fiqih adalah mengetahui hukum-hukum shara’ yang menjadi sifat bagi perbuatan para hamba (mukallaf), yaitu: wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.

    Lebih lanjut, Hasan Ahmad khatib mengatakan bahwa yang dimaksud dengan fiqih Islam ialah sekumpulan hukum shara’ yang sudah dibukukan dari berbagai madzhab yang empat atau madzhab lainnya dan dinukilkan dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, baik dari fuqaha yang tujuh di madinah maupun fuqaha makkah, fuqaha sham, fuqaha mesir, fuqaha Iraq, fuqaha basrah dan lain-lain



BAB II
PEMBAHASAN 



  • 1. Ketentuan - Ketentuan dalam Fiqih 


Dalam mempelajari fiqih, Islam telah meletakkan patokan-patokan umum guna menjadi pedoman bagi kaum muslimin, yaitu :

Melarang membahas peristiwa yang belum terjadi sampai ia terjadi.
Sebagaimana Firman Allah Ta'ala :

"Hai orang-orang yang beriman ! janganlah kamu menanyakan semua perkara, karena bila diterangkan padamu, nanti kamu akan jadi kecewa ! tapi jika kamu menayakan itu ketika turunnya al-qur'an tentulah kamu akan diberi penjelasan. Kesalahanmu itu telah diampuni oleh Allah dan Allah maha pengampunlagi penyayang." (Q. S. Al-Maidah: 101) 

Dan dalam sebuah hadits ada tersebut bahwa Nabi Saw. telah melarang mempertanyakan "Aqhluthath" yakni masalah-masalah yang belum lagi terjadi.  

a. Menjauhi banyak tanya dan masalah-masalah pelik. 

Dalam sebuah hadits di katakan:

"Sesungguhnya Allah membenci banyak debat, banyak tanya, dan menyia-nyiakan harta."
"Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban maka janganlah disia-siakan, dan telah menggariskan undang-undang, maka jangan dilampui, mengaharamkan beberapa larangan maka jangan dlannggar, serta mendiamkan beberapa perkara bukan karena lupa untuk menjadi rahmat bagimu, maka janganlah dibangkit-bangkit!"

"Orang yang paling besar dosanya ialah orang yang menanyakan suatu hal yang mulanya tidak haram, kemudian diharamkan dengan sebab pertanyaan itu."

b. Menghindarkan pertikaian dan perpecahan didalam agama. 

Sebagaimana firman-firman Allah Ta'ala sebagai berikut: 

"Hendaklah kamu sekalian berpegang teguh pada tali Allah dan jangan berpecah belah !" (Q. S. Ali Imran: 103). 

"Janganlah kamu berbantah-bantahan dan jangan saling rebutan, nanti kamu gagal dan hilang pengaruh!" (Q. S. Al-Anfal 46).
                                                                   2
"Dan janganlah kamu seperti halnya orang-orang yang berpecah-belah dan bersilang sengketa demi setelah mereka menerima keterangan-keterangan! dan bagi mereka itu disediakan siksa yang dahsyat." (Q. S. Ali Imran 105)

c. Mengembalikan masalah-masalah yang dipertikaikan kepada Kitab dan sunah.

    Berdasarkan firman Allah SWT :  
"Maka jika kamu berselisih tentang sesuatu perkara, kembalilah kepada Allah dan Rasul." (Q. S. An-Nisa 9). "Dan apa-apa yang kamu perselisihkan tentang sesuatu maka hukumnya kepada Allah." (Q. S. Asy- Syuro: 10). 
Hal demikian itu, karena soal-soal keagamaan telah diterangkan oleh Al-qur'an, sebagaimana firman Allah SWT :
"Dan kami turunkan Kitab Suci Al-qur'an untuk menerangkan segala sesuatu." (QS. An-Nahl 89). 
Begitu juga dalam surah: Al-An'am 38, An-Nahl 44 dan An-Nisa 105Allah telah menjelaskan keuniversalan al Qur'an terhadap berbagai masalah kehidupan.

Sehingga dengan demikian sempurnalah ajaran Islam dan tidak ada lagi alasan untuk berpaling kepada selainnya. Allah SWT berfirman: 

"Pada hari ini telah Ku sempurnakan bagimu agamamu, telah Ku cukupkan nikmat karunia-Ku dan telah Ku Ridhoi Islam sebagai agamamu." (Q. S. Al Maidah: 5). 


  • 2. Hubungan Fiqih dan Syari'ah


Setelah dijelaskan pengertian fiqih dalam terminologi mutakhirin yang kemudian populer sekarang, dapat diambil kesimpulan bahwa hubungan antar Fiqih dan Syari'ah adalah:

Bahwa ada kecocokan antara Fiqih dan Syari'ah dalam satu sisi, namun masing-masing memiliki cakupan yang lebih luas dari yang lainnya dalam sisi yang lain, hubungan seperti ini dalam ilmu mantiq disebut 'umumun khususun min wajhin" yakni Fiqih identik dengan Syari'ah dalam hasil-hasil ijtihad mujtahid yang benar.

Sementara pada sisi yang lain Fiqih lebih luas, karena pembahasannya mencakup hasil-hasil ijtihad mujtahid yang salah, sementara Syari'ah lebih luas dari Fiqih karena bukan hanya mencakup hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah amaliah saja, tetapi juga aqidah, akhlak dan kisah-kisah umat terdahulu.


1. Hubungan Antara Fiqih dan Aqidah Islam 

        Diantara keistimewaan fiqih Islam -yang kita katakan sebagai hukum-hukum syari’at yang mengatur perbuatan dan perkataan mukallaf- memiliki keterikatan yang kuat dengan keimanan terhadap Allah dan rukun-rukun aqidah Islam yang lain.Terutama Aqidah yang berkaitan dengan iman dengan hari akhir. Yang demikian Itu dikarenakan keimanan kepada Allah-lah yang dapat menjadikan seorang muslim berpegang teguh dengan hukum-hukum agama, dan terkendali untuk menerapkannya sebagai bentuk ketaatan dan kerelaan.

 Sedangkan orang yang tidak beriman kepada Allah tidak merasa terikat dengan shalat maupun puasa dan tidak memperhatikan apakah perbuatannya termasuk yang halal atau haram. Maka berpegang teguh dengan hukum-hukum syari’at tidak lain merupakan bagian dari keimanan terhadap Dzat yang menurunkan dan mensyari’atkannya terhadap para hambaNya.
Contohnya : Allah memerintahkan bersuci dan menjadikannya sebagai salah satu keharusan dalam keiman kepada Allah sebagaimana firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al Maidah: 6) 
  
2. Fiqih Islam Mencakup Seluruh Perbuatan Manusia
Tidak ragu lagi bahwa kehidupan manusia meliputi segala aspek. Dan kebahagiaan yang ingin dicapai oleh manusia mengharuskannya untuk memperhatikan semua aspek tersebut dengan cara yang terprogram dan teratur.

Manakala fiqih Islam adalah ungkapan tentang hukum-hukum yang Allah syari’atkan kepada para hamba-Nya, demi mengayomi seluruh kemaslahatan mereka dan mencegah timbulnya kerusakan ditengah-tengah mereka, maka fiqih Islam datang memperhatikan aspek tersebut dan mengatur seluruh kebutuhan manusia beserta hukum-hukumnya.

Macam – Macam Hukum Fiqih Dalam Kehidupan Sehari – Hari :

Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah. Seperti wudhu, shalat, puasa, haji dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Ibadah.

Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah kekeluargaan. Seperti pernikahan, talaq, nasab, persusuan, nafkah, warisan dan yang lainya. Dan ini disebut dengan Fikih Al Ahwal As sakhsiyah. 
Hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan hubungan diantara mereka, seperti jual beli, jaminan, sewa menyewa, pengadilan dan yang lainnya. Dan ini disebut Fiqih Mu’amalah.

Hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban pemimpin (kepala negara). Seperti menegakan keadilan, memberantas kedzaliman dan menerapkan hukum-hukum syari’at, serta yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban rakyat yang dipimpin. Seperti
kewajiban taat dalam hal yang bukan ma’siat, dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Siasah Syar’iah.

Hukum-hukum yang berkaitan dengan hukuman terhadap pelaku-pelaku kejahatan, serta penjagaan keamanan dan ketertiban. Seperti hukuman terhadap pembunuh, pencuri, pemabuk, dan yang lainnya. Dan ini disebut sebagai Fiqih Al ‘Ukubat.
Hukum-hukum yang mengatur hubungan negeri Islam dengan negeri lainnya. Yang berkaitan dengan pembahasan tentang perang atau damai dan yang lainnya. Dan ini dinamakan dengan Fiqih As Siyar.
Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dan prilaku, yang baik maupun yang buruk. Dan ini disebut dengan adab dan akhlak.
Demikianlah kita dapati bahwa fiqih Islam dengan hukum-hukumnya meliputi semua kebutuhan manusia dan memperhatikan seluruh aspek kehidupan pribadi dan masyarakat.


  • 3. Sumber-Sumber Fiqih Islam
             Semua hukum yang terdapat dalam fiqih Islam kembali kepada empat sumber yakni :
        
1. Al-Qur’an

                   Al Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad untuk 
        menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Ia adalah sumber  
        pertama bagi hukum-hukum fiqih Islam. Jika kita menjumpai suatu permasalahan, maka pertamakali 
        kita harus kembali kepada Kitab Allah guna mencari hukumnya.
             Contoh    :
·                Bila kita ditanya tentang hukum khamer (miras), judi, pengagungan terhadap bebatuan dan mengundi nasib, maka jika kita merujuk kepada Al Qur’an niscaya kita akan mendapatkannya dalam firman Allah subhanahu wa Ta’ala: (QS. Al maidah: 90)
·                    Bila kita ditanya tentang masalah jual beli dan riba, maka kita dapatkan hukum hal tersebut dalam Kitab Allah (QS. Al baqarah: 275). Dan masih banyak contoh-contoh yang lain yang tidak memungkinkan untuk di perinci satu persatu.

2. As-Sunnah

As-Sunnah yaitu semua yang bersumber dari Nabi berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan.

          Contoh perkataan/sabda Nabi:
“Mencela sesama muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran.” (Bukhari   
no. 46, 48, muslim no. 64, 97, Tirmidzi no. 1906,2558, Nasa’i no. 4036, 4037, Ibnu Majah no. 68, Ahmad no. 3465, 3708)
           Contoh perbuatan:
Apa yang diriwayatkan oleh Bukhari (Bukhari no. 635, juga diriwayatkan oleh Tirmidzi no. 
3413, dan Ahmad no. 23093, 23800, 34528) bahwa ‘Aisyah pernah ditanya: “Apa yang biasa 
dilakukan Rasulullah di rumahnya?” Aisyah menjawab: “Beliau membantu keluarganya; kemudian bila datang waktu shalat, beliau keluar untuk menunaikannya.”

         Contoh persetujuan:
Apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (Hadits no. 1267) bahwa Nabi pernah melihat seseorang 
shalat dua rakaat setelah sholat subuh, maka Nabi berkata kepadanya: “Shalat subuh itu dua 
rakaat”, orang tersebut menjawab, “sesungguhnya saya belum shalat sunat dua rakaat 
sebelum subuh, maka saya kerjakan sekarang.” Lalu Nabi shollallahu’alaihiwasallam terdiam. 

Maka diamnya beliau berarti menyetujui disyari’atkannya shalat Sunat Qabliah subuh tersebut  
setelah shalat subuh bagi yang belum menunaikannya.

·  As-Sunnah adalah sumber kedua setelah al Qur’an. Bila kita tidak mendapatkan hukum dari suatu permasalahn dalam Al Qur’an maka kita merujuk kepada as-Sunnah dan wajib mengamalkannya jika kita mendapatkan hukum tersebut. Dengan syarat, benar-benar bersumber dari Nabi shollallahu’alaihiwasallam dengan sanad yang sahih.
·      As Sunnah berfungsi sebagai penjelas al Qur’an dari apa yang bersifat global dan umum. Seperti perintah shalat; maka bagaimana tatacaranya didapati dalam as Sunnah. Oleh karena itu Nabi bersabda:
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (Bukhari no. 595)
Sebagaimana pula as-Sunnah menetapkan sebagian hukum-hukum yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an. Seperti pengharaman memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki

3. Ijma’

Ijma’ bermakna: Kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari umat Muhammad saw dari suatu generasi atas suatu hukum syar’i, dan jika sudah bersepakat ulama-ulama tersebut—baik pada generasi sahabat atau sesudahnya—akan suatu hukum syari’at maka kesepakatan mereka adalah ijma’, dan beramal dengan apa yang telah menjadi suatu ijma’ hukumnya wajib. Dan dalil akan hal tersebut sebagaimana yang dikabarkan Nabi saw, bahwa tidaklah umat ini akan berkumpul (bersepakat) dalam kesesatan, dan apa yang telah menjadi kesepakatan adalah hak (benar).
      Dari Abu Bashrah rodiallahu’anhu, bahwa Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan ummatku atau ummat Muhammad berkumpul (besepakat) di atas kesesatan.” (Tirmidzi no. 2093, Ahmad 6/396)
Contohnya:  Ijma para sahabat ra bahwa kakek mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan bersama anak laki-laki apabila tidak terdapat bapak.
Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al Qur’an dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan beramal dengannya. 

 4. Qiyas

Qiyas yaitu Mencocokan perkara yang tidak didapatkan di dalamnya hukum syar’i dengan perkara lain yang memiliki nash yang sehukum dengannya, dikarenakan persamaan sebab/alasan antara keduanya. Pada qiyas inilah kita meruju’ apabila kita tidak mendapatkan nash dalam suatu hukum dari suatu permasalahan, baik di dalam Al Qur’an, sunnah maupun ijma’. Qiyas merupakan sumber rujukan keempat setelah Al Qur’an, as Sunnah dan Ijma’. 

Contoh: Allah mengharamkan khamer dengan dalil Al Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamer, maka kita menghukuminya dengan haram, \ sebagai hasil Qiyas dari khamer. Karena sebab atau alasan pengharaman khamer yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula khamer.



BAB III
KESIMPULAN

Menurut Bahasa Fiqih Berarti faham atau tahu. Menurut istilah, fiqih berarti ilmu yang menerangkan tentang hukum-hukum syara’ yang berkenaan dengan amal perbuatan manusia yang diperoleh dari dalil-dali tafsil (jelas).Orang yang mendalami fiqih disebut dengan faqih. Jama’nya adalah fuqaha, yakni orang-orang yang mendalami fiqih.

Ketentuan - Ketentuan dalam Fiqih

a. Menjauhi banyak tanya dan masalah-masalah pelik.
b. Menghindarkan pertikaian dan perpecahan didalam agama.
c. Mengembalikan masalah-masalah yang dipertikaikan kepada Kitab dan sunah


Sumber-Sumber Fiqih Islam

  1. Al-Qur’an 
  2. As-Sunnah
  3. Ijma’
  4. Qiyas


DAFTAR PUSTAKA

Sumber: Majalah Fatawa. Dipublikasikan kembali oleh www.muslim.or.id
Rasjid.Sulaiman H, Fiqih Islam. 2002. Bandung : Sinar Baru Algensindo.

H.Daud.Moh.Ali SH. 2012.Pengatar Ilmu Hukum Islam dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta Rajawali pers

Terimakasih. semoga bermanfa'at.
http://makalahpembelajaran-matematika.blogspot.com/2013/06/makalah-fiqih-islam.html

Tuesday, November 12, 2013

MAKNA LAFAL “LAILAHA ILLALAH” | FIQIH safinatun naja

Kawan Senyum - Setelahnya saya memposting kajian Fiqih tentang ada berapakah Rukun Iman, Sekarang saya akan Membahas tentang makna "LailahaIllaiiah".
Dalam Ilmu FIQIH (safinatun naja :
kitab Fiqih yang di susun Syekh Nawawi Banten) bahwasanya Makna “ Laa Ilaaha Illallah” adalah bahwa tidak ada suatu apapun yang berhak disembah dengan hak (benar) kecuali hanya Allah S.W.T. semata.


Fiqih safinah

Kalimat Laa Ilaaha Illallah sebenarnya mengandung dua makna, yaitu makna penolakan segala bentuk sesembahan selain Allah, dan makna menetapkan bahwa satu-satunya sesembahan yang benar hanyalah Allah semata.

Berkaitan dengan mengilmui kalimat ini Allah ta'ala berfirman: "Maka ketahuilah(ilmuilah) bahwasannya tidak ada sesembahan yang benar selain Allah" (QS Muhammad : 19)

Berdasarkan ayat ini, maka mengilmui makna syahadat tauhid adalah wajib dan mesti didahulukan daripada rukun-rukun Islam yang lain. Di samping itu Rasulullah pun menyatakan: "Barang siapa yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dengan ikhlas maka akan masuk ke dalam surga."

Yang dimaksud dengan ikhlas di sini adalah mereka yang memahami, mengamalkan dan mendakwahkan kalimat tersebut sebelum yang lainnya, karena di dalamnya terkandung tauhid yang Allah menciptakan alam karenanya. Rasul mengajak paman beliau Abu Thalib, Ketika maut datang kepada Abu Thalib dengan ajakan "wahai pamanku ucapkanlah Laa Ilaaha Illallah sebuah kalimat yang aku akan jadikan ia sebagai hujjah di hadapan Allah" namun Abu Thalib enggan untuk mengucapkan dan meninggal dalam keadaan musyrik.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tinggal selama 13 tahun di makkah mengajak orang-orang dengan perkataan beliau "Katakan Laa Ilaaha Illallah" maka orang kafir pun menjawab "Beribadah kepada sesembahan yang satu, kami tidak pernah mendengar hal yang demikian dari orang tua kami". Orang qurays di zaman nabi sangat paham makna kalimat tersebut, dan barangsiapa yang mengucapkannya tidak akan menyeru/berdoa kepada selain Allah.

Friday, November 8, 2013

Kajian Fiqih tentang Rukun Iman

Kawan Senyum - Setelah kemarin saya membahas tentang Mengenal Makna Rukun Islam, Sekarang mari kita bahas kajian Fiqih tentang ada berapakah rukun iman itu?

rukun iman
    Iman kepada Allah

    Iman kepada Malaikat-malaikat Allah

    Iman kepada Kitab-kitab Allah

    Iman kepada Rasul-rasul Allah

    Iman kepada Hari Akhir

    Iman kepada Qada dan Qadar, yaitu takdir yang baik dan buruk.
Dalam ilmu Fiqih bahwa rukun iman itu ada 6 perkara, sebagaimana yang terkandung di dalam hadits Sayyidina Umar bin Al Khaththab radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah  صلى الله عليه وسلم  ketika ditanya oleh malaikat Jibril mengenai iman beliau menjawab:

أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وتؤمن بالقدر خيره وشره قال صدقت

“(Iman adalah) engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari kiamat, dan engkau beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk.” Lalu Jibril berkata: “Anda benar.” [HR Muslim ]

Barangsiapa yang meninggalkan salah satu perkara saja dari rukun-rukun di atas dengan penentangan dan pengingkaran yang jelas, maka dia telah keluar dari Islam dan menjadi kafir. Na’udzubillahi min dzalik.:

Readmore : makalah tentang fiqih islam

Tuesday, November 5, 2013

Mengenal Makna Rukun Islam

islam topic

Arti daripada Islam secara bahasa adalah Ta'at, dan secara hukum syar'a adalah Ta'at kepada hukum - hukum syar'a ( Hukum - hukum ALLAH. S.W.T ). Dan ada rukun - rukun yang wajib kita laksanakan di antaranya sebagai berikut :

1. Syahadat : Asyhadu anlaa ilaaha illallaah Wa Asyhadu anna muhammaddarrosulullaah
Artinya : Aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang aku sembah selain Allah SWT dan nabi muhammad SAW adalah utusan allah. Untuk menyebarkan agama islam.

Syahadat (persaksian) ini memiliki makna mengucapkan dengan lisan, membenarkan dengan hati lalu mengamalkannya melalui perbuatan. Adapun orang yang mengucapkannya secara lisan namun tidak mengetahui maknanya dan tidak mengamalkannya maka tidak ada manfaat sama sekali dengan syahadatnya.

2. Shalat
Shalat adalah suatu rukun islam yang kedua, yang maknanya untuk beribadah kepada Allah SWT. Karena Shalat itu sangat wajib, ‘ di kerjakan dapat pahala dan kalau tidak di kerjakan dapat dosa’. Maka dari itulah kita sebagai umat islam maupun yang baru memeluk dan yang sudah beragama islam dari lahirnya harus melaksanakan shalat, bagi anak-anak harus cepat perintahkan shalat dari sekarang, agar terbiasa. Nah kalau sudah terbiasa maka kita sebagai orang tua tidak perlu susah lagi untuk memerintah anak kita untuk shalat karena sudah terbiasa.

Shalat lima waktu sehari semalam yang Allah syariatkan untuk menjadi sarana interaksi antara Allah dengan seorang muslim dimana ia bermunajat dan berdoa kepada-Nya. Juga untuk menjadi sarana pencegah bagi seorang muslim dari perbuatan keji dan mungkar sehingga ia memperoleh kedamaian jiwa dan badan yang dapat membahagiakannya di dunia dan akhirat.

3. Zakat
zakat merupakan rukun islam yang ketiga dan hukumnya wajib. Kita sebagai umat islam harus berzakat, karena rizqi kita tidak hanya milik kita sendiri, tetapi sebagiannya milik orang miskin atau tidak mampu yang pantas kita beri. Zakat membersihkan harta-harta kita yang haram, maupun itu barang ataupun uang.

4. Puasa
Puasa merupakan rukun islam yang ke empat dan wajib hukumnya. Puasa Wajib di laksanakan satu tahun sekali pada bulan ramadhan, dan kita sebagai umat islam harus puasa pada bulan ramadhan selama sebulan. Bila kita tidak melaksanakan puasa Wajib 1 hari saja, maka kita harus meng qodonya dan jika kalau tidak mengqodonya maka kita akan mendapatkan dosa karena tidak mengqodo puasa wajib itu.

5. Pergi haji ke baitullah
Pergi haji ke baitullah merupakan rukun islam yang ke lima dan wajib hukumnya(bagi yang sudah mampu).

Rukun Islam kelima adalah haji ke baitullah Mekkah sekali seumur hidup. Adapun lebihnya maka merupakan sunnah.

Dalam ibadah haji terdapat manfaat tak terhingga :
  1. Pertama, haji merupakan bentuk ibadah kepada Allah ta’ala dengan ruh, badan dan harta.     
  2. Kedua, ketika haji kaum muslimin dari segala penjuru dapat berkumpul dan bertemu di satu tempat. Mereka mengenakan satu pakaian dan menyembah satu Robb dalam satu waktu. Tidak ada perbedaan antara pemimpin dan yang dipimpin, kaya maupun miskin, kulit putih maupun kulit hitam. Semua merupakan makhluk dan hamba Allah. Sehingga kaum muslimin dapat bertaaruf (saling kenal) dan taawun (saling tolong menolong). Mereka sama-sama mengingat pada hari Allah membangkitkan mereka semuanya dan mengumpulkan mereka dalam satu tempat untuk diadakan hisab (penghitungan amal) sehingga mereka mengadakan persiapan untuk kehidupan setelah mati dengan mengerjakan ketaatan kepada Allah ta’ala.
Demikianlah rangkuman singkat tentang Makna Rukun Islam Semoga Artikel ini dapat Menjadikan Kita sebagai insan muslim yg sejati...