Monday, May 17, 2010

Panti Jompo

CERPEN

Sejak dia membantuku turun dari mobil, aku begitu benci melihat wajahnya. Sudah empat puluh tahun lebih, aku mencintainya, dan hari ini untuk pertama kali aku sangat tidak mau melihat wajah itu. Wajah ayu puteriku satu-satunya itu, sudah tak berarti apa-apa bagiku. Kecantikan yang dulu aku kagumi hilang entah kemana.
“Kita sampai di rumah barumu, Ma,” katanya ringan.
Aku tak menjawab.
Mobil mewah besar itu, berhenti di depan lobby sebuah rumah dengan penampilan sederhana. Rumah itu tidak besar, halaman luas tertata rapi dengan bunga keningkir warna orange di sana-sini. Di belakang rumah kecil sederhana itu, ada bangunan dua lantai, memanjang kokoh. Yang kemudian hari, aku tahu bahwa bangunan itu semacam asrama, untuk menampung orang-orang tua tak berguna semacam aku.
Lalu Meita mendorong kursi rodaku berjalan perlahan, dan tanpa berbicara sepatah kata pun. Sam, menantuku berjalan disampingnya, juga tanpa bicara. Kami disambut ramah perempuan-perempuan muda berseragam biru laut dengan wajah sumringah,
“Selamat datang…” sapa mereka.
Dan di telingaku, sapaan itu seperti petir yang menyambar. Membuat tubuh lemahku terjatuh, lunglai tak berdaya, tanpa bisa melawan keadaan dan kejadian yang akan menimpaku, di hari buruk ini.
Kami masuk ke sebuah ruangan tamu. Dua orang perempuan muda berseragam, mendudukan aku di sofa. Sementara Meita dan Sam duduk berhadapan dengan seorang perempuan baya berwajah serius dan tegas. Di kemudian hari aku tahu bahwa perempuan itu adalah direktur rumah jompo ini.
Aku tak sanggup melihat wajah dua pasangan suami istri itu. Aku juga muak melihat dua perempuan berseragam yang terus saja senyum-senyum itu. Meski begitu, toh, akhirnya salah satu dari mereka itu, nantinya menjadi perawat khususku di panti ini, dan anakku Meita sudah membayar mahal untuk keramahannya itu.
“Berapa usianya?” tanya direktur itu.
“Hampir 80,” kata Meita.
“Makanan yang dipantang?” tanya perempuan itu lagi.
“Dia diabet, nanti dokter akan mengirimkan menu resminya,” kata Mei.
“Kondisi emosinya?”
“Sejak Papa meninggal, dia seperti depresi, dia seperti tertekan dan kehilangan, kadang tak terkendali,” kata putriku.
“Oke lah, ini daftar kamar, biaya perbulan, kalau sewa perawat sendiri, kami hanya menyediakan, tetapi anda yang membayar langsung padanya, sekaligus kamar buat perawat,” katanya lagi.
“Saya pilih kamar kelas satu, pokoknya di lantai satu saja, dan saya sewa perawat,” ujar Meita lagi.
“Mereka berdua, masih belum mendapatkan tugas, jadi pilih salah satu,” kata direktur itu menunjuk dua perempuan muda yang berdiri di sisi sofaku.
Serentak Meita dan Sam menoleh ke belakang, dua perawat itu tersenyum. Aku memalingkan muka, muak rasanya melihat wajah anakku. Kulihat pasangan suami istri itu saling berbisik, dan Meita kemudian berkata kepada direktur, kalau dia memilih perempuan langsing dengan tahi lalat di pipi kirinya.
Setelah transaksi itu, perawat bertahi lalat di pipi itu menaikkan aku ke kursi roda. Meita mendekatiku lalu berkata pada perawat itu, bahwa aku sering rewel kalau makanan tidak cocok. Aku juga sering ngompol kalau sedang bersedih. Kalau aku punya kekuatan, aku ingin sekali menampar wajah puteriku itu.
“Ternyata kerepotan ini sudah berakhir, Ma, semua selesai dengan uang, kau harus kerasan, karena ini adalah tempat terakhir yang mau menampungmu, ” katanya padaku.
Aku tak menjawab. Hatiku teriris. Aku tak percaya puteriku sendiri mengatakan hal itu padaku. Kupalingkan wajah, dengan segala luka di hatiku. Mungkin saja kalau pertengkaran dengan perawat jompo di rumah itu tak terjadi, anakku tidak akan mengirimku ke rumah jompo ini. Yah, semua berawal dari perempuan sial itu.
***

Ketika pertama bertemu perempuan perawat jompo itu, entah mengapa hatiku tidak merasa sreg. Tetapi sayangnya aku tak bisa menjelaskan mengapa aku tak suka perempuan bernama Asih itu. Puteriku membayar Asih, lantaran aku sudah tidak bisa menjaga diri. Sering mengompol, sering terjatuh saat berjalan, yah aku sudah sakit-sakitan.
Asih berperilaku kasar, suka membentak-bentak dan mengeluh. Kalau aku buang air besar, dia membersihkan pantatku dengan umpatan-umpatan. Dia menyuapi makananku dengan sedikit paksaan. Dia mengira bahwa aku sudah jompo dan menjadi bodoh.
“Makan, ayo makan, biar cepat selesai pekerjaanku ini,” katanya dengan ketus.
Pada suatu ketika, sore begitu indah. Aku duduk-duduk di teras rumah dengan menikmati secangkir teh. Rasanya ingin sekali pipis. Asih tak ada di sekitarku, artinya aku harus berjalan sendiri menuju kamar mandi, namun saat aku berdiri…byurrr… air kencing sudah berhamburan di lantai. Membasahi kedua kakiku. Asih tiba-tiba muncul. Melihat aku ngompol, Asih berlari dengan marah.
“Dasar tua bangka goblog, lihat lantainya kotor, nambah-nambah pekerjaan aja,” katanya.
Mendengar perkataan Asih, aku langsung marah. Perempuan berwajah kampong itu berkacak pinggang dengan sombongnya. Lalu aku ambil cangkir tehku dan aku siram mukanya. Dia diam, lalu menangis dan pergi meninggalkan aku di tengah basahan pipisku sendiri.
Malamnya, Meita masuk ke kamarku. Wajahnya yang ayu itu terlihat sedih. Aku melihat amarah di bola matanya. Pasti peristiwa sore tadi yang menjadi penyebabnya. Aku diam saja di bed. Lalu dia duduk di ujung bed dengan air muka keruh. Dia tak memandangku, matanya terus saja menatap tembok di belakangku.
“Mengapa Mama selalu membuat kesulitan-kesulitan, sejak Papa meninggal Mama selalu saja agresif begini,” katanya.
Aku diam.
Sejak suamiku meninggal, Mei membawaku tinggal di rumahnya. Dan rumah kami kosong. Dan dia menampungku dengan alasan kasihan, melihatku hidup sendirian tanpa suamiku. Lalu aku tinggal di rumah mewah mereka bersama dua orang cucuku yang sudah remaja.
“Asih minta keluar, katanya Mama sulit, selalu sulit,” katanya.
“Aku tidak cocok dengan Asih, dia kasar,” kataku.
“Mama perlu tahu, saat ini jarang ada perempuan muda yang mau mengurus orang tua, mereka lebih suka mengasuh bayi, susah Ma, cari perawat jompo,” katanya dengan nada dingin.
“Aku tidak suka dirawat olehnya, kadang aku berfikir kamulah yang akan merawatku saat aku menjadi tua begini, Mei,” ujarku.
“Jangan berfikir yang tidak-tidak, Ma,” kata Mei.
“Kenapa selalu kau serahkan aku pada orang lain yang tak punya perasaan, bodoh dan kampungan,” ujarku.
“Mama ini bagaimana, dulu saat aku kecil, Mama juga serahkan aku ke pembantu. Apakah Mama pernah menceboki aku, pernahkan Mama memandikan aku, atau menyuapi aku ?” kata Mei dengan keras.
“Aku harus bekerja, agar bisa menyekolahkanmu ke sekolah yang bagus,” kataku.
“Jadilah pahlawan. Tetapi Mama tak pernah memahami, ketika aku katakan bahwa para pembantu itu sangat kasar ketika Mama pergi bekerja, mereka baik hanya kalau ada Mama dan Papa di rumah,” ujar Mei.
“Aku tahu, tetapi aku harus bekerja, kalau tidak apakah hidup kita tercukupi?” ujarku.
“Aku bosan dengan alasan itu, Mama tidak pernah sadar bahwa selama ini, Mama selalu lebih mementingkan karir Mama daripada aku, apakah Mama mau mengerti ketika aku bilang pembantu tua yang mengasuhku itu selalu mencolek-colek kemaluanku, aku malu, takut, tetapi Mama selalu membelanya, Mama tak mau memecatnya, dengan alasan cari pembantu susah,” katanya lagi.
“Maafkan Mama, Mei,” kataku kemudian.
“Sudah terlambat Ma, aku sudah putuskan, aku tak mau mengurus Mama di sini Mama selalu membuat kesulitan, Mama mengganggu kehidupanku, lebih baik aku bayar seseorang untuk merawat Mama, aku tak mau merawat Mama, niat baikku untuk menampung Mama di rumah ini sudah tercoreng oleh ulah Mama sendiri, sakit hatiku Ma. Besok aku akan mengirim Mama ke panti jompo,” ujarnya.
Aku kaget.
“Jangan Mei, biarkan aku di rumah ini, aku janji tak akan mengganggu lagi,” ujarku.
“Ini bukan soal mengganggu, tetapi ini soal penerimaan, mama sangat pantas menerima keputusanku ini, karena sekarang aku yang berkuasa,” ujarnya.
***
Suara kursi dorong itu memecahkan kesunyian koridor bersih yang lengang itu. Perempuan dengan tahi lalat di pipi itu, terus saja berbicara dengan nada suara yang ramah, mengenalkan ruangan demi ruangan. Lalu kami berhenti di depan sebuah kamar ukuran empat kali lima meter. Dia menuntunku masuk.
“Silakan, ini kamar Ibu,” katanya dengan nada teramat ramah.
Aku berjalan tergopoh ke bed bersprei putih bersih. Kuusap perlahan bed ukuran pas badan itu dengan tangan gemetar. Lalu aku benamkan wajahku di bed itu. Aku menangis dengan hati perih teriris. Tak sanggup lagi aku membayangkan keindahan bersama anakku satu-satunya itu, dia sudah menggilasku hari ini.

Pondok Kacang, 17 Mei 2010
Kangen Buat Mbah Kung

No comments:

Post a Comment