Saturday, May 26, 2012

Perempuan di Persimpangan Jalan

PEREMPUAN
Ketika kedua anak saya menikmati makan siang buatan saya, saya membuka Facebook. Menemui teman-teman semasa sekolah sambil ngobrol ngalor ngidul dan berkelakar. Ditengah gelak tawa itu, seorang perempuan yang belum pernah saya kenal menghubungi saya, memperkenalkan diri sebagai seorang perempuan pekerja, yang kini menggeluti dunia pendidikan. Saya senang sekali menyambut perkenalan itu.
“Apa kita pernah bertemu?” tanya saya.
“Belum, tetapi saya membaca tulisan-tulisan mbak Anggie,” katanya.
“Yang mana yang anda suka?” tanya saya.
Dia tak menjawab, lalu dia berkata, dia mengikuti perbincangan saya dengan novelis Anni Iwasaki di Facebook. “Anda selalu berusaha memperjuangkan kaum perempuan,” kata perempuan itu.
“Oh terima kasih, saya hanya ingin mengungkapkan pemikiran saya, saya menulis tentang ibu rumah tangga karena banyak ibu rumah tangga yang tidak bangga dengan statusnya, padahal perannya penting dalam menggerakkan roda keluarga, di lingkungan social pun selalu menjadi warga nomor dua,” jawab saya.
“Kalau keadaan memungkinkan, pastilah semua perempuan ingin menjadi ibu rumah tangga,” katanya kemudian.
“Lho memang kenapa? Bergelut di dunia pendidikan kan sangat cocok untuk perempuan,” kata saya.
“Iya sih, Cuma pembagian waktu dan jam kerja antara perempuan dan laki-laki harus dibedakan, agar di sisi lain bisa mengurus keluarga” katanya.
“Oh ya” kata saya.
“Memang sih, pendapatan perkapita kita masih belum tinggi, belum cukup untuk memenuhi standar hidup yang layak, jadi dalam mencari nafkah, suami harus masih dibantu oleh sang istri,” kata saya. Sayangnya perbincangan itu harus berakhir karena anak bungsu saya minta dikeloni. Mungkin karena kenyang, dia mengantuk dan rewel. Sambil mengusap-usap punggung anak perempuan saya, agar cepat tidur, saya merenungkan kembali pembicaraan itu.
Serba sulit memang. Berdiri diantara keinginan untuk menjadi yang terbaik dalam keluarga, tetapi juga berdiri di dunia kerja untuk memenuhi kebutuhan hidup yang belum tercukupi.
Ketika saya berhenti bekerja, roda kehidupan memang agak seret. Terus terang gaji saya lebih tinggi dari gaji suami. Dan begitu keluar dari pekerjaan, otomatis pendapatan terpotong 50 %. Lebih gilanya, kami berdua sudah membeli rumah kecil yang cicilannya senilai dengan gaji suami. “Trus nanti kita makan apa, Mas,” kata saya waktu itu.
Alahamdulillah, kemudian suami mendapatkan kerja sampingan yang hasilnya biarpun kecil cukup lumayan. Dan kami mengencangkan ikat pinggang, sampai akhirnya kami terbiasa dengan gaji satu orang.
Saya mengerti yang dialami banyak perempuan yang “terpaksa” bekerja itu karena memang biaya hidup jaman sekarang terlalu tinggi. Harga-harga bahan pokok selalu naik secara simultan, kebutuhan akan rumah belum mendapatkan subsidi dari pemerintah secara wajar. Jadi keluarga baru yang berpenghasilan hanya dari satu orang tidak cukup untuk impian itu. Bahkan untuk hidup secara wajar pun belum mencukupi.
Ibu Anni Iwasaki penggagas perempuan kembali ke rumah, mencoba mengadopsi kebijakan pemerintah Jepang yang memperhatikan keluarga muda dengan menyediakan rumah susun sewa yang terjangkau oleh keluarga muda yang hanya berpenghasilan satu orang. Namun ketika usulan itu diajukan kepada pemerintah Indonesia, belum mendapatkan respon yang memuaskan.
Di satu sisi hal itu menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia memang masih belum memikirkan nasib para keluarga muda yang hanya berpenghasilan satu orang, dilain pihak memang pemerintah belum melepaskan perempuan untuk kembali ke rumah, karena masih dianggap produktif.
Perlindungan pemerintah terhadap perempuan pekerja pun masih belum memuaskan. Perempuan Indonesia ini kurang apa lagi, yang rela memiliki peran ganda, sebagai ibu maupun sebagai pekerja juga banyak. Mengapa tidak dibuat aturan agar pada jam-jam tertentu, perempuan bisa melaksanakan tugas sebagai ibu. Misalnya, waktu untuk menyusui anak, waktu untuk menyiapkan makan siang anak, atu menyuapi karena anaknya masih kecil, dll.
Dengan demikian, Indonesia tertata kemakmuran masyarakatnya, tersiapkan generasi mudanya dan para perempuan mendapatkan martabat sesuai kodratnya. Siapa sih di dunia ini yang paling suka kerja keras? Pastilah perempuan, jawabnya.
Jakarta, 25 Maret 2010

No comments:

Post a Comment