Showing posts with label KISAH NYATA 2. Show all posts
Showing posts with label KISAH NYATA 2. Show all posts

Friday, July 22, 2011

Sedekah,sedekah dan lagi-lagi sedekah

Sedekah,sedekah dan lagi-lagi sedekah
Mohon maaf kalau judulnya agak gimana tetapi memang ini kisah nyata yang dialami keajaiban bersumber dari sedekah.Begini kisahnya :
hari itu aku sedih bukan kepalang,air mataku mengalir tak terbendung,sesekali aku harus berenti di dalam perjalannku pulang menuju asrama karena menghapus air mataku,beberapa orang memndang aneh kepadaku, aku tak perduli.. hati ku pilu.. bagaimana tidak aku mendengar kabar dari indonesia bahwa ibu ku baru saja keluar dari UGD karena sakit maag kronis yang di idap nya kembali kambuh,,

memang ibu ku mengidap sakit maag akut,tapi tak pernah separah ini hingga beliau masuk ke ruang UGD ssampai 2 kali, ayah ku sampai menangis karena ketakutan melihat ibu ku seperti orang yang sedang di jemput maut..sakit tak tertahan kan..

hati ku pilu karena aku tak bisa melakukan apapun disini.. jarak puluhan ribu kilometer memisahkan ku dengan ibu..

“ya Allah.. Engkau maha dekat… serta aku sedang jauh.. Ya Allah.. aku tak bisa melakukan apapun untuk ibu ku karena jauh nya jarak kami.. hanya doa lah yang bisa aku panjatkan kepadamu.. “

hanya doa yang mampu aku panjatkan sepanjang jalan menuju pergantian bis di pasar sentarl tempat dimana aku melewati nya setiap hari, entahlah.. di pojok lorong penyebarangan jalan aku melihat dua orang pengemis yang tidak biasa nya mangkal di pasar sentral.

2 orang kakek kakek, yang 1 nya tanpa kaki dan yang satu nya berdiri di samping nya sambil memberikannya 1 gelas teh panas.. maklum udara sedang dingin, 2 orang pengemis sedang kedinginan meskipun air mata ku terus menggenang di pelupuk mataku karena kesedihan ku yang mendalam,tetapi pemandangan 2 orang pengemis tersebut tak luput dari sorotan ku..

seakan-akan kaki ku ada yang mengarahkan ke arah 2 orang pengemis tadi.. semua logika ku lumpuh melihat kesengsaraan hidup mereka berdua..

1 lembar uang jatahku bulan ini kuberikan kepada seorang pengemis yang tak berkaki,tapi sayang.. karena aku tak tepat memberinya maka uang tersebut jatuh,pengemis yang satu nya lagi yang sedang berdiri di samping nya membantunya mengambilkannya.
subbhanallah..

seakan akan allah memberiku pelajaran baru, pemandangan ini membuat ku tersadar.. betapa seorang pengemispun yang hidup nya susah seperti beliau ini tidak merasa iri ketika aku memberi hanya seorang di antara mereka,dan tidak berusaha pergi dengan membawa uang yang bukan hak nya tersebut, melihat hal itu tidak adil rasa nya jika aku hanya memberi seorang sedang yang seorang lagi memiliki sifat yang sangat lapang itu.

kurogoh kembali kantong ku dengan cepat.. ku ambil sisa 1 lembar terakhir uang saku ku untuk bulan ini untuk pengemis yang 1 nya lagi.

dengan terheran mereka berdua tersenyum serta mendoakan ku

“semoga Tuhan memberimu keselamatan dan kesehatan”

doa yang terdengar lantang dan tulus.. dalam hati aku berdoa kepada Allah “Ya Rabb.. sedekah ini aku berikan untuk kesembuhan ibu ku! jagalah kesehatan nya.. demi kasih sayang Mu Ya Rabb.. ampuni aku dengan segala keterbatasan ku.. aku tau Engkau maha dekat.. penggenggam seluruh alam semesta..Engkau yang memberikan penyakit maka kepadaMu lah aku memohon kesembuhan untuk iBuku..amin”

air mata ku terus berlinang sepanjang perjalanan.. aku berharap ibu akan segera sembuh.. aku tak perduli jika 2 minggu kedepan aku lalui tanpa sepeser uang pun.. karena kesembuhan ibu ku lah yang terutama.

** kejadian ini telah berlalu 4 bulan,alhamdullillah sampai detik ini.. ibu sudah segar kembali.. meskipun tetap menjalankan ikhtiar.. untuk tidak melanggar pantangan yang di beri dokter. dan sakitnya beralih kesembuhan.

*** cerita ini di maksud kan untuk memberikan sebuah hikmah dari keajaiban sedekah yang insyallah di niatkan tulus.. aku tak bermaksud pamer atau riya,tetapi mudah-mudahan kita semua bisa memetik hikmah nya..
amin

( Oleh : Dinda Hidayanti )

Tukang Bubur Naik Haji

Tukang Bubur Naik Haji
Ini kisah nyata Sulam, seorang penjual bubur, yang ingin memberangkatkan emaknya pergi haji. Orang lain, termasuk istrinya, mengingatkan Sulam, haji itu bagi yang mampu. Sementara penghasilan tukang bubur itu
paling buat makan sehari-hari. Jadi, dari mana uang untuk berangkat haji. ”Insya Allah, Mak. Sulam mohon doa Emak. Kalau doa Emak makbul, Emak pasti naik haji,” janji Sulam.

Didorong keinginan yang kuat untuk memberangkatkan haji Emaknya, Sulam bekerja keras. Tidak lupa, ia menyisihkan sebagian penghasilan di bank. Melihat keinginannya pergi haji, seorang temannya menempel nama Bubur Ayam H. Sulam di gerobaknya. Sulam pun bersedekah, termasuk memberi makan bubur kepada anak-anak yang tinggal di rumah yatim. Kepada pengurus yayasan rumah yatim, Sulam dan keluarganya minta didoakan pergi haji.


Seperti biasa, Sulam menyetor uang ke bank. Ketika sampai di bank, petugas memberitahukan bahwa Sulam menjadi pemenang sedan mewah. Karena Sulam bengong, si petugas mengatakan sedannya bisa dijual dan dapat digunakan untuk pergi haji. ”Berapa orang?” tanya Sulam. ”Satu RT”.


Pulang ke rumah, Emak dan istri Sulam bingung dan khawatir karena Sulam seperti orang linglung. ”Maafin Emak kalau keinginan Emak membuat Sulam jadi tidak waras.” Ketika sadar, Sulam mengatakan ia bersama emak, istri, teman, dan pengurus rumah yatim diajak pergi haji. Kali ini, gantian si Emak yang pingsan.


Kalau kita punya masalah, kalau kita punya keinginan, maka tidak ada satu pun yang bisa menolong kita, kecuali Allah. Termasuk keinginan Emak si tukang bubur dan keinginan tukang bubur. Tidak ada yang bisa menolak, kecuali Allah. Dan apa yang terjadi kalau Allah sudah berkenan menolong seseorang? Allah akan mengatur dari langit, sehingga sesuatu yang menurut orang tidak mungkin terjadi, malah terjadi.

Tentu si tukang bubur dan ibunya mendapat keberkahan dari Allah. Sebenarnya bukan tanpa sebab, tapi ada amal-amal yang mereka lakukan, yang kemudian membuat Allah mengeluarkan putusan terbaik buat mereka. Si Ibu punya niat yang sangat kuat, rindu untuk berkunjung ke Baitullah, mencium Hajar Aswad, dan menyempurnakan rukun Islam. Kemudian si anak mahabah kepada orang tua, ingin menyenangkan orang tuanya, lalu dia berusaha dan menabung sebisa dia.


Si tukang bubur percaya seseorang yang berniat baik, Allah akan menyempurnakannya. Kedua, dia berniat menabung untuk ibunya yang ber¬niat haji dan Allah kemudian menyempurnakannya. Ketiga, ia bersedekah karena sedekah bisa menghantarkan seseorang mencapai keinginannya.

Sedekah Motor Naik Haji

Sedekah Motor Naik Haji
Seorang kyai, guru sedekah saya, bercerita ada guru agama yang tahu Allah itu maha membalas. Dia datang, lalu mengatakan
ia berniat sekali naik haji. Ia memakai teori siapa yang memberi satu dibalas Allah sepuluh kali lipat. Ada uang Rp 2 juta yang disiapkan di atas meja. ”Kyai ini sedekah saya, mudah-mudahan saya bisa naik haji,” kata si guru agama.

Kyai tahu guru agama yang gajinya tidak seberapa, kemudian mengem¬balikan uang itu. ”Tidak usah Ustad, pergi haji kan bagi yang mampu.” Apa kata Ustad? ”Jangan Kyai. Kalau pergi haji menunggu mampu, kapan pergi hajinya?” Ini menarik karena yang sudah mampu pun belum tentu berniat haji.

Demi mendengar itu, Kyai mendoakan semoga Allah akan menepati janjinya, siapa yang memberi satu akan dibalas sepuluh kali lipat. Saat itu biaya haji sekitar Rp 17,5 juta. Tidak lama, sang guru membawa uang lagi. Kalau kemarin Rp 2 juta, sekarang bawa Rp 4 juta dan diberikan lagi kepada Kyai tersebut untuk kepentingan umat. Kali ini tergelitik Si Kyai untuk bertanya, ”Dari mana uang dua juta rupiah yang dulu dan empat juta rupiah yang sekarang?”. Berceritalah guru agama bahwa dia menjual motor satu-satunya agar dia bisa bersedekah.

Masya Allah, motor dijual seharga Rp 6 juta dan Rp 6 juta itu di-hadiahkan semua kepada Allah lewat Kyai tersebut. Guru agama berharap Allah bermurah hati tidak sekadar memberangkatkan haji dia, tapi juga memberangkatkan ibu dan istrinya.

Tiga minggu kemudian, Allah kasih guru kepalanya sakit, sehingga tidak bisa mengajar. Setelah ijin tidak mengajar, sakit kepalanya sembuh. Ketika sembuh, ia ingin diajak orang bicara. Keluarlah ia dari rumah menuju ke depan gang. Ia bertemu dengan pemilik warung dan berharap menjadi teman ngobrol. Alih-alih bicara dengan temannya yang punya warung, ia malah disuruh jaga warung. Kalau bukan karena kehendak Allah, bukan begini kejadiannya. Ada rahasia apa di balik semua peristiwa yang sebenarnya Allah mengatur.

Jadi ketika si guru agama dibuat sakit, Allah ingin mengatakan kepada dia, jangan ke mana-mana karena akan ada rezeki yang datang. Allah bikin dia keluar karena rezeki bukan datang dari rumah dia, melainkan datang di warung tersebut. Allah Maha Tahu kalau si pemilik warung tidak dibuat pergi, maka rezeki yang datang itu milik si pemilik warung. Karena melihat si guru agama bisa dipercaya jaga warungnya, ia pergi sebentar.

Pada saat si guru sakit, itulah the golden moment-nya hadir. Ada seorang pengendara mobil berhenti, turun, lalu bertanya. ”Pak, tanah yang di depan warung ini milik siapa, Bapak tahu?” Si guru agama pun memberi tahu pak haji pemilik tanah itu dan alamat rumahnya. Orang itu berterima kasih. Ternyata, itulah sumber uang si guru agama untuk berangkat haji.

Beberapa hari setelah itu, si pengendara mobil datang lagi. Ia melihat yang jaga warung bukan yang kemarin. Lalu, ia bertanya penjaga warung yang kemarin. Rupanya si pemilik warung sudah lupa karena silih berganti yang menjaga. Namun, ia ingat dan menunjukkan rumah si guru yang pernah menjaga warungnya.

Ketika sampai di rumah guru, si pengendara mobil tanpa basa-basi mengucapkan terima kasih dan mengatakan. ”Terima kasih tanah itu sudah saya beli dan sesuai dengan harga saya. Saya sudah janji kepada Tuhan, kalau tanah itu terbeli dengan harga saya, maka orang yang saya tanya akan saya jadikan calonya. Pak, ini mohon diterima dari saya.” Cek tunai, tipis, tapi nilainya Rp 67 juta. Enam juta kali 10 lipat dan motor kembali seharga Rp 7 juta!

Baju Bola Seharga 6 Juta

Baju Bola Seharga 6 Juta
awal ceritanya saya liat One Stop Football. Di akhir acaranya ada sebuah info mengenai sebuah kompetisi video bola yang berhadiahkan latihan bola di West Ham selama satu minggu dan menyaksikan langsung Chelsea vs Liverpool di Inggris. Tanpa pikir panjang
saya pun tertarik buat ikut kompetisi video bola itu, selang beberapa hari saya telpon temen aku Faisal buat bantuin bikin videonya. Niat awal saya adalah target kita itu Juara 1 atau minimal juara 2 yang penting bisa ke Inggris. Pemenang hadiah 1 & 2 berhak membawa 1 orang pendamping untuk kesana, makanya saya minta bantuan si Faisal untuk bantuin bikin videonya. Jadi kalo menang saya bisa ajak dia ikut ke Inggris.

Dengan susah payah dan kreatifitas tingkat tinggi :P akhirnya gw bisa juga selesain video bola itu. Setelah video saya upload dan aku mulailah minta temen-temen di facebook untuk bantu vote video saya supaya kita bisa juara 2 minimal.

Selang beberapa hari, tiba-tiba Ipod nano 16Gb yang gw tunggu-tunggu dari BIA sampe juga di rumah. Sambil belajar gunain Ipod proses voting video saya pun masih berjalan dengan lancar, malah baru belasan orang yang vote, video saya udah mulai masuk TOP Rank. Kebetulan saya ngikutin lomba ini cukup telat, sisa waktu buat voting Cuma tinggal 1 minggu setelah gw upload video itu. Setelah dapet ipod saya pun cukup bingung, 10% dari hadiah ini saya mau sedekahin, tapi saya gak ada uang sama sekali. Taksiran harga Ipod nano 16Gb ini pun bermacem-macem mulai dari Rp.1.400.000 – Rp.2.200.000 karena saya pusing gak punya uangnya, makanya saya sempet berfikir buat jual Ipod ini, selain 10% nya buat sedekah,

sisanya bisa buat modal saya ngebangun sepedah Fixie :) tiba-tiba 2 / 3 hari sebelum voting di tutup video gw keluar dari 11 besar TOP Rank. saya mulai panik, temen-temen saya udah suruh vote ulang semua, tapi posisi belum berubah.

Saya di rumah mulai panik sendiri, gimana caranya nih kaga ke kejar-kejar masuk 11 besar. Akhirnya saya mulai putus asa, aku pun telpon Faisal “wah gimana nih sal, kita gak di 11 besar? Tapi tetep saya usahain deh.. minimal juara 3 dah yak”
Dulu saya sempet ngobrol-ngobrol sama temen saya namanya Arhan, dia kolektor Jersey Original. Kita sering cerita bareng masalah Jersey bola, mulai dari jenisnya sampe harganya. Dia pernah kasih tau kalo Jersey yang Player Spec (standard yang di pake pemian bola) itu hargnya bisa kisaran 2Juta. Nah dari situlah saya punya bayangan paling pahit jika saya juara 3, berarti saya harus sedekah minimal Rp.200.000 karena juara 3 dalam bayangan saya harga bajunya adalah 2 jutaan.

Karena saya inget kemarin saya abis dapet rejeki berupa Ipod nano 16Gb dan dari hasil hadiah itu belom sempet saya sedekahkan 10% nya, maka niatnya saya mao sedekahin aja Mp3 player saya yang 2Gb "saking gak ada duitnya" hehe ke sepupu saya lagi saya pake penghitungan bahwa Ipod nano 16Gb adalah Rp 2.200.000 dan harga beli Mp3 gw itu sekitar Rp.240.000 maka sah-sah aja kalo saya sedekahin Mp3 Player saya, karena saya juga tau dia pengen banget punya Mp3 Player.

Awalnya bingung juga, Mp3 Player saya udah rusak het setnya dan saya juga gak punya kabel data buat kamera. Akhirnya semuanya saya kasih aja deh, Mp3 Player saya beserta kabel datanya. Biar saya aja yang beli kabel data baru. Selang sekitar 2 minggu setelah voting di tutup saya pun nunggu pengumuman apakah saya dapet juara 1,2,3 atau malah tidak juara sama sekali.

Secara kebetulan sekali saya lagi buka web kompetisinya, eh ternyata pengumuman pemenangnya lebih awal 1 hari, seharusnya besok baru diumumin eh ternyata udah keluar sekarang. Dan gw pun terkejut ternyata Alhamdulillah gw juara ke 3 walaupun posisi gw ada di ranking 5.

saya berhak mendapatkan Jersey Original TIMNAS Inggris + Sertifikat + Tanda Tangan Rio Ferdinand asli, dan kalau di total-total harga baju tersebut tembus sampai Rp.6.000.000 Subhanallah,

sekali lagi hadiah ini benar-benar di luar bayangan saya. Dan mulai saat ini saya harus semakin bersyukur dan tambah sering sedekahnya lagi.

Bersedekah di Pagi hari

Bersedekah di Pagi hari
Hari ini Allah mempertemukan keluarga saya dengan seseorang yang sama sekali belum pernah kami temui. Tadi pagi kurang lebih pukul 07.00 WIB rumah kami kedatangan
seorang nenek2 berpakaian kurang layak, memakai kerudung/jilbab, nggak beralaskan kaki, dan membawa semacam tas. Orang yang pertama menemui nenek tersebut adalah ibu saya, kebetulan tadi ibu saya sedang berada di depan rumah dan saya sedang siap2 dikamar untuk berangkat kerja.

“Nyari siapa nek...?”, tanya ibu saya.

Lalu si nenek menjawab dengan tutur kata yang sopan dan suara lemas “Maaf bu, saya cuma mau minta sedekah...”.

“Oh silahkan duduk dulu, saya ambilkan nasi dulu ya nek? Biar nenek istirahat & makan dulu”, balas ibu saya. Sepertinya ibu saya merasa sangat kasihan melihat nenek itu.

Mendengar percakapan tersebut saya langsung keluar dari kamar, saya penasaran sebenernya siapa orang yang ada di depan rumah. “Bu, siapa nenek itu? Beliau nyariin siapa?”, tanya saya kepada ibu saat ibu sedang mengambilkan makan.

“Beliau nggak mencari siapa2 koq... Tadi cuma minta sedekah aja. Ini ibu mau beri makan dulu wong kasian kayaknya tu nenek lemes banget...”, jawab ibu.

“Astagaaa.... kasian sekali nenek itu...”, batin saya.

Akhirnya saya dan adik saya cepat2 mengikuti ibu untuk menemui nenek itu, percakapan antara ibu saya dan si nenek pun dimulai lagi, kurang lebih seperti ini :

Ibu saya : “Ini nek nasinya dimakan dulu, maaf cuma sama telur soalnya saya belum selesai masaknya”.

Si nenek : “Alhamdulillah... Terimakasih bu... Terimakasih... Saya do'akan ibu dan keluarga mendapat balasan yang setimpal”.

Kami : “Amien....”

Setelah si nenek selesai makan masih sempet ngobrol2 juga tuh sama ibu. Tapi tiba2 si nenek mengalihkan pandangannya ke arah dimana saya berdiri, “Dia siapa bu...?”, tanya si Nenek.

Lalu ibu saya menjawab “oh dia anak saya yang pertama nek...”.

Si nenek pun memberi senyum kepada saya... Seketika saya merasa melihat senyuman penuh rasa syukur dari muka si nenek... :)

Ibu saya : “Maaf nek kalo boleh tau nama nenek siapa dan nenek berasal dari mana...?”,

Si nenek : “Nama saya Rianti, saya dulu tinggal di Wonosobo... Tetapi sekarang saya hidupnya dijalan karena saya udah nggak punya siapa2 lagi”,

Ibu saya : “Loch emang keluarga nenek atau anak2 nenek dimana?terus selama dijalan gimana cara nenek untuk bertahan menjalani hidup?”,

Si nenek : “Dulu saya 3 bersaudara, tetapi kedua saudara2 saya udah meninggal karena sakit2an dan juga faktor usia. Semenjak itu saya dirawat oleh tetangga saya. Tetapi saya memutuskan untuk pergi karena saya merasa udah tua dan takut selalu merepotkan. Saya nggak mempunyai seorang anak bu, karena saya sampai saat ini belum pernah menikah sama sekali, Selama ini saya menjalani hidup dengan mengharap sedekah dari orang lain”.

Kami pun langsung terdiam mendengar cerita si nenek, kami merasa kasihan sekali. Lalu kami memberi sedekah untuk nenek itu, memang sih jumlahnya tidak banyak, tapi kami memberinya dengan ikhlas lahir dan batin...

Nggak lama kemudian si nenek berpamitan untuk pergi lagi,

Si nenek : “Saya pamitan dulu ya bu, terimakasih atas semua sedekahnya...”,

Ibu saya : “Oh iya nek sama2, tapi tunggu sebentar ya nek”,
ibu saya buru2 masuk kekamar, lalu keluar lagi dan ternyata ibu saya juga memberi beberapa pakean2 yg masih pantas pakai dan sepasang sandal jepit punya ibu buat si nenek itu.
Muka si nenek terlihat kaget ketika ibu saya memberikannya barang2 tersebut, mungkin karena si nenek nggak mengira bakal dikasih pakean dan sandal oleh ibu saya.

Si Nenek : “Sekali lagi terimakasih bu... Semoga keluarga ibu selalu diberi kemudahan dalam menjalani hidup, semoga rejekinya juga berkelimpahan, dan selalu diberi kesehatan oleh Allah SWT. Pesan saya, taatlah beribadah dan banyak2lah bersedekah kepada siapapun bu, karena orang yang banyak bersedekah pasti akan mendapatkan balasan yang berlipat-lipat. Allah itu Adil. Assalamu'alaikum....”,

Kami : “Amien... Terimakasih juga atas do'a2nya nek, hati2 dijalan.. Wa'alaikumsalam...”.

Melihat keadaan si nenek sekaligus mendengarkan cerita kisah hidupnya membuat hati saya benar2 merasa harus lebih BERSYUKUR atas semua yang saya miliki selama ini... Bersyukur juga masih diberi kesempatan untuk BERBAGI... Karena BERBAGI adalah salah satu cara untuk menciptakan Kebahagiaan dalam hidup saya...


Seperti itulah kurang lebih kejadian yang saya alami di rumah tadi pagi, sungguh kejadian di luar dugaan yang luar biasa bagi saya. Karena lewat(perantara) nenek itu keluarga saya diingatkan kembali untuk banyak2 BERSEDEKAH kepada siapapun. Benar2 nggak menyangka seorang nenek yang keadaanya kurang beruntung berbicara seperti itu. Ya Allah... Mulia sekali hati nenek itu... Terimakasih karena Engkau telah mempertemukannya dengan keluarga saya...

Dengan kejadian tersebut saya kembali mendapatkan sebuah pelajaran hidup yang sangat berharga dari seorang nenek yang sama sekali belum pernah saya kenal. Saya juga merasa mendapatkan “Bonus” dari nenek itu, “Bonus” tersebut berupa Do'a.

Saya anggap pelajaran yang saya dapatkan dan “Bonus” itu adalah baru sebagian balasan dari Allah, balasan atas sedekah yang udah keluarga saya berikan untuk nenek itu. Walaupun balasan tersebut nggak terlihat oleh mata/nggak berwujud sebuah barang, tetapi bagi saya nilainya malah lebih berharga dari barang apapun karena semua itu pasti bermanfaat seumur hidup.

( Oleh : Yogie Meinarsih )

Membeli Kebahagiaan Dengan Sepiring Makanan

Membeli Kebahagiaan Dengan Sepiring Makanan
Sore itu disebuah tempat makan.

Seorang pemuda asyik melahap makanan yang terhidang di hadapannya. Sengaja dia memesan masakan
kegemarannya. Bau masakan memenuhi seluruh ruangan restoran, menitikkan air liur siapapun yang ada disana.

Selesai makan, pemuda itu tidak langsung pergi, dia memesan segelas minuman dingin. Mungkin berniat lebih lama duduk disana menghabiskan waktu sore. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada seorang kakek tua yang berdagang asongan yang duduk di samping luar restoran itu.

Sesekali pandangan kakek itu menyapu pengunjung restoran, entah apa yang dipikirkannya, yang jelas terlihat berkali – kali si kakek menelan ludah, tidak tahan dengan bau masakan yang menggugah selera.

Pemuda itu sejenak tercenung dan berpikir “Kira-kira berapa lama ya kakek itu sudah berjualan disana? Apa dia pernah mencicipi nikmatnya makanan di resotan ini ya?” gumamnya.

Sewaktu membayar tagihannya di kasir, pemuda itu berbisik kepada pegawai restoran. “Mas, ini saya bayar seporsi makanan, nanti kalau saya sudah pergi, tolong berikan kepada kakek tua pedagang asongan itu ya”..

Pegawai itu tersenyum dan menganggukkan kepala kemudian pemuda itupun menaiki kendaraannya dan pulang ke rumah.

Pemuda itu tidak tau pasti apa yang kemudian terjadi ketika pegawai restoran membawakan makanan untuk kakek tua pedagang asongan itu. Entahlah, dia tidak ingin memikirkannya. Yang jelas saat ini dia sangat bahagia. Sebuah rasa indah yang memenuhi rongga dadanya, kebahagiaan sejati yang hanya dibelinya dengan seporsi makanan.

Kecanduan Sedekah

Kecanduan Sedekah
Saya tertegun dan manggut-manggut ketika membaca sebuah artikel yang bunyinya begini : Untuk bersedekah sebenarnya gak usah nunggu ikhlas dulu, lakukan aja sesering mungkin. Bisa saja dalam 10 kali
kita bersedekah yang 6 tidak ikhlas awalnya tapi masih lumayan ada 4 yang ikhlas. Dan kalo sering bersedekah lama-lama akan jadi kebiasaan sehingga nilai ikhlasnya sudah lebih banyak lagi yang pada akhirnya nanti bersedekah itu sudah menjadi kebiasaan sehari-hari.

Kalo bersedekah ada unsur riya juga lakukan aja, toh yang rugi diri kita sendiri kalo yang menerima sih masih bisa merasakan kebahagian. Lumayan masih bisa tidak merugikan orang lain. Semua kegiatan yang baik memang awalnya harus dipaksa dulu sambil jalan diharapkan kesadaran mulai muncul.

Coba simak;
Sholat itu harus khusyu, memang kalo gak khusyu trus gak usah sholat?
Puasa itu harus bisa menjaga hawa nafsu, memang kalo gak bisa menjaga hawa nafsu boleh gak puasa?

Bukannya lebih baik;
Sholat aja dulu nanti juga lama-lama Insya Allah bisa khusyu
Puasa aja dulu nanti juga lama-lama bisa terlatih menahan hawa nafsu
Sedekah aja dulu nanti juga lama-lama bakalan bisa ikhlas…..

Jadi untuk bersedekah ternyata gak usah nunggu ikhlas dulu yang penting lakukan saja jangan dipikir jangan dihitung….
..Just Action !!! Karena Bisa itu hadir setelah Terbiasa.

Menilik pada pengalaman pribadi saya ungkapan tersebut tanpa saya sadari telah saya alami. Sebagai seorang pedagang ketemu orang yang meminta-minta merupakan aktivitas harian yang saya temui. Dulu saya amat antipati sekali melihat orang yang meminta-minta itu sebut saja seperi pengemis, pengamen dsb, pikir saya waktu itu “apa bener saya mendapatkan pahala dengan memberi kepada mereka, mereka saja terlihat masih muda, sehat dan kuat untuk bekerja bukankah secara tidak langsung saya mendidik mereka untuk malas belum lagi seperti pengamen-pengamen itu jangan-jangan uangnya untuk dibelikan minuman keras, bukan pahala yang kan diperoleh bisa-bisa saya turut menanggung dosanya karena ikut membantu, selain itu saya juga berfikir masa sih ada orang yang mau miskin selamanya dengan terus-terusan meminta setiap hari pula ataupun Tuhan membiarkan hambaNya terus menjadi peminta-minta, I dont think so”.

Pada umumnya orang berujar; “Sedekah itu seikhlasnya” kalimat itu juga yang biasanya saya gunakan kalo diminta sumbangan. “Maksudnya seikhlasnya apa sih pak” tanya seseorang, “kalo ada uang ya ngasih kalo gak ada uang ya jangan dipaksakan”, jawab saya. ” sering sedekah?” tanya temen saya, ” ya karena jarang punya uang ya jarang”, jawab saya. ” Lagian juga kalo punya uang kalo ngasihnya gak ikhlas percuma aja gak ada pahalanya”, saya nambahin. Kata “ikhlas” menjadi senjata pamungkas saya sebagai tameng untuk tidak memberi, dan sialnya ikhlas itu lama banget datangnya ke diri saya sehingga bertahun-tahun saya menjadi orang yang jarang memberi.

Nasehat simpel datang dari teman saya untuk menyadarkan; “kalau kamu mau jualanmu laris kasihkan saja receh-recehanmu itu buat mereka yang minta-minta itu, jangan kasihkan yang besar tapi cuma kepada satu orang saja karena menurutmu layak diberi tapi bagikan secara menyeluruh walaupun nominalnya kecil, terserahlah mau diapakan mereka dan apapun latarbelakang mereka itu urusan mereka dengan Tuhannya, kita cuma berusaha untuk membiasakan diri memberi karena hak orang yang telah memberi adalah menerima percaya deh’.

Dengan motivasi agar bisnis saya semakin meningkat saya ikutin saran teman itu. Emang sih efeknya tidak langsung terlihat tapi saya merasakan perubahan signifikan didalam diri saya pribadi diluar motivasi dagang tadi. Saya merasakan “kecanduan” untuk memberi kepada siapapun, ada seperti perasaan bahagia atau entah apapun itu namanya untuk terus berbagi dan memberi kalau sehari saja tidak ada pengamen atau pengemis yang datang meminta-minta atau ketika saya tidak ada uang untuk diberikan saya seperti merasa sedih atau seperti ada yang hilang . Ya, akhirnya saya turut merasakan apa yang sudah mereka-mereka lakukan untuk memperoleh kebahagiaan walaupu mungkin saya belum seektrim dan seikhlas mereka dalam memberi tetapi setidaknya saya berharap ‘kecanduan’ ini tidak luntur dan terus meningkat dan pada akhirnya mampu ikhlas lillahita’ala Amien.

Sedekah Menolong Menyelamatkanku

Sedekah Menolong Menyelamatkanku
 Suatu kejadian hidup saya yang berhubungan dengan sedekah dapat memberikan pelajaran berharga bagi yang mengalaminya, walaupun kejadian ini tidak terjadi di bulan ramadhan. Berikut petikan kisahnya :
Jika kita kehilangan sesuatu, baik barang-barang, dokumen-dokumen berharga ataupun sesuatu yang penting, tentunya membuat kita dongkol maupun jengkel. Hidup memang serangkaian masalah yang tentunya diperlukan kearifan sikap kita menyelesaikan masalah tersebut.

Sayapun jadi teringat film anak-anak dari Iran, yaitu Children of Heaven, (film Iran karya Majid Majidi yang mendapatkan berbagai penghargaan film internasional ) bercerita tentang seorang kakak yang telah menghilangkan sepatu adiknya dan berusaha mencarikan gantinya. Terinspirasi dari film itu, saya pun jadi teringat kisah saya ketika kehilangan sesuatu yang berharga dan digunakan dalam aktifitas keseharian.

Setahun yang lalu waktu istirahat siang, setelah melakukan sholat dzuhur di masjid, tiba-tiba handphone (hp) saya berdering, rekan kerja memberitahukan bahwa motor saya dicuri orang. Sepontan saya terkejut, sambil berlari kecil saya pun ke tempat kejadian di kantor. Suasana tempat kantor saya tiba-tiba menjadi ramai karena rekan-rekan kerja berkumpul membincangkan motor saya yang akan dicuri orang dan berkumpul di lokasi kejadian. Setelah sampai di lokasi, terlihat kendaraan motor saya siap meluncur ke jalan, kebetulan sebelum kejadian, motor diparkir dekat pintu gerbang kantor.

Wajah saya pun pucat pasi, seingat saya motor tadi sudah dikunci, baik kunci biasa maupun kunci ganda di ban depan maupun ban belakang. Astaghfirullah motor mau dicuri, ucap saya dalam hati. Akibat ulah pencuri, semua pengaman motor berupa kunci telah hilang juga dirusak pencuri, yang tinggal hanya kunci pengaman bagian belakang. Setelah tenang, teman-teman menyarankan agar motor segera di bawa ke bengkel motor, agar kunci dapat diperbaiki kembali dan motor dapat digunakan sebagaimana mestinya. Dengan diantar rekan kerja, saya pun berangkat ke bengkel. Sepanjang perjalanan, saya pun bersyukur, mengucapkan Alhamdullilah. Pertolongan Allah masih menaungi hambamu ini, ucapku dalam hati, sembari mengenang keutamaan sedekah dapat menolak bala.

Musibah motor mau hilang ini, mengingatkan saya bahwa sebelum musibah ini terjadi pada saya, ada satu episode hidup yang memberikan pelajaran bagi saya, agar hati-hati dalam menjaga sesuatu. Kisahnya berupa dompet saya dicopet di angkotan kota. Waktu itu kejadiannya berlangsung di pagi hari jam kerja, dengan kebiasaan saya sebelum mempunyai sepeda motor berangkat kerja memakai angkotan kota (angkot), di Bandung angkot jumlah penumpang ada yang harus tujuh-lima, dalam artian berpenumpang tujuh di tempat duduk sebelah kanan, dan kiri berjumlah lima sampai penuh, saya sendiri tak sadar ketika dompet hilang di angkot itu, tersadar waktu turun dari angkot, Astaghfirullah dalam hati. Dengan berusaha ikhtiar untuk mendapatkan kembali, dengan jalan melaporkan kejadian ke kantor polisi. Tentu dibarengi dengan evaluasi diri, mengapa kejadian ini terjadi? Setelah ikhtiar di lakukan tentunya dibarengi dengan dzikir- maupun doa kepada Allah Swt, agar dompet bisa kembali dan tentunya hikmah kejadian tersebut dapat merupakan ujian hidup ataupun kecerobohan saya pribadi.

Satu keajaiaban pun kembali saya alami, dompet yang hilang ternyata ditemukan kembali, kabar itu disampaikan oleh rekan kerja lewat telepon, yang memberitahukan bahwa dompet beserta uang memang sudah hilang akan tetapi surat-surat dan dokumen-dokumen masih ada dan ditemukan di jok kursi depan angkot yang berbeda dengan angkot yang biasa saya pakai. Yang lebih membuat saya takjub, angkot tersebut sedang berada di bengkel karena terkena musibah kecelakaan dan yang menemukan dokumen di dompet yang hilang itu, pekerja yang memperbaiki angkot, seorang bapak-bapak, usianya empat puluh tahunan ke atas. Subhanallah, ternyata beliau menceritakan kronologis kejadian ditemukannya dokumen-dokumen yang hilang. Dengan kejujuran dan kepolosan bapak ini, saya pun tak lupa memberikan sedekah, beliau pun menerima sembari mengucapkan terima kasih, saya pun tersenyum sambil berjabat tangan.

(Oleh : sandimuda )

Susahnya Bersedekah

Susahnya Bersedekah
Saat ulang tahun ke 37th , pada saat 27 April 2011. Bertepatan saya barusaja belajar tentang kekuatan bersedekah. Dari sahabat saya Ippho Santosa. Pengarang buku mega BestSeller 7 Keajaiban Rejeki dan
Seabrek karya lainnya. Sedekah sudah merupakan makanan sehari-hari saya. Tidak ada lewat satupun. Cuman ini cara pandang beda. Jadi pas hari kelahiran saya, saya coba praktekan sekali lagi dengan kaca mata berniaga dengan Tuhan.

Tepat, jam 18 sore. Saya baru saja pulang dari sebuah minimarket. Memasukan mobil, dan masuk kerumah. Dikagetkan oleh sebuah suara dari luar pagar. Nada jawa barat. Serombongan keluarga, bapak,ibu dan 3 anak-anak yang masih kecil. Mereka dengan nada sopan, bahkan takut-takut mengatakan.

“Pak, maaf menggangu sebentar. Pagar tidak usah dibuka, tidak apa-apa. Saya hanya ingin minta nasi sedikit untuk istri saya.”

Seperti tersambar geledek, bagaimana orang serombongan itu tidak membawa uang sama sekali dan tidak meminta makanan utuh atau minta uang untuk bisa dimakan satu keluarga. Hanya meminta sedekah nasi untuk istrinya saja. Anaknya ? Dia sendiri?

Langsung saya jawab iya. Dan saya masuk kedalam dan mempersiapkan apa yang ada. Semua nasi saya masukan kedalam kotak nasi, telor yang baru saja di goreng untuk makan malam tanpa pikir 2x kali langsung saya masukan. Kebetulan ada beberapa aqua gelas. Langsung saya masukan kedalam 1 tas plastik dan bergegas keluar untuk memberikan itu kepada mereka. Dan masih sempat-sempatnya saya sisipkan uang Rp.50.000,- didalam tas itu

Tapi ternyata , sekeluarga itu telah menghilang entah kemana. Saya dan keluarga memutuskan untuk mengambil mobil dan mengejar satu keluarga malang itu. Niat baik saya, kebetulan di hari jadi saya, saya diingatkan Tuhan untuk berbagi kepada sesama. Maka itulah saat yang tepat untuk saya melakukan itu semua. Dan saya putari desa,kompleks perumahan dan daerah sekitarnya, untuk mencari mereka. Tapi ternyata tetap tidak menemukan dan berjumpa dengan mereka. 30 menit aku mencari mereka tetapi nasib berkehendak lain. Mereka tetap tidak bisa aku temukan.

Tuhan , maafkan aku. Aku kurang cepat bertindak, aku terlalu banyak berpikir, aku terlalu banyak pertimbangan. Tuhan, aku belajar satu hal. Bahwa bersedekat itu tidak perlu pakai lama, tidak perlu pakai mikir, tidak perlu pakai pertimbangan. Langsung kasih, maka berkatMu akan semakin mencerahkan aku.

Ah…susahnya bersedekah bagi orang pemula.

(Oleh : Ridwan )

Keajaiban Sedekah Pak Husni

Keajaiban Sedekah Pak Husni

Keajaiban Sedekah Pak Husni

Pasangan Pak Husni dan Ibu Juriyah tinggal di satu desa di kawasan perkebunan teh milik PT..Nusantara. di Cianjur. Mereka adalah pasangan suami istri dimana Pak Husni bekerja sebagai buruh tani sedangkan Ibu Juriyah bekerja sebagai guru swasta di Sekolah Dasar.
Di sekeliling tempat tinggal mereka, berdiri beberapa rumah yang rata-rata sebagai karyawan perusahaan perkebunan, sebagian ada yang berprofesi sebagai pedagang roti, bekerja di toko bangunan bahkan ada yang sebagai karyawan serta pejabat di Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Keluarga Husni adalah keluarga harmonis, dia termasuk keluarga terpandang yang semua kebutuhan mereka dapat terpenuhi dengan baik. Mereka tidak pernah kekurangan sama sekali dalam hal sandang, pangan dan papan. Bahkan mereka juga tidak pernah terlambat dalam hal menyumbang kegiatan sosial, baik berupa kerja bakti maupun iuran sosial yang harus merogoh kantong saku sendiri.

Dalam hal semua jenis iuran sosial, keluarga Husni termasuk yang paling mendahulukan. Kondisi ini berbeda dengan para tetangga mereka yang notebane adalah orang kaya dengan aktivitas dan keuangan yang tergolong lancar dan berlebih. Tapi itulah anehnya, yang mampu-mampu justru kebanyakan absen dan tidak pernah mengisi iuran kegiatan sosial seperti pembangunan Masjid, perbaikan jalan maupun sarana umum yang lain.

Hal ini juga sama dengan tetangga lainnya yang bekerja sebagai salah satu pimpinan unit pada salah satu kantor Badan Usaha Milik Negara dengan tunjangan gaji yang bisa mencapai di atas 10 juta rupiah. Ya mungkin dalam hal pengelolaan keuangan rumah tangga tidak bisa melihat dari sisi luarnya saja. Bisa saja dengan gaji seperti itu mungkin tetap belum cukup.

Suatu saat Ibu Juriyah sedang sibuk membersihkan halaman rumahnya sedangkan Pak Husni sibuk menyiangi pohon mangganya yang sangat rimbun. Seorang nenek tua tiba-tiba datang sembari berkata pada Ibu Juriyah. "Penghuni rumah ini tidak akan kekurangan harta selama hidupnya". Nenek tua itu secara spontan mengucapkan kata-kata tersebut di depan Ibu Juriyah dan lantas ia pergi begitu saja tanpa penjelasan. Sebaliknya Ibu Juriyah sama sekali tidak mengerti maksud dan ucapan Nenek tua yang tidak dikenalnya itu.
Cerita itu bukan dongeng atau legenda, tetapi ini adalah kenyataan yang dialami keluarga Pak Husni. Bahkan Ibu Juriyah juga telah meyakinkan hal itu kepada saudaranya bahwa keluarganya selalu diberi kemudahan harta dan ketentraman berkeluarga sejak menempati rumah miliknya selam puluhah tahun. Keluarga Pak Husni memang selalu diberi keberkahan rejeki karena kebaikan-kebaikan yang selalu diberikan kepada orang lain.

Pak Husni dan Ibu Juriyah selalu menyisihkan setiap hasil panennya untuk zakat dan sedekah. Bahkan mereka tidak pernah melewatkan kesempatan untuk sedekah. Siapapapun yang datang apalagi ia sampai menyampaikan kehendak hatinya untuk meminta uang, ia langsung memberikan apapun yang mereka miliki di rumah itu tanpa banyak komentar. Tidak heran jika Pak Husni tidak pernah mengalami kesulitan keuangan, makanan dan sebagainya. Hal yang sering dilakukan yang menurut tetangganya adalah menengok tetangganya yang sakit baik sakit ringan maupun sakit berat. Bahkan mereka tidak canggung untuk membawa keluarga si sakit ke rumah sakit dengan membiayai semua biaya perawatan dan pengobatannnya.

Suatu ketika Pak Husni sedang dalam perjalanan menjenguk sanak keluarganya yang berada di Wonosobo dan di Jogjakarta, tiba-tiba dia ditelpon oleh seorang tetanggannya yang bernama Mang Daim. Pada saat yang sama laki-laki itu memerlukan uang tebusan untuk menolong nyawa istrinya yang hampir tidak tertolong sehabis melahirkan. Karena Mang Daim memerlukan biaya besar untuk keperluan medis di rumah sakit swasta. Biaya yang diperlukan kurang lebhih 30 juta untuk bisa mengambil istri dan buah hatinya karena operasi cesar yang telah dilakukan oleh istri Mang Daim itu.
Akhirnya Pak Husni langsung pulang, sesampainya di rumah Pak Husni langsung menuju rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit dia sempat kebingungan karena tidak membawa uang yang cukup untuk menebus obat dan membayar biaya perawatan istri Mang Daim. Kemudian Pak Husni bergegas pulang. Selama perjalanan dia berpikir " Dari mana uang sebesar itu ya Alloh? Gumamnya dalam hati.

Atas saran istrinya Pak Husni langsung menuju ke rumah saudara iparnya." Saya perlu uang sekarang minimal 30 juta". saudara ipatnya menyetujuinya tetapi dengan tenggang waktu yang tidak masuk akal. "Tidak boleh lebih dari 3 hari. Jika lebih dari 3 hari maka tanahmu menjadi milik saya." Kata saudara iparnya itu.

Ketika semua biaya perawatan dan pengobatan sudah terbayar, maka istri Mang Daim bisa dibawa pulang. Betapa bahagianya Mang Daim beserta keluarganya karena bisa membawa pulang istri dan buah hati mereka.
Suasana yang dirasakan Mang Daim berbeda denga suasana hati Pak Husni, "30 juta?, dari mana saya dapat mengembalikan itu dalam waktu 3 hari?, dari mana saya bisa mendapat uanh sebanyak itu? kalau tidak bisa mengembalikan berarti tanah dan sawah saya akan hilang?" Hati Pak Husni demikian gelisah.
Bi-idznillah atas kekuasaan Alloh SWT, ternyata kegelisahannya terjawab dalan waktu yang sangat cepat. Saat bangun tidur di pagi hari, dia mulai dibayangi berbagai kecemasan. Demikian juga saat siang dan sore.

Bahkan saat adzan maghrib berkumandang hatinya semakin gelisah karena waktunya untuk mengembalikan pinjaman akan segera berakhir. Dihari ketiga setelah menunaikan shalat maghrib dia berdoa "Ya Alloh, mudahkanlah segala urusan yang menyempitkan hati dan kehidupan saya. "Ya Alloh, berilah jalan yang mudah, baik dan cepat untuk menyelesaikan seluruh hutang saya" Demikian doa Pak Husni sambil menangis, dia sudah tidak ada jalan keluar lagi kecuali dicurahkannya isi hatinya kepada yang maha Hidup, uang 30 juta tidaklah mungkin datang begitu saja tanpa pertolongan Alloh SWT.

Diluar perkiraan, Alloh SWT ternyata mengabulkan doa Pak Husni dengan melapangkan berbagai kesulitan yang sedang dihadapinya. Malam itu selepas shalat isya Pak Husni Kedatangan tamu seorang saudagar kaya. Pak Husni sendiri tidak mengenali tamunya, yang dia tahu bahwa tamunya berkendaraan mobil mewah yang sangat mencolok kalau masuk kampung Pak Husni. "Kedatangan saya ini pertama silaturahmi, yang kedua saya mempunyai kelebihan uang dan silahkan bapak pakai dengan tidak usah memikirkan pengembalianya.

Saya dulu itu sebeltulnya pernah ditolong Bapak, saat itu saya tidak mempunyai tiket dalam perjalanan dari Jakarta ke jogjakarta dan berkat pertolongan Bapak saya tidak jadi diturunkan di tengah perjalanan." cerita saudagar itu. "Subhanalloh,, saya sendiri sudah lupa peristiwa itu lhoPak?" Timpal Pak Husni. "Justru saya teringat terus dengan Bapak, saya juga tidak tahu alamat bapak, tapi dengan niat tulus ingin silaturahmi ya saya cari-cari alamat bapak di Cianjur ini, berkat Alloh SWT-lah saya bisa berjumpa kembali dengan Bapak." Muka Pak Husni agak berkaca-kaca, Allloh sangatlah dekat, terutama dekat dengan orang-orang yang dekat dengan-Nya.

Setelah tamunya pulang Pak Husni langsung bergegas ke rumah saudara iparnya itu. Alangkah kagetnya setelah membuka amplop besar dari tamunya, rupanya isi amplop tidak hanya 30 juta rupiah tapi malahan 50 juta rupiah. Jumlah itu diketahui setelah Pak Husni menghitung sejumlah 30 juta untuk membayar hutang, tidak tahunya kok uangnya masih sisa begitu banyak.
Pak Husni hanya berdoa agar dapat membayar hutang sejumlah 30 juta, tapi Alloh SWT memberinya 50 juta.

Tuesday, June 14, 2011

Bisa Berbagi dengan Anak Yatim, Akibat Sedekah


Bisa Berbagi dengan Anak Yatim, Akibat Sedekah

Minggu sore itu sudah menunjukkan pukul setengah tiga. Suasana mulai terasa adem, menggantikan teriknya matahari yang memancar sesiang tadi. Nampaklah segerombolan remaja tengah bersenda gurau di sebuah rumah, di kawasan Depok.

Seorang di antaranya terlihat sedang mencuci mobilnya. Beberapa lainnya duduk-duduk di lantai sambil ngobrol dan berkelakar. Tiba-tiba senda gurau mereka terhenti. Sesosok anak kecil, dengan pakaian kumel dan lusuh sudah memasuki perkarangan rumah itu.
“Minta... Kak... saya minta uang...” sapanya dengan wajah memelas. Pemuda yang sedang mengelap mobil mengalihkan pandangan ke arah teman-temannya.

“Eh, ada yang bawa seribuan, nggak?” tanyanya mendesak.
Semua temannya merogoh kantong dan dompet.
“Nggak ada gue,” jawab seseorang.
“Iya.... gue juga nggak ada, Cek!”
Pemuda yang kerap dipanggil Bucek itu ganti memandang pengemis kecil dan berkata,”Maaf, Dek... lain kali aja, ya...”
Tapi omongannya terhenti ketika Leka, temannya mendadak beranjak dari tempatnya duduk dan memanggil Bucek.

“Apaan?”
“Ini.... kasih ini aja...” kata gadis itu seraya menyerahkan selembar uang lima ribuan.”
Bucek menggeleng, “Nggak usah, eh Man, cari gih di dalam uang seribuan...” serunya pada Arman, temannya yang lain.
“Nggak usah, ini aja lagi....” desak Leka kemudian.
“Kegedean, lagi....” tolak Bucek.
“Nggak apa-apa... gue cuma ada lima ribu uang kecilnya. Gue ikhlas, kok. Kasihan lagi...”

Sementara pengemis kecil itu belum beranjak, ia masih berada di perkarangan, memperhatikan perdebatan sepasang remaja itu.
“Iya gue ngerti, tapi takut kebiasaan dia, nanti ke sini melulu. Belum tentu buat dia, kan ada yang koordinir...” Bucek masih berusaha membujuk Leka.
“Ah, udahlah, Cek. Gue lagi pingin beramal, nih. Biarin deh.”
Tapi karena Bucek tak juga mengambil uang itu dari lengannya. Leka lalu meminjam sendal pemilik rumah dan bergegas ke halaman.
“Ngapain, loh Ka... becek lagi....” tanya teman-temannya. Gadis itu tak menghiraukan panggilan mereka. Segera ia mengejar pengemis kecil yang telah meninggalkan perkerangan itu.
“Dek... sini.... nih, buat kamu...” ia menyerahkan selembar lima ribuan padanya. Pengemis kecil itu menerima dengan senyum ceria.
“Jadi ngasih?” tanya temannya begitu Leka kembali. Gadis itu hanya mengangguk singkat.
“Biarin, kasihan...”

Tak ada hal lain dalam pikirannya selain ingin membantu gadis pengemis itu. Beberapa hari kemudian, Leka berpikir kalau sweet seventeennya semakin dekat. Sesampainya di rumah, ia bertanya pada tentenya.
“Tante... tabungan Leka ada berapa?”
“Emang kenapa?” tantenya balik bertanya.
“Gue cuma ingin tahu. Kan dikit lagi ulang tahun 17. Rencananya gue mau ngerayain sama anak yatim di Jambi nanti.” Jelasnya. Ulang tahunnya memang bertepatan dengan masa kenaikan kelas. Rencananya liburan nanti ia akan pulang kampung.

“Di sini kamu juga ngadain pesta nanti?”
“Pengennya sih... kalau duitnya cukup. Makanya gue mau itung-itungan. Tabungan gue di Tante berapa?”
Akhirnya mereka berhitung,”Ka... tabungan kamu kan 400 ribu. Nah, selain itu kamu dapat sangu 500 ribu dari Mbak Ven di Batam.” Jelas tantenya, menyebutkan nama tante yang lain, yang tinggal di Batam dan termasuk orang kaya.

Mata Leka bersinar, “Beneran? Berarti uang gue ada...” ia berhitung lagi.
“Tapi masih kurang kalau mau ngadain pesta di sini juga.” Keluhnya.
“Ka... sekarang kamu prioritaskan aja deh, kamu ngejar pahala atau duniawi aja. 17 tahun nggak selalu harus pesta kan?”
Leka masih menerawang. “Kalau gue minta tambahan lagi sama Tante Ven di Batam gimana, ya? Kan untuk merayakan sama anak yatim. Niat gue ada empat nih...” ia lalu menjabarkan keempat niat baiknya.
“Coba, aja....” kata tantenya lagi.

Takut-takut Leka mencoba mengirim sms pada tantenya di Batam. Alhamdulillah sang tante bersedia menambahi lagi satu juta.
“Alhamdulillah.... ah gue pesta di Jambi aja ama anak yatim, di Depok nggak usah,” putusnya kemudian.

Dua minggu kemudian, sekembalinya dari Jambi, gadis remaja itu berbagi cerita kalau ulang tahunnya sukses. Mengundang sekitar 50 anak yatim dan juga teman dan kerabat dekatnya.

“Alhamdulillah sukses, sampe rumah nggak muat.” Jelasnya ceria. Kemudian ia berkisah lagi. Akibat menyenangkan anak yatim itu, ia mendapat uang 500 ribu dari seorang kaya di kampungnya, yang merupakan teman dekat ayahnya.
“Ka nggak nyangka, padahal baru ketemu. Eh dapat 500 ribu.”

Gara-gara sedekah 5000, remaja itu mendapat ganti sebesar satu setengah juta rupiah dalam beberapa hari. Uang itu dipergunakannya untuk merayakan ulang tahun bersama anak yatim. Selanjutnya ia mendapatkan bonus sebesar 500 ribu lagi. Leka meyakini sedekah memang mampu memancing rezekinya.

Ketika Tsunami Datang...


Ketika Tsunami Datang...
Pagi itu, Fahmi tengah duduk santai di rumahnya. Menikmati udara pagi yang sejuk dan menikmati secangkir teh dan roti yang telah disediakan istrinya. Maklum saja ia sedang menganggur sehabis keluar dari tempatnya kerja dulu. Jadi ia bisa menikmati hari-hari di rumahnya, meski pusing juga memikirkan nafkah bagi istri dan dua anaknya yang masih kecil-kecil.
“Belum ada order motret lagi, Pa? Atau kerjaan?” istrinya bertanya hati-hati.

Fahmi hanya menggeleng. Tabungannya mulai menipis. Ia harus mencari kerjaan kalau asap dapurnya mau ngebul, apalagi... ia masih tinggal di rumah mertuanya.... malu rasanya.

Istrinya kembali ke dalam dan menyalakan televisi, saat itulah berita yang menyentak terpampang.

“Pa... lihat deh, sini!” panggil istrinya. Malas-malasan Fahmi bangkit dan menghampiri istrinya.

“Apaan, sih?”

“Tuh, lihat aja.” Istrinya menunjuk televisi. Pandangan Fahmi beralih ke teve dan...

“Astaghfirullah....” desisnya berkali-kali. Bencana tsunami telah menghadang Aceh dan sekitarnya, bahkan menjadi bencana dunia.

“Ya ampun, bukan cuma Indonesia, ya...” istrinya menggeleng-gelengkan kepala.

“Lihat tuh, ya Allah... ombaknya tinggi banget, ya Allah...” masih kata istrinya. Fahmi tak bersuara. Tatapan matanya nanar dan mulai berkaca-kaca.

Lihatlah para manusia tak berdaya itu, mereka berupaya menyelamatkan diri dari terjangan tsunami, memanjat pohon, bertengger di atap, tergulung ombak. Lihatlah ribuan mayat yang hancur dan tak dikenal itu. Benar-benar Maha Besar Allah yang bisa melakukan semua ini. Benar-benar manusia tak bisa menolak kuasaNya.

Aceh hancur, hanya masjid yang maish berdiri tegak. Lihatlah Serambi Mekkah itu, lihatlah kota yang dikenal religius itu. Kini porak-poranda. Mengapa Aceh ya Allah, mengapa? Kasihan mereka. Fahmi tak habis pikir.

Namun, sejurus kemudian ia beristighfar... pasti ada skenario tertentu yang dibuat Allah dibalik bencana ini. Allah menjadikan sesuatu bukan tanpa sebab.

Fahmi mengusap perlahan titik air mata yang mulai menganak sungai di pipinya.

“Kita beri bantuan yuk buat mereka,” katanya kemudian pada istrinya.

“Iya, berapa?”

“Sekarang kita kumpulin aja dulu pakaian layak pakai, yuk!” mereka berdua beraksi. Kemudian Fahmi mengambil sejumlah uang simpanannya.

“Pa... nggak kebanyakan? Nanti kita gimana?” istrinya mengingatkan.

“Udahlah, Ma, mereka lebih butuh dari kita. Cobaan yang kita hadapi sekarang nggak ada artinya dibandingkan kesusahan mereka, nanti pasti ada rezeki buat kita. Yakin aja, deh,” hibur Fahmi.

Istrinya mengalah. Memang jumlah uang yang mereka sumbangkan tak sampai 500 ribu rupiah, namun terasa juga karena Fahmi masih menganggur. Tapi mereka ikhlas membantu saudara mereka yang kesusahan di tanah rencong sana.

Melalui sebuah yayasan, mereka menyalurkan bantuan itu. Kemudian Fahmi dan keluarganya setia mantengi televisi untuk melihat perkembangan situasi di Aceh.

Suatu hari, saat Fahmi sedang di depan tv, telepon rumahnya berbunyi.

“Assalamu’alaikum...” sapanya ramah.

“Wa’alaikum salam, Fahmi, ya?” sahut suara di ujung sana.

“Fah, selamat ya.... foto ente menang juara harapan.”

“Alhamdulillah... yang bener, lo?” Fahmi tidak percaya.

“Bener. Hadiahnya dua juta!”

Mendengar berita itu tak urung Fahmi langsung sujud syukur. Kemudian ia mengabarkan berita gembira itu pada istrinya.

“Ma, Alhamdulillah, foto yang Papa ikutin lomba jadi juara harapan. Hadiahnya dua juta...”

Ia memeluk erat istrinya, “Betul kan Papa bilang. Kalau udah rezeki nggak bakalan ke mana, deh...”

Rupanya, Allah masih menyimpan kejutan lain buat mereka. Beberapa hari kemudian, kembali telepon rumahnya berdering, “Ya hallo... Assalamu’alaikum?” sapa Fahmi lagi.

“Fah... masih nganggur lo?” tanya temannya di ujung sana.

“Ya... gitu deh, kenapa? Ada gawean?” Fahmi bertanya penuh harap.

“Bukan gawean sih, ada order motret kawinan, buat kita berdua, lumayan 7 juta, bo! Mau nggak?”

“Pake nanya lagi, ya mau dong!” Fahmi tertawa senang. Kembali ia sujud syukur dan mengabarkan berita itu pada istrinya.

“Alhamdulillah....ya Pa... Allah baik banget.”

“Makanya... Papa bilang juga apa, nggak usah takut nyumbang agak banyak buat Aceh kemarin...”

Mereka berdua bertatapan penuh makna.

Sedekah tanpa menunggu diri ini ikhlas terlebih dahulu.


Sedekah tanpa menunggu diri ini ikhlas terlebih dahulu...kalau blm ikhlas juga...sedekah saja lagi..
Sedekah tanpa menunggu diri ini ikhlas terlebih dahulu.

Pagi itu, setelah kembali dari shalat Subuh di Mushalla dekat rumahnya, Pak Shannif ingin sekali bersilaturrahim ke kantor sahabatnya yang lama tak ditemuinya. Setelah mandi dan berpakaian, dia pun memanaskan mobilnya sambil menikmati secangkir kopi yang telah disiapkan oleh istrinya.

Ketika semuanya telah siap, Pak Shannif yang kala itu sehari-hari bekerja di sebuah bank swasta, meraih tas kerjanya lalu melangkah menuju mobilnya. Sebelum naik mobil, tak lupa ia menyiapkan uang pecahan Rp. 5.000, untuk diinfakkan pagi itu kepada siapa saja yang ditemuinya di jalan atau di lampu merah, mengingat di Jakarta ini tak susah untuk mencari orang miskin yang butuh bantuan.

Mobil Pak Shannif terus melaju dari arah Cipayung, di mana ia tinggal bersama istri dan kedua orang anaknya. Saat tiba di lampu merah perempatan Taman Mini – Pondok Gede (sekarang dikenal dengan lampu merah Tamini Square), Pak Shannif melihat sosok seorang ibu tua dengan penampilan yang tak ubahnya seperti pengemis. Saat ibu tua itu mendekat, Pak Shannif langsung membuka kaca mobilnya sembari mengeluarkan dari kantong bajunya uang pecahan Rp 5.000 lalu menyerahkannya kepada ibu tua tadi.

Ibu tua yang telah menerima uang itu berdiri sejenak dengan mulut yang komat-kamit, entah apa yang dikatakannya, bisa jadi ia sedang mendoakannya. Apalagi bila dilihat dari jumlah uang yang barusan diterimanya, uang Rp 5.000 pada tahun 1995, tergolong besar.

”Saya ikhlas melakukannya benar-benar kerena Allah SWT, tanpa berharap apa-apa darinya,” ucap Pak Shannif. ”Karena saya yakin, jika kita melakukan kebaikan, pasti Allah akan balas, Dia tidak akan pernah ingkar janji,” imbuhnya saat menceritakan hal ini kepada saya.

Lampu hijau menyala. Pak Shannif pun melanjutkan perjalanannya dengan melalui jalan tol arah Cawang, menuju Jalan Thamrin, Jakarta Pusat. Sepanjang perjalanan Pak Shannif merasakan kedamaian yang luar biasa. Rasa itu bahkan berlangsung hingga berhari-hari.

Beberapa puluh menit kemudian, Pak Shannif pun tiba di kantor sahabatnya yang terletak di bilangan Jalan Thamrin. Ia tiba lebih dulu dibanding sahabat yang akan ditemuinya.

Pak Shannif duduk di ruang tunggu. Selang beberapa menit kemudian, sahabat yang ditunggunya datang. ”Hei, apa kabar?” sapa sahabatnya penuh hangat. ”Baik, alhamdulillah,” jawab Pak Shannif.

Obrolan antara dua sahabat yang lama tak bertemu berlangsung penuh akrab dan hangat. Canda dan tawa sesekali mengiringi obrolan mereka berdua. ”Oke Mas, saya udak kelamaan nih, saya pamit dulu ya,” ujar Pak Shannif saat sadar bahwa ia telah lama menyita waktu sahabatnya. Apalagi ia juga harus masuk kantor.

Suatu hal yang tak pernah diduga sebelumnya, saat Pak Shannif beranjak meninggalkan ruangan, sahabatnya itu menyodorkan sebuah amlop yang kelihatannya cukup tebal. ”Apa ini?” tanya Pak Shannif? ”Ini mas, ada sedikit rezeki, mohon diterima,” jawab sahabatnya singkat.

Pagi itu, Pak Shannif benar-benar tak menduga dirinya bakal mendapat amplop, tebal lagi. Niat kedatangannya benar-benar hanya karena ingin silaturrahim dengan sahabat lamanya itu. Terima kasih, Mas...,” ucap Pak Shannif atas pemberian tersebut. ”Salam buat keluarga,” imbuhnya.

Setelah sampai di mobilnya, Pak Shannif yang masih dalam keadaan “shock” setelah menerima rezeki nomplok, membuka amplop tersebut. Ternyata isinya cukup besar, satu juta rupiah! Sebuah angka yang cukup besar kala itu. ”Jumlah itu setara dengan jumlah beasiswa saya selama dua tahun, Pak, saat kuliah,” ujarku menanggapi jumlah rezeki nomplok tersebut.

Demikianlah Allah SWT memberikan balasan bagi hamba-hamba-Nya yang ikhlas dalam beramal. Dia berjanji akan membalas setiap kebaikan hamba-Nya, bahkan hingga ratusan kali lipat, tanpa menzhaliminya sedikit pun. ”Berinfaklah, niscaya Aku pun berinfak kepadamu,” firman Allah SWT dalam hadits qudsi. Pak Shannif telah membuktikannya; dalam dua jam, ia mendapatkan balasan 200 kali lipat atas keikhlasannya.

Rasulullah saw juga mengungkapkan bahwa, ”Apabila seorang hamba memasuki waktu pagi, ia disertai oleh dua malaikat yang mendoakannya. Malaikat pertama berdoa, ’Ya Allah, berikanlah balasan bagi orang yang berinfak’, sedang malaikat yang kedua berdoa, ’Ya Allah, berikanlah kehilangan (kahancuran) pada orang yang tak berinfak.’” (HR. Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah ra)

Pada hadist lain Rasulullah saw bersabda, ”Siapa yang senang rezekinya dilapangkan dan umurnya dipanjangkan, hendaklah ia menjalin silaturrahim.” (HR. Bukhari dan Muslim, dari Anas bin Malik ra.)

Raihlah doa baik malaikat dengan membiasakan diri mengawali aktifitas harian kita dengan berinfak di pagi hari dan jalinlah silaturrahim Lakukanlah kebaikan sebanyak mungkin, ikhlas karena Allah SWT, lalu tawakkallah, dan rasakan manfaatnya.

Semoga Allah SWT menjadikan kita semua sebagai hamba yang gemar melakukan kebaikan dan menebarkan manfaat. Amin... allahumma amin.***

Sedekahmu Pasti Berbalas!


Sedekahmu Pasti Berbalas!

Pantai Nusa Dua Bali, pada suatu sore.

Kami sedang bokek berat. Ups, nggak bokek banget sebenarnya! Hanya saja, uang yang ada telah kami alokasikan untuk membayar sejumlah tagihan dan kebutuhan lain. Jadi, terpaksa bekal piknik kami sore itu hanyalah sehelai tikar dan beberapa botol air putih.
Padahal, mestinya bekal utama keluarga yang sedang piknik adalah setumpuk makanan kecil. Karena saat bersenang-senang tak lengkap rasanya tanpa camilan. Tapi, ya itu tadi. Keadaanlah yang mengharuskan kami lebih menahan diri.

Setelah menemukan tempat yang nyaman, kami menggelar tikar dan duduk santai. Tak berapa lama, seorang bapak, kira-kira tak jauh usianya dari suamiku, muncul dari kejauhan tepi pantai. Tersenyum ramah ia mengucap salam, hangat dan akrab menyalami tangan suamiku. Ia menenteng sesuatu terbungkus kresek putih, yang langsung diletakkannya di atas tikar kami. “Silahkan Pak, Bu,” ujarnya ramah. Sudah pasti itu isinya makanan. Tapi aku dan suami hanya senyum-senyum, mengira ia cuma basa-basi.

Setelah bercakap-cakap sebentar dengan suamiku, bapak itu lantas pamit hendak kembali ke tempat keluarganya duduk-duduk bersama.

“Lho, Pak, itu kok nggak dibawa?” tanya suamiku sambil menunjuk tas kresek beserta isinya yang teronggok di atas tikar.

“Nggak, Pak. Silahkan dinikmati …” katanya santai sambil melenggang pergi.

Aku dan suamiku saling berpandangan, sampai nyaris lupa mengucapkan terima kasih pada bapak yang baru pertama kali kami jumpa itu.

Kubuka tas kresek itu dan melongo melihat isinya. Serenteng kacang atom, sebungkus kacang rebus, beberapa biji apel dan belimbing, dua buah teh kotak ukuran jumbo, biskuit, wafer, dan entah apa lagi! Rasanya, belum pernah kami piknik membawa bekal sebanyak ini!

Sungguh rezeki tak terduga, karena baru beberapa menit sebelumnya aku memandang ombak di kejauhan dengan sedih (lebay mode on :-)) sambil membayangkan alangkah nikmatnya jika ada sedikit makanan kecil yang memeriahkan piknik kami sore itu.

Aku menoleh terharu ke arah bapak yang baik hati itu, yang kini tengah asyik bercengkrama di kejauhan dengan istri dan anaknya. Dari obrolan sekilas tadi dengan suamiku, kuketahui pekerjaannya adalah berdagang. Ia membuka warung di Pasar Kuta. Kubayangkan, tentu hidupnya sangat sederhana. Apa yang mendorongnya memberi makanan begini banyak pada orang yang sama sekali tak dikenalnya?

Aku yakin, semua ini tak mungkin terjadi tanpa campur tangan Tuhan. Aku teringat pada buku yang pernah kubaca. Karya Yusuf Mansur, “The Miracle of Giving” judulnya. Pada salah satu bagiannya, sang ustadz sedekah mencontohkan sesuatu terkait sedekah dan hikmahnya.

Seseorang, saat Jumatan, mengeluarkan uang seribu rupiah untuk dimasukkan ke kotak infak. Sepulang dari jumatan, orang tersebut makan di warung dan “kebetulan” bertemu dengan temannya. Tanpa diduga, si teman membayarinya makan siang seharga Rp 10.000.

Andai orang itu “kurang berilmu”, tentu ia menganggap pertemuan dengan si teman hanyalah kebetulan belaka. Sebaliknya, jika ia jeli dan “cukup berilmu”, maka ia kontan menyadari bahwa rezekinya siang itu (dibayari makan siang) tentu disebabkan sedekah Rp 1000-nya. Bukankah Allah membalas kebaikan kita 10-700 kali lipat (ada dalam Al Quran). Maka, menyadari hal itu, ia akan semakin bersyukur dan bertekad menambah kembali sedekahnya.

Dan kisah yang dituturkan Yusuf Mansur di atas sebenarnya masih memiliki celah untuk dibantah. Apanya yang aneh? Bukankah wajar seorang teman mentraktir temannya makan? Tapi apa yang saya alami, sebenarnya lebih “nggak masuk akal”. Karena kami sama sekali tak kenal dengan bapak yang memberi kami makanan itu. Teman bukan, saudara bukan. Jadi, mau beralasan apa lagi jika rezeki yang kami dapat sore itu hanyalah sebuah kebetulan?

Ini tentu buah dari sedekah kami, entah yang mana. Seperti pernah ditulis seorang sahabat dalam note Facebooknya, “Mana mungkin Tuhan lupa membalas?” Mungkin ini balasan atas kengototan suamiku menyajikan hidangan terbaik saat rumah kami mendapat giliran tempat taklim, padahal keuangan kami saat itu tengah pas-pasan. Atau kebaikan kecil lain yang pernah kami lakukan, dan telah kami lupakan saking kecilnya, entahlah!

( Oleh: Bunda Raihan )

Sedekah Meringankan takdir

 Sedekah Meringankan takdir

Sedekah Meringankan takdir
 “Good morning, Pak Gland, what’d happened with your neck?” sapaku pada Bosku yang pagi itu datang dengan kondisi berbalut penyangga leher; yang disambut Bosku dengan cerita panjang lebar penyebab balutan dilehernya, bagaimana saat liburan akhir minggu disuatu daerah pariwisata, ternyata motor yang ditumpangi bersama rekannya, terpelanting ditikungan dan terseret di jalanan berpasir dan akibat peristiwa itu, salah urat pada leher membuatnya sulit untuk digerakkan dan harus dirawat dua hari dirumah sakit tempatnya berlibur.

Saat ia bercerita, aku teringat anak kami yang sedang melanjutkan kuliahnya didaerah yang sama, yang juga mengendarai motor sebagai alat transportasinya; yah, hanya do’a kami sebagai orang tua yang selalu kami panjatkan kepada Alloh SWT agar anak kami selalu selamat dalam lindunganNya dan dijauhi dari segala musibah.

Jam-jam sibuk hari itupun berlalu, sambil beranjak pulang aku lantunkan dalam hati do’a-do’a kepada Alloh, mohon perlindunganNya; do’a itu berlanjut saat bus yang kutumpangi dari arah belakang bergerak lambat, beriringan dengan kendaraan lainnya, karena jam yang sama, semua orang berpacu menuju ketempat tinggal masing-masing.

Walau bus penuh penumpang, Alhamdulillah, Alloh berikan aku rizki tempat duduk untuk melepas lelah; saat itu posisi dudukku berada di deretan belakang, maka dengan leluasa aku dapat melihat apa yang terjadi di depanku; Diantara penumpang yang kuperhatikan, ada dua anak yang terlihat seperti kakak-beradik berdiri tidak jauh dari tempatku duduk; si adik dengan posisi jongkok sepertinya sedang menahan rasa sakit diperutnya, sedangkan sang kakak berdiri disebelahnya seolah tidak begitu peduli dengan kondisi si adik.

Sekian menit bus berjalan, aku perhatikan kondisi si adik semakin meringis,pucat, menahan sakit; membuat hati ini tergugah, maka dengan tidak mempedulikan reaksi penumpang lain, aku bertanya “Adik sakit perut ya?”.. ternyata menjawab si kakak “iya tuh Bu, mules, masuk angin barangkali”..

Tanpa berfikir panjang, dengan cepat aku cari uang duapuluh ribuan yang sudah aku bayangkan dan niatkan untuk aku berikan pada mereka sejak tadi, lantas aku ulurkan pada si kakak “kalau nanti sampai, bisa tolong belikan obat masuk angin dan makanan untuk adikmu”, sang kakak dengan sigap mengiyakan.

Setibanya bus diterminal, dengan tergesa-gesa semua penumpang berhamburan keluar, begitu juga dengan kedua kakak-beradik tersebut; kuperhatikan dari jauh bagaimana si adik langsung menuju ke wc umum, sedang si kakak ke arah pedagang; sedangkan aku, melanjutkan langkahku mencari kendaraan umum yang akan membawaku menuju rumah; saat itu jam menunjukkan pukul 16.30, dan entah mengapa, saat berada dalam kendaraan tersebut, tiba-tiba airmata ini bercucuran tanpa bisa dicegah, saat itu, terbayang anak-anak kami –yang sepertinya- usianya tidak jauh berbeda dengan kakak beradik yang aku temui tadi; bedanya anak bungsuku dirumah, sedang sang kakak jauh di daerah.

Akhirnya, alhamdulillah, sampailah aku dirumah, dengan mengucap salam, aku masuki rumah, kupeluk si bungsu, kemudian kulanjutkan dengan aktifitasku sebagai ibu rumah tangga. Selang beberapa menit sebelum adzan maghrib, telpon rumahku berdering, aku fikir, mungkin dari suamiku yang akan minta izin akan pulang setelah sholat maghrib di kantornya; ternyata dari seberang sana terdengar suara tersendat-sendat “Bunda,…a..a.. aku.. ba..ru..ja..tuh..dari motor…ta..pi..ga’..papa..koq’..” wah!...itu suara si sulung,anak kami, merintih seperti menahan sakit; dengan paniknya aku menjawab..”Mas, bagaimana kondisinya, dimana jatuhnya.., apa yang sakit, nak”…dg perlahan anakku menjawab “Bunda.. ga’ usah panik, aku sudah ditolong temanku dibawa ke dokter, alhamdulillah ..Cuma mata kakiku yang lecet, motorku terpeleset ditikungan jalan yang banyak pasirnya”…
Subhanalloh…
Silih berganti terbayang dibenakku, bagaimana peristiwa yang menimpa bosku dengan kondisi yang sama dan terbayang juga kondisi kakak beradik di bus sore ini..

Airmata ini berurai tak terbendung…cepat-cepat aku tanyakan “jam berapa kejadiannya, anakku?”…”kira2 jam 17.30-an tadi, Bun” ujar anakku..

MasyaAlloh, dengan selisih perbedaan waktu setempat, ternyata takdir anakku jatuh dari motor berlaku di jam yang sama dengan linangan airmata ibunya dikendaraan umum tadi.
Subhanalloh..

Dengan penuh kasih sayang seorang ibu, aku besarkan hatinya untuk selalu tegar dan menyuruhnya istirahat, minum obat, sambil mengingatkannya untuk selalu dekat dan berkomunikasi kepada Alloh dengan menjalankan segala perintahNya, do’a orang tua akan selalu mengiringi..”

Malam itu, setelah semua kejadian dan hubungannya dengan sedekah yang diberikan dengan ketulusan hati membuahkan lebih ringannya akibat dari musibah yang Alloh takdirkan pada anak kami, aku ceritakan kepada suami dan si bungsu; dengan bersama-sama kami panjatkan do’a syukur kepada Alloh karena hanya dengan rahmat Alloh SWT anak kami Alhamdulillah sehat, selamat.

Matematika Gaji dan Logika Sedekah


Matematika Gaji dan Logika Sedekah
Dalam satu kesempatan tak terduga, saya bertemu pria ini. Orang-orang biasa memanggilnya Mas Ajy. Saya tertarik dengan falsafah hidupnya, yang menurut saya, sudah agak jarang di zaman ini, di Jakarta ini. Dari sinilah perbincangan kami mengalir lancar.

Kami bertemu dalam satu forum pelatihan profesi keguruan yang diprogram sebuah LSM bekerja sama dengan salah satu departemen di dalam negeri. Tapi,saya justru mendapat banyak pelajaran bernilai bukan dari pelatihan itu. Melainkan dari pria ini.
Saya menduga ia berasal dari kelas sosial terpandang dan mapan. Karena penampilannya rapih, menarik dan wajah yang tampan. Namun tidak seperti yang saya duga, Mas Ajy berasal dari keluarga yang pas-pasan. Jauh dari mapan. Sungguh kontras kenyataan hidup yang dialaminya dengan sikap hidup yang dijalaninya. Sangat jelas saya lihat dan saya pahami dari beberapa kali perbincangan yang kami bangun.

Satu kali kami bicara tentang penghasilan sebagai guru. Bertukar informasi dan memperbandingkan nasib kami satu dengan yang lain, satu sekolah dengan sekolah lainnya. Kami bercerita tentang dapur kami masing-masing. Hampir tidak ada perbedaan mencolok. Kami sama-sama bernasib "guru" yang katanya pahlawan tanpa tanda jasa. Yang membedakan sangat mencolok antara saya dan Mas Ajy adalah sikap hidupnya yang amat berbudi. Darinya saya tahu hakikat nilai di balik materi.

Penghasilannya sebulan sebagai guru kontrak tidak logis untuk membiayai seorang isteri dan dua orang putra-putrinya. Dia juga masih memiliki tanggungan seorang adik yang harus dihantarkannya hingga selesai SMA. Sering pula Mas Ajy menggenapi belanja kedua ibu bapaknya yang tak lagi berpenghasilan. Menurutnya, hitungan matematika gajinya barulah bisa mencukupi untuk hidup sederhana apabila gajinya dikalikan 3 kali dari jumlah yang diterimanya.

"Tapi, hidup kita tidak seluruhnya matematika dan angka-angka. Ada dimensi non matematis dan di luar angka-angka logis."

"Maksud Mas Ajy gimana, aku nggak ngerti?"

"Ya, kalau kita hanya tertuju pada gaji, kita akan menjadi orang pelit. Individualis. Bahkan bisa jadi tamak, loba. Karena berapapun sebenarnya nilai gaji setiap orang, dia tidak akan pernah merasa cukup. Lalu dia akan berkata, bagaimana mau sedekah, untuk kita saja kurang."

"Kenyataannya memang begitu kan Mas?" kata saya mengiayakan. "Mana mungkin dengan gaji sebesar itu, kita bisa hidup tenang, bisa sedekah. Bisa berbagi." Saya mencoba menegaskan pernyataan awalnya.
"Ya, karena kita masih menggunakan pola pikir matematis. Cobalah keluar dari medium itu. Oke, sakarang jawab pertanyaan saya. Kita punya uang sepuluh ribu. Makan bakso enam ribu. Es campur tiga ribu. Yang seribu kita berikan pada pengemis, berapa sisa uang kita?"

"Tidak ada. Habis." jawab saya spontan.

"Tapi saya jawab masih ada. Kita masih memiliki sisa seribu rupiah. Dan seribu rupiah itu abadi. Bahkan memancing rezeki yang tidak terduga."

Saya mencoba mencerna lebih dalam penjelasannya. Saya agak tercenung pada jawaban pasti yang dilontarkannya. Bagaimana mungkin masih tersisa uang seribu rupiah? Dari mana sisanya?

"Mas, bagaimana bisa? Uang yang terakhir seribu rupiah itu, kan sudah diberikan pada pengemis." saya tak sabar untuk mendapat jawabannya.

"Ya memang habis, karena kita masih memakai logika matematis. Tapi cobalah tinggalkan pola pikir itu dan beralihlah pada logika sedekah. Uang yang seribu itu dinikmati pengemis. Jangan salah, bisa jadi puluhan lontaran do’a keberkahan untuk kita keluar dari mulut pengemis itu atas pemberian kita. Itu baru satu pengemis. Bagaimana jika kita memberikannya lebih. Itu dicatat malaikat dan didengar Allah. Itu menjadi sedekah kita pada Allah dan menjadi penolong di akhirat. Sesungguhnya yang seribu itulah milik kita. Yang abadi. Sementara nilai bakso dan es campur itu, ujung-ujungnya masuk WC."

Subhanallah. Saya hanya terpaku mendapat jawaban yang dilontarkannya. Sebegitu dalam penghayatannya atas sedekah melalui contoh kecil yang hidup di tengah-tengah kita yang sering terlupakan. Sedekah memang berat. Sedekah menurutnya hanya sanggup dilakukan oleh orang yang telah merasa cukup, bukan orang kaya. Orang yang berlimpah harta tapi tidak mau sedekah, hakikatnya sebagai orang miskin sebab ia merasa masih kurang serta sayang untuk memberi dan berbagi.

Penekanan arti keberkahan sedekah diutarakannya lebih panjang melalui pola hubungan anak dan orang tua. Dalam obrolannya, Mas Ajy seperti ingin menggarisbawahi, bahwa berapapun nilai yang kita keluarkan untuk mencukupi kebutuhan orang tua, belum bisa membayar lunas jasa-jasanya. Air susunya, dekapannya, buaiannya, kecupan sayangnya dan sejagat haru biru perasaanya. Tetapi di saat bersamaan, semakin banyak nilai yang dibayar untuk itu, Allah akan menggantinya berlipat-lipat.

"Terus, gimana caranya Mas, agar bisa menyeimbangkan nilai metematis dengan dimensi sedekah itu?".

"Pertama, ingat, sedekah tidak akan membuat orang jadi miskin, tapi sebaliknya menjadikan ia kaya. Kedua, jangan terikat dengan keterbatasan gaji, tapi percayalah pada keluasan rizki. Ketiga, lihatlah ke bawah, jangan lihat ke atas. Dan yang terakhir, padukanlah nilai qona'ah, ridha dan syukur".

Saya semakin tertegun Dalam hati kecil, saya meraba semua garis hidup yang telah saya habiskan. Terlalu jauh jarak saya dengan Mas Ajy. Terlalu kerdil selama ini pandangan saya tentang materi. Ada keterbungkaman yang lama saya rasakan di dada. Seolah-oleh semua penjelasan yang dilontarkannya menutup rapat egoisme kecongkakan saya dan membukakan perlahan-lahan kesadaran batin yang telah lama diabaikan. Ya Allah saya mendapatkan satu untai mutiara melalui pertemuan ini. Saya ingin segera pulang dan mencari butir-butir mutiara lain yang masih berserak dan belum sempat saya kumpulkan.

Sedekah Doa Adik Pada Kakaknya

Sedekah Doa Adik Pada Kakaknya
Dua laki-laki bersaudara bekerja di sebuah pabrik kecap dan sama-sama belajar agama islam untuk sama-sama mengamalkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari semaksimal mungkin. Mereka berjalan kaki mengaji kerumah gurunya yang jaraknya sekitar 10 KM dari rumah peninggalan orangtua mereka.

Suatu ketika sang kakak berdo'a memohon rezeki untuk membeli sebuah Mobil supaya dapat dipergunakan untuk sarana angkutan dia dan adiknya bila pergi mengaji. Allah mengabulkannya, tak lama kemudian sebuah mobil dapat dia miliki dikarenakan mendapatkan bonus dari perusahaannya bekerja.

Lalu sang kakak berdo'a memohon seorang istri yang sempurna, Allah mengabulkannya, tak lama kemudian sang kakak bersanding dengan seorang gadis yang cantik serta baik perangai.

Kemudian berturut-turut sang Kakak berdo'a memohon kepada Allah akan sebuah rumah yang nyaman, pekerjaan yang layak, dan lain-lain dengan itikad supaya bisa lebih ringan dalam mendekatkan diri kepada Allah. Dan Allah selalu mengabulkan semua do'anya itu.

Sementara itu sang Adik tidak ada perubahan sama sekali, hidupnya tetap sederhana, tinggal di rumah peninggalan orang tuanya yang dulu dia tempati bersama dengan Kakaknya. Namun karena kakaknya seringkali sibuk dengan pekerjaannya sehingga tidak dapat mengikuti pengajian, dan sang adik sering kali harus berjalan kaki untuk mengaji kerumah guru mereka.

Suatu saat sang Kakak merenungkan dan membandingkan perjalanan hidupnya dengan perjalanan hidup adiknya, dan dia teringat adiknya selalu membaca selembar kertas apabila dia berdo'a menandakan adiknya tidak pernah hafal bacaan untuk berdo'a. lalu datanglah ia kepada adiknya untuk menasihati adiknya supaya selalu berdo'a kepada Allah dan berupaya untuk membersihkan hatinya, karena dia merasa adiknya masih berhati kotor sehingga do'a-do'anya tiada dikabulkan oleh Allah azza wa jalla.

Sang adik terenyuh dan merasa sangat bersyukur sekali mempunyai kakak yang begitu menyayanginya, dan dia mengucapkan terima kasih kepada kakaknya atas nasihat itu.

Suatu saat sang adik meninggal dunia, sang kakak merasa sedih karena sampai meninggalnya adiknya itu tidak ada perubahan pada nasibnya sehingga dia merasa yakin kalau adiknya itu meninggal dalam keadaan kotor hatinya sehubungan do'anya tak pernah terkabul.

Sang kakak membereskan rumah peninggalan orang tuanya sesuai dengan amanah adiknya untuk dijadikan sebuah mesjid. Tiba-tiba matanya tertuju pada selembar kertas yang terlipat dalam sajadah yang biasa dipakai oleh adiknya yang berisi tulisan do'a, diantaranya Al-fatehah, Shalawat, do'a untuk guru mereka, do'a selamat dan ada kalimah di akhir do'anya:

"Yaa, Allah… tiada sesuatupun yang luput dari pengetahuan Mu… Ampunilah aku dan kakakku… Kabulkanlah segala do'a kakakku… Bersihkanlah hatiku dan berikanlah kemuliaan hidup untuk kakakku didunia dan akhirat."

Sang Kakak berlinang air mata dan haru biru memenuhi dadanya, tak dinyana ternyata adiknya tak pernah satu kali pun berdo'a untuk memenuhi nafsu duniawinya.a