Showing posts with label Musuh-musuh manusia. Show all posts
Showing posts with label Musuh-musuh manusia. Show all posts

Friday, September 28, 2012

Orang-orang Yang Menyesatkan Manusia di Masa Kini

 

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam sebuah hadits:

“Masa saling berdekatan, ilmu berkurang, kepelitan tersebar, berbagai fitnah muncul, dan banyak kekacauan.” Mereka bertanya: ”wahai Rasulullah, apakah kekacauan itu?’ Beliau menjawab: “pembunuhan demi pembunuhan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu)

Disini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberitakan tentang sebuah masa yang sangat buruk. Di mana ilmu berkurang, kepelitan tersebar, serta muncul berbagai fitnah, dan kekecauan. Masa kita ini adalah saat yang tepat untuk kita memahami hadits diatas.

 

Di zaman ini, ilmu telah sedemikian berkurang, sehingga sangat langka untuk kita temui di tengah masyarakat muslimin, seorang yang bisa disebut sebagai ulama. Kondisi ini semakin diperparah dengan kemunculan berbagai fitnah dan kekacauan di tengah-tengah mereka.

Termasuk yang perlu kita waspadai di masa ini dari sekian fitnah dan keributan yang terjadi adalah para tokoh penyesat umat.

Di dalam hadits Tsauban radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Hanya saja yang aku khawatirkan atas umatku adalah para pemimpin (baca: tokoh) yang menyesatkan.” (HR. Ahmad dan Ad-Darimi dengan sanad yang shahih sesuai dengan syarat Al Imam Muslim, sebagaimana yang dikatakan oleh syaikh Al Albani rahimahullah dalam As-Shahihah 4/110)

 

Dalam hadits diatas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menggunakan kata ‘hanya saja’ menunjukkan bahwa kekhawatiran beliau terhadap para pemimpin (baca:tokoh) yang menyesatkan sedemikian kuat. Karena mereka adalah bahaya laten bagi kaum muslimin. Mereka sangat mampu untuk menyesat umat ini dari jalan Allah.

Allah berfirman mengenai orang-orang yang binasa:

“Dan mereka berkata: “Ya Rabb kami, sesungguhnya kami telah menta’ati para pemimpin dan pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).” (Al-Ahzab: 67)

 

Maka kita perlu berhati-hati dari bahaya laten para tokoh yang menyesatkan. Mereka memiliki lisan yang mampu untuk menyesatkan umat dengan mengolah kata dan bersilat lidah. Demikianlah keadaan mereka.

Maka ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah ditanya oleh Ziyad bin Fudhail:

“Apa yang dapat menghancurkan Islam?” ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu menjawab: “Yang menghancurkan Islam adalah ketergelinciran seorang yang ‘alim (yang berilmu), dan seorang munafik yang berdebat dengan menggunakan al-kitab.”

Ini adalah bahaya laten bagi kaum muslimin. Mereka akan menyesatkan kaum muslimin dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menggunakan dalil-dalil syar’i namun bukan pada tempatnya.


Ulama Yang Jahat (Ulama Su’)

Demi Allah, pada masa ini, masyarakat kita dikepung oleh tipikal-tipikal pemimpin maupun tokoh yang seperti itu. Menyeruak di sekitar mereka, para ulama su` (jahat) yang dengan segala kelihain dan kelicikan, menyesatkan umat dengan berbagai syubhat dan kerancuan pemikiran. Oleh karena itu, kita dituntut untuk mewaspadai suasana genting ini, dengan mempelajari agama Allah Subhanahu wa Ta’ala dari para ulama yang mengamalkan dan memperjuangkan agama Allah dengan segala yang mereka miliki. Inilah satu-satunya penanganan yang paling efektif dalam menanggulangi gejolak fitnah yang sedahsyat itu.

 

Berapa banyak orang yang menyuarakan kebenaran, namun sedikit diantara mereka yang bisa menunjukkan bahwa yang benar itu adalah benar, dan dia benar-benar di atas yang benar . Oleh sebab itu, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu menegaskan: “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tapi dia tidak mendapatkannya.”

Para pemimpin atau tokoh penyesat umat lebih berbahaya bagi kaum muslimin daripada musuh-musuh Allah yang menyerang dari luar lingkup kaum muslimin. Apakah mereka dari kalangan Yahudi maupun Nashara. Kalau mereka dari kalangan orang-orang yang kafir, tentunya kebanyakan kaum muslimin waspada terhadap berbagai makar mereka. Namun bagaimana dengan musuh dalam selimut yang berbaju sama, berkopiah sama, dan berpenampilan sama seperti kaum muslimin, bahkan beramal pada sebagian amalan, sama seperti kaum muslimin. Mereka shalat seperti kaum muslimin, dan berbicara dengan lisan/bahasa kaum muslimin. Akan tetapi mereka adalah para penyeru kepada neraka jahannam.

 

Di dalam hadits Hudzaifah bin Al Yamaan radhiyallahu ’anhu disebutkan:

“Ya, para da’i yang mengajak kepada pintu-pintu neraka jahannam. Barangsiapa yang memehuhi panggilan mereka, mereka akan mencampakkannya ke dalam neraka jahanam itu.” Aku bertanya: “wahai Rasulullah! Sebutkan ciri-ciri mereka kepada kami”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Mereka dari jenis kita dan berbicara dengan lisan-lisan (bahasa-bahasa) kita.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

 

Inilah bahaya laten yang sangat kejam dalam membinasakan kaum muslimin . Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar-benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa ilmu.” (Al-An’am: 119)

“Tetapi orang-orang yang dzalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan, maka siapakah yang akan menunjuki orang yang telah disesatkan oleh Allah? Dan tiadalah bagi mereka seorang penolongpun.” (Ar-Rum: 29)

 

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan kita dari kejahatan para tokoh penyesat umat. Wallahu a’lam bish shawab

 

Sumber : 
Tokoh Penyesat Umat, oleh: Abu Muhammad Abdul Mu’thi Al Maidani.


Wednesday, September 26, 2012

Berkembangnya Kesyirikan Dan Penyimpangan Akidah, Penyebab Terhalangnya Keberkahan, Kedamaian dan Ketentraman Suatu Negeri

Buat sahabat2ku, temen2ku dan semua saudara-saudaraku baca sampai habis ya.... karena dengan iqro kita jadi pintar dan banyak tahu. Silahkan dilanjut...

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Ar-Rum: 41)

   

Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam:  “Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh tipu muslihat. Ketika itu, si pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur dianggap dusta. Pengkhianat dipercaya, sedangkan orang amanah dianggap khianat, dan Ruwaibidhah akan tampil bicara.” Para sahabat bertanya, “Siapakah Ruwaibidhah?” Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam menjawab, “Seorang dungu yang berbicara tentang masalah umat.” (HR. Ahmad dalam “Musnad”nya, juz: 3 hal. 220, no. 13322), red)


Seorang muslim haruslah memahami serta meyakini bahwa manusia dan jin diciptakan untuk satu hikmah yang sangat agung, yaitu beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memberikan berbagai macam rezeki untuk membantu hamba-hamba-Nya beribadah. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:  “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah dialah Maha Pemberi Rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” (Adz-Dzariyat: 56-58)

 

Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengutus para rasul untuk menjelaskan bagaimana cara beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:  Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut itu.” (An-Nahl: 36)

Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga telah menciptakan hamba-Nya di atas fitrah (dasar-dasar sifat dan kemampuan asli setiap manusia, red) untuk bertauhid dalam beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:  “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Ar-Rum: 30)

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata: “Fitrah adalah Islam sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam:

“Setiap yang lahir dilahirkan di atas fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anaknya sebagai Yahudi atau Nasrani atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari no. 1385, Muslim no. 2658 dari Abu Hurairah z) [Lihat Syarah Fadhlul Islam hlm. 111]

 

Beliau berkata pula: “Ini menunjukkan bahwa hukum asalnya, manusia diberi fitrah kepada Islam, yaitu mengikhlaskan amal dan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Jika dia selamat dari tarbiyah (pendidikan) yang jelek dan orang tua yang kafir niscaya dia akan mengarah (condong) kepada Islam dan mengikuti Rasul. Akan tetapi dia menyimpang disebabkan dai-dai yang sesat.” (Lihat Syarah Fadhlul Islam hlm. 111)

Allah Subhanahu Wa Ta’ala menciptakan manusia di atas fitrah. Namun setan dari kalangan jin dan manusia terus berupaya menyesatkan bani Adam dari tauhid dengan berbagai makar. Setan membungkus kesesatan mereka dengan kalimat-kalimat yang menipu. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Rabbmu menghendaki niscaya mereka tidak mengerjakannya. Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (Al-An’am: 112)

 

Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda:

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Sungguh Aku telah menciptakan hamba-Ku semuanya dalam keadaan lurus, kemudian datang kepada mereka setan lalu menyesatkan mereka dari agama mereka.” (HR. Muslim no. 2865 dari ‘Iyadh bin Himar z)

Fenomena pascareformasi (Era Demokrasi Liberal)

(Era Demokrasi Liberal, dimana efek demokrasi pasca demokrasi di Indonesia sejak 1998 telah mengarah ke  kebebasan/liberal ala demokrasi Amerika yang tidak sesuai dengan contoh pengelolaan negara yang disunnahkan Rasulullah shalallahu alaihi wassalam, red)

Ketahuilah, semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala merahmati Anda. Diantara masalah yang harus dicermati di masa reformasi ini adalah semakin beraninya tokoh-tokoh kesesatan dan penyeru kesyirikan dalam menarik massa dan melakukan tipu daya agar kaum muslimin mengikuti kesesatan mereka. Penyeru kesyirikan semakin lantang menjerat umat kepada kesyirikan. Kaum Khawarij semakin berani menentang pemerintah muslimin dengan ucapan dan perbuatan mereka.

Berbagai macam kelompok sempalan seperti Ahmadiyah, Syiah, Al-Qiyadah Al-Islamiyah, dan berbagai macam kelompok sempalan lainnya, semakin berani menampakkan jatidiri mereka.

Alangkah bagusnya nasihat ulama kita: Ahlul bid’ah itu seperti kalajengking yang menyembunyikan sengatnya di dalam tanah. Ketika memiliki kekuatan dan kesempatan, dia akan menampakkan sengat mereka dan menyengat yang lain.

 

Apakah sebab terjadinya semua musibah ini?

Ketahuilah, diantara sebab terbesar yang melatarbelakangi muncul dan semakin menyebarnya kesyirikan serta penyimpangan kelompok sempalan adalah ulah orang-orang yang telah meruntuhkan wibawa pemerintah di hadapan rakyatnya. Akhirnya, semua orang merasa berhak bicara tentang masalah umat dan mengkritisi pemerintah. Ditambah lagi dengan semakin gencarnya seruan HAM (Hak Asasi Manusia)–produk Barat yang dipaksakan di negeri kaum muslimin–, sehingga kelompok-kelompok sempalan dan penyebar kesyirikan berlindung di balik produk Barat ini. Di pihak lain, pemerintah muslimin terus “dikekang” untuk menindak mereka dengan “ancaman” pelanggaran HAM. Sungguh telah terbukti ucapan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam:

“Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh tipu muslihat. Ketika itu, si pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur dianggap dusta. Pengkhianat dipercaya, sedangkan orang amanah dianggap khianat, dan Ruwaibidhah akan tampil bicara.” Para sahabat bertanya, “Siapakah Ruwaibidhah?” Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam menjawab, “Seorang dungu yang berbicara tentang masalah umat.” (HR. Ahmad, dalam “Musnad”nya (juz: 3 hal. 220, no. 13322), berkata Al-Imâm Al-Wâdi’î dalam “Al-Jâmi’ Ash-Shohîh” (Juz 4, hal. 584-585): “Ini adalah hadîts hasan….”)

 

Wahai orang-orang yang telah merusak kehormatan pemerintah kaum muslimin, kalian harus bertaubat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kalian harus bertanggung jawab untuk mengembalikan wibawa dan kehormatan pemerintah di hadapan rakyatnya, sehingga upaya pemerintah untuk mengingkari kemungkaran mendapatkan tanggapan positif dari rakyatnya. Inilah satu bentuk taubat kalian kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam berkata:

“Akan ada penguasa setelah aku wafat maka muliakanlah mereka. Barangsiapa yang mencari jalan untuk menghinakan mereka maka dia telah membuat satu celah dalam Islam, dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak akan menerima taubatnya hingga bisa mengembalikan kepada keadaan semula.” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim no. 1079 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani)

Mudah-mudahan Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan taufiq kepada pemerintah muslimin dalam segala keputusan dan langkah mereka untuk kemaslahatan muslimin.

 

Sebab-sebab penyimpangan dari aqidah yang benar

Ketahuilah, semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala merahmati Anda. Penyimpangan dari aqidah Islam adalah suatu kebinasaan. Seseorang yang hidup dalam keadaan tidak memiliki aqidah yang benar akan terus dibayangi keraguan dan bayangan-bayangan jelek yang akan menghalanginya mendapatkan kebahagiaan hidup.

Oleh sebab itu, kita mesti mengetahui sebab-sebab penyimpangan dari aqidah yang benar dan menjaga diri, keluarga serta kaum muslimin secara umum dari sebab penyimpangan tersebut.

Asy-Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah telah menjelaskan kepada kita berbagai penyebab terjadinya penyimpangan aqidah. Diantara sebab penyimpangan yang beliau sebutkan adalah:

 

1.    Ketidaktahuan seseorang tentang aqidah yang benar, karena lalai dan berpaling dari mempelajarinya (tidak mau belajar agama dengan baik dan benar, red).

2.    Taqlid buta kepada nenek moyang. (fanatik, red)

3.    Ghuluw (mengkultuskan) terhadap orang-orang yang dianggap wali dan orang-orang shalih. (berlebih-lebihan dalam beragama dan tidak sesuai Qur’an dan Sunnah)

4.    Lalai dari mentadabburi ayat-ayat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang syar’iyah maupun kauniyah.

5.    Kosongnya rumah-rumah muslimin dari pendidikan dan bimbingan Islami.

6.    Lembaga-lembaga pendidikan dan media informasi kurang perhatian dalam masalah pendidikan agama, bahkan kebanyakan media informasi sekarang telah menjadi alat untuk merusak aqidah umat.

7.    Disusupkannya aqidah orang kafir ke dalam Islam (liberalisasi ajaran Islam, red).

8.    Da’i-da’i yang menyeru kepada kesesatan, yang gencar menyebarkan kesesatan mereka.

(Disarikan dari Muqarrar Kitabut Tauhid lil Fashlil Awal, hlm. 13-15 dan Kitabut Tauhid hlm. 7-8)

 

Gelombang kesesatan dan kesyirikan di masa reformasi

Barangsiapa yang merasakan dan menilai keadaan di sekitarnya niscaya akan melihat dan merasakan bahwa delapan perkara yang disebutkan Asy-Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah sangat gencar ditebarkan di tengah kaum muslimin.

Umat sekarang terus dijauhkan dari mempelajari agamanya sehingga mereka tidak mengetahui perkara agama mereka. Prinsip-prinsip agama juga terus dikikis dari hati muslimin, terkhusus prinsip wala’ (loyalitas) kepada kaum muslimin dan bara’ (berlepas diri) dari orang kafir.

 

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari-Nya, serta dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” (Al-Mujadilah: 22)

Akibat kebodohan mereka, mereka larut bersama orang kafir dalam perkara yang bisa merusak aqidah. Mereka turut meramaikan natal, imlek, dan acara-acara orang kafir lainnya.

 

Demikian juga taklid yang semakin gencar. Seruan untuk kembali kepada budaya leluhur digembar-gemborkan. Umat diseret untuk melakukan dan mengikuti nenek moyang mereka, walaupun amalan yang dilakukan nenek moyang mereka menyelisihi tauhid yang diajarkan Islam. Tambahan pula, ini adalah salah satu perbuatan kaum musyrikin. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah.” Mereka menjawab, “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (Apakah mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk? (Al-Baqarah: 170)

Adapun pengkultusan individu sehingga menjadikannya sesembahan selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sungguh telah banyak dilakukan. Telah terbukti ucapan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam:  “Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang sebelum kalian…”

 

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman tentang ahlul kitab Yahudi dan Nasrani:

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Rabb selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al-Masih putra Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah yang Esa, tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (At-Taubah: 31)

 

Di umat ini pun ada orang-orang yang mengultuskan tokoh-tokoh mereka, menaati mereka dalam perbuatan maksiat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Yang banyak terjatuh dalam pengultusan individu adalah kelompok Sufi. Asy-Syaikh Jamil Zainu berkata: “Sufi ta’ashub (fanatik) kepada guru-guru mereka, walaupun guru mereka menyelisihi firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan ucapan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam. Padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:  “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Hujurat: 1)

 

Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda:  “Tidak ada ketaatan kepada seseorang dalam berbuat maksiat kepada Al-Khaliq (Allah).” (Ash-Shufiyah fi Mizanil Kitab was Sunnah hlm. 17)

Banyak kaum muslimin yang tidak bisa mengambil pelajaran dari musibah dan bencana yang melanda negeri mereka. Berbagai bencana yang seharusnya dijadikan ibrah untuk introspeksi diri, namun yang terjadi mereka justru semakin menjauhkan dari prinsip agama ini. Mereka malah menuding pemerintah dan terus berupaya “menggoyang” pemerintahan. Tidak sedikit dari mereka yang malah melakukan kesyirikan ketika terkena musibah.

Kalau mereka mau mentadabburi Al-Qur’an niscaya mereka akan dapati bahwa musibah dan berbagai bencana ini merupakan peringatan untuk memperbaiki diri. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Ar-Rum: 41)

 

Di rumah-rumah kaum muslimin, anak mereka jauh dari pendidikan agama. Bahkan sebagian mereka tak merasa takut untuk memasukkan putra-putra mereka belajar di lembaga-lembaga pendidikan kafir, membiarkan anak-anak mereka berteman dengan orang kafir. Padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman. Karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran.” (Al-Baqarah: 109)

Mereka lupa bahwa baik tidaknya agama anaknya adalah disebabkan pendidikan dari orang tua mereka. Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam berkata:

“Setiap yang lahir dilahirkan di atas fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadi sebab anaknya menjadi Yahudi atau Nashrani atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari no. 1385, Muslim no. 2658)

 

Diantara sarana yang besar dalam proses perusakan aqidah adalah serangan media massa cetak dan elektronik. Berbagai iklan kesyirikan dan tayangan yang membawa penyakit kekufuran disuguhkan kepada kaum muslimin dan anak-anak mereka. Mereka tidak sadar, sesungguhnya aqidah mereka tengah dirusak dan dikotori dengan tayangan dan acara-acara kesyirikan serta kekufuran. Innalillahi wainna ilaihi raji’un.

 

Sebab yang menjaga dari penyimpangan aqidah

Ketahuilah, semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala merahmati Anda. Kita harus segera sadar dan berupaya membendung arus penyimpangan ini dengan merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan bimbingan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan telah menerangkan beberapa hal yang bisa diamalkan untuk menjaga dari penyimpangan aqidah:

1.    Merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam menetapkan masalah aqidah disertai mengenal kebobrokan aqidah kelompok menyimpang dalam rangka menghindari dan membantahnya.

2.    Memberikan perhatian lebih besar untuk mengajarkan aqidah (belajar tentang aqidah/ tauhid/ keimanan, red).

3.    Mengajarkan kitab-kitab salaf, menjauhkan diri dari kitab-kitab kelompok sesat.

4.    Tampilnya dai-dai tauhid menjelaskan kepada umat tentang aqidah salaf serta membantah kesesatan orang-orang yang menyimpang. (menjauhi ustadz-ustadz yang berdakwah tanpa ilmu yang cukup dan benar, juga yang memiliki niat yang diragukan keikhlasannya,  red)

(Disarikan dari Muqarrar Kitabut Tauhid lil Fashlil Awal, hlm. 14-15)

Wahai orang-orang yang tidak pernah puas dengan pemerintahnya, koreksilah diri kalian dengan bimbingan agama ini. Ketahuilah, kebaikan negara ini bukanlah tercipta melalui caci-maki dan hujatan kalian kepada pemerintah. Ketahuilah bahwa perbuatan kalian adalah perbuatan khuruj (menentang/memberontak pemerintah). Karena para ulama menjelaskan bahwa Khawarij ada dua kelompok:

1.    Khawarij mubasyir, mereka yang terjun langsung mengangkat senjata mereka untuk memberontak kepada pemerintah muslimin.

2.    Khawarij qa’adiyah, mereka yang tetap duduk di tempat mereka namun ucapan, ceramah, dan orasi-orasi yang mereka lakukan menghasut umat untuk membenci dan melawan pemerintah muslimin. (Lihat Fathul Bari)

 

Mudah-mudahan Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan taufiq dan pertolongan kepada pemerintah muslimin dalam menyikapi dua kelompok Khawarij ini.

 

Ketahuilah, kedamaian dan ketenteraman di negeri ini akan dicapai manakala kita kembali kepada agama Allah Subhanahu Wa Ta’ala, mempelajari dan mengamalkan agama Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Al-A’raf: 96)

 

Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam berkata:

“Jika kalian jual beli dengan sistem ‘inah (salah satu bentuk tipu daya untuk melakukan riba), memegang ekor sapi, senang dengan pertanian hingga kalian meninggalkan jihad maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan menimpakan kehinaan pada kalian dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala tak akan menghilangkannya sampai kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawud no. 3462 disebutkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 11)

Kembali kepada agama Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan mempelajari aqidah yang benar dan menjauhkan kesyirikan serta melaksanakan berbagai ketatan dan meninggalkan kemaksiatan. Karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berjanji:

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap beribadah kepada-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An-Nur: 55)

 

Mudah-mudahan Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan keistiqamahan kepada kita, serta memberikan taufiq dan inayah-Nya dalam usaha mendakwahkan aqidah tauhid kepada umat.

 

Wallahu a’lam bish-shawab.

 

 

Sumber : 
Membendung Gelombang Kesyirikan Dan Penyimpangan Akidah (ditulis oleh: Al-Ustadz Abdurrahman Mubarak)

Tuesday, September 25, 2012

Contoh-contoh Perbuatan Syirik dan Bid’ah

 











Inilah beberapa contoh perbuatan/ibadah yang berpengaruh terhadap Aqidah Islam seorang muslim.
Semoga ini bisa membantu kita memahami contoh-contoh perbuatan Syirik dan Bid’ah yang mungkin kita temui dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan kita.  Barangsiapa menempuh jalan lain (syirik dan bid’ah), atau menyangka bahwa amalan ibadahnya akan dibalas dengan kenikmatan jannah (surga) meskipun tanpa menuntut ilmu, maka akan sia-sialah ibadahnya meskipun dengan susah-payah dia menjalaninya. Bahkan dia akan menjadi orang yang merugi karena sia-sia amalannya. Dirinya menyangka telah banyak beramal, padahal apa yang dilakukan adalah amalan bid’ah yang tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Bahkan yang dilakukan adalah perbuatan syirik yang akan menjadi sebab gugurnya seluruh amal ibadah yang telah dilakukannya.



Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia amalannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya. (Al-Kahfi: 103-104)
Inilah beberapa contoh perbuatan/ibadah yang berpengaruh terhadap Aqidah Islam seorang muslim.
Ringkasan ini disarikan dari tanya jawab bersama Kibarul Ulama di Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhutsil ‘Ilmiyah wal Ifta’ (Komite Tetap untuk Pengkajian Ilmiah dan Fatwa, yang diketuai oleh Syaikh Bin Baz rahimahullah).

Diterjemahkan dari website resminya www.alifta.com yang disertai dengan link sumber-sumber fatwa untuk memudahkan pembaca mempelajari dalil-dalil dan penjelasannya secara detail. Semoga bermanfaat bagi kaum muslimin dan menjadi amal shalih bagi yang menerjemahkannya, mempelajarinya dan menyebarkannya.


50 Tanya-Jawab Seputar Aqidah Islam :
1. Seorang yang meyakini ada selain Allah yang mengatur alam ini
Jawab: Barangsiapa meyakini seperti itu kafir

2. Sekelompok orang ber-istighotsah (meminta pertolongan ketika musibah) kepada selain Allah
Jawab: Mereka telah berbuat syirik besar

3. Istighotsah kepada orang yang tidak hadir, serta orang mati.  (istighotsah adalah meminta pertolongan di kala susah, red )
Jawab: Syirik besar

4. Bolehkah sholat menjadi makmum kepada orang yang ber-istighotsah kepada penghuni kubur?
Jawab: Tidak sah sholat dengan bermakmum kepadanya, karena dia seorang yang menyekutukan Allah

5. Bolehkah seorang berdoa: “Jawablah wahai para pengawal asmaul husna untuk mengabulkan hajatku?”
Jawab: Syirik besar, karena itu adalah doa kepada selain Allah

6. Minta tolong kepada orang mati
Jawab: Syirik besar, karena itu adalah doa (permohonan) kepada selain Allah

7. Minta tolong dari seorang yang tidak hadir
Jawab: Hendaklah dinasihatkan, jika pelaku tidak meninggalkan kesyirikan itu maka dia musyrik

8. Dzikir berjama’ah dengan satu suara (koor) seperti cara kaum Sufi
Jawab: Bid’ah

9. Berdoa kepada selain Alah seperti kepada para wali dan orang-orang shalih
Jawab: Syirik besar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam

10. Mengaku tahu ilmu ghaib
Jawab: Kufur

11. Berdoa (memohon, red) kepada para Nabi dan wali yang sudah mati
Jawab: Syirik besar

12. Seorang yang ber-istigotsah dengan para wali ketika musibah. (istighotsah adalah meminta pertolongan di kala susah, red )
Jawab: Syirik besar

13. Bertawasul dalam doa dengan kehormatan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, atau kehormatan sahabat dan selainnya.  (Tawassul adalah mengambil sarana/wasilah agar do’a atau ibadahnya dapat lebih diterima dan dikabulkan. Al-wasilah menurut bahasa berarti segala hal yang dapat menyampaikan dan mendekatkan kepada sesuatu.,red)
Jawab: Tidak boleh (karena tidak berdasarkan dalil yang shahih, penj.)

14. Istighotsah dengan orang mati atau orang hidup yang tidak hadir, baik jin, malaikat maupun manusia.  (istighotsah adalah meminta pertolongan di kala susah, red )
Jawab: Syirik besar

15. Menjampi orang yang sakit dengan bacaan Al-Qur’anul Karim dan dzikir-dzikir (yang ada dalilnya)
Jawab: Hal itu disyariatkan

16. Bertawasul dalam doa dengan nama-nama Allah Ta’ala yang maha baik.  (Tawassul adalah mengambil sarana/wasilah agar do’a atau ibadahnya dapat lebih diterima dan dikabulkan. Al-wasilah menurut bahasa berarti segala hal yang dapat menyampaikan dan mendekatkan kepada sesuatu.,red)
Jawab: Hal itu disyariatkan

17. Apakah boleh seorang berkata: Ya Mu’in (Wahai Yang Maha Penolong) Ya Robb (Wahai Robb)?
Jawab: Boleh

18. Istighotsah dan bergantung kepada jin demi terkabulnya hajat
Jawab: Syirik dalam ibadah

19. Seorang muslim ketika hendak berdiri maupun duduk selalu mengucapkan: Ya Aba Qosim, Ya Syaikh Abdul Qodir Jailani
Jawab: Termasuk syirik besar

20. Istighotsah kepada selain Allah untuk kesembuhan orang sakit, menurunkan hujan, atau memanjangkan umur
Jawab: Termasuk syirik besar

21.  Seorang muslim mukallaf yang berkeyakinan bolehnya bernadzar dan menyembelih untuk orang-orang mati
Jawab : Keyakinannya itu termasuk syirik besar

22. Hukum meminta tolong dengan kuburan para wali, tawaf mengitarinya, mencari berkah dengan batu-batuannya dan bernadzar untuk para wali tersebut
Jawab : Syirik besar

23.  Meminta tolong kepada para wali yang telah mati, memayungi kuburannya dan bertawasul dengan mereka
Jawab : Syirik besar (adapun memayungi kuburannya termasuk bid’ah yang mengantarkan kepada syirik)

24. Hukum nadzar
Jawab : Tidak disyariatkan

25. Bernadzar untuk selain Allah
Jawab : Syirik besar

26.  Bernadzar untuk kuburan para ulama
Jawab : Syirik (besar)

27. Bersujud dan menyembelih di atas kuburan
Jawab :  Paganisme Jahiliyah dan syirik besar

28. Menyembelih untuk mayyit yang mengaku wali Allah
Jawab : Termasuk syirik (besar)

29. Menyembelih untuk jin demi mencari keridhaannya, mengharap terkabulnya hajat atau agar selamat dari kejahatannya
Jawab : Syirik besar

30. Menyembelih (untuk selain Allah) di kuburan para wali
Jawab : Syirik (besar)

31. Ziarah kuburan para wali untuk menyembelih kambing atau ayam demi terkabulnya hajat-hajat
Jawab : Hal itu tidak boleh, bahkan termasuk syirik (apabila dipersembahkan kepada para wali tersebut)

32. Menyembelih hewan untuk hidangan bagi tamu
Jawab : Boleh

33. Hukum bersedekah dan makan dari hewan yang disembelih dalam rangka (merayakan) kelulusan atau keselamatan dari kecelakaan dan yang semisalnya
Jawab : Tidak apa-apa

34. Bolehkah membaca surat Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas dan Al-Fatihah untuk berobat
Jawab : Termasuk ruqyah yang dibolehkan

35. Pengobatan kesurupan jin yang sesuai syar’i.
Jawab : Diruqyah dengan bacaan Al-Qur’an dan dzikir-dzikir yang shohih

36. Apakah boleh seorang muslim berdoa dengan nama-nama Allah demi kesembuhan dari penyakit
Jawab : Boleh

37. Pengaruh ‘ain (bisa menjadi sebab kemudharatan bagi orang lain). (Penyakit ‘ain atau pandangan mata adalah pandangan seseorang terhadap sesuatu yang dianggap menakjubkan disertai dengan rasa dengki, sehingga mengakibatkan bahaya terhadap yang dipandangnya, red)
Jawab : Benar-benar terjadi (dengan izin Allah) dan telah dimaklumi

38. Apakah boleh mengobati ‘ain dengan pengasapan tawas, tumbuhan dan daun-daunan? (Penyakit ‘ain atau pandangan mata adalah pandangan seseorang terhadap sesuatu yang dianggap menakjubkan disertai dengan rasa dengki, sehingga mengakibatkan bahaya terhadap yang dipandangnya, red)
Jawab : Tidak boleh (seharusnya dengan ruqyah syar’iyyah).

39. Seorang wanita yang kesurupan jin wanita, apakah boleh membakarnya agar jin itu keluar?
Jawab : Tidak boleh membakarnya secara mutlak

40. Meletakkan mushaf di wajah untuk mengusir setan

Jawab : Tidak selayaknya (mushaf dibuat seperti itu)

41. Membawa mushaf (Al-Qur’an) dan meletakkannya di mobil atau pada perhiasan rumah, sekedar untuk menolak hasad (iri hati) atau sebagai penjagaan
Jawab : Tidak boleh

42. Membaca (Al-Qur’an) di air zam-zam untuk diberikan kepada si sakit
Jawab : Tidak apa-apa

43. Membaca (Al-Qur’an) di air untuk diberikan kepada si sakit
Jawab : Tidak apa-apa

44.  Mengenakan sebuah besi atas wanita yang baru melahirkan atau anak yang baru dikhitan, untuk mendapatkan manfaat atau menolak mudharat
Jawab : Termasuk syirik besar

45. Sujud kepada selain Allah Ta’ala, seperti kepada wali, orang mati, pimpinan tarekat, setelah mendapatkan penjelasan hukumnya, namun tetap mengucapkan dua kalimat syahadat
Jawab : Kekafiran dan murtad dari Islam

46. Rukuk kepada makhuk, seperti kepada orang tua
Jawab :  Tidak boleh karena termasuk syirik

47.  Sumpah dengan selain Allah Ta’ala, seperti dengan nama malaikat, nabi atau makhluq yang lain
Jawab :  Haram (syirik kecil)

48. Hukum Islam terhadap orang yang meminta tolong kepada jin untuk mengetahui perkara-perkara ghaib
Jawab :  Tidak boleh karena termasuk syirik

49.  H I P N O T I S
Jawab :  Tidak boleh karena termasuk syirik (SIHIR)

50. Bersumpah dengan menyebut Al-Qur’an
Jawab :  Boleh bersumpah dengan nama Allah Ta’ala, sifat-sifat-Nya, dan Al-Qur’an termasuk kalamullah (sifat Allah: Al-Kalam)


Sumber :
http://nasihatonline.wordpress.com

Sunday, September 23, 2012

Bentuk Syirik di Sekitar Kita (6) : Syirik dalam Niat Beramal karena dunia

Bentuk yang lain dari syirik dalam niat adalah seorang yang beribadah karena dunia, seperti karena harta, pangkat, status sosial, wanita, kehormatan, dan lain-lain.

 

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menyebutkan salah satu bab dalam Kitabut Tauhid, “Termasuk kesyirikan, seorang yang beramal karena dunia”, kemudian beliau menyebutkan firman Allah Ta’ala:

 

“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan?” (Hud: 15, 16)

 

 

Pengecualian: Diperkecualikan dalam masalah ini, amalan-amalan tertentu yang diizinkan oleh Allah Ta’ala untuk seorang berniat karena Allah dan juga berniat untuk mendapatkan ganjaran dari Allah di dunia. Yakni yang disebutkan dalam nash tentang amalan tertentu, seperti berjihad karena Allah dan juga untuk mendapatkan ghanimah (harta pampasan perang), Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa yang membunuh musuh (di medan jihad), maka harta orang tersebut menjadi miliknya.” (HR. Malik dalam Al-Muwattho’, no. 1656, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam tahqiq kitab Al-Ayat Al-Bayyinat karya al-Imam Al-Alusi rahimahullah, hal. 56)

 

Contoh lain, seorang yang menyambung silaturrahim karena Allah dan juga untuk mendapatkan keluasan rezeki. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung kekerabatan.” (HR. Al-Bukhari, no. 5639)

Hal ini diperkecualikan karena telah disebutkan ganjaran-ganjaran tersebut dalam nash, adapun yang tidak disebutkan dalam nash maka tidak boleh. Namun tentunya, jika niat seseorang ikhlas hanya karena Allah semata dalam beramal, itu yang lebih utama.



Bagaimana membedakan tauhid dengan syirik besar dan syirik kecil dalam niat?

Asy-Syaikh Hafiz al-Hakami rahimahullah berkata,

 

“(Pertama): Apabila faktor pendorong dalam beramal adalah niat karena Allah dan kehidupan akhirat (surga Allah), selamat dari riya’ dan sesuai dengan petunjuk syari’at maka itulah amal shalih yang diterima (tauhid).

 

(Kedua): Apabila faktor pendorong dalam beramal adalah niat selain karena Allah maka termasuk kemunafikan besar (syirik besar), sama saja apakah seorang beramal karena kedudukan, kepemimpinan dan mengejar dunia, maupun seorang yang beramal demi menjaga keselamatan jiwa dan hartanya, dan selainnya.” (Ma’arijul Qabul, 2/493)

“(Ketiga): Apabila faktor pendorong dalam beramal adalah niat karena Allah dan surga-Nya namun dimasuki oleh riya’ dalam menghiasi dan membaguskannya, maka inilah yang dinamakan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dengan syirik kecil.” (Ma’arijul Qabul, 2/494)

 

Bagaimana dengan orang-orang yang belajar di universitas atau di tempat lainnya untuk meraih ijazah atau gelar?

Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Termasuk perbuatan syirik jika mereka tidak meniatkannya untuk meraih tujuan-tujuan yang syar’i. Maka kami katakan kepada mereka, “Jangan kalian niatkan hal tersebut untuk meraih kedudukan duniawi, tapi niatkan ijazah-ijazah tersebut sebagai sarana untuk bisa bekerja dalam bidang-bidang yang bisa memberi manfaat untuk sesama”, karena untuk bekerja di masa sekarang ini (pada umumnya) dipersyaratkan adanya ijazah, sedang mereka tidak bisa memberi manfaat kepada yang lainnya kecuali dengan sarana ini. Maka dengan itu niat menjadi selamat (dari syirik).” (Al-Qaulul Mufid, 2/91-92)

 

Bagaimana dengan seorang mujahid yang berperang dan mendapatkan ghanimah atau seorang ustadz yang mengajar dan mendapat gaji?

Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata, “Adapun orang yang beramal hanya karena Allah saja dan senantiasa menyempurnakan keikhlasannya, akan tetapi ia masih mengambil upah yang telah ditetapkan atas amalannya, yang dengan upah tersebut ia bekerja (untuk dunia) dan agama, seperti upah para pekerja sosial, mujahid yang mendapatkan ghanimah atau rezeki (gaji), pengelola masjid, pengajar sekolah dan berbagai macam kegiatan agama lainnya. Jika seseorang mengambil upah tersebut maka tidaklah berdampak pada iman dan tauhidnya, karena ia tidak bermaksud untuk mencari dunia dalam amalannya. Akan tetapi ia niatkan untuk agama, dan upah yang ia hasilkan pun diniatkan untuk tegaknya agama.” (Al-Qoulus Sadid, hal. 133)

 

Wallahu A’la wa A’lam.

 

 

Sumber :
Peringatan Dari Bahaya Syirik, oleh Al Ustadz Abu Abdillah Sofyan Chalid bin Idham Ruray

Saturday, September 22, 2012

Bentuk Syirik di Sekitar Kita (5). Syirik, penyakit ganas yang melanda fitrah


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيم

Segala puji bagi Allah semata, shalawat serta salam semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam beserta seluruh keluarga dan sahabatnya, para tabi'in, tabi'ut tabi'in, dan seluruh mukminin yang memegang teguh syari'at Islam hingga akhir zaman.

Pada dasarnya tubuh manusia itu sehat dan bebas dari penyakit. Hanya saja tubuh itu menjadi rentan apabila manusia lengah, tidak menjaga dan merawatnya, sehingga penyakit apa saja bisa menjangkitinya.

Demikian pula halnya jiwa manusia. Awal penciptaannya adalah bersih dan suci. Allah mengabarkan hal ini dengan firmanNya:   "Dan ingatlah ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian dari jiwa mereka (seraya berfirman), 'Bukankah Aku ini Rabbmu?' Mereka menjawab: 'Betul, kami menjadi saksi'." (QS Al-A'raaf [7]: 172).
  • Ayat ini menerangkan bahwa Allah telah mengilhamkan kepada manusia bahwasanya hanya Allah-lah satu-satunya Rabb mereka, tiada tuhan yang berhak disembah selain Dia. Dan dalam surat Ar-Ruum Allah SWT berfirman:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفاً فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا"
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu". (QS Ar-Rum [30]: 30)
Jadi jelas bahwa manusia terlahir secara fitrah, yakni men-Tauhid-kan Allah. Sebagaimana pula yang disabdakan oleh Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Tidak lahir seorang bayi kecuali dilahirkan dalam keadaan suci, kemudian kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majusi" (HR. Al-Bukhari Muslim)

  • Namun sebagaimana tabiatnya jasad, jiwa manusia demikian rentan terhadap penyakit apabila kemurnian fitrah itu tidak dijaga, lengah dari dzikir kepada Allah, sehingga syetan menjauhkannya dari fitrah tersebut. Dan saat itulah berbagai penyakit jiwa masuk dan mengotori fitrahnya,Syirik adalah salah satu penyakit jiwa yang paling berbahaya. Karena bukan hanya kehinaan di dunia, tapi kesengsaraan abadi yang akan diperoleh pelakunya di akhirat nanti.
Sebab-sebab syirik
  • Ada beberapa hal yang menyeret manusia menuju kepada kesyirikan. Diantaranya ialah: Kekaguman dan Pengagungan (I'jab wa ta'zhim).

Dalam batas tertentu, kedua hal di atas tidaklah tercela, justru dibutuhkan. Sebagaimana kekaguman dan penghormatan seseorang kepada para nabi, orang-orang shalih, dan pemimpin. Namun hal ini akan sangat berbahaya apabila melampaui batas sehingga pada tingkat pengkultusan. Saat itulah seseorang telah masuk pada lingkaran kesyirikan. Karena pengkultusan hanya menjadi hak Allah semata. Dan kesyirikan yang dilakukan kaum Nuh yang mengawali kesyirikan di muka bumi ini juga berangkat dari hal ini. Kecenderungan pada hal-hal yang indrawi serta lengah akan hal-hal yang tidak bisa diindera (gaib). Manusia difitrahkan untuk mengimani sesuatu yang bila diketahui keberadaannya dengan pendengaran, penglihatan, bisa diraba dan dirasa di samping mengimani hal-hal yang di luar jangkauan indera dan akalnya. Jika ia hanya condong pada sesuatu yang tampak saja dengan melengahkan hal-hal yang gaib, sedikit demi sedikit ia akan masuk pada penyimpangan (kesyirikan). Pada tahap awal ia mungkin tidak mengingkari keberadaan Allah. Akan tetapi ia mereka-reka dan mencari-cari suatu bentuk yang lebih konkrit, yang dikhayalkan memiliki sebagian sifat ketuhanan seperti mendatangkan manfaat dan mudharat yang berupa manusia, malaikat, jin, dan patung-patung serta benda-benda lainnya. Mereka menyembahnya di samping menyembah Allah.
 
Allah SWT berfirman:
وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
"Dan sesunggunya jika engkau (wahai Muhammad) bertanya kepada mereka (yang musyrik) itu "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" Sudah tentu mereka menjawab: "Allah". Ucapkan (wahai Muhammad) : "Alhamdu-lillah" (sebagai syukur disebabkan pengakuan mereka yang demikian - tidak mengingkari Allah), bahkan kebanyakan mereka tidak Mengetahui (hakikat tauhid dan pengertian syirik). (QS Luqman [31]: 25) 
Sebagaimana penyakit yang tidak segera diobati, kesesatan inipun meluas, hingga mereka menggambarkan sembahan-sembahan itu sebagai Allah yang memiliki seluruh sifat-sifat ilahiah. Orang-orang Majusi menisbatkan "api" sebagai tuhan yang bisa menghidupkan dan mematikan, mendatangkan manfaat dan menolak bencana, sementara orang-orang Nasrani mengatakan "Isa bin Maryam" adalah Allah!.
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُواْ إِنَّ اللّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ
"Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata : "Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putra Maryam". (QS Al-Maidah [5]: 72).
  • Bahkan Bani Israil lebih parah dari itu, dan karenanya mereka dilaknat Allah. Mereka mengatakan pada nabinya:
وَإِذْ قُلْتُمْ يَا مُوسَى لَن نُّؤْمِنَ لَكَ حَتَّى نَرَى اللَّهَ جَهْرَةً
"Hai Musa, kami sekali-kali tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang". (QS Al-Baqarah [2]: 55).
  • Keterangan: Mereka ingin melihat Allah dengan mata kepalanya sendiri,... dan karena permintaan yang semacam ini menunjukkan keingkaran dan ketakaburan mereka, sebab itu mereka disambar halilintar sebagai azab dari Tuhan].
Menuruti hawa nafsu dan syahwat.
Nafsu dan syahwat manusia akan selalu menyeru pada penyimpangan. Dan manusia banyak yang tersesat olehnya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيل
اً
"Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya.?" (QS Al-Furqan [25]:43)
  • Kesombongan untuk beribadah kepada Allah (Alkibru min 'ibadatillah). Kesombongan ini diawali dari kesombongan di hadapan manusia yang berlanjut pada kesombongan untuk taat pada Allah SWT.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:   "Tidak akan masuk Surga barangsiapa yang di hatinya ada kesombongan walau hanya seberat biji sawi". (HR. Muslim).
  • Allah menerangkan pada kita melalui kitab-Nya bahwa kesombongan adalah termasuk hal yang menyebabkan syirik. Sebagaimana kisah raja Namruz.
Allah SWT berfirman:   "Apakah kamu tidak memperhatikan orang [Namrudz] yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: orang itu berkata: "Saya pun dapat menghidupkan dan mematikan." Ibrahim berkata: "Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan,".."Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat," lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim". (QS.Al-Baqarah [2] : 258)

  • Kisah kesombongan Fir'aun yang menolak untuk menyembah Allah bahkan mendakwakan dirinya tuhan, Allah SWT berfirman:
وَنَادَى فِرْعَوْنُ فِي قَوْمِهِ قَالَ يَا قَوْمِ أَلَيْسَ لِي مُلْكُ مِصْرَ وَهَذِهِ الْأَنْهَارُ تَجْرِي مِن تَحْتِي أَفَلَا تُبْصِرُونَ
"Dan Fir'aun berseru kepada kaumnya (seraya) berkata:  "Hai kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku." (QS Az-Zukhruf: 51) .

 
dan dalam ayat lain, Allah SWT berfirman:  "Pergilah kamu kepada Fir'aun, susungguhnya dia telah melampaui batas, dan katakanlah (kepada Fir'aun): "Apakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan)" Dan kamu akan kupimpin ke jalan Rabbmu agar supaya kamu takut kepadaNya. Lalu Musa memperlihatkan kepadanya mu'jizat yang besar. Tetapi Fir'aun mendustakan dan mendurhakai. Kemudian dia berpaling seraya berusaha menantang (Musa). maka ia mengumpulkan (pembesar-pembesarnya) lalu berseru memanggil kaumnya. (Seraya) berkata: "Akulah Rabbmu yang paling tinggi". Maka Allah mengazabnya dengan azab di akhirat dan azab di dunia." (An-Nazi'at [79]: 17-25)
  • Adanya orang-orang yang melampaui batas yang menghendaki manusia mentaati dan menghambakan diri pada mereka. Mereka ini dengan kekuasaannya membuat undang-undang yang bertentangan dengan hukum Allah dan memaksa manusia mentaati dan memakainya.
Allah Azza wa Jalla berfirman:  "Tidakkah engkau melihat (dan merasa ajaib) terhadap orang-orang kafir yang telah menukar kesyukuran nikmat Allah dengan kekufuran, dan yang telah menempatkan kaum mereka dalam kebinasaan?" (QS Ibrahim [14]: 28)

Itulah perbuatan-perbuatan yang mengantarkan manusia menuju jurang kesyirikan dengan segala kehinaan dan kedahsyatan balasan yang akan diterima para pelakunya. Allah telah menjanjikan untuk mereka adzab Neraka yang mana panasnya tujuh puluh kali lipat dari api dunia.

 
Dari Jabir Radhiallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :  "Barangsiapa menemui Allah dalam keadaan tidak menyekutukanNya dengan sesuatupun maka dia masuk Surga. Dan barangsiapa menemui Allah dengan menyekutukanNya, maka ia masuk Neraka". (HR. Muslim).

Semoga Allah berkenan selalu membimbing dan memberikan rahmat-Nya pada kita sehingga kita termasuk orang-orang yang berada pada fitrah yang Allah telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.

"Subhanakallahumma Rabbana wabihamdika..., Allahummaghfirlie...."


Friday, September 21, 2012

Bentuk Syirik di Sekitar Kita (4) : Syirik dalam memakai jimat dan Hukum Menggunakannya


Menjual jimat, sebuah bisnis yang akhir-akhir ini sangat menguntungkan, sehingga tidak jarang memunculkan orang kaya-orang kaya baru dalam bisnis ini. Penjualnya pun beraneka ragam, dari yang terang-terangan berlabel dukun sampai yang dipanggil kiai atau ustadz, bahkan da’i kondang. Pelanggannya juga cukup banyak, mulai dari orang-orang berpangkat, artis, konglomerat hingga rakyat jelata. Berbagai macam iklan penjualan jimat muncul di berbagai media, baik pada media umum maupun media khusus perdukunan, bahkan media “islami” (baca: tasawuf, sihir).





  

Beberapa Macam Bentuk Jimat di Masyarakat











  1.  Batu Akik, Keris, Rajah, rantai babi, mustika, benda-benda bertuah, dll
  2. Jimat keberuntungan
  3. Jimat penghasilan
  4. Jimat penglaris dagangan
  5. Jimat kekuatan dan keberanian
  6. Jimat kebal senjata tajam
  7. Jimat perlindungan diri
  8. Jimat perlindungan kendaraan dan rumah
  9. Jimat kecintaan
  10. Jimat keselamatan, dll

Bagaimana Hukum Jimat dalam Islam?
Ketahuilah, mengenakan jimat dan mempercayainya dapat memberikan manfaat atau melindungi dari bahaya dan menolak bala’ adalah syirik besar yang menyebabkan pelakunya murtad, keluar dari Islam. Adapun mengenakan jimat dan meyakini Allah ta’ala yang memberikan manfaat atau melindungi dari bahaya dan menolak bala’, sedang jimat itu hanya sebagai sebab adalah syirik kecil, termasuk dosa besar yang membinasakan.


Mempercayai jimat termasuk syirik besar karena dalam keyakinan tersebut terkandung makna syirik, yaitu penyamaan antara Allah ta’ala dengan makhluk dalam perkara yang merupakan kekhususan bagi Allah ta’ala, dalam hal ini adalah memberikan manfaat, melindungi dari bahaya dan menolak bala’.
Dalil-dalil Umum Pengharaman Jimat
Allah ta’ala menegaskan,
قَالَ أَفَتَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ مَا لا يَنفَعُكُمْ شَيْئًا وَلا يَضُرُّكُمْ
“Ibrahim berkata: “Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit pun dan tidak (pula) memberi mudarat kepada kamu?”  [Al-Anbiya’: 66]




Juga firman Allah,
قُلِ ادْعُواْ الَّذِينَ زَعَمْتُم مِّن دُونِهِ فَلاَ يَمْلِكُونَ كَشْفَ الضُّرِّ عَنكُمْ وَلاَ تَحْوِيلاً
“Katakanlah: “Panggillah mereka yang kamu anggap sesembahan selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya dari padamu dan tidak pula memindahkannya.” [Al-Isra’: 56]
Juga firman-Nya,
أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ
“Katakanlah: “Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudaratan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudaratan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya?. Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku”. Kepada-Nya lah bertawakal orang-orang yang berserah diri.” [Az-Zumar: 38]


Ayat-ayat di atas semuanya menunjukan bahwa hanya Allah ta’ala yang mampu memberikan manfaat dan menimpakan bahaya, maka hal itu merupakan sifat rububiyah Allah ta’ala yang harus diyakini oleh setiap hamba, sehingga apabila seseorang meyakini hal itu ada pada selain-Nya seperti pada malaikat, nabi, wali, jin dan jimat-jimat maka berarti dia telah menyekutukan Allah tabaraka wa ta’ala.

Al-Imam Ibnu Katsir Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
“Semua makhluk yang disembah tersebut tidak sedikitpun memiliki kemampuan dalam menentukan perkara (manfaat maupun mudarat). Dan di sini, Ibnu Abi Hatim menyebutkan hadits Qois bin Al-Hajjaj, dari Hanasy As-Shon’ani, dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:  “Jagalah (ketentuan-ketentuan) Allah niscaya Dia akan menjagamu, jagalah (batasan-batasan) Allah niscaya engkau akan mendapati-Nya selalu berada di depanmu (menolongmu). Kenali Allah dalam kelapangan niscaya Dia akan mengenalmu (menolongmu) dalam kesusahan. Jika kamu meminta maka mintalah kepada Allah, dan jika kamu memohon pertolongan maka mohonlah kepada Allah.
Dan ketahuilah, andaikata seluruh umat bersatu untuk menimpakan suatu bahaya kepadamu yang tidak Allah tentukan menimpamu maka mereka tidak akan mampu melakukannya. Dan andaikan mereka bersatu untuk memberikan suatu manfaat kepadamu yang tidak Allah ta’ala tentukan untukmu maka mereka tidak akan mampu melakukannya. Telah kering catatan-catatan (takdir) dan pena-pena telah diangkat.
Dan lakukanlah amalan hanya bagi Allah dengan kesyukuran dalam keyakinan. Dan ketahuilah, kesabaran atas sesuatu yang engkau benci adalah kebaikan yang banyak, dan pertolongan itu selalu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesusahan, dan bersama kesulitan itu ada kemudahan”[1].” [Tafsir Ibnu Katsir, 7/100]

Asy-Syaikh Abdur Rahman bin Hasan rahimahumallah berkata,
“Ayat ini dan ayat-ayat yang semisalnya membatilkan ketergantungan hati kepada selain Allah ta’ala dalam meraih kemanfaatan atau menolak kemudaratan, dan bahwasannya hal itu termasuk syirik kepada Allah ta’ala.” [Fathul Majid, hal. 111]

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,
“Dan syahid dari ayat ini adalah bahwa patung-patung yang mereka sembah itu tidak sedikitpun bisa memberi manfaat kepada para penyembahnya; tidak bisa mendatangkan manfaat dan tidak pula bisa menolak mudarat. Jadi, patung-patung itu bukanlah sebab-sebab untuk mendatangkan manfaat dan menolak mudarat, maka dikiaskan di atasnya semua yang bukan sebab syar’i dan qodari, menjadikannya sebagai sebab adalah perbuatan menyekutukan Allah ta’ala.” [Al-Qoulul Mufid, 1/168]
[FAIDAH PENTING DALAM MASALAH “SEBAB”]


Penjelasan Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah di atas merupakan kaidah penting dalam memahami tauhid dan syirik. Bahwa tauhid adalah bergantung sepenuhnya kepada Allah ta’ala, sedangkan mengambil sebab untuk meraih suatu kemanfaatan dan menolak kemudaratan tidak dilarang dalam Islam, bahkan dianjurkan. Tetapi dengan syarat, sebab tersebut adalah sebab syar’i atau sebab qodari.
Sebab syar’i maksudnya adalah sebab yang dijelaskan oleh dalil syar’i. Contohnya, membaca surat Al-Fatihah untuk orang sakit adalah sebab kesembuhannya.
Adapun yang dimaksud dengan sebab qodari adalah sebab yang Allah ta’ala ciptakan sebagai sebab di alam ini dan dapat diketahui dengan dua cara: Pertama, dengan dalil syar’i dan Kedua, dengan penelitian ilmiah dan percobaan.
Contoh yang dapat diketahui dengan dalil syar’i, seperti madu, habbatus sauda’, kencing unta untuk obat sakit perut, bekam dan lain-lain adalah sebab-sebab kesembuhan.
Contoh yang dapat diketahui dengan penelitian ilmiah dan percobaan, seperti umumnya obat-obat antibiotik kedokteran modern yang merupakan sebab untuk menekan atau menghentikan perkembangan bakteri atau mikroorganisme berbahaya yang berada di dalam tubuh.


Maka menjadikan sesuatu sebagai sebab, padahal ia bukanlah sebab syar’i dan bukan pula sebab qodari adalah perbuatan syirik. Contohnya sangat banyak sekali, seperti perbuatan sebagian orang yang mengambil batu-batuan di kuburan orang shalih, potongan kiswah penutup ka’bah dan benda-benda lainnya untuk dijadikan jimat adalah termasuk perbuatan menyekutukan Allah ta’ala. Karena benda-benda tersebut bukanlah sebab syari’i maupun qodari.
Kesyirikan di sini pun bertingkat, bisa jadi syirik besar dan bisa jadi syirik kecil. Syirik besar jika seseorang meyakini bahwa jimat dapat melindunginya dari bahaya atau menghilangkan bahaya tersebut. Dan syirik kecil jika dia meyakini jimat itu hanyalah sebab, sedang Allah ta’ala Dialah yang melindunginya dari bahaya atau menghilangkan bahaya tersebut, karena apabila seseorang meyakini sesuatu sebagai sebab padahal Allah ta’ala tidak menetapkannya sebagai sebab, baik syar’i maupun qodari, maka seakan-akan dia telah menyamakan dirinya dengan Allah ta’ala dalam menentukan sesuatu sebagai sebab.


Dan manusia dalam masalah sebab terbagi menjadi tiga golongan:
Pertama: Mereka yang menafikan sebab, mereka adalah orang-orang yang menafikan sifat hikmah Allah ta’ala, seperti kelompok Al-Jabriyah dan Al-Asy’ariyah.
Kedua: Mereka yang berlebih-lebihan dalam menetapkan sebab sampai mereka jadikan yang bukan sebab sebagai sebab, mereka adalah kebanyakan penganut khurafat dari kalangan Shufiyah dan yang semisalnya.
Ketiga: Mereka yang mempercayai adanya sebab-sebab yang memiliki pengaruh dengan izin Allah ta’ala, akan tetapi mereka tidak menetapkan sesuatu sebagai sebab kecuali ditetapkan oleh Allah ta’ala, apakah sebab syar’i atau qodari. Inilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
[Lihat Al-Qoulul Mufid, 1/164-165]


Dalil-dalil Khusus Pengharaman Jimat
Sahabat yang mulia ‘Uqbah bin Amir Al-Juhani radhiyallahu’anhu menuturkan, “Bahwasannya telah datang kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sepuluh orang (untuk melakukan bai’at), maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam membai’at sembilan orang dan tidak membai’at satu orang. Maka mereka berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau membai’at sembilan dan meninggalkan satu orang ini?” Beliau bersabda, “Sesungguhnya dia mengenakan jimat.” Maka orang itu memasukkan tangannya dan memotong jimat tersebut, barulah Nabi shallallahu’alaihi wa sallam membai’atnya dan beliau bersabda, “Barangsiapa yang mengenakan jimat maka dia telah menyekutukan Allah”.” [HR. Ahmad, no. 17422. Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata, “Isnadnya kuat,” dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, no. 492]


Dalam riwayat lain, Sahabat yang mulia ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu’anhu berkata, aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang mengenakan jimat maka Allah ta’ala tidak akan menyempurnakan hajatnya, dan barangsiapa yang mengenakan wada’ah (jimat batu pantai) maka Allah ta’ala tidak akan memberikan ketenangan kepadanya.” [HR. Ahmad, no. 17404. Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata, “Hadits hasan.”]


Sahabat yang mulia Imron bin Al-Hushain radhiyallahu’anhu menuturkan,
“Bahwasannya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam melihat di tangan seorang laki-laki terdapat gelang dari tembaga, maka beliau berkata, “Celaka engkau, apa ini?” Orang itu berkata, “Untuk menangkal penyakit yang dapat menimpa tangan.” Beliau bersabda, “Ketahuilah, benda itu tidak menambah apapun kepadamu kecuali kelemahan, keluarkanlah benda itu darimu, karena sesungguhnya jika engkau mati dan benda itu masih bersamamu maka kamu tidak akan beruntung selama-lamanya”[2].” [HR. Ahmad, no. 20000]
Sahabat yang mulia Abu Basyir Al-Anshori radhiyallahu’anhu berkata,
 “Bahwasannya beliau pernah bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pada salah satu perjalanan beliau –berkata Abdullah (rawi): Aku mengira beliau mengatakan-, ketika itu manusia berada pada tempat bermalam mereka, maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengutus seseorang untuk menyampaikan, “Janganlah tertinggal di leher hewan tunggangan sebuah kalung dari busur panah atau kalung apa saja kecuali diputuskan”.” [HR. Al-Bukhari no. 3005 dan Muslim no. 5671]


Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqoloni Asy-Syafi’i rahimahullah menyebutkan diantara penjelasan ulama terhadap hadits di atas,
“Bahwasannya di zaman Jahiliyah dahulu mereka memakaikan kalung-kalung bususr panah keras terhadap onta mereka agar tidak terkena penyakit ‘ain menurut sangkaan mereka. Maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk memutuskan kalung-kalung tersebut sebagai pengajaran kepada mereka bahwa jimat-jimat itu tidak sedikitpun dapat menolak ketentuan Allah ta’ala. Ini adalah pendapat Al-Imam Malik rahimahullah tentang makna hadits ini.
Aku (Al-Hafizh Ibnu Hajar) berkata, pendapat tersebut beliau sebutkan setelah meriwayatkan hadits ini dalam kitab Al-Muwathho’, juga disebutkan oleh MuslimAbu Daud dan selainnya. Malik berkata, “Menurutku mereka menggunakan jimat itu untuk menangkal penyakit ‘ain.” Dan yang mendukung makna tersebut adalah hadits ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu’anhu secara marfu’“Barangsiapa yang bergantung kepada jimat maka Allah ta’ala tidak akan menyempurnakan urusannya.”Juga diriwayatkan oleh Abu Daud.” [Fathul Bari, 6/142]

Sahabat yang mulia Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu’anhu berkata, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda kepadaku,  “Wahai Ruwaifi’, bisa jadi engkau akan hidup lama sepeninggalku, maka kabarkanlah kepada manusia, bahwasannya siapa yang mengikat jenggotnya, atau menggunakan kalung (jimat) dari busur panah, atau beristinja dengan kotoran hewan atau tulang, maka Muhammad –shallallahu’alaihi wa sallam- berlepas diri darinya.” [HR. Abu Daud, no. 36, Shahih Abi Daud, no. 27]

Sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,  “Sesungguhnya mantra-mantra, jimat-jimat dan pelet itu syirik.” [HR. Ahmad, no. 3615, Abu Daud no. 1776, 3883 dan Ibnu Majah, no. 3530. Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata, “Shahih lighairihi,” dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Ibni Majah, no. 2854]

Sahabat yang mulia Abu Ma’bad Abdullah bin ‘Ukaim Al-Juhani radhiyallahu’anhu berkata, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang bergantung kepada sesuatu (makhluk seperti jimat dan yang lainnya) maka dia akan dibiarkan bersandar kepada makhluk tersebut (tidak ditolong oleh Allah ta’ala).” [HR. Ahmad, no. 18781, 18786 dan At-Tirmidzi, no. 2072. Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata, “Hasan ligairihi,” dan dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ghayatul Marom, no. 297]

Asy-Syaikh Abdur Rahman bin Hasan rahimahumallah berkata,
“Bergantung kepada sesuatu itu bisa jadi dengan hati, bisa pula dengan perbuatan dan bisa pula dengan hati dan perbuatan sekaligus. Allah ta’ala menjadikan pelakunya bergantung kepada sesuatu tersebut, maksudnya adalah Allah ta’ala jadikan dia bergantung kepada sesuatu yang dia jadikan sebagai tempat bergantung.
Maka barangsiapa yang bergantung kepada Allah ta’ala, memohon hajat-hajatnya kepada-Nya, bersandar kepada-Nya, memasrahkan urusannya kepada-Nya niscaya Allah ta’ala akan mencukupinya, mendekatkan baginya setiap yang jauh, memudahkan baginya semua yang sulit.
Dan barangsiapa yang bergantung kepada selain-Nya atau lebih tenang (ketika bersandar) kepada pendapatnya, akalnya, obatnya, jimat-jimatnya dan yang semisalnya maka Allah ta’ala jadikan dia bergantung kepada makhluk-makhluk tersebut dan Allah ta’ala menghinakannya. 

Dan ini sudah dimaklumi berdasarkan dalil-dalil dan kenyataan. Allah ta’ala berfirman,
“Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah maka cukuplah Allah sebagai penolongnya.” [Ath-Tholaq: 3].” [Fathul Majid, hal. 124]

Wallahu A’lam.


[1] HR. Ahmad (1/293) dan At-Tirmidzi (2516) dari jalan Al-Laits bin Sa’ad, dari Qois bin Al-Hajjaj. Dan At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih.”
[2] Sanad hadits ini didha’ifkan oleh Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adh-Dha’ifah (no. 1029). Akan tetapi terdapat riwayat lain sebagai penguat yang dkeluarkan oleh Al-Khallal dal As-Sunnah (5/64 no. 1623) dan penguat lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Batthah dalam Al-Ibanah Al-Kubro (2/860 no. 1172), Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir (2/99 no. 1439 dan 8/167 no. 7700), sebagaimana dalam Tanbihat ‘ala Kutubi Takhrij Kitabit Tauhid (hal. 3-6).


Sumber: Hukum Jimat dalam Islam