Friday, February 1, 2013

Kasih Tak Sampai (Dua)

FIRST LOVE
Aku Septian, aku anak seorang pelacur, yang mati karena sipilis. Dan aku ke Jakarta bukan untuk bersenang-senang di kemewahan kota itu. Aku ke Jakarta untuk mengadu nasib. Di sana aku menjadi kuli bangunan. Terkadang aku membantu kakakku yang juga menjadi kuli penggali kabel. Atau kadang menjadi pengangkut barang.
Setahun pertama aku menghabiskan hidupku di gorong-gorong dan tinggal di bedeng-bedeng. Kakakku sendiri juga kerja serabutan, istri dan anak-anaknya tinggal di perkampungan pemulung dan menyewa satu kamar dari triplek. Aku tak mau merepotkan dengan menumpang hidup di situ, karena itu aku lebih sering tinggal di bedeng yang disedikan untuk para kuli.
Kurang lebih setahun kemudian, ada sebuah sekolah dasar swasta yang membutuhkan pak bon, atau tukang kebun. Aku langsung bersedia. Di dekat gudang sekolah itu, kebetulan ada sebuah ruangan kosong, kotor dan bau karena tak terurus. Aku meminta ijin untuk tinggal di ruangan itu, aku berjanji akan tetap menjaga kerapian sekolah. Diijinkan. Maka aku pun tinggal di ruangan kecil yang juga bersebelahan dengan kamar kecil itu.
Pagi hari, sebelum sekolah mulai aku menyapu semua ruangan kelas, lalu mengepel, membuang sampah dan menyiapkan semua kelas. Bila siang hari, aku menjadi pesuruh para guru dan staf lainnya. Kadang membeli makan siang, membuatkan kopi atau teh, kadang memfotokopi dan lain-lain. Tak jarang aku mendapatkan tip dari mereka. Aku bersyukur karena tidak lagi kerja kasar seperti sebelumnya. Aku bekerja dengan senang hati, bahkan anak-anak di sekolah itu juga suka padaku.
Aku hidup seadanya. Aku menabung sedikit-sedikit. Semua tabungan itu, rencananya akan kugunakan untuk sekolah. Dan aku beruntung, karena di Jakarta banyak sekolahan yang masuk sore. Jadi aku pun lalu memilih satu sekolah kejuruan, waktu itu SMEA.
Pagi hari aku masih tetap bekerja, sorenya aku sekolah. Saat-saat sekolah di SMEA itu aku sering teringat Sinta. Seperti apakah dia sekarang. Sudah setahun lebih aku tak pulang ke kampung halaman. Aku menghemat ongkos. Untuk pulang pasti butuh banyak uang. Bagiku yang terpenting saat ini adalah bisa membayas SPP-ku lunas. Dan aku bisa menyelesaikan sekolahku.
Selesai SMEA, aku dinaikkan jabatanku menjadi staf Tata Usaha di sekolah dasar swasta itu. Aku bisa belajar komputer. Dan setelah menjadi TU, aku tidak tinggal di gudang lagi. Aku kos di sebuah rumah kos murah tak jauh dari sekolah. Hidupku membaik, aku bisa memberi uang kepada kakakku dan akhirnya mereka bisa mengontrak rumah petak yang lebih layak.
Aku masih bekerja di sekolahan, tetapi aku juga mulai megumpulkan uang, aku ingin memiliki usaha sendiri. Awalnya aku membuka lapak kecil sewa komputer dan pengetikan. Dari dua komputer berkembang menjadi sebuah persewaan yang besar. Aku mengontrak kios dekat kampus dan usahaku berkembang, pelan tetapi lumayan.
Beberapa tahun kemudian, aku mendengar kabar kalau Sinta sudah lulus kuliah dan bekerja di Jakarta. Sayangnya aku tak pernah tahu dimana tempat kerjanya, dan dimana gadis itu tinggal.
Suatu hari aku sedang mengantri di sebuah ATM, di depanku ada seorang gadis yang tinggi jangkung. Lebih tinggi dari aku. Dari belakang aku seperti mengenal sosok itu. Tetapi aku tak berani menyapanya. Aku tunggu saja sampai antrian sampai padanya dan dia akan berbalik setelah selesai mengambil uang.
Sebetulnya hatiku deg-degan. Feelingku bicara. Dan benar, ketika dia berbalik, gadis itu Sinta. Begitu anggun dan menawan. Ada polesan make up di wajahnya. Dan begitu melihatku, dia langsung heboh, berjingkrak-jingkrak senang. Tak peduli banyak orang di sekitar situ. Semua orang yang sedang mengantri menoleh kepada kami berdua. Dia tak berubah.(Bersambung)

No comments:

Post a Comment