Sunday, February 3, 2013

Kasih Tak Sampai (Tiga)

FIRST LOVE
Kalau aku perempuan, pasti aku sudah memeluk Sinta. Dan dia pun tampaknya sangat senang bertemu denganku. Entahlah rasanya begitu dekat. Seperti bertemu dengan saudara sendiri yang bertahun-tahun menghilang.
"Tian, kamu putih ya sekarang?" katanya ceria.
"Masak sih, kamu juga cantik sekali, Sin," kataku gugup.
"Bumi ini sempit ya, masak kita bertemu di sini," tuturnya.
"Iya, kamu tinggal dimana?"
"Cipete..."
"Yah, sama dong, aku juga di Cipete..."
Lalu Sinta mengeluarkan sebuah kartu nama berwarna putih. Dia sodorkan kertas kepadaku. Aku menerimanya dan membaca alamatnya. Kantor swasta itu tidak jauh dari tempat kosku.
"Sudah berapa lama di sini?" tanyaku.
"Sudah dua tahun," katanya.
"Ha? Dua tahun?"
"Iya, memang kenapa?"
"Sebetulnya kantormu berdekatan dengan kosku," jawabku.
Kami berbagi nomor telepon. Dan kadangkala Sinta meluangkan waktu untuk menelponku dari kantornya. Kadang juga dia minta ditemani makan siang. Dengan senang hati aku melakukannya. Diam-diam cinta yang kupendam itu mulai terguyur harapan. Tetapi perjalanan itu tidak mudah. Karena Sinta yang ramah tetap saja misterius.
***
Sahabat, aku belum bercerita kalau aku sangat dekat dengan Papa-nya Sinta. Om Haris, adalah seorang pegawai negeri yang baik. Ketika masih sering bekerja di rumahnya dulu, om Haris selalu memintaku untuk memijiti atau menginjak-injak punggungnya. Aku selalu menurut.
Kalau habis memijit biasanya aku diberi uang tip. Selain itu, yang terpenting, aku selalu mendapatkan nasehat-nasehat yang membuatku tetap berjalan di jalan lurus sampai sekarang.
"Tidak apa-apa bekerja serabutan, uangnya ditabung, yang penting bisa sekolah," begitu salah satu pesannya.
Beliau selalu menekankan agar aku tetap bersekolah, biarpun harus mencari uang dengan kerja kasar untuk membayar SPP-nya.
"Kalau kamu hanya bekerja dan tidak mau sekolah, kamu akan tetap jadi kuli, tetapi meskipun kamu kuli tetapi kamu sekolah tinggi, pasti hidupmu akan lebih baik," itu juga selalu aku ingat.
Karena nasehat-nasehat itu, semangat belajarku selalu tinggi. Sudah pasti aku sering mengantuk di sekolah. Menjadi hinaan teman di sekolah atau jadi bahan ledekan teman di sekolah adalah hal biasa. Tetapi aku teguh pada nasehat om Haris. Aku seperti menemukan sosok ayah yang tak pernah aku rasakan sejak bayi.
Dan pesan yang paling membekas, yang aku simpan rapat-rapat dalam jiwaku adalah, ketika suatu hari aku disuruh membersihkan meja kerja lelaki itu. Sambil duduk di sofa, dia mengajakku bercerita. Waktu itu aku sedang membersihkan rak buku. Aku keluarkan semua buku dan aku bersihkan raknya dari debu.
"Tian, Kamu sekarang sudah SMP, sudah besar kan..."
"Iya Om..."
"Kamu belajar yang rajin ya..."
"Baik Om..."
"Kamu seumuran Sinta ya, anakku yang paling badung..."
"Iya Om, kami satu SMP..."
"Kamu anak baik, aku titip Sinta ya, tolong jaga dia baik-baik ya..."
Aku menghentikan pekerjaanku. Lalu berdiri menantap laki-laki yang duduk nyantai itu. Lalu aku mengangguk, dengan pasti. Kalimat terakhir itu adalah kalimat terpenting dalam hidupku. Aku anggap sebagai amanah, yang harus aku laksanakan sebaik-baiknya.
"Iya Om, akan kujaga dia..."
Itulah jawaban yang aku berikan. Dan kalimat om Haris itu selalu mengiang-ngiang. Bahkan selalu terbawa ke dalam mimpi. Dan kalimat itu yang membuatku hampir bunuh diri ketika aku sadar aku tak bisa menjaga Sinta, aku tak sanggup lakukan itu. (Bersambung)

No comments:

Post a Comment