Saturday, March 23, 2013
Papaku Tersangka
CERPEN Aku sangat takut pada siapapun yang memandangku. Semua orang seakan melihat diriku dengan jijik. Dua minggu sudah aku tinggal di sini, di rumah nenek yang jauh dari Jakarta. Sebuah kota kecil yang sejuk dan namun sepi. Aku pindah ke sini, setelah Papaku dijadikan tersangka korupsi. Sekolahku yang baru sebuah SMP yang berada di lereng gunung. Gedungnya bercat putih, dari kejauhan seperti kotak-kotak balok mainan. Sekolah itu di tengah pesawahan, tidak terawat dengan rumput liar di segala sudutnya. Sampah juga bertebaran di mana-mana. Benar-benar sekolah kampung yang menyebalkan. Pertama kali masuk sekolah, aku diantar sedan mewah milik Kakek. Semua murid yang ada di sekolah itu melihat dan menyaksikan kami datang. Jantungku berdebar. Untung Nenek menenangkanku. "Mereka melihat mobil kakek, di kota ini hanya ada satu mobil seperti ini." Hatiku lega. Namaku Idham. Bulan depan, umurku 14 tahun. Aku anak sulung dari tiga bersodara, aku yang menjadi kesayangan Papa dan Mamaku. Karena aku berwajah tampan, dan aku pandai di sekolah. Selain itu gayaku trendi, seperti ABG Jakarta yang selalu modis dan keren. Tetapi di sini, tinggal di kota kecil ini, adalah pilihan buruk dari yang terburuk. Mamaku bilang hanya sementara, kalau situasinya sudah normal kembali, aku akan kembali di sekolahku di Jakarta. Tetapi sampai kapankah? Tiga minggu yang lalu, Papaku dinyatakan tersangka oleh KPK. Papaku dianggap mendapatkan gratifikasi saat menjabat sebagai anggota DPR. Saat aku membuka twitterku, nama Papaku disebut-sebut. Ramai sekali, ada pujian, ada caci maki, ada umpatan. Aku tak mengerti apa maksud kata-kata para orang dewasa itu. Yang jelas kata Mamaku, Papa tidak bersalah, Papaku difitnah. Aku ingin meampercayai Mama. Aku menutup komputerku dan menutup mata dari semua tuduhan yang ditujukan kepada Papaku tersebut. Aku capek melihat media masa online dan orang-orang di twitter saling serang. "Abaikan semua itu, fokus pada pelajaranmu," kata Papa waktu aku tanya semua itu. "Apa yang sudah Papa lakukan?" "Semua itu fitnah, Nak, kalau semua itu benar, kita pasti sudah kaya raya sekarang," ujar Papa. "Papa tidak korupsi?" "Enggak Nak." "Papa bohong..." Aku memukuli Papa yang membuat pikiranku kacau seperti ini. Bahkan rasanya hampir gila. Mama memegangiku lalu memelukku erat-erat. Aku menangis terisak-isak, aku tak peduli biar pun aku anak laki-laki, aku terus saja menangis. Sehari setelah Papaku jadi tersangka, ada perasaan enggan berangkat ke sekolah. Aku takut sekali. Dan Mama memahamiku, beliau mengijinkan aku tidak masuk sekolah hari itu. Di rumah aku membenamkan diri di kamar, keluar kamar hanya saat mandi dan makan saja. Lusanya, aku berangkat sekolah, semua karena bujukan Mama. Aku enggak tega melihat wajah Mama yang begitu baik dan sabar. Turun dari bus kota, lalu aku masuk ke gerbang sekolah dengan berjalan secepatnya ke kelas. Jaraknya lumayan. Sepanjang koridor itu semua orang memandangku. Memandangku dengan jijik. Seorang murid yang nakal menyindir dengan suara keras: "Anak koruptor, anak koruptor," semua yang mendengarkan tertawa. Aku sampai di kelas lalu berdiam diri saja, rasanya ingin menangis. Tubuhku lunglai tanpa kekuatan. Tuhan apakah salahku, hingga harus menanggung ini. Bel sekolah rasanya lama tak juga berdering. Aku duduk pura-pura membaca buku. Seluruh isi kelas itu mendiamkanku. Tak ada satu teman pun yang menyapaku. Pasti mereka jijik melihat diriku ini. Semua mata itu melihatku dengan cibiran. Dan sesekali kudengar bisikan yang ditujukan kepadaku. Aku benar-benar terhina. Ketika pulang, aku berjalan cepat menuju halte. Aku melihat Sonya, gadis yang selama ini jatuh cinta padaku, dan aku juga tertarik padanya. Biasanya Sonya sangat antusias bila bertemu denganku. Tetapi, hari itu, Sonya tak menyapaku, bahkan tak membalas senyumanku. Dunia serasa kiamat. Aku ceritakan semua itu kepada Mama. Mama pun memberiku pilihan-pilihan. Bahwa Papa akan diadili. Dan di pengadilan itu, Papa akan membuktikan bahwa dia tak bersalah. Tetapi pengadilan itu memakan waktu lama, bisa bertahun-tahun. Apalagi kalau kasus Papa bermuatan politis. "Mama yakin Papa tidak bersalah?" "Iya." "Terus aku harus bagaimana Ma, aku nggak betah di sekolah itu, semua orang sudah tahu soal Papa." "Kalau untuk sementara kamu sekolah di rumah nenek gimana?" "Nggak mau." "Di sana banyak anak-anak yang baik, tidak tahu kamu anak Papa..." "Entahlah." Aku memandangi wajah Mama yang cantik. Meskipun wajah itu menyimpan beban. Sejak semua peristiwa itu, Mama dengan sabar merayuku. "Hanya semnetara, kalau nanti semua masalah selesai, kamu balik lagi ke sini." "Aku pikir-pikir dulu ya Ma." Esoknya aku memutuskan pindah sekolah. Dengan diantar Mama aku terbang ke rumah Nenek. Selama perjalanan aku menutup wajahku dengan masker. Di bandara pun, orang memandangi kami. Mereka sudah hapal dengan wajah Mama yang akhir-akhir ini sering nongol di media massa. Itu adalah pengadilan yang kejam bagi kami. *** Pagi itu seperti biasa aku masuk sekolah. Di sekolahku, murid-muridnya berangkat sekolah dengan jalan kaki atau bersepeda. Sebagian diantar dengan sepeda motor. Aku satu-satunya murid yang diantar dengan mobil. Semua itu hanya untuk keamanan, karena aku belum paham wilayah itu. Aku duduk menunggu bel pagi. Beberapa teman menyapaku dengan malu-malu. Dari pintu aku memandangi bunga-bunga yang mekar diantara ilalang. Angin menghembusnya perlahan selembut embun pagi. Aku rindu rumah, rindu Papa, mama dan adik-adikku, dan aku sebenarnya bosan dengan pedesaan ini, tetapi aku harus jalani. Jakarta, 24 Maret 2013
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment