Monday, December 30, 2013

Dia Cacat Seumur Hidupnya

KISAH TRAUMATIS
Namaku Kiray, aku tinggal di sebuah kompleks perumahan mewah di kawasan Jakarta Selatan. Aku seorang wanita karir, bekerja di sebuah perusahaan swasta yang ternama. Demikian juga Joni suamiku, bahkan dia jabatannya lumayan. Secara finansial kami sangatlah berkecukupan.
Sudah setahun aku menikah, namun belum dikaruniai momongan. Biarpun orang sudah ribut, aku dan suami bersikap tenang. Kami berdua sudah periksa ke dokter dan kondisi kesehatan kami baik-baik saja. Aku selalu berharap agar segera diberi anak.
Aku jarang di rumah, berangkat pagi, pulang malam. Paling Sabtu dan Minggu, bersantai dengan suami. Kadang di rumah saja, kadang jalan ke mall atau sekedar makan di restoran kesukaan. Tak heran kalau aku tak terlalu mengenal tetangga.
Tetangga sebalah kanan, sepertinya juga pasangan muda. Namun mereka sudan memiliki dua orang anak yang sehat-sehat dan lucu. Anak pertama mereka perempuan berparas ayu yang dipanggil Dewi, umurnya sekitar 10 tahun, sedangkan adiknya laki-laki bernama Bagas, kira-kira berumur 2 tahun. Bila bertemu, aku sering menyapa mereka, dan memberi permen yang selalu kusediakan di mobil. Sedangkan bila aku bertemu ibunya, aku hanya sekedar berbasa basi saja.
Pada suatu pagi, saat akan mengeluarkan mobil dari garasi, aku melihat Bagas, di teras. Dia sedang bermain sendirian di situ. Aku memanggilnya dan dia tertawa-tawa, berlarian ke sana kemari mencari perhatianku.
"Masuk Bagas, jangan main sendirian di luar," kataku.
Dia tak menjawab hanya tertawa-tawa. Aku membuka pagar dan menyalakan mobil. Sudah tak kulihat lagi anak kecil itu di sekitar situ. Aku pun memundurkan mobilku perlahan. Tak beberapa lama aku merasakan ban mobilku menabrak sesuatu, dan suaranya seperti kayu yang patah. Terdengar jeritan tangisan anak kecil. Aku segera menginjak rem dan mematikan mobil. Aku keluar dari mobil dan melihat kebelakang. Alangkah kagetnya aku melihat Bagas terbaring di bawah mobilku dengan berlumuran darah.
"Ya Allah, Bagassss..."
Aku berteriak memanggil suamiku. Kuangkat anak kecil itu dan aku dudukkan di pangkuanku. Matanya melek setengah sadar, menahan rasa sakit dan dua kakinya lunglai, mungkin patah. Ibu dan ayah Bagas juga keluar. Aku ceritakan kejadiannya. Ibunya menjerit-jerit tak karuan.
"Salahku, aku tak mengawasinya bermain di luar," kata ibunya.
"Cepat bawa ke rumah sakit," kata suamiku, lalu dia mengeluarkan mobil.
Kami berempat membawa Bagas ke rumah sakit terdekat. Ibunya memangku anak kecil itu dan menangis sepanjang perjalanan. Leherku tercekat, air mataku tak berhenti berderai. Rasanya aku tak sanggup menanggung beban penyesalan karena kecerobohan itu.
Dokter me-rongsen kaki Bagas. Remuk. Kemungkinan tak bisa berjalan lagi. Rasanya mau pingsan mendengar kata dokter. Beberapa hari Bagas dirawat. Setiap pulang dari kantor aku dan suamiku menengoknya. Aku bilang kepada ibunya, bahwa aku yang akan menanggung semua biaya pengobatan, sampai sembuh.
Ibunya setuju. Tetapi sikapnya masih belum enak kepadaku. Aku tahu dia sangat marah kepadaku. Tetapi aku berusaha menghadapinya dengan sabar. Memang semua itu salahku. Aku berdoa sepanjang malam agar Bagas bisa sehat seperti sedia kala.
Seminggu kemudian Bagas keluar dari rumah sakit. Kakinya tidak bisa digerakkan. Tak kuasa aku menatap sinaran matanya. Dia pun seperti ingin mengatakan sesuatu. Lalu aku memeluknya dan menangis.
Sekarang Bagas sudah berumur enam tahun. Kakinya tak lagi sempurna, jalannya pincang. Tetapi dia sudah seperti anakku sendiri. Dia sering ikut aku dan suami jalan-jalan. Manja sekali. Bahkan tak jarang dia tidur di rumahku. Dan saat aku melahirkan puteri pertamaku, aku menyebut Bagas adalah kakaknya. Bagas sekarang punya dua rumah dan dua mama.
#Seperti diceritakan oleh Kiray
Jakarta, 31 Desember 2013

No comments:

Post a Comment