Wednesday, January 22, 2014

Leukima Merenggut Nyawa Puteriku

KISAH TRAUMATIS
Setelah dua tahun menikah, aku pun hamil. Namaku Vina, aku adalah seorang karyawati di sebuah perusahaan swasta di kawasan Jakarta Timur, dan suamiku Hasan, juga bekerja di tempat yang sama. Hasan adalah seorang laki-laki yang baik, pekerja keras dan rajin beribadah. Jabatannya juga lumayan di perusahaan itu.
Kehamilan itu membuahkan kebahagiaan tersendiri bagi kami berdua. Karena memang kami sudah sangat mendambakan seorang anak. Sembilan bulan kemudian, lahirlah bayi perempuan mungil itu, kami memberinya nama Riana.
Riana adalah bayi yang gemuk. Kulitnya putih bersih, rambutnya lurus lebat, mukanya mungil, tirus dan sorot matanya bercahaya sangat indah. Dia adalah bayi tercantik yang pernah aku lihat.
Hasan sangat menyayangi Riana yang lucu dan imut itu. Setiap pagi dia menggendongnya berjalan-jalan. Kadang memangkunya di depan dan berputar dengan sepeda motor matik. Kehadiran Riana benar-benar memberikan keindahan bagi kehidupan kami berdua.
Ketika menginjak usia dua tahun, Riana mulai sakit-sakitan. Sering masuk angin dan batuk pilek tak henti-hentinya meskipun sudah dibawa ke dokter. Yang lebih aneh lagi di tubuh Riana sering muncul bisul. Bisul itu selalu berpindah tempat, dan dokter juga memberinya obat untuk benjolan-benjolan kecil itu.
Namun, bisul-bisul itu tak henti-hentinya muncul di permukaan kulit Riana, dan anak itu juga tak pernah mengeluh. Kalau ditanya apakah bisul-bisul itu terasa sakit, jawabnya tidak, dia bilang hanya sekelilingnya saja yang gatal.
Karena obat yang diberikan oleh dokter tidak ngaruh,dan bisul itu tak sembuh-sembuh, akhirnya dokter memutuskan untuk tes darah. Saat mengambl sample darah itu usia Riana sudah 4 tahun. Dan yang mengejutkan, dokter mengatakan Riana telah digerogoti leukimia. Aku menangis, sedih sekaligus tak percaya.
Sejak saat itu, dokter merawat puteriku dengan intensif. Periksa rutin dan obatnya pun jenisnya makin banyak. Setelah usia dua tahun, tubuh Riana memang makin kurus. Wajahnya yang kecl itu pucat dan dia tak lagi bergairah seperti anak-anak kecil lainnya. Pasti dia merasakan sakit yang luar biasa. Aku pun memutuskan untuk keluar dari tempat kerjaku, agar bisa merawat puteriku.
Seringkali aku merasa tak tega. Dia harus minum obat setiap hari dan semakin lama tubuhnya makin melemah. Rambutnya yang sebahu itu, rontok dan menipis. Untung ada adik perempuanku yang tinggal tak jauh dari rumahku, setiap hari dialah yang meminumkan obat untuk puteriku.
Saat usia lima tahun, aku menyekolahkan Riana di sebuah Taman Kanak-Kanak. Aku berharap dia bisa bersekolah seperti teman-teman sebayanya. Namun begitu, dia jarang sekolah, karena sering sakit.
Ketika usianya memasuki enam tahun, Riana hanya bisa berbaring di tempat tidur. Tubuhnya kurus kering, seperti tulang terbalut kulit. Betapa tabahnya dia, wajahnya datar tanpa ekspresi, seakan menyerah pada keadaan. Dua minggu setelah ulang tahunnya yang keenam, puteriku meninggal. Terbujur kaku di tempat tidurnya. Pagi itu aku menangis sejadi-jadinya, sambil memeluk tubuhnya yang dingin itu.
Puteri cantikku telah tiada dalam ketenangan. Wajahnya yang mungil sungguh tak pernah bisa hilang dari ingatanku. Suatu saat pasti aku akan bersama kembali. Alangkah rindunya aku, alangkah inginnya bertemu.
Seperti diceritakan oleh Vina

No comments:

Post a Comment