Friday, September 20, 2013
Aku Ingin Melihat Mayatnya
CINTA YANG NAIF Witing tresno jalaran soko kulino. Begitulah pepatah orang Jawa yang artinya, cinta berawal dari kebersamaan sehari-hari. Demikian juga yang terjadi antara aku dan David. Kenalkan aku Fitri, dan David kekasihku itu adalah teman sekantorku. Dia patner kerjaku sebagai sales di sebuah perusahaan swasta nasional. David berwajah tampan, perlente, baik dan smart. Seorang pria yang memang typeku. Aku juga cantik, berkulit putih, bodyku tinggi mirip foto model dan sudah pasti aku pintar. Karirku membumbung terus di perusahaan itu, karena aku tipe perempuan pekerja keras. Aku sangat mencintai David, demikian juga sebaliknya, kekasihku itu mengaku tak akan sanggup hidup tanpaku. Namun cinta kami tak semulus kelihatannya. Itu karena David sudah beristri dan memiliki dua orang anak. Namun kami berdua tak mau menyerah. Kami terus menjalin hubungan dengan cara sembunyi-sembunyi. Bahkan kemudian kami menikah di bawah tangan, atau menikah siri, dan membeli sebuah aparteman di kawasan elit Jakarta. Aku memutuskan pindah kerja, agar hubungan kami tak tercium oleh orang-orang kantor. Usia setahun pernikahan kami, aku hamil, dan lahirlah dari rahimku seorang bayi perempuan yang cantik. Maka lengkaplah kebahagiaan kami, cinta kami diikat oleh seorang anak yang imut, sehat dan gemuk. Kami bertiga menghabiskan waktu di kota metropolitan itu. Menikmati restoran-restoran mewah, menonton bioskop, dan kesenangan-kesenangan lainnya. Kami adalah keluarga muda yang bahagia. Karir David semakin mantap, aku pun tak kalah dengannya. Tak heran bila kami berdua selalu berganti-ganti mobil mewah. Namun semua itu tak berlangsung lama. ketika puteri kami Vasya berusia 3 tahun, suamiku kecelakaan dan meninggal, sorang sahabat dari kantor memberitahukan melalui blacberry group. Hatiku serasa hancur. Jiwaku berantakan. Aku peluk puteriku satu-satunya sambil membayangkan Davidku terbujur kaku. "Papamu, sayang, papamu meninggalkan kita untuk selamanya..." Aku ingin sekali melihat mayat David untuk terakhir kalinya. Namun tak bisa. Jenazahnya sudah dibawa ke rumah istri pertamanya, dan mereka yang mengurus pemakamannya. Jiwaku meronta. Bahkan untuk melihat jasad kekasihku saja aku tak bisa. Aku hanya terdiam membisu. Aku menelpon teman kantor lama untuk menanyakan kapan David dikebumikan. Aku menelpon dengan alasan untuk memastikan berita di blackberry group tentang kematian David. "Pemakaman nanti siang di tanah kusir," kata sahabatku. "Makasih ya Ra, informasinya..." Pekuburan itu tak pernah sepi. Dengan membawa puteriku, aku datang ke sana. Mengenakan gaun hitam kesayangan dan kerudung pasmina yang aku selempangkan di kepala dan leherku. Untuk menutupi wajah dan menghapus air mata yang berlinangan tiada henti. Pukul dua siang, serombongan pengantar kematian datang, sebuah ambulan hijau tua dibuka, dan dikeluarkan sebuah peti jenazah berwarna coklat. Didalam peti itu terbaring suamiku, tangisku sedih. Pada mobil yang lain, keluarlah istri dan anak-anaknya mengenakan baju serba hitam. Wajah mereka muram. Mereka bergandengan menuju gundukan tanah merah. Lubang kubur telah digali untuk suamiku. Beberapa teman kantor lama juga muncul, berjalan tenang menuju galian itu. Lalu pelayat-pelayat yang lain juga berdatangan, semua berkumpul di situ. Aku memandangi dari kejauhan, bersembunyi di balik sebatang pohon, berlagak sepeti otang yang sedang nyekar. Jiwaku lunglai, hatiku terasa tercabik-cabik, air mata berlinangan, kupeluk erat puteriku yang belum mengerti apa-apa. Ingin sekali kulihat wajah suamiku, kekasihku,belahan jiwaku, untuk yang terakhir kalinya. Ingin memeluknya, pasti kecelakan itu sangat menyakitkannya. Ingin kuucapkan selamat jalan. Namun mendekat pun aku tak berani. Akhirnya aku telan saja keinginan itu, aku mengikuti upacara pemakaman David dari kejauhan saja, karena aku hanya istri kedua. Jakarta, 21 September 2013
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment