Saturday, November 10, 2012
Bapak Meninggal di Pangkuanku (Dua)
AKU DAN AYAH Mbak Anggie, Saat yang paling berkesan sekaligus mendebarkan hatiku adalah saat Bapak meninggal. Bapak meninggal dipangkuanku, setelah aku membacakan surat Yasin sebanyak tiga kali. Aku tak menyangka bahwa itu adalah saat-saat terakhirku bersama beliau. Aku dan dua anakku tinggal di Serang Banten, sedangkan Bapak tinggal di Pati. Tetapi ketika akan meninggal, seakan-anak Bapak menunggu aku datang. Sudah setahun ini, Bapak hanya bisa berbaring saja karena stroke. Tanggal 29 Januari 2010, aku mendapatkan telepon dari keluarga di Pati. Waktu itu hari jumat. Aku ingin pulang ke Pati. Tetapi kakak-kakakku melarangku. Kebetulan beberapa kakak juga tinggal di Serang Banten. Dan hari itu salah satu kakakku pulang ke Pati duluan. Hari Sabtu perasaanku sangat tidak enak. Tetapi masih belum mendapatkan ijin dari kakak-kakakku. Semalaman aku gelisah, hanya memikirkan Bapak. Juga hari Minggu, perasaanku diliputi perasaan yang sangat sangat tidak enak. Selama tiga hari itu aku tidak bisa tidur. Hari Senin aku masih ke kantor. Tetapi aku tidak bisa bekerja. Konsentrasiku buyar tidak karuan. Dan yang membuatku sedih, aku belum juga mendapatkan ijin dari kakak untuk pulang ke Pati. Oh ya, kebetulan aku adalah seorang single parent. Senin sore, diam-diam aku membeli tiket dan pulang ke Pati. Aku ijin kepada kakak saat sudah dapat separo perjalanan. Aku mengajak anak keduaku, sedangkan anak sulungku selama ini ikut dengan kakak, jadi aku tidak membawanya serta. Selasa, 2 Februari 2010, jam sembilan pagi aku sampai di Pati. Aku langsung menemui Bapak. Bapak masih nggrok-nggrok, nafasnya tak beraturan. Aku ajak berbicara dan air matanya meleleh di pipinya. Tanganku digenggamnya dengan erat. Saat itu usia Bapak sudah 82 tahun. Aku terus menungguinya di kamarnya. Semenjak datang, aku belum membersihkan diri, belum makan, pikiranku hanya Bapak. Aku suapi bubur, tetapi Bapak sudah tidak bisa menelan. Aku suapi minum, meleleh keluar lagi. Jam tiga sore, Bapak tak sadarkan diri. Aku menelpon kakak-kakakku dan ngotot bahwa Bapak harus dibawa ke rumah sakit. Tetapi mereka tidak membolehkan. Aku menelpon lagi kepada mereka, tetapi tetap menolak. Oh ya, selama ini, sebagai adik terkecil setiap mengambil keputusan selalu harus dengan ijin semua kakak. “Ini harus dibawa ke rumah sakit,” begitu kataku. “Gimana nanti saja kalau sudah bener beritanya,” jawab salah satu kakakku. Aku pun tidak bisa apa-apa. Selepas ashar, Bapak sadar kembali, lalu aku elap. Kubersihkan kamar Bapak yang kotor. Aku ganti semua sprei yang sudah sangat bau itu. Pakaian yang beliau kenakan, diapersnya juga aku ganti semua. Biar Bapak merasa nyaman. Pada diapers itu ada kotoran menghitam. “Ya Allah, sebentar lagi,” begitu pikirku. Setelah kubersihkan semua, Bapak aku bedakin, kuolesin dengan lotion agar wangi. Setengah sadar dengan tersenyum matanya menatapku dengan nanar. Tangannya menggenggam erat tanganku. Kuciumi bapak. Sambil kuusap wajahnya kubacakan niat wudhu. Habis Isya, Bapak mangap-mangap (bahasa Jawa, membuka mulut seperti mau bicara tetapi tidak keluar suara) lagi. Aku naik ke atas dipan dan kupangku beliau. Aku panik, aku teriak-teriak memanggil semua orang. Aku membaca surat Yasin sekencang-kencangnya. Aku membaca dengan emosi. Dadaku sesak sekali dan air mataku bercucuran tiada henti. Beberapa orang tetangga berdatangan dan ikut membaca. Keponakan-keponakan dan cucu-cucu dari ponakan Bapak juga ikut menunggu. Salah satu anak dari kakakku yang baru kuliah hanya berani mengintip di pintu. Ibu yang waktu itu ada di rumah pun tidak mau masuk kamar. Juga beberapa orang kakak tidak bergabung dengan kami. Aku bisikkan kepadanya, bahwa aku ikhlas melepas Bapak. Bapak tidak perlu mengkhawatirkan aku, aku dan anak-anakku akan baik-baik saja. Sepertinya Bapak memahami semua perkataanku itu. Setelah surat Yasin dibaca tiga kali, aku iringi dengan bacaan syahadat. Lalu aku bisikkan kepada Bapak untuk membaca Allah... Allah... Allah, saja. Bapak memang sudah tidak bisa berbicara. Bapak mengucapakan kata Allah, dengan sengau Aoh... Aoh... Aoh... terus sampai saatnya meninggal. Detik-detik sakratul maut itu, Bapak di pangkuanku. Aku peluk erat kepalanya di dadaku dan aku genggam jemari tangannya. Aku menyebutnya sakratul maut yang indah. Saat itu mulut Bapak mangap-mangap, dan pada saat terakhirnya, dia seperti orang yang sedang orgasme. Layaknya orang yang kekenakan setelah bersenggama. Para tetangga dan keponakan yang mengikuti saat-saat terakhir itu malah tertawa. Suasana tegang berubah menjadi tawa canda. “Wah enake, Lek (panggilan dalam bahasa Jawa untuk Paman) Darso lagi disenggama sama bidadari...” “Hahaha...” semua tertawa. “Lek Darso darahnya putih, jadi meninggalnya banyak yang nganter dan dijemput bidadari,” kata salah seorang sepupuku. Malam itu suasana sangat tenang, hening dan sejuk. Air mata menetes antara kesedihan dan kebahagiaan. Aku melihat sendiri, seakan Bapak meninggal tanpa kesakitan. Rasa syukur tiada henti kuucapkan, karena telah diberi kesempatan untuk bersama beliau di saat-saat terakhirnya. Semoga beliau khusnul khotimah. Mbak Anggie, Hikmah yang aku ambil dari sikap Bapak dalam menjalani hidup adalah: Tetaplah jadi dirimu sendiri dengan nyaman. Jangan pedulikan sikap buruk orang lain kepada dirimu. Sejahat apapun orang pasti ada baiknya. Sebaik apapun orang juga ada tidak baiknya. Perankan diri sesuai dengan tanggungjawab masing-masing. Jadilah orang tua yang baik dan menyayangi anak-anak. Jika jadi pasangan, jadilah suami/istri yang baik dan tulus pada pasangan. Jika jadi anak, jadilah anak yang baik dan hormat pada orang tua. Apapun, dimanapun, mau jadi teman, tetangga, atasan, bawahan tidak usah ikut-ikutan bersikap buruk seperti sikap buruk orang terhadap dirimu. (Habis) Seperti diceritakan oleh Mama DiRay Jakarta, 9 November 2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment